close
Ragam

Pentingnya Kajian Resiko Bencana Bagi Masyarakat

Evakuasi korban bencana gempa bumi di Desa Serempah, Bener Meriah | Foto: Fahreza Ahmad untuk Walhi Aceh

Bener Meriah dan Aceh Tengah, tanggal 2 Juli 2013, hari Selasa sekitar tengah hari. Warga baru saja menunaikan shalat Dhuhur ataupun selesai makan siang. Namun banyak juga masyarakat yang masih beraktivitas di ladang dan kebunnya masing-masing. Tiba-tiba bumi bergerak, berderak menggoyang segala sesuatu yang ada di atasnya. Bangunan-bangunan roboh, masyarakat berhamburan keluar rumah mencari tempat yang aman. Suara tangisan dan teriakan panik bercampur baur menyeruak di udara siang itu.

Itulah gempa bumi yang berkekuatan 6,2 SR (7,4 MMI) dengan epicentrum pertama berada pada koordinat di 4.7 LU – 96.61 BT dengan kedalaman 10 Km. Berita duka dengan cepat menyebar ke seluruh Indonesia bahkan dunia. Gempa itu memakan korban 42 orang meninggal, dan 6 orang hilang (tercatat saat proses pencarian dihentikan). Jumlah pengungsi mencapai 36.905 jiwa dengan sebaran 32.129 jiwa di Aceh Tengah dan 4.776 jiwa di Bener Meriah dan terdapat lebih 16 titik pengungsian. Jumlah kerusakan bangunan mencapai 18.902 rumah dan 626 fasilitas umum (sumber data BNPB, 2013). Inilah sebuah bencana yang kurang diprediksi sebelumnya akan terjadi di wilayah tengah Aceh.

Kemudian belum hilang duka di tanah Gayo, di bagian lain Sumatera yaitu di tanah Karo, Gunung Sinabung kemabli memuntahkan abu vulkanik dari kepundannya yang berbahaya, Selasa, 17 September 2013. Sebelumnya warga atau pihak terkait tidak mendeteksi adanya getaran atau tremor, fenomena khas yang biasa selalu mendahului sebelum erupsi gunung berapi. Ribuan penduduk dari desa-desa sekitar terpaksa mengungsi, meninggalkan sawah ladang, menuju tempat yang lebih aman.

Letusan Gunung Sinabung ini mengejutkan banyak pihak karena selama ini gunung yang mempunyai ketinggian 2,460 m dianggap gunung berapi yang sudah mati. Hal ini berdasarkan data bahwa Gunung Sinabung selama 400 tahun terakhir tidak ada aktivitas erupsi. Erupsi terakhir yang tercatat dalam sejarah terjadi sekitar tahun 1600 sehingga Sinabung pun awalnya ditetapkan sebagai gunung berapi tipe B.

Sebelumnya, gunung ini pun telah memuntahkan lava serta debu dan pasir vulkaniknya ke udara pada tanggal 29 Agustus 2010 tengah malam pukul 00.10. Sejak meletus, pemerintah telah mengubah tipe Gunung Sinabung tersebut menjadi tipe A dengan status awas. Gunung ini pun selanjutnya dipantau setiap hari selama 24 jam.

Pada tahun 2004 lalu bencana yang disebut-sbuet sebagai bencana terbesar dalam sejarah dunia modern menghantam di kawasan Asia dan sebagian Afrika. Tsunami raksasa yang didahului gempa bumi berkekuatan 9,6 SR mengguncang Propinsi Aceh dan Nias, meluluhlantakan daerah ini dan membuat ratusan ribu nyawa melayang.  Bencana ini sebelumnya tidak diprediksi, walaupun sudah diketahui bahwa Aceh merupakan daerah rawan gempa karena dilewati patahan aktif. Namun selama sebelum terjadinya tsunami tahun 2004, minim sekali sosialisasi tentang ancaman bencana dahsyat ini.

Lihat saja apa yang penulis lakukan saat gempa bumi 26 Desember 2004 lalu. Penulis kebetulan tinggal di Banda Aceh, di salah satu kampung terparah dihantam tsunami. Sesaat setelah terjadi gempa yang “melemparkan” penulis dari tempat tidur, penulis tidak memiliki sensivitas adanya potensi bahaya yang mengancam setelah gempa bumi yang goncangannya sangat keras terasa.

Setelah gempa reda, penulis masih sempat-sempatnya menikmati sepiring lontong di warung dekat rumah. Saat tampak orang-orang mulai berlari atau memacu sepeda motornya kencang-kencang sambil berteriak,”air laut naik…air laut naik!, barulah penulis sadar yang sedang mengancam dan cepat-cepat berlari menyelamatkan diri. Hal yang serupa juga dialami oleh ribuan penyintas korban tsunami, baru sadar bahaya ketika bahaya tersebut sudah di depan mata.

Dari berbagai peristiwa di atas maka sadarlah kita semua bahwa perlu adanya pengetahuan yang memadai tentang resiko bencana. Apalagi kita tinggal di daerah yang rawan bencana walau bencana itu sendiri tidak selalu terjadi, namun kewaspadaan harus tetap tinggi. Bencana dapat datang kapan saja, ada yang bisa diprediksi seperti banjir dan ada juga yang tidak bisa diprediksi seperti gempa bumi. Bencana umumnya tidak dapat dihindarkan kecuali bencana karena ulah manusia (man made disaster).

Manusia harus membuat sebuah perencanaan sebaik mungkin dalam rangka pengurangan resiko bencana. Perencanaan ini memuat langkah-langkah yang dilakukan sebelum terjadi bencana (pra bencana), saat terjadi bencana (tanggap darurat) dan sesudah terjadinya bencana (pasca bencana). Salah satu langkah yang penting dalam masa pra bencana adalah membuat kajian resiko bencana atas sebuah daerah. Kajian resiko bencana memuat hal penting tentang karakteristik sebuah wilayah, jenis-jenis bencana yang mengancam, wilayah yang terpapar dan berbagai hal yang lain dalam rangka pengurangan resiko bencana bagi masyarakat sekitar.

Membuat Kajian Resiko Bencana
Kajian Resiko Bencana (KRB) adalah sebuah dokumen penting yang memuat mekanisme terpadu untuk memberikan gambaran menyeluruh terhadap risiko bencana suatu daerah dengan menganalisis tingkat ancaman, tingkat kerugian dan kapasitas daerah Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) No.2 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Resiko Bencana.

Adapun tujuan pembuatan KRB ada tiga hal yaitu:

1. Memberikan panduan yang memadai bagi setiap daerah dalam mengkaji risiko setiap bencana yang ada di daerahnya.

2. Mengoptimalkan penyelenggaraan penanggulangan bencana di suatu daerah dengan berfokus kepada perlakuanbeberapa parameter risiko dengan dasar yang jelas dan terukur.

3. Menyelaraskan arah kebijakan penyelenggaraan penanggulangan bencana antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota dalam kesatuan tujuan.

KRB pada prinsipnya dapat disusun oleh berbagai pihak seperti lembaga swadaya masyarakat, akademisi, pemerintah ataupun pihak swasta yang berkompeten asal bekerja dibawah tanggung jawab pemerintah dan mengikuti standar yang ditentukan oleh BNPB. Namun demikian yang terbaik jika semua pihak ikut dilibatkan (partisipatif) dalam pembuatan KRB ini sehingga semua aspek bisa dimunculkan dalam dokumen. Selain itu juga pelibatan semua pihak bisa memunculkan rasa kesadaran bersama dalam penanggulangan bencana.

Data yang digunakan dalam menyusun KRB harus data yang valid dan menggunakan metode yang sangat ilmiah. Pembuatan KRB tidak boleh serampangan atau sembarangan karena ini menyangkut kehidupan banyak manusia. Tantangan utama dalam menyusun KRB adalah ketersediaan data kependudukan yang masih minim terutama di tingkat desa.

Jika melihat dari definisi dan tujuan KRB sebagaimana disebutkan diatas seolah-olah KRB ini hanya bermanfaat bagi pemerintah semata. Namun sebenarnya tidaklah demikian karena KRB ini nantinya harus disosialisasikan kepada masyarakat di daerah kajian tersebut. KRB yang memuat jenis-jenis ancaman bencana, areal yang terkena bencana, jumlah jiwa yang terpapar bencana, potensi kerugian yang ditimbulkan bencana, kapasitas yang dimiliki untuk mengurangi resiko bencana, penting untuk diketahui oleh masyarakat luas.

Masyarakat menjadi tahu daerah mana yang layak untuk tempat tinggal. Jangan sampai warga malah membangun rumah di atas patahan aktif atau membangun rumah di lereng gunung yang rawan longsor. Warga pun tahu bagaimana membangun rumah di daerah yang rawan gempa misalnya, dengan membangunnya dengan struktur yang kokoh dan material yang berkualitas.

Pentingnya Kajian Resiko Bencana Bagi Masyarakat
Jika saja KRB telah disusun dengan baik dan disosialisasikan kepada masyarakat, mungkin bencana-bencana yang terjadi nantinya hanya akan menimbulkan korban yang relatif kecil. Masyarakat sudah siap menghadapi bencana karena mereka tahu resiko yang mereka hadapi di tempat tinggalnya. Mereka sudah tahu apa yang dilakukan sebelum terjadi bencana, saat terjadi bencana dan pasca bencana sendiri. Kesiapsiagaan ini sudah dipraktekkan di berbagai negara dan relatif berhasil.

Misalnya saja yang dilakukan pemerintah Jepang, negara yang sangat rawan bencana terutama bencana gempa bumi dan tsunami. Masyarakatnya diajarkan bagaimana hidup di daerah rawan bencana misalnya membuat bangunan yang tahan terhadap goncangan gempa bumi. Bahkan mereka pun membuat dinding beton yang kokoh di pinggir pantai untuk mencegah gelombang ekstrim mencapai pemukiman. Pemerintahnya selalu bersiaga menghadapi bencana sehingga korbannya bisa dikurangi.

Penduduk Jepang sejak usia dini sudah dilatih secara rutin (drilling) bagaimana menghadapi bencana gempa bumi misalnya dengan mencari tempat yang lebih aman ketika bencana terjadi. Sikap masyarakat Jepang cenderung tenang, tidak panik dan saling membantu ketika bencana terjadi.

Bagaimana dengan Indonesia atau Aceh, tempat tinggal saya sendiri?  Masyarakat masih perlu disosialisasikan lebih intensif lagi tentang resiko bencana. Mereka perlu tahu, apa bahaya yang mengancam disekitar kehidupan mereka. Bisa jadi ada beberapa ancaman bencana yang berpotensi terjadi di wilayah mereka. Sebut saja ada ancaman bahaya longsor, banjir bandang atau kebakaran hutan bagi penduduk yang tinggal di pegunungan. Wilayah pesisir misalnya memiliki potensi bahaya gelombang ekstrim, tsunami, badai dan lain sebagainya.

Bahaya-bahaya akibat bencana ini nyata adanya, bukan hanya teoritis semata. Sering warga menganggap sepele bahaya tersebut jika bencana tidak sering terjadi. Disinilah perlunya sosialisasi dan latihan dalam menghadapi bencana agar semua pihak siap ketika bencana benar-benar terjadi. Jangan lagi ada kepanikan ataupun kekacauan saat bencana melanda karena semua telah pihak memahami apa yang sebenarnya terjadi dan tahu apa yang harus dilakukan.

Sekali lagi saya mengatakan bencana alam nyaris tak bisa dicegah, manusia hanya bisa berupaya mengurangi korban bencana. Jangan lagi muncul korban yang tidak perlu akibat ketidaktahuan tentang resiko bencana. Jangan ada lagi yang seperti penulis lakukan, sempat-sempatnya makan lontong padahal ada bahaya besar yang mengancam. Disinilah pentingnya membuat kajian resiko bencana bagi masyarakat.[m.nizar abdurrani]

Sumber: serambinews.com

Tags : bencana

Leave a Response