close

adat

Ragam

Antara Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan

Saat aktif di sebuah lembaga lingkungan nasional, kacamata yang saya gunakan kebanyakan adalah “kacamata kuda”. Saya melihat juga sebagian teman-teman lain sesama aktivis memakai kacamata yang sama. Sekedar mengingatkan “kacamata kuda” adalah sebuah istilah yang artinya melihat sesuatu fenomena dengan satu perspektif  atau sisi saja tanpa melihat faktor-faktor lain yang sebenarnya berpengaruh terhadap fenomena tersebut. Lawan kacamata kuda adala holistik atau keseluruhan. Jadi apa maksudnya?

Sebagai aktivis lingkungan, maka hal yang lumrah jika kami melihat peristiwa dengan perspektif lingkungan pula. Jika kami melihat sebuah fenomena kerusakan lingkungan maka kajian yang dilakukan hanyalah berdasarkan sudut pandang lingkungan semata atau an sich lingkungan. Sudah paham? Kayaknya berputar-putar ya. Maksudnya seperti inilah, jika ada kerusakan hutan, maka hal ini adalah perbuatan yang salah karena dalam ilmu lingkungan hal ini bisa merusak ekosistem yang terdapat dalam hutan. Contoh lain adalah hutan adalah sebuah kawasan yang tidak boleh diganggu gugat karena dianya berperan penting dalam kehidupan. Contoh lebih sederhana lagi bisa jadi adalah kebiasaan membuang sampah sembarangan. Jika masih ada yang membuang sampah sembarangan maka hal ini sering dikaitkan dengan keberadaan tong sampah semata. Padahal sebuah peristiwa banyak terkait dengan fenomena lain.

Manusia dalam kehidupannya sehari-hari sangat terkait dengan hal-hal lain. Semuanya sangkut menyangkut, ada urutan prioritas dan terkadang tak bisa dibolak balik. Misalnya saja menyangkut perilaku manusia. Jika ingin manusia berperilaku baik maka kepada yang bersangkutan haruslah diberi pendidikan budi pekerti. Tanpa mendapat pendidikan moral maka manusia tersebut mustahil bisa mempunyai akhlak yang bagus. Jadi bukan tunggu manusia tersebut memiliki akhlak yang baik dulu maka dia mendapat pendidikan. Tapia da juga hal-hal yang bisa dibolak-balik atau bahkan tidak berurutan. Misalnya apakah seseorang harus sekolah dulu baru bisa kaya? Atau kaya dulu baru bisa sekolah? Dalam kehidupan nyata tidak mesti berurutan sepertinya.

Kembali ke persoalan lingkungan untuk menganalisis lebih jauh fenomena lingkungan. Banyak sekali program lingkungan yang diluncurkan oleh berbagai pihak. Ada program yang diluncurkan untuk perlindungan satwa, program untuk mengatasi pencemaran sampah, program untuk mereboisasi hutan, program untuk mencegah pemanasan global dan sebagainya. Program ini menghabiskan dana yang tidak sedikit, miliaran dan didukung oleh lembaga-lembaga besar.  Tapi sayangnya program ini banyak yang keberhasilannya tidak sebanding dengan besarnya dana dan waktu yang telah dihabiskan untuknya. Ketika program selesai maka selesai pula lah kegiatan pelestarian lingkungan tersebut. Perilaku manusianya kembali seperti semula seolah-olah tak pernah ada program tersebut sebelumnya.

Sebagian berasalan bahwa masyarakat sibuk dengan urusannya mencari nafkah alias menjalankan aktivitas ekonominya. Sebagian lagi berpendapat bahwa program tersebut tidak menyentuh aspek sosial kemasyarakatan. Sebagian lagi menyatakan bahwa lingkungan memang sudah rusak sehingga sangat sulit untuk memperbaiknya seperti sedia kala. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan, mana yang lebih penting atau prioritas, ekonomi, sosial atau lingkungan?

Bagi pendukung ekonomi, maka kesejahteraan masyarakat terlebih dahulu harus ditingkatkan. Masyarakat butuh sandang, pangan dan papan. Bagaimana mereka bisa hidup tenang jika tiga kebutuhan pokok ini tidak terpenuhi? Jadi biarkan dulu masyarakat menebang hutan, menambang pasir, mengeruk gunung, menjual sawahnya dan sebagainya  demi hidup. Nanti jika sudah sejahtera maka orang-orang dengan sendirinya akan menjaga lingkungannya.

Bagi yang mengutamakan kehidupan sosial atau budaya menyebutkan bahwa budaya sangat penting dalam menegakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat. Hal ini sudah dilakukan nenek moyang kita selama berates-ratus tahun dan berhasil dalam melestarikan lingkungan. Budaya masyarakat yang menyatu dengan alam merupakan modal dasar yang kuat untuk melestarikan lingkungan. Budaya masyarakat dari dulu sudah mengajarkan bagaimana melestarikan lingkungan seperti larangan membuka hutan, larangan menebang pohon yang dekat dengan mata air, larangan melaut setiap hari jumat dan sebagainya. Tradisi ini memang semakin lama semakin terkikis oleh budaya global yang masuk ke setiap lapisan masyarakat Indonesia.

Sementara kelompok pegiat lingkungan mati-matian mengusung idenya untuk tetap memprioritaskan lingkungan terlebih dahulu. Jika lingkungan lestari maka kehidupan manusia dengan mudah akan menjadi sejahtera. Alam yang asri akan memberikan banyak manfaat bagi makhluk hidup sekitarnya, bukan hanya manusia semata. Air bersih, udara segar dan tanah yang subur merupakan kekayaan alam yang tak ternilai harganya bagi manusia.Tapi ide ini walau kelihatannya sangat ideal namun pelaksanaannya sangat sulit karena berkejaran dengan pembangunan ekonomi yang serakah.

Masih ada satu aliran lagi yang menyatakan bahwa tiga hal diatas harus dilaksanakan secara paralel atau bersamaan. Taka da satu sisi yang ditinggalkan alias harus komprehensif pelaksanaannya. Terlebih manusia Indonesia adalah manusia yang sangat kuat ikatan sosialnya. Namun lagi-lagi hal ini bukanlah hal yang mudah dalam penerapannya. Dalam pelaksanaannya ada keterbatasan-keterbatasan  yang menjadi tantangan yang tidak mudah diselesaikan.
Kajian mana yang lebih dahulu ekonomi, sosial atau lingkungan sampai hari ini belum tuntas. Aliran terakhir sepertinya bisa menjadi solusi dalam gerakan pelestarian lingkungan di Indonesia. Memang bukan hal yang mudah namun dengan kerja sama, koordinasi dan penggunaan teknologi yang tepat Insya Allah tantangan-tantangan di lapangan dapat diselesaikan. Taka da gading yang tak retak. Mari kita cari gading yang retaknya paling halus.[]

read more
Ragam

Awig-awig, Kearifan Warga Lombok Menjaga Perikanan

Penerapan awig-awig di Lombok Barat dan Lombok Timur dalam pengelolaan perikanan dapat melindungi nelayan tradisional dan menjaga budaya lokal yang terkait dengan perikanan. Penerapan awig-awig didasari oleh kesadaran masyarakat terhadap praktek penangkapan ikan yang merusak terjadi dan berdampak pada kehidupan mereka. Awig-awig juga telah menjadi aturan tertulis dalam pengelolaan perikanan di wilayah tersebut untuk menjaga laut mereka. Awig-awig merupakan aturan yang dibuat berdasarkan kesepakatan masyarakat untuk mengatur masalah tertentu untuk memelihara ketertiban dan keamanan dalam kehidupan bermasyarakat.

Demikian hasil kunjungan lapangan peserta Kegiatan Regional ICCA Knowledge Sharing and Capacity Building Event pada Rabu, 19 Agustus 2015 kemarin ke Jerowaru, Telok Jor, Lombok Timur. Pertemuan ICCA (Indigenoues People’s Community Conserved Area and Territories/ Wilayah dan Perbatasan Komunitas Terkonservasi milik Masyarakat Adat ). South East Asia Knowledge Sharing and Capacity Building sendiri dilaksanakan di Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat dari tanggal 17 Agustus hingga 22 Agustus 2015.

“Kearifan lokal masyarakat penting untuk dihargai. Mempelajari sejarah menjadi penting bagi masuarakat adat dalam menentukan kearifan local. Menghargai sejarah menjadi penting untuk menentukan masa depan masyarakat adat,” ungkap Grazia Borrini-Feyerabend, Global Coordinator ICCA dalam Workshop ICCA South East Asia Knowledge Sharing and Capacity Building Event di hari kedua (19/8).

“Sebelum kita mempelajari ICCA’s, kita harus mengerti sejarah mereka. Disana kita bisa mempelajari kearifan lokal mereka, dan menghargai pengertian kolektif mereka seperti ada peraturan dan denda adat yang bertujuan untuk konservasi wilayah mereka,” sambung Grazia.

Sementara itu, Temenggung Grip dari Suku Rimba, yang tinggal di hutan Taman Bukit Dua Belas, Jambi menyampaikan bahwa Suku Rimba sangat bergantung dengan alam, terutama hutan. Suku Rimba harus menjaga hutan dan lingkungan tempat mereka tinggal dengan beberapa peraturan yang harus ditaati oleh seluruh masyarakat Suku Rimba dan pendatang di hutan Bukit Dua Belas. Jika ada yang melanggar, seperti menebang pohon yang sudah dikeramatkan, maka dia harus membayar dendan dengan kain adat. “Larangan dan denda ini dibuat semata-mata untuk menjaga ekosistem kita,” sambung Temenggung Grip.

Sutej Hugu, peserta dari Taiwan memaparkan bahwa di Taiwan ada peraturan-peraturan tertentu untuk konservasi alam mereka. Ada peraturan tentang beberapa ikan tertentu saja yang harus dimakan oleh laki-laki atau perempuan. “Hal ini diberlakukan untuk menjaga ekosistem laut menjadi terjaga, karena tidak semua ikan yang kami miliki di laut dikonsumsi,” kata Sutej.

Konservasi masyarakat adat merupakan bentuk keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungan di ICCA Consortium. “ICCA bisa disebutkan sebagai model pengelolaan kawasan sumber daya alam berbasis kearifan lokal,” kata Catharina Dwihastarini, Koordinator Nasional Global Environment Facility, Small Grant Programme (GEF SGP) Indonesia.

Sejalan dengan kegiatan ICCA ini, GEF SGP Indonesia telah berkomitmen mendukung kegiatan komunitas adat yang dapat megelola sumber daya alamnya dan kearifan lokal menjadi berdaya. Karena komunitas adat itu bisa berdaya dan berkembang jika mereka juga sudah bisa menghasilkan suatu produk-produk dengan memanfatkan hasil alam yang mereka punya. “Menjadi penting jika kita bicara masyarakat adat, kita harus menjunjung dan melindungi keanekaragamanhayati yang ada di sekitar mereka. Sehingga mereka dapat hidup tenang di wilayah mereka, dan bisa memanfaatkan kearifan lokal untuk penghidupan mereka,” sambung Catharina. [rel]

read more
Ragam

JKMA Aceh Barat Selenggarakan Workshop Asset Mukim

Pemerintah Kabupaten Aceh Barat memberikan dukungan dan apresiasi kepada Jaringan Komunitas Masyarakat Adat Aceh  ( JKMA) Aceh terhadap penguatan Mukim di Kabupaten Aceh Barat. Hal ini dikatakan oleh bupati Aceh Barat melalui asisten I bidang pemerintahan Aceh Barat, Drs. Malik Raden, M.Si, dalam kegiatan Workshop Harta Kekayaan Mukim Kabupaten Aceh Barat, bertema,“ Mendorong upaya pengelolan Sumber Daya Alam berbasis kearifan Lokal ”. Kegiatan ini dilaksanakan oleh Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh bekerja sama dengan Pemerintah kabupaten Aceh Barat, 24 Agustus 2014 di Aula Hotel Meuligoe Aceh barat.

Kegiatan ini juga merupakan kegiatan yang sejalan dengan agenda pemerintah kabupaten Aceh barat dalam mengimplementasikan Qanun no 3 tahun 2010 tentang Pemerintahan Mukim di Kabupaten Aceh Barat, sehingga diperlukannya sinergi dan koordinasi dengan seluruh stakeholder yang ada di pemerintahan dan elemen masyarakat sipil dalam upanya penguatan mukim di Aceh Barat, kata Drs. Malik Raden, M.Si.

Koordinator Dewan Adat JKMA-Bumoe Teuku Umar, T. Adian mengatakan kegiatan workshop ini merupakan upaya JKMA Aceh membantu pemerintah dalam upaya penguatan mukim di Kabupaten Aceh Barat.

Pemerintah Kabupaten Aceh Barat sangat berkomitmen dan terus berupaya serta mendukung agar qanun no 3 tahun 2010 tentang pemerintahan mukim dan gampong dapat berjalan optimal. Disamping itu upanya pemerintah kabupaten Aceh Barat dalam membina dan mengembangkan potensi masyarakat adat akan terus dijalankan dan dalam Waktu Dekat akan disahkan Pemerintahan Mukim di Kecamatan Johan Pahlawan,  tambah Drs. Malik Raden, M.Si

JKMA Aceh sebagai salah satu stakeholder masyarakat akan terus mendorong kemandirian masyarakat adat Aceh agar tercipta masyarakat yang berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan bermartabat secara budaya, tutup Ketua Badan Pelaksana JKMA Aceh periode 2013-2017 Zulfikar Arma.[rel]

read more
Ragam

JKMA Aceh dan Pemkab Pidie Susun Qanun Masyarakat Adat

Pemerintah kebupaten Pide melalui Majelis Adat Aceh kabupaten Pidie melakukan koordinasi dengan Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh menyusun qanun tata kelola hutan adat Mukim dan gampong yang ada di kabupaten Pidie.

Sekretaris MAA Kabupaten Pidie, Adhari, S.Sos, Kamis (3/4/2014) mengatakan bahwa Masyarakat Adat atau Mukim mempunyai hak untuk mengelola dan memanfaatkan hutan sebagaimana diatur melalui Undang-undang maupun  qanun di Aceh dan di kabupaten Pidie. Hak-hak tersebut sebagaimana diatur dalam Qanun pemerintahan Mukim Kabupaten Pidie nomor 7 tahun 2011, pada Bab VI tentang harta kekayaan, pendapatan Mukim dan anggaran pendapatan dan belanja Mukim (APBM), pasal 21 “ harta kekayaan Mukim adalah harta kekayaan yang telah ada atau yang kemudian dikuasai Mukim, berupa hutan, tanah, batang air, kuala, danau, laut, gunung, paya, rawa dan lain-lain yang menjadi ulat Mukim sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” jelasnya.

Dengan adanya Surat Edaran dari Menteri Dalam Negeri nomor 522/8900/SJ tentang Pemetaan Sosial Masyarakat Hukum Adat, yang ditujukan kepada seluruh gubernur, bupati dan walikota di seluruh Indonesia untuk melaksanakan pemetaan keberadaan dan permasalahan sosial Masyarakat Hukum Adat (MHA) yang berada dalam kawasan hutan.

Atas dasar tersebut MAA kabupaten Pidie melakukan koordinasi dengan JKMA Aceh. Adhari mengatakan bahwa JKMA Aceh merupakan salah satu lembaga di Aceh yang konsen terhadap perjuangan hak-hak masyarakat adat dan penguatan institusi Mukim di Aceh. Ia berharap agar JKMA Aceh nantinya dapat membantu Pemerintah Kabupaten Pidie dalam melakukan kegiatan tersebut.

JKMA Aceh melalui Ketua Badan Pelaksana (Bapel), Zulfikar Arma, menyambut baik insiasi penyusunan qanun tersebut dan akan membantu pemerintah Kabupaten Pidie melaksanakan pemetaan keberadaan dan permasalahan sosial Masyarakat Hukum Adat yang berada dalam kawasan hutan. Saat ini JKMA Aceh bersama dengan JKMA Pidie telah melakukan pemetaan di Mukim Beunga, Kecamatan Tangse dan Mukim Kunyet di kecamatan Padang Tiji.

Koordinasi antara MAA kabupaten Pidie dengan JKMA Aceh dilakukan di ruangan kerja ketua MAA kabupaten Pidie, dihadiri Ketua Badan Pelaksana JKMA Aceh Zulfikar Arma, Ketua Badan Pelaksana JKMA Pidie Muktar, dan mewakili dari MAA Kabupaten Pidie adalah sekretaris MAA kabupaten Pidie Adhari,S.Sos. [rel]

read more