close

aceh

Hutan

Noktah Hitam di KEL Aceh

Mega proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dibangun dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dikhawatirkan akan merusak ekosistem dan ancaman bencana ekologi. Mega proyek ini juga mengganggu kelestarian hewan dilindungi seperti badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), harimau (Panthera tigris sumatrae), gajah (Elephas maximus sumatraensis) dan orangutan (Pongo abelii).

KEL merupakan kawasan hutan tropis yang sangat berperan menyimpan cadangan air dan juga pengendalian iklim mikro. Perlindungan hutan tersebut berguna untuk keberlangsungan hidup manusia dan melindungi spesies-spesies yang harus memiliki skala prioritas untuk dikonservasi.

Spesies badak dan harimau yang paling terancam punah saat ini. Konon lagi bila PLTA Tampur di Gayo Lues dan PLTA Kluet di Aceh Selatan dibangun. Tentunya rumah satwa dilindungi ini semakin susut dan ancaman konflik satwa dan kepunahan semakin di depan mata.

KEL  juga sangat berjasa untuk keberlangsungan kehidupan manusia, karena tidak hanya menyimpan karbon dunia juga bisa mencegah dampak perubahan iklim. Ekosistem Leuser berdampak langsung dengan udara yang dihirup oleh manusia dan hewan saat ini, sehingga bisa menjaga keseimbangan iklim.

Mirisnya, Pemerintah Indonesa masih saja berencana untuk membangunan mega proyek tersebut, yang kemudian banyak ditentang oleh lembaga lingkungan di Aceh. Padahal, keberadaan Ekosistem Leuser juga tidak hanya mengancam keberadaan satwa dilindungi, juga mengancam kehidupan ribuan penduduk di Sumatera.

Memang tak dapat dipungkuri, Aceh yang berada paling ujung sumatera ini memiliki banyak potensi Sumber Daya Alam (SDA) dan energi yang dapat diandalkan. Namun dibalik banyaknya SDA, pemerintah juga harus memperhatikan banyak aspek saat mengekploitasi.

Aspek keseimbangan antara ekonomi, lingkungan dan tatanan sosial harus menjadi perhatian serius dari masyarakat. Sehingga penggunaan SDA yang dimiliki, terutama dalam KEL harus diperhatikan dampak besar dalam jangka panjang.

Pembangunan dua mega proyek tersebut, merupakan noktah hitam yang masuk dalam KEL. Noda hitam inilah yang kemudian akan mengancam berbagai persoalan kemudian hari, tak hanya merusak lingkungan juga konflik sosial bisa saja terjadi nantinya.

Kenapa pentingnya perlindungan KEL dari kerusakan? Sedekar diketahui, KEL merupakan hutan yang paling lebat saat ini di Asia Tenggara. KEL memiliki tiga lahan gambut yang kaya karbon, begitu penting bagi lingkungan global saat ini.

Lokasi proyek PLTA Tampur-1 yang dibangun oleh PT Kamirzu berada di kawasan sungai Tampur, Gampong Lesten, Kecamatan Pining, Kabupaten Gayo Lues. Gampong tersebut luas sekitar 200 hektar berjarak 18 Km dari ibukota Kabupaten Gayo Lues. Berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan oleh Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, hingga April 2017 PT Kamirzu baru tahap pengeboran dan pengambilan sampel sebanyak 6 titik.

Lembah Gampong Lesten sebagian besar berlokasi yang kaya hasil hutan, seperti madu, walet dan hingga saat ini masih dimanfaatkan oleh masyarakat. Kekayaan hutan di kawasan itu telah menjadi ekonomi alternatif bagi masyarakat setempat.

Sungai Lesten dan Sungai Pining memiliki arus  yang deras dan kedua sisi merupakan hutan lindung berkarakteristik tebing serta tingkat kecuraman tinggi dan ada beberapa titik air terjun. Kondisinya pun rawan terhadap bencana, karena kawasan tersebut juga rawan terhadap terjadi gempa.

PLTA Tampur-1 merupakan proyek pembangkit energi terbarukan dan masuk dalam daftar percepatan pembangunan di Indonesia. Ini seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 40 Tahun 2004, tentang perubahan keempat Peraturan Menteri ESDM Nomor 15 Tahun 2010 tentang proyek-proyek percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik menggunakan energi terbarukan.

Perusahaan pengembangan ini berasal dari Hongkong yaitu PT Kamirzu yang merupakan salah satu Perusahaan Modal Asing (PMA) bidang kelistrikan, rencannnya pembangunan PLTA Tampur-1 ini berkapasitas 443 MW.

Mega proyak PLTA Tampur-1 menggunakan lahan seluas 4.090 hektar yang berada untuk rencana genangan. Meskipun tidak semua lahan pembangunan mega proyek ini masuk dalam hutan lindung. Proyek ini dalam tiga kabupaten yaitu Gayo Lues, Aceh Timur dan Aceh Tamiang

“Yang harus diketahui, tidak semua lahan itu masuk dalam hutan lindung,” kata Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nur.

Berdasarkan data dari Walhi Aceh, pembangunan mega proyek tersebut dengan nilai investasi Rp 4,158 triliun tersebut mencaplok Hutan Lindung (HL) seluas 1.226,83 hektar, Hutan Produksi (HP) seluas 2.565,44 hektar Area Pengguna Lain (APL) seluas 297,73 hektar. Sedangkan untuk pembangunan bendungan/DAM dan power house seluas 10 hektar dan mirisnya itu juga masuk dalam kawasan Hutan Lindung.

Penggunaan lahan dalam HL tak hanya lokasi pembangunan mega proyek tersebut. Setelah pembangunan selesai, ada sejumlah hutan lainnya ikut dicaplok. Seperti pembangunan Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) sepanjang 45 kilometer.

Lagi-lagi pembangunan SUTET masih tetap menggerus HL sepanjang 9,34 kilometer, HP 21,4 kilometer, APL sepanjang 14,26 kilometer. Selain itu, mega proyek ini juga memerlukan pembangunan atau peningkatan jalan akses sepanjang 68,14 kilometer yang masuk dalam beberapa fungsi kawasan hutan.

Seperti pembangunan jalan akses Simpang Melidi-Babo sejauh 27,14 kilometer, di antarannya 1,08 kilometer masuk dalam HL, 11,03 masuk APL. Sedangkan jalan Babo-Pulau Tiga sepanjang 11,08 Km dan Jalan Pulau Tiga-Simpang Semadam sepanjang 15,97 Km  seluruh masuk dalam APL.

“Karena tidak ada 100 persen di hutan lindung sehingga tidak memproses dokumen AMDAL di nasional. Kalau hutan lindung semua di Kementerian,” jelasnya.

Adapun izin yang sudah dimiliki oleh PT Kamirzu pembangunan mega proyek PLTA Tampur-1, sudah mengantongi sembilan rekomendasi dan izin dari pemerintah provinsi dan nasional. Seperti Izin Prinsip dari Gubernur Aceh Nomor 671.21/BP2T/2523/2015 tanggal 20 November 2015 tentang izin prinsip. Izin prinsip BKPM Pusat, surat kepala BPKH Wilayah XVII Aceh Nomor S.229/III/BPKH.XVIII-2/2016 tanggal 18 April 2016. Surat Kepala BPKH Wilayah XVII Aceh Nomor S.229/III/BPKH.XVIII-2/2016 tanggal 18 April 2016 hasil telaah titik koordinat.

Lalu berita acara rapat kesesuaian dengan  Rencana Tatat Ruang dan Wilayah Aceh pada 10 Oktober 2016, surat keterangan kesesuain dari Badan Koordinasi Perencanaan Ruang Daerah (BKPRD) Provinsi Aceh Nomor 050/25/Bappeda/I/2016, Perpanjangan izin prinsip Gubernur Aceh melalui surat Nomor 671.21/BP2T/2039/2016 tanggal 27 Oktober 2016.

Kemudian keputusan Kepala Bapedal Nomor 660.46/092/XI/AMDAL/2016 tentang persetujuan kerangka acuan (KA), untuk selanjutnya wajib dilengkapi dokumen Studi Analisis Menganai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL). PT Kamirzu juga telah merampungkan dokumen studi AMDAL PLTA Tampur-1 tanggal 28 Desember 2016, Komisi Penilaian Amdal (KPA) Aceh membahas proyek ini dengan melibatkan masyarakat dan lembaga pemerhati lingkungan.

“Pada rapat pembahasan itu Walhi Aceh selaku anggota KPA menolak AMDAL PLTA tersebut, karena ada masuk dalam hutan lindung bisa berdampak besar terhadap kerusakan lingkungan,” ujarnya.

Ini tulisan bagian satu dan akan dilanjutkan dengan judul Noktah Hitam di KEL Aceh “Dampak Lingkungan Hidup”

read more
Flora Fauna

YEL-SOCP Telah Lepaskan 105 Orangutan di Hutan Jantho

BANDA ACEH – Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) bersama Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Senin (30/4/2018) melaksanakan kegiatan Focus Group Disscussion (FGD) tentang upaya pengamanan di Kawasan Konservasi Hutan Pinus Jantho.

Dalam FGD itu, YEL, Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP) bekerjasama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh telah melepasliarkan 105 orangutan ke kawasan konservasi hutan pinus Jantho sejak tahun 2011.

“Dilepasliarkan dengan tujuan untuk membangun satu populasi baru spesies kera besar yang sangat terancam punah ini,” kata Koordinator Program YEL-SOCP Wilayah Aceh, TM Zulfikar, Selasa (1/5/2018).

Zulfikar mengatakan, sebagian kerja YEL-SOCP di Jantho adalah melakukan pemantauan Orangutan pasca pelepasliaran. Untuk mencapai target ini telah dibentuk tim khusus pemantauan yang melakukan penjagaan dan patroli di seluruh Kawasan Konservasi Hutan Pinus Jantho. Ini untuk memantau sebaran orangutan dan juga pemantauan ancaman terhadap kawasan dan keanekaragaman hayatinya.

Hasil dari kegiatan selama dua tahun terakhir, YEL-SOCP membuktikan bahwa masih terdapat berbagai ancaman di dalam kawasan konservasi Jantho, antara lain penebangan liar (illegal logging), perburuan satwa (rusa, rangkong beruang, dll), penangkapan satwa seperti burung hias, pembakaran lahan skala besar, serta beberapa bentuk kejahatan hutan dan lingkungan lainnya.

Untuk itulah YEL bersama BKSDA Aceh melaksanakan sebuah FGD tentang upaya pengamanan di Kawasan Konservasi Hutan Pinus Jantho. “Tujuan kegiatan ini adalah untuk meningkatkan dan menguatkan keamanan serta proses penegakan hukum terhadap pelanggar di Kawasan Hutan Konservasi Jantho,” kata Kepala BKSDA Aceh, Sapto Aji Prabowo.

Dari kegiatan FGD tersebut, semua pihak sepakat untuk melakukan aktivitas pengamanan bersama di Kawasan Konservasi Hutan Pinus Jantho. Adapun bentuk-bentuk kegiatan yang akan dilakukan antara lain yang bersifat Prevemtif, seperti upaya penciptaan kondisi yang kondusif dengan tujuan menentukan peran aktif masyarakat dalam pengamanan kawasan hutan dalam bentuk kegiatan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat akan pentingnya menjaga kawasan hutan konservasi.

Aktifitas lainnya yang akan dilakukan adalah langkah-langkah preventif, yakni kegiatan yang bertujuan untuk mencegah terjadinya gangguan keamanan, antara lain dengan membangun pos penjagaan, patroli secara rutin di kawasan konservasi.

Selain itu juga diharapkan proses penegakan hukum dapat dilaksanakan segera terutama untuk para pelaku kejahatan hutan dan lingkungan di kawasan Konservasi Hutan Jantho. Untuk itu peran aktif dan ketegasan pihak Kepolisian dan Kejaksaan sangat diharapkan.

Kegiatan FGD dihadiri oleh para pemangku kepentingan dan pelaku penegakan hukum seperti Pimpinan dan Staf BKSDA Aceh, Balai Penegakan Hukum (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Dinas LHK Aceh, KPH Wilayah I, Perwakilan Polda Aceh, Kodim 0101/AB, Polres Pidie dan Polres Aceh Besar, Polsek dan Koramil Jantho, Jantho Rangers, serta beberapa unsur NGO/LSM konservasi seperti FKL, FFI, HAkA dan YEL-SOCP.[acl]

read more
Hutan

Save Sumatra Tiger Save Leuser Forest

Occupying only 1.3% of the world’s land surface, Indonesia is one of the world’s wealthiest nations regarding its biodiversity. Similarly, Aceh is also one of the enriched biodiversity province not only Sumatra but also Indonesia. Aceh province still has relatively entire remaining forest areas, the bulk of which lie within the Leuser Ecosystem, a 2.6 million hectare area of forest which dominates the core inland and upland areas of Aceh. Scientists and conservationists consider the Leuser Ecosystem to be among the most critical woods left in Southeast Asia, mainly because it is the last place of sufficient size and quality to support viable populations of rare species like Sumatran tigers, orangutans, rhinos, elephants, clouded leopards and sun bears. At least 105 mammal species, 382 bird species, and 95 reptile and amphibian species, including clouded leopards, hornbills and the enormous flowers in the world, can be found in the teeming forests of the Leuser Ecosystem. Formerly known as the “Emerald Island,” Sumatra’s once lush forest landscapes are now mostly gone, destroyed by decades of industrial encroachment. The Leuser Ecosystem is genuinely the last stand for survival for many treasured and iconic wildlife species. These ecosystem services are also recognized as essential for sustaining food and water security, by regulating water flows in both the monsoon and drought seasons, to irrigate rice fields and other cash crops, such as palm oil.

However, Tiger, symbol of the beast and beauty, is a threatened species worldwide. Recent estimate shows that tigers only occupy 7% of their historic Asian range and about 4000 are left in the wild (Dinerstein et al. 2007). Tiger stands at the top of the food pyramid and thus requires large areas to support its viable populations which in turn help to protect wide array of biodiversity that shares their habitat. Loss of tiger, therefore, may reduce ecosystem integrity through disrupting food web and consequently erode ecosystems’ natural ability to adapt to changing environmental conditions. Similarly, the Sumatran tiger (Panthera tigris sumatrae) is a tiger population that lives on the Indonesian island of Sumatra. It was listed as Critically Endangered on the IUCN Red List in 2008, as the population was estimated at 441 to 679 individuals, with no subpopulation larger than 50 individuals and a declining trend.

The Sumatran tiger is the only surviving population of the Sund Island’ group of tigers that included the now extinct Bali and Javan tigers. Sequences from complete mitochondrial genes of 34 tigers support the hypothesis that Sumatran tigers are diagnostically distinct from mainland subspecies. The Sumatran tiger is one of the smallest tigers, and about the size of big leopards and jaguars. Charles Frederick Partington, a scientist, wrote that Sumatran and Javan tigers were strong enough to break legs of horses or buffaloes with their paws, even though they were not as heavy as Bengal tigers. Sumatran tiger’s skull, pelage, and striping features are distinct from the Bengal and Javan tigers. It is darker in fur color and has broader stripes than the Javan tiger. Strips tend to dissolve into spots near their ends, and on the back, flanks and hind legs are lines of small, dark, small spots between regular stripes. The frequency of strips is higher than in other subspecies. Males have a prominent ruff, which is primarily marked in the Sumatran tiger.

Tigers need large contiguous forest blocks to thrive. Sumatran tigers strongly prefer uncultivated forest and make little use of plantations of acacia and oil palm even if these are available. Within natural forest areas, they tend to use areas with higher elevation, lower annual rainfall, farther from forest edge, and closer to forest centers. They prefer forest with dense understory cover and steep slope, and they actively avoid forest areas with high human influence in the forms of encroachment and settlement. Major threats include habitat loss of tiger due to expansion of palm oil plantations and planting of acacia plantations, prey-base depletion, and illegal trade primarily for the domestic market.

Moreover, Sumatran tigers persist in isolated populations across Sumatra. They occupy a wide array of habitats, ranging from sea level in the coastal lowland forest of Bukit Barisan Selatan National Park on the southeastern tip of Lampung Province to 3,200 m (10,500 ft) in mountain forests of Gunung Leuser National Park in Aceh Province. They have repeatedly been photographed at 2,600 m (8,500 ft) in a rugged region of northern Sumatra, and are present in 27 habitat patches larger than 250 km2 (97 sq mi). In 1978, the Sumatran tiger population was estimated at 1,000 individuals based on responses to a questionnaire survey. In 1985, a total of 26 protected areas across Sumatra containing about 800 tigers were identified. In 1992, an estimated 400–500 tigers lived in five national parks and two protected areas.

The presence of tigers in the forest is an indicator of the well being of the ecosystem. The extinction of this top predator is an indication that its ecosystem is not sufficiently protected, and neither would it exist for long after that. Healthy tiger habitats help mitigate climate change, provide fresh water to animals and people, reduce the impact of natural disasters, and improve the health of local people. Therefore, Sumatra tiger not only protects our ecological balance but also it protects Leuser Ecosystem as well other Sumatra forest from illegal cutting of trees, other wildlife, and living organism. Lastly, it has been said that to preserve our biodiversity conserve tiger from all possible threats and make our earth sound. []

Writer is a Bangladesh student who join Darmasiswa program at at Syiah Kuala University

read more
Flora FaunaKebijakan Lingkungan

Pameran Foto “Ancaman dan Kerusakan Lingkungan Aceh”

Memperingati hari Bumi, Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) mengadakan pameran photo, orasi penyelamatan lingkungan serta penanaman pohon. Pameran photo menampilkan sedikitnya 40 frame photo yang menceritakan ancaman dan kerusakan lingkungan di Aceh. Peserta pameran ini merupakan jurnalis yang konsen meliput isu-isu lingkungan.

Pameran yang berlangsung satu hari, Sabtu (21/4/2018) dilaksanakan di pasar Aceh, Jalan di Diponegoro Kota Banda Aceh. Forum Jurnalis ini juga mengundang dan melibatkan sejumlah aktifis serta organisasi lingkungan untuk memberikan orasi penyelamatan lingkungan dari Ancaman dan Kerusakan yang kerap terjadi di Aceh. Wakil Gubernur Aceh, Nova Irwansyah, turut menghadiri pameran tersebut.

Ketua Panitia Ratno Sugito menyerahkan foto kepada Wagub Aceh Nova Iriansyah | Foto: Humas Pemerintah Aceh

Ratno Sugito selaku Ketua penyelenggara kegiatan mengatakan pameran foto yang menampilkan kawasan hutan, permburuan satwa serta ancaman bencana alam merupakan rangkaian memperingati hari bumi tanggal 22 April 2018.

“Bukan hanya pameran dan orasi tentang lingkungan yang kita selenggarakan, puncaknya akan dilaksanakan penanaman pohon di kawasan hutan Jantho,” kata Ratno Sugito.

Ia juga menyampaikan apresiasi kepada para fotografer dengan ikhlas menyerahkan karyanya pada kegiatan tersebut. “Ini bentuk perhatian jurnalis dalam menyampaikan fakta yang kerak mengancam kehidupan masyarakat Aceh bila alam di rusak”, tambah Ratno.

Pengunjung menyaksikan pameran foto | Foto: Humas Pemerintah Aceh

Para fotografer yang ikut berpartisipasi pada pameran tersebut yaitu Chaideer Mahyuddi, Irwansyah Putra, Fendra Tryshanie, T Umar, Zulkarnaini Masri, Zikrimaulana, Hendrik, Ratno Sugito, Zian Mustakin, Yusriyadi, Khairul Syakban, Syifa Yulinnas, Boy Haki, Ariska, Eward, Khalis Surry dan Muhammad Ishak.

Seniman Aceh sedang melakukan aksi teatrikal memperingati Hari Bumi | Foto: Humas Pemerintah Aceh

Rangkaian kegiatan ini di dukung sepenuhnya, USAID Lestari, Mongabay, Infis, PFI, AJI, IJTI, Walhi Aceh, HaKA, FKL, Sekolah MJC, Aceh Flight Forum, Aceh Movie Maker, Aceh Bergerak, Tropical Sociaty, Hutan Wakaf, ACCI, WCS, Pasar Atjeh, Keliling Aceh, Denya Foto & Studio dan Inisiatif Membangun [rel].

read more
HutanKebijakan Lingkungan

Pemerintah Aceh dan Amerika Bahas Perlindungan TNGL

Banda Aceh – Konsul Amerika Serikat untuk Wilayah Sumatera, Juha P Salin didampingi Pejabat Khusus bidang Politik dan Ekonomi, Rachma Jaurinata, membahas isu lingkungan dan kawasan hutan Leuser yang selama ini menjadi perhatian dunia, Selasa (10/4/2018). Dalam pembahasan yang berlangsung di rumah dinas Wakil Gubernur Aceh ini, Juha menanyakan terkait isu pembangunan yang dilakukan di Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) yang telah menarik perhatian para aktivis lingkungan, LSM bahkan dari Unesco tersebut.

“Kita ingin mendengarkan langsung dari Pemerintah Aceh terkait isu pembangunan di kawasan Gunung Leuser,” kata Juha.

Pada kesempatan tersebut, Nova menegaskan Pemerintah Aceh sangat komit terhadap perlindungan kawasan hutan. Hal itu juga merupakan bagian dari program Aceh Green yang diusung Pemerintah Aceh.

“Tidak benar ada pembangunan di Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), yang ada peningkatan jalan yang sudah ada yang digunakan oleh masyarakat,” kata Nova.

Nova menyampaikan rencana pembangunan proyek geothermal di sekitar TNGL yang pernah direncanakan oleh Pemerintah Aceh sebelumnya juga sudah dibatalkan.

“Sudah menjadi kewajiban kita untuk menjaga Kawasan TNGL, karena itu bukan hanya milik kita, tapi juga milik dunia,” ujar Nova.

Pada kesempatan tersebut, Nova juga menyampaikan bahwa Pemerintah Aceh akan menjalin kerjasama pengelolaan hutan dengan Negara Bagian Amerika, Oregon.

“Kita akan deklarasi “sister forest” antara Aceh dan Oregon, tentunya nanti kita akan sama-sama belajar terkait manajemen dan perlindungan hutan,” ujar Nova. Dalam sebuah seminar lingkungan, Nova juga pernah menyatakan ingin masyarakat dunia terlibat mendanai perlindungan hutan di Aceh. Hal ini agar masyarakat di sekitar hutan tidak mencari nafkah dari merusak hutan.[rel]

read more
HutanKebijakan Lingkungan

UNESCO Sebut TNGL Dalam Bahaya

BANDA ACEH – Reactive Monitoring Mission (RMM) International Union for Conservation of Nature and Natural Resource (IUCN) Unesco, Peter Howard menyebutkan Tropical Reinforest Heritage Sumatera (TRHS) merupakan 1 dari 240 warisan dunia yang ditetapkan oleh Unesco.

Sejak ditetapkan sebagai TRHS, kawasan ini terus mengalami kemunduran, sehingga Unesco menetapkannya dalam bahaya. Hal ini berimbas pada keharusan pemerintah RI melakukan kegiatan yang berkaitan dengan perbaikan kerusakan tersebut.

“Lima tahun lalu RMM juga sudah datang untuk mengidentifikasi masalah dan mencari pemecahan terhadap masalah tersebut. Sekarang setelah 5 tahun berjalan kita akan melihat, bagaimana proses perbaikan dari rekomendasi tersebut dilakukan,” kata Peter Howard dalam pertemuan dengan Wakil Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, Jumat (6/4/2018).

Peter menjelaskan, pihaknya akan melihat apakah target-target yang telah ditetapkan 5 tahun lalu masih realistis untuk dicapai atau harus diubah. Tim siap membantu jika target tersebut belum tercapai.

“Kita siap meminta bantuan komunitas internasional untuk datang dan turut membantu,” ucap Peter.

Untuk memastikan perkembangan TNGL dan khususnya KEL,  Asisten Deputi Warisan Budaya Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Pamuji Lestari menjelaskan, tim akan beraktivitas di beberapa taman nasional di Sumatera selama 12 hari. Ini dilakukan agar warisan dunia yang ada di Indonesia dapat dijadikan sebagai potensi.

“Benar ada dana yang dikeluarkan untuk pemeliharaan, tetapi taman nasional harus pula didorong menjadi potensi ekonomi bagi masyarakat sekitar, terutama menggerakkan sektor pariwisata,” tukasnya.

Untuk diketahui, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 190/KPTS-II/2000, luas KEL mencapai 2.255.577 hektar, yang terbagi atas lokasi TNGL seluas 26,72 persen, Kawasan Taman Buru seluas 1,29 persen, Suaka Marga Satwa seluas 4,54 persen, Hutan Lindung 41,75 persen, Hutan Produksi 11,24 persen, dan Areal Penggunaan Lain (APL) seluas 14,46 persen.

KEL merupakan kawasan hutan tropis yang memiliki peran besar sebagai penyimpan cadangan air, pengendali iklim mikro, dan penyerap karbon. Sedikitnya terdapat 105 spesies mamalia, 382 spesies burung, dan 95 spesies reptil dan amfibi hidup di kawasan itu.

“KEL merupakan tempat terakhir di Asia Tenggara yang memiliki ukuran dan kualitas untuk mempertahankan populasi spesies langka. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menegaskan, pengelolaan KEL merupakan tanggungjawab Pemerintah Aceh. Namun, otoritas Aceh hanya sebatas pada kawasan hutan lindung dan hutan produksi,” kata Wakil Gubernur Aceh, Nova Iriansyah.

Sedangkan TNGL, pengelolaannya berada di bawah koordinasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser. TNGL harus bersih dari segala aktivitas yang mengganggu kegiatan konservasi.

“Jika ada isu mengatakan akan ada pembangunan jalan dan pembangkit listrik di wilayah TNGL, itu sama sekali tidak benar. Melalui program Aceh Green, Pemerintahan Aceh periode 2017-2022 kembali menjadikan pelestarian KEL sebagai salah satu prioritas, sebagai bagian dari pembangunan Aceh berwawasan lingkungan dan sensitif bencana,” tegas Nova.

Sebagaimana diketahui, dalam rangka mencegah terjadinya deforestasi dan degradasi hutan, Pemerintah Aceh telah menetapkan beberapa kebijakan strategis, di antaranya merekrut tenaga kontrak untuk pengamanan hutan (Pamhut) sebanyak 2.000 orang, yang bertugas untuk menjaga kelestarian KEL.

“Saat ini jumlah Pamhut yang direkrut Pemerintah Aceh pada tahun 2007/2008 hanya tersisa sebanyak 1.800 orang. Sebagian yang lain telah mengundurkan diri setelah mendapat pekerjaan lain,” ungkap Nova.

Tidak hanya merekrut Pamhut, melalui Instruksi Gubernur Nomor 5 tahun 2007 tentang Moratorium Logging, Pemerintah Aceh melarang semua aktivitas penebangan di kawasan hutan negara, disusul keluarnya kebijakan moratorium izin tambang dan mineral di tahun 2015, dan moratorium perkebunan kelapa sawit pada tahun 2016.

Selain itu, ada pula Qanun Nomor 19 tahun 2013 tentang RTRW Aceh 2013-2033, yang semakin menegaskan pentingnya pencegahan dan perlindungan hutan di wilayah ini.

Kebijakan ini diperkuat pula dengan hadirnya Qanun Aceh Nomor 7 tahun 2016 tentang Kehutanan Aceh.

Ada pula Peraturan Gubernur Aceh Nomor 20 tahun 2016 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Aceh, serta Peraturan Gubernur Aceh Nomor 10 tahun 2017 tentang Penanganan Konflik Terunial dalam Kawasan Hutan.

Sedangkan dalam hal perlindungan satwa, telah ada Keputusan Gubernur Aceh tentang Pembentukan Satuan Tugas Penanggulangan Konflik Manusia dan Satwa. Saat ini, Keputusan Gubernur tersebut sedang dalam proses peningkatan menjadi qanun.

“Dengan berbagai kebijakan yang telah dilakukan Pemerintah Aceh itu, bukan berarti semuanya dapat menjamin kalau perlindungan dan pengawasan KEL berjalan dengan sempurna. Dengan wilayah yang begitu luas, Pemerintah Aceh tentu tidak mampu melakukan pengawasaan secara menyeluruh. Tidak heran jika aksi-aksi illegal logging masih terjadi di kawasan itu,” kata Wagub.

Pada tahun 2011, Unesco menempatkan TNGL dalam status World Heritage in Dangered. Status ini merupakan peringatan untuk memberi perhatian lebih pada upaya pelestarian dan pengawasan di KEL dan TNGL.

“Semoga proses monitoring dan evaluasi yang akan berlangsung sukses. Harapan saya, melalui pertemuan ini kita dapat membahas langkah-langkah pelestarian ekosistem TNGL yang lebih komprehensif, sehingga peran KEL sebagai paru-paru dunia tetap berjalan dengan baik,” tutupnya.[acl]

read more
HutanKebijakan Lingkungan

Wagub Aceh Pastikan Tak Ada Pembangunan Infrastruktur di TNGL

BANDA ACEH – Pemerintah Aceh berkomitmen untuk melestarikan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Salah satu komitmennya adalah selama kepemimpinan Gubernur-Wakil Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah tidak ada pembangunan insfrastruktur apapun dalam kawasan tersebut.

Penegasan itu disampaikan Nova Iriansyah saat menerima kunjungan para pemangku kebijakan Tropical Rainforest Heritage dari Reactive Monitoring Mission (RMM) Tim International Union for Conservation of Nature and Natural Resource (IUCN) Unesco. Hadir juga Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, di ruang rapat Meuligoe Wakil Gubernur Aceh, Jum’at (7/4/2018).

Pada kesempatan itu, Nova menyebutkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh selama 5 tahun ini tidak ada pembangunan apapun, demi menjaga dan merawat warisan dunia yang sudah ditetapkan oleh Unesco.

“Tidak ada pembangunan infrastruktur Aceh di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Tidak ada suatu upaya sistemik dari Pemerintah Aceh untuk merusak TNGL dan Kawasan Ekosistem Leuser. Silahkan Tim RMM IUCN Unesco melihat lebih dekat,” kata Nova Iriansyah.

Nova berharap pertemuan hari ini dapat merumuskan suatu keputusan yang baik, terutama dalam mengembalikan status Tropical Reinforest Heritage Sumatera, yang saat ini masuk kategori warisan alam dalam keadaan bahaya.

“Sebagai Kepala Pemerintahan Aceh, saya tentu menyambut antusias pertemuan ini, mengingat TNGL merupakan Tropical Reinforest Heritage Sumatera yang telah mendapat pengakuan dari UNESCO sebagai warisan alam dunia. Mudah-mudahan melalui pertemuan ini, upaya pelestarian dapat kita tingkatkan, sehingga TNGL tidak lagi dikategorikan sebagai warisan alam dalam keadaan bahaya atau World Heritage in Dangered,” sebutnya.

Rencana pemerintah sebelumnya berencana membangunan geothermal di kawasan Gayo Lues, Nova menyebutkan rencana sudah dibatalkan. “Dapat saya konfirmasi bahwa rencana tersebut telah dibatalkan, saya sudah berbicara dengan Pak Gubernur. Namun geothermal di Jaboy, Seulawah dan Burni Telong tetap berjalan,” jelasnya.

Dalam kesempatan tersebut, Wagub juga mengimbau komunitas internasional untuk terus berkomitmen melestarikan Leuser. Lebih dari itu, komunitas internasional diharapkan mampu memberikan perhatian khusus kepada masyarakat yang dalam aktivitas kesehariannya bersinggungan langsung dengan KEL dan TNGL.

“Kelestarian KEL dan TNGL sangat penting, namun keberlangsungan hidup masyarakat yang selama ini aktivitasnya bersinggungan langsung dengan wilayah tersebut juga harus mendapatkan perhatian serius dari semua pihak,” tambah Nova.

Kepala Badan Perencanan Pembangunan Aceh, Azhari yang turut hadir dalam pertemuan tersebut mengungkapkan, tidak ada jalan baru yang dibangun oleh Pemerintah Aceh di areal TNGL. Akan tetapi yang ada dilakukan oleh pemerintah dari jalan berbatu hanya ditingkatkan menjadi aspal.

“Peningkatan jalan yang kita lakukan adalah untuk membuka akses masyarakat yang selama ini terisolasi karena buruknya kualitas jalan, sehingga berbagai produk pertanian mereka yang memiliki potensi ekonomi dapat tersalur dengan baik,” jelasnya.

Sementara itu Koordinator Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) Aceh, TM Zulfikar mendukung komitmen Pemerintah Aceh dalam melestarikan dan melindungi Kawasan Eksosistem Leuser, termasuk Taman Nasional yang ada di dalamnya. Namun tentunya komitmen tersebut harus benar-benar diwujudkan dalam aksi nyata di lapangan.

“Janji-janji dan komitmen juga pernah disampaikan oleh Pemerintah Aceh terdahulu, namun kenyataannya janji tinggal janji, sedangkan kerusakan di KEL terus saja terjadi,” ungkap TM Zulfikar.

Untuk itu, sebut TM Zulfikar, pihaknya menunggu program dan kegiatan konkrit di lapangan. Segera efektifkan berbagai kebijakan yang saat ini sedang berlaku, seperti kebijakan Moratorium Logging, kebijakan Moratorium Izin Pertambangan serta kebijakan Moratorium Izin Kelapa Sawit. Karena berbagai kebijakan yang ada tersebut sebagian besar masih belum dijalankan secara baik.

“Selain itu jika memang benar berkomitmen melestarikan kawasan KEL, maka sudah selayaknya Eksekutif bersama Legislatif melakukan revisi Qanun RTRW Aceh dan memasukkan nomenklatur KEL ke dalam Qanun tersebut,” tegas Pakar Konservasi Lingkungan tersebut.

Bila dilihat dalam beberapa tahun terakhir, TM Zulfikar melihat kerusakan hutan dan lahan di Aceh masih terus berlangsung. Sehingga dengan kerusakan hutan Aceh (termasuk KEL) telah menyebabkan berbagai kejadian bencana di Aceh, seperti banjir, kekeringan dan tanah longsor, serta meningkatnya konflik satwa dan manusia di Aceh.

“Untuk itu mari segera efektifkan dan jalankan program Aceh Green di Aceh dengan melibatkan semua elemen yang ada, termasuk LSM dan masyarakat setempat,” tutupnya.[acl]

read more
Kebijakan LingkunganRagam

Pakar Diskusikan Respons Pemerintah Aceh Terkait Pengurangan Resiko Bencana

Banda Aceh  – Forum Pengurangan Risiko Bencana (F-PRB) Aceh menggelar diskusi publik bertema Mengenali Potensi Bencana, Mengurangi Risikonya, di Aula Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Gampong (DPMG) Aceh di Banda Aceh, Senin 25 Desember 2017 lalu.

Ketua Panitia Pelaksana, Ir TM Zulfikar MP yang juga Wakil Ketua F-PRB Aceh mengatakan, diskusi tersebut menghadirkan HM Nasir Jamil SAg MSi (anggota Komisi Hukum DPR RI Fraksi PKS) sebagai keynote speaker. Ikut mendampingi Nasir Jamil pakar bencana dari Aceh, Dr Taqwaddin SH SE MSi (Ketua Dewan Pakar F-PRB Aceh/Kepala Ombudsman RI Perwakilan Aceh) dan Mukhsin Syafi’i ST MT (BPBA).

Menurut Zulfikar, diskusi publik yang dimoderatori oleh Yarmen Dinamika (Redpel Harian Serambi Indonesia yang juga Wakil Ketua Forum PRB Aceh) juga menghadirkan narasumber Kepala DPMG Aceh, Prof Dr Ir Amhar Abubakar MSc yang akan mengupas soal bisa tidaknya pengalokasian dana desa untuk program yang terkait pengurangan risiko dan penanggulangan bencana.

Peserta aktif diskusi publik tersebut, lanjut Zulfikar adalah keuchik/aparat gampong dan perwakilan tokoh perempuan dari desa-desa yang rawan bencana di wilayah Kota Banda Aceh dan Aceh Besar. Peserta diskusi diharapkan akan menceritakan berbagai pengalaman mereka ketika masa darurat pascabencana serta upaya apa saja yang dilakukan pemerintah selama ini sebagai bentuk edukasi pengurangan risiko bencana. “Diskusi ini menjadi penting jika dikaitkan dengan target Pemerintah Aceh di bawah kepemimpinan Irwandi-Nova untuk menjadikan Aceh teuga dan tangguh menghadapi bencana,” kata Zulfikar.

Berbagai informasi yang berkembang di forum diskusi akan ditanggapi langsung oleh Nasir Jamil bersama pakar-pakar kebencanaan termasuk Kepala DPMG Aceh yang secara khusus akan memberikan penjelasan kepada para keuchik mengenai pengelolaan dana gampong termasuk untuk program pengurangan risiko bencana seperti untuk penguatan komunitas masyarakat dan desa siaga bencana, simulasi penanggulangan bencana, dan berbagai program lainnya yang disesuaikan dengan tujuan membentuk masyarakat Aceh teuga dan tangguh bencana.(rel)

read more
1 2 3 4
Page 2 of 4