close

banjir

Perubahan Iklim

Musim Kemarau 2020 Lebih Singkat, Karhutla Bisa Ditekan?

Jakarta – Kemarau tahun 2020 diperkirakan akan berlangsung lebih singkat dibandingkan 2019. Berbagai langkah pencegahan dinilai akan mengurangi potensi kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.

Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Dwikorita Karnawati mengatakan, tahun ini kemarau panjang bukan terjadi karena fenomena el nino. Melainkan perbedaan suhu muka air laut.

Pada 2019, kondisi iklim sangat dipengaruhi oleh suhu muka air laut di Samudera Pasifik tengah dan Samudera Hindia, di barat daya Sumatra.

“Kemarau panjang bukan karena el nino. Namun yang terjadi adalah perbedaan signifikan antara suhu muka air laut Samudera Hindia di sebelah timur Afrika dengan sebelah barat daya Sumatra di mana yang ada di barat daya Sumatra lebih dingin,” katanya di BNPB, Senin (30/12/2019).

Kondisi tersebut kata dia membentuk muka air sehingga curah hujan menjadi terbatas. Sejak Juli-September 2019, kondisi langit menjadi tidak berawan sehingga mengalami musim kemarau berkepanjangan.

Akan tetapi tahun depan, kemarau diperkirakan berlangsung lebih singkat. Dia menyebut berdasarkan analisis BMKG dan juga NOA, el nino tahun depan cenderung netral sehingga fenomena itu tidak terjadi hingga Juni 2020.

“Kemudian juga tidak terdapat indikasi terjadi fenomena perbedaan suhu muka air laut sehingga suku muka air laut di perairan Indonesia normal sampai hangat hingga Juni 2020. Artinya tidak terjadi kemarau berkepanjangan dibanding 2019.

Kendati demikian dirinya mengingatkan wilayah Aceh dan Riau diprediksi mengalami kemarau dimulai pada Februari-Maret 2020, sehingga harus waspada kekeringan dan kebakahan lahan.

Sementara itu, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Letjen Doni Monardo mengatakan bawah kunci penanganan kebakaran hutan dan lahan mutlak harus dilakukan.

BNPB bersama kementerian lembaga akan mengembalikan fungsi gambut menjadi basah, berair dan rawa. Serta meminta masyarakat tidak membakar hutan dan lahan.

Imbauan tersebut diiringi dengan pemberian bantuan alat pertanian dan jenis tanaman yang bisa memberikan nilai ekonpmi bagi warga seperti Lidah Buaya, Nenas, Kopi Liberika, Aren serta Sagu sehingga warga tidak bergantung pada satu jenis komoditas.

“Soal kebakaran hutan lahan umumnya karena dibakar. Sebagian besar jadi perkebunan. Gambut itu fosil batu bara muda. Maka ketika kering, statusnya sama seperti batubara muda. Selama ini 99 persen [hutan] dibakar. 1 persen saja [karena faktor] alam,” terangnya.

Sumber: kabar24.bisnis.com

read more
Green Style

Catatan Walhi Aceh: Aktivitas Ilegal Faktor Utama Kerusakan Hutan

Banda Aceh – Berdasarkan catatan WALHI Aceh, dalam sepuluh tahun terakhir jenis bencana yang paling banyak terjadi di Aceh Tenggara adalah banjir. Pada tahun 2017 jumlah bencana banjir di Aceh Tenggara sebanyak sembilan kali, kemudian tahun 2018 tujuh kali. Sedangkan pada tahun 2011, WALHI Aceh tidak melakukan pencatatan bencana banjir. Jika kita total jumlah bencana banjir dalam sepuluh tahun terakhir (2010 – 2019) mencapai 37 kali.

Dalam rentan waktu tersebut, bencana banjir di Aceh Tenggara berdampak terhadap 9 jiwa meninggal dunia, 11 jiwa luka-luka, dan 38.722 jiwa menderita/mengungsi. Selian itu juga berdampak terhadap 443 rumah rusak berat, 171 rusak sedang, 1.319 rusak ringan, dan 2.659 terendam, serta berbagai dampak lainnya. WALHI Aceh memperkirakan dari sejumlah dampak tersebut, total kerugian akibat bencana Aceh Tenggara mencapai Rp.215.151.000.000,-

Bencana banjir di Aceh Tenggara tidak terlepas dari berbagai faktor penyebab yang harus menjadi perhatian bersama. Dari berbagai faktor yang ada, praktek aktifitas ilegal dalam kawasan hutan yang ada di daerah hulu merupakan faktor utama yang harus diselesaikan, seperti praktek ilegal logging dan perambahan. Berdasarkan data yang ada, lebih 50 titik terjadi ilegal logging di Aceh Tenggara.

Sedangkan upaya penegakan hukum, berdasarkan catatan WALHI Aceh dalam lima tahun terakhir, pada tahun 2019 ada 70 ton kayu ilegal disita dan ditangkap bersama 6 orang pelaku oleh aparat penegak hukum.

Upaya yang harus dilakukan adalah partisipasi masyarakat untuk memerangi kondisi ini. Apa yang dilakukan oleh para Penghulu Kute pada tahun 2018 dapat dijadikan pembelajaran penting dan sebagai bentuk respon positif dari masyarakat. Penghulu Kute melaporkan kasus perambahan dan ilegal logging kepada pemerintah setempat. Langkah seperti ini dapat dilakukan oleh semua komponen yang ada.(rel)

read more
Kebijakan Lingkungan

Bencana Berulang Di Aceh, Penegakan Hukum Dan Mitigasi Lemah

Banda Aceh – Hari ini, lebih dari satu miliar orang di 192 negara diperkirakan ikut dalam hari global aksi politik dan sipil bagi Bumi. Orang-orang akan melakukan berbagai aktivitas seperti event seminar, diskusi, aksi jalanan, berpawai, menanam pohon, membersihkan kota, taman, pantai, saluran air dan berbagai aktivitas lainnya – semua untuk menandai Hari Bumi 2019. Earth Day Network (EDN), Jaringan Hari Bumi, organisasi yang memimpin perayaan Hari Bumi di seluruh dunia, menetapkan tahun 2019 ini sebagai tahun untuk “Melindungi Spesies Kita.

Hari Bumi, secara umum, memunculkan kesadaran yang lebih besar terhadap masalah lingkungan. Jika tidak mampu memperbaiki, maka jangan merusak bumi. Pada hari bumi 22 April tahun ini mari mengajak siapa saja tanpa terkecuali untuk peduli kepada nasib bumi.

Hari bumi penting untuk diperingati dan mengapa kita harus peduli dengan nasib bumi, hal ini tidak lain karena kita semua perlu lebih sadar daripada hari-hari sebelumnya tentang perlunya kasih sayang dan perlindungan bagi lingkungan dan hutan kita. Orang Indonesia, tentunya kita di Aceh, seharusnya lebih memahami kerusakan lingkungan dan perubahan iklim daripada kebanyakan orang, karena kita menghadapinya setiap hari dan hidup penuh dengan berbagai konsekuensinya.

Bencana Banjir Berulang di Aceh Tenggara
Akhir tahun 2018 dan awal tahun 2019, Kabupaten Aceh Tenggara dilanda bencana banjir bandang berulangkali. Kejadian ini tentunya menimbulkan kekhawatiran dan keprihatinan kita semua. Koordinator Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) Aceh, Teuku Muhammad Zulfikar dalam siaran persnya, Senin (22/04/2019) menyebutkan banjir bandang pertama terjadi akhir tahun 2018 yaitu Senin (27/11) pukul 21.30 WIB melanda sejumlah desa di tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Badar, Ketambe dan Kecamatan Leuser. Akibatnya tiga rumah hanyut dan 40 lainya rusak.

Tiga hari kemudian, tepatnya Jum’at (30/11) sekitar pukul 19.30 WIB banjir bandang kembali melanda Desa Natam Baru Kecamatan Bandar dan Desa Kayu Metangur di Kecamatan Ketambe yag mengakibatkan belasan rumah rusak dan hanyut. Banjir bandang tersebut juga menutup akses jalan Aceh Tenggara dengan Sumatera Utara akibat jalan tergenang dan tertutup material batu dan pepohonan yang terbawa arus banjir bandang.

Banjir bandang selanjutnya terjadi pada Rabu (26/12) sekira pukul 21.00 WIB kali ini terjadi di Desa Suka Makmur Kecamatan Semadam. Terakhir banjir bandang kembali menerjang Desa Natam Baru Kecamatan Badar, terjadi pada minggu (30/12) sekitar pukul 21.30 WIB mengakibatkan belasan rumah rusak dan hanyut terbawa air, juga berdampak terhadap akses jalan yang menghubungkan Aceh Tenggara ke Sumatera Utara akibat material batu dan kayu gelondongan menutupi jalan.

Selanjutnya di tahun 2019, pada Selasa (19/1) telah terjadi banjir bandang kembali yang menyebabkan 19 Desa terendam banjir, masing-masing 8 Desa di Kecamatan Babussalam (Desa Kota Kutacane, Pulonas, Pulo Latong, Perapat Hulu, Perapat Titi Panjang, Kutacane Lama, Kutarih dan Gumpang Jaya), lalu 7 Desa di Kecamatan Lawe Bulan (Desa Pulonas Baru, Lawe Rutung, Pasie Gala, Bahagia, Kuta Galuh Asli, Perapat Timur, Pasir Bacang Lade), di Kecamatan Bambel sebanyak 3 Desa (Lawe Kiking, Bambel dan Bambel Gabungan) serta 1 Desa yakni Desa Natam di Kecamatan Ketambe. Kejadian ini telah menyebabkan 160 jiwa penduduk mengungsi dan dua Desa di Kecamatan Ketambe terjadi bencana erosi/tanah longsor yang menyebabkan terhambatnya jalur transportasi antara Kutacane dengan Blangkejeren. Lalu catatan YEL, kembali terjadi banjir bandang pada hari Jum’at (29/3) yang berasal dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Singkil dengan lokasi terdampak di Desa Lawe Kinga, Kecamatan Lawe Bulan, Kabupaten Aceh Tenggara.

Solusi; Penegakan Hukum dan Mitigasi
Dari seluruh kejadian banjir bandang tersebut, banyak material berupa batu-batuan dan kayu gelondongan yang terbawa oleh arus banjir bandang. Jelas sekali bahwa ternyata masih banyak dilakukan penebangan liar (illegal logging) di kawasan hutan sekitar DAS. Sehingga tidak ada cara lain, pihak-pihak yang bertangungjawab dalam hal penegakan hukum harus segera bertindak secara cepat dan cermat, jika tidak maka bukan tidak mungkin dalam waktu dekat ini jika kembali hujan maka banjir bandang pasti akan terjadi lagi.

Disamping itu upaya rehabilitasi dan reboisasi menjadi hal yang mendesak. Selain mendorong upaya penegakan hukum, proses mitigasi berupa pendekatan sosial kemasyarakatan juga perlu dilakukan dengan melibatkan masyarakat terdampak. Upaya rehabilitasi dan reboisasi hendaknya tidak dilakukan oleh pemerintah saja, tetapi pelibatan masyarakat setempat juga menjadi penting untuk menjadikan masyarakat sebagai pelaku utama upaya rehabilitasi dan reboisasi kawasan yang telah rusak.

Bencana yang terjadi secara beruntun di Aceh Tenggara dan juga di wilayah lainnya di Aceh, diakibatkan penggunaan ruang yang tidak mengindahkan kemampuan dan daya dukung lingkungan, sehingga menyebabkan akumulasi kerusakan yang terjadi terus menerus dan menyebabkan terjadinya bencana. Padahal kita tahu bahwa Aceh merupakan wilayah dimana ratusan DAS mengalir dari hulu hingga ke hilir di berbagai pelosok wilayah dari desa hingga ke kota.

Saat ini hampir seluruh wilayah DAS di Aceh telah mengalami kerusakan yang sangat parah yang diakibatkan oleh banyak faktor. Diantaranya masih maraknya berbagai aksi perambahan hutan dan penebangan kayu secara ilegal. Konversi lahan baik untuk kepentingan perkebunan skala besar maupun pertambangan, baik tambang skala kecil seperti galian C maupun pertambangan besar yang sangat ekstraktif.

Maraknya berbagai aksi perambahan hutan, dan penebangan kayu di luar prosedur, serta berbagai dampak akibat kebijakan pembangunan yang tidak ramah lingkungan. Oleh karena itu penting sekali para penegak hukum segera bersikap dan bertindak, disamping itu masyarakat dan seluruh komponen harus bahu membahu memberikan penyadaran berupa mitigasi akan betapa pentinggnya menjaga lingkungan dan hutan kita, agar bencana banjir dapat diminimalisir. Hal ini telah membawa kita pada sebuah arah dan tujuan bersama untuk menyelamatkan sumber-sumber kehidupan kita melalui penyelamatan bumi. Akankah kita mewariskan bencana untuk anak cucu kita, keputusannya ada pada diri kita masing-masing. Mari bersikap, karena alam atau bumi yang lestari bukan hanya untuk dinikmati saat ini saja, tapi juga untuk masa depan. Selamat Memperingati Hari Bumi Tahun 2019 (rel)

read more
Green Style

Banda Aceh Banjir, Aktivis: Walikota Sekarang Lebih Peduli Olahraga

Banda Aceh – Hujan deras yang melanda Kota Banda Aceh dalam beberapa hari ini telah menyebabkan sebagian besar wilayah kota mengalami banjir, terutama banjir genangan akibat tersumbatnya aliran air yang ada.

“Beda dengan beberapa tahun lalu, meskipun hujan deras, paling hanya beberapa wilayah yang tergenang, tapi sekarang hampir seluruh wilayah Kota Banda Aceh semuanya tergenang, bahkan di wilayah yang padat penduduk seperti di Kecamatan Syiah Kuala, Kecamatan Kuta Alam, Kecamatan Lueng Bata, dan di beberapa gampong di Kecamatan Kota Banda Aceh lainnya. Ini jelas sekali bahwa Walikota Banda Aceh saat ini kurang peka terhadap kondisi lingkungan yang terjadi hari ini,”ungkap TM Zulfikar, Wakil Ketua Forum Pengurangan Resiko Bencana (PRB) Aceh dan juga mantan Direktur Eksekutif WALHI Aceh.

Seharusnya Walikota sekarang lebih banyak bercermin dan belajar dari Mantan Walikota Banda Aceh terdahulu, alamarhum Mawardy Nurdin, yang begitu cekatan dan mampu menjadikan hampir seluruh wilayah Kota menjadi bebas banjir genangan. Namun miris rasanya dengan apa yang terjadi dengan Pemko Banda Aceh saat ini. Kok rasanya beliau lebih peduli dengan olahraga dibanding hal-hal lainnya menyangkut kepentingan publik?

“Maunya ya jangan begitu. Kota Banda Aceh kan sudah berkali-kali meraih penghargaan Adipura sebagai Kota yang ramah lingkungan dan bebas sampah. Seharusnya ini bisa terus dipertahankan hingga memperoleh Adipura Kencana sebagai prestasi terbesar bagi kota-kota besar yang ada di Indonesia. Saya imbau seluruh perangkat Pemko Banda Aceh untuk bisa bekerja serius, karena bagaimanapun Kota Banda Aceh menjadi contoh utama bagi Kota-kota lainnya di Aceh,”kata TM Zulfikar.

Janganlah Pak Walikota kita ini Ngacir saat terjadi Banjir. Namun segeralah singsingkan lengan baju, lipat celana dan mari bersama-sama relawan dan seluruh warga Kota Banda Aceh kita bergotong royong membersihkan drainase, dan seluruh saluran yang tersumbat. Semoga pada saat hujan lebat berikutnya Kota Banda Aceh selamat dari banjir genangan.

read more
Ragam

Pilkada & Kerusakan Lingkungan Hidup di Jambi

Tahun 2015 menjadi tahun yang sangat berarti bagi Provinsi Jambi  dan Kabupaten/kota lainnya, karena tahun 2015 menjadi momentum tahun politik untuk menyeleksi Pemimpin Daerah, baik Provinsi maupun Bupati dan Walikota. Para pemimpin ini mungkin akan menjadi pemimpin ter(baik) untuk membawa Propinsi/Kabupaten/kota menjadi lebih mandiri dan maju dalam pembangunan.

Pelaksanaan Pilkada dengan sistem terbaru sesuai UU No 1 tahun 2015 tentang Pilkada yang akan di implementasikan pertama di Prop Jambi, yaitu pemilihan gubernur. Selain itu ada Pilkada 5 Kabupaten/Kota yang bakal dilaksanakan serentak tahun ini, yaitu Bungo, Tanjung Jabung Timur, Tanjung Jabung Barat, Batanghari dan Sungaipenuh, Desember 2015.

Momentum Pilkada ini sangat penting bukan saja menjadi ajang pemilihan pemimpin, namun yang lebih penting bagaimana pemimpin yang akan muncul dan pemimpin yang terpilih memahami kondisi yang tengah dan sedang terjadi baik ekonomi. Salah satu persoalan mendasar adalah persoalan lingkungan yang terkesan sangat memprihatinkan dan menjadi agenda rutin tahunan di Propinsi Jambi, terutama terkait dengan bencana bajir dan kebakaran hutan, yang merugikan secara ekonomi bahkan nyawa, dan merugikan aspek politik secara Internasional.

Marilah kita fahamilah bahwa Pilkada, adalah sarana dan bukan tujuan, sedangkan tujuan yang ingin dicapai adalah  memilih pasangan pemimpin yang baik, tepat dan benar untuk mampu mewujudkan tujuan dan fungsi pembangunan yang diamanah UUD 1945. Melalui upaya keselarasan, keserasian, kesimbangan, dan kebulatan yang utuh dalam seluruh kegiatan pembangunan, yang merupakan proses untuk mewujudkan visi negara yang maju, aman, damai dan sejahtera. Tentunya sebuah sarana tidak  mengganggu pencapaian tujuan bersama dimasing-masing wilayah yang bersinergi dengan tujuan dan visi negara.

Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, sesungguhnya Pilkada memiliki makna penting dan strategis. Momentum tersebut tidak hanya memberikan peluang terjadinya rotasi dan sirkulasi kekuasaan dalam pemerintahan, tapi juga peluang bagi rakyat melakukan koreksi terhadap segala kesalahan dan kekurangan dimasa lalu. Rakyat dapat menentukan pilihan yang tepat dan terbaik bagi kepentingan daerah masing-masing.

Marilah kita melihat kedepan serta mengajak para elite politik dan masyarakat, terutama para Balon/calon Gubenrnur, Bupati, Walikota untuk mengubah paradigma berpikir dalam memandang Pilkada. Jangan lagi memandang Pilkada sebuah pertarungan hidup mati antara kelompok/kekuatan partai politik, tapi yakinilah bahwa Pilkada sebagai sebuah sarana untuk mewujudkan tujuan demokrasi, tujuan berbangsa dan bernegara, yaitu menuju masyarakat yang adil dan makmur secara mandiri.

Jika kita menyimak tujuan bernegara dan berbangsa dalam UUD 1945, salah satunya adalah menuju masyarakat yang adil dan makmur secara mandiri yang diimplementasikan untuk mewujudkannya salah satunya adalah demokrasi melalui Pilkada.

Adil dan makmur tersebut, tentunya akan menjadi acuan dan tujuan yang akan diembankan oleh kita kepada semua Balon/calon Gubernur/Bupati/Walikota sebagai visi negara. Visi dan Misi Balon/Calon Gubernur/Bupati/Walikota adalah bagian dari proses tawar menawar dengan masyarakat pemilik kekuasaan untuk mengajak masyarakat memilih. Ajang kampanye lebih berorientasi untuk meninggalkan pola tradisional, emosional, dan money politic yang selama ini cenderung menjadi pola terstruktur dan masif dalam Pilkada.

Jika kita cermati, saat ini bencana banjir dan kebakaran hutan dan lahan terutama di propinsi Jambi menjadi agenda tahunan bahkan bulanan. Tujuan adil dan makmur, sangat sulit terwujud dengan kondisi alam dan lingkungan yang memiliki kecenderungan semakin tidak bersahabat. Jika dilihat dari frekuensi bencana yang melanda, pemberdayaan ekonomi, peningkatan infrastruktur dalam rangka mewujudkan Visi Negara itu tidak akan berarti, apabila dalam visi dan misi tersebut kegiatan upaya pelestarian lingkungan hidup yang merupakan bagian utama dalam pembangunan berkelanjutan diabaikan.

Isu lingkungan terutama global warming menjadi sebuah permasalahan global  yang menjadi tanggung jawab setiap Negara, pemerintahan, rakyat, bahkan isu tersebut sudah menjadi bagian terintegrasi dari pembangunan Indonesia saat ini. Provinsi Jambi sendiri sebagai provinsi penyumbang asap/kabut cukup besar diantara 5 Provinsi prioritas penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, bersama dengan Propinsi Riau, Sumatera Selatan, Kalimatan Barat dan Tengah. Selain itu bencana banjir merupakan persoalan yang melanda Provinsi jambi setiap tahun.

Namun sungguh menjadi pertanyaan yang sangat besar bagi Imuwan, profesional, masyarakat, balon/calon Gubernur/Bupati/Walikota baik yang sudah muncul maupun yang akan muncul, selama ini justru isu lingkungan tidak menjadi penting, dibanding isu infrastruktur dan ekonomi kerakyatan, pendidikan dan kesehatan menjadi bagian dari isu yang dijadikan startegi kampanye. Isu lingkungan diabaikan, pada hal fakta yang terjadi saat ini lingkungan menjadi bagian utama penyebab kerusakan infrastruktur, gagal panen, yang menyebabkan masyarakat menjadi miskin. Dana yang harus dikeluarkan untuk perbaikan akibat kerusakan lingkungan sangat besar.

Isu yang cenderung dan  dominan yang dijadikan tema kampanye oleh para pasangan yang umumnya menjanjikan peningkatan Pemasukan Negara, PAD (pendapatan asli daerah) melalui pengembangan investasi baik perkebunan, pertambangan, dll, yang dianggap sebagai indikator keberhasilan pembangunan yaitu “pertumbuhan ekonomi”

Karena inti dari Pilar ekonomi tersebut yang tertuang dalam UUD 1945, “sebesar-besar kemakmuran rakyat”, (tentunya tanpa membedakan kelas) yang belum tentu bisa terpenuhi melalui indikator pertumbuhan ekonomi semata-mata, karena dipandang pertumbuhan ekonomi selama ini telah menciptakan jarak miskin dan kaya semakin jauh. Sedangkan salah tujuan Pembangunan Nasional adalah meningkatkan kesejahteraan serta mengentaskan kemiskinan.

Pengalaman penerapan otonomi daerah melalui Pilkada  selama ini yang cenderung melahirkan “raja-raja lokal” dengan kekuatan kekuasaannya yang besar memiliki indikasi hubungan bisnis secara legal dan illegal. Seperti tercermin pada kasus illegal logging, pertambangan, perkebunan dll yang cenderung berada dalam wilayah KKN.  Di Indonesia seharusnya semua pihak harus sadar akan betapa rawan masa depan lingkungan hidup, bila dalam proses Pilkada aspek kepentingan lingkungan diabaikan.

Dengan melihat posisi dan peran Pimpinan daerah, serta legislatif semakin strategis dan menentukan, agenda lingkungan hidup seyogyanya menjadi salah satu pertimbangan penting dalam Pilkada menjadi strategi yang tertuang dalam Visi dan Misi. Akan sangat ideal bila sejak awal kontestan Pilkada dalam visi dan misinya memberikan porsi yang memadai terhadap pemecahan masalah lingkungan hidup di daerah setempat. Karena dengan demikian, rakyat dalam menentukan pilihannya memiliki acuan serta pemahaman yang lengkap mengenai program-program pelestarian lingkungan hidup yang bakal dijalankan oleh calon yang mereka pilih.

Dengan harapan, jika peserta dan kontestan yang nyata-nyata pernah terlibat atau ikut memberi peluang terjadinya perusakan lingkungan hidup, baik melalui kebijakan-kebijakan publik, maupun dalam aktivitas usahanya (non-pejabat), sebaiknya tidak dipilih, agar persoalan yang ada tidak bertambah runyam. Untuk itu, perlu kerja sama dan sikap proaktif dari semua pihak untuk melakukan publikasi dan penyadaran kepada masyarakat agar rakyat pemilih tidak terkecoh dalam menentukan pilihannya.

Diharapkan didalam setiap kebijakan pembangunan yang akan dilakukan oleh para pemimpin dalam hal ini Gubernur/Bupati/Walikota, berpola pikir dengan paradigma pembangunan yang memenuhi kebutuhan hari ini tanpa menggangu kemampuan generasi masa depan untuk memenuhi kebutuhannya, yang mencerminkan dua parameter utama: parameter ‘kebutuhan’ hari ini, dengan tetap memperhatikan kebutuhan masa yang akan datang, tidak berpikir keinginan hari ini dengan mengabaikan kebutuhan yang akan datang, terutama kebutuhan mendasar manusia.

Menurut pemimpin spiritual India Mahatma Gandhi, bahwa bumi menyediakan cukup kebutuhan seluruh umat manusia, tapi bukan untuk kerakusan. Memang, orang-orang yang rakus senantiasa tidak pernah puas dan merasa kurang, sekalipun sudah berkelimpahan. Peringatan Mahatma Gandhi sangat relevan dengan situasi global, lebih-lebih saat ini.

Kerusakan ekologis sebagai suatu penyebab kemisikinan terbesar baik di desa maupun di kota secara bertahap dan kontinyu serta pasti. Fakta ini sudah dibuktikan dengan kerusakan hutan baik secara legal melalui Hak pengusahaan Hutan, Pertambangan, perkebunan dan investasi lain membawa dampak akses ekonomi masyarakat pinggir hutan terbatas, bahkan menjalar ke daerah hilir, yang akan membawa pengaruh pada masyarakat secara ekonomi menurun dan dampak ekologis lainnya yaitu bencana alam banjir dan kekeringan, kebakaran dan penyakit. Sedangkan sumber Pendapatan masyarakat utama adalah pertanian, dan akan membawa pengaruh secara regional  terhadap pusat-pusat ekonomi yang ada di kota.

Hendaknya disadari bahwa masalah lingkungan hidup kini menjadi persoalan yang sangat mendasar bagi bangsa Indonesia. Karena itu, sudah saatnya semua pihak menaruh perhatian serius terhadap masalah ini. Dalam konteks itu, melihat kenyataan bahwa sebagian besar kerusakan lingkungan senantiasa berhubungan erat dengan kebijakan pemerintah, sudah seharusnya penyelamatan lingkungan ikut dijadikan kriteria pokok dan prasyarat formal penentuan pejabat publik[]

* Penulis adalah konservasionist di Jambi dan dapat dihubungi di email: syamsulbahri1605@gmail.com

read more
Ragam

Warga Aceh Dihebohkan dengan Munculnya Sungai Baru

Sebuah sebuah fenomena alam yang unik membuat warga Kecamatan Lhoksukon, Baktiya, dan Cot Girek Kabupaten Aceh Utara tercengang dan heboh. Kabar ini menjadi topik hangat perbincangan warga semenjak munculnya fenomena sebuah sungai baru pada 26 Desember 2014 lalu. Sebelumnya di sungai baru yang belum bernama ini adalah daerah rawa-rawa gambut.

Isu unik ini terus menyebar hingga membuat banyak warga yang berkunjung untuk melihat langsung fenomena yang langka tersebut. Chairul Sya’ban, wartawan greenjournalist.net, Sabtu (16/0/2015) turun ke lokasi untuk menyaksikan lfenomena ini.

Perjalanan menuju sungai baru di Lhoksukon | Foto: Chairul Sya'ban
Perjalanan menuju sungai baru di Lhoksukon | Foto: Chairul Sya’ban

Jalan perbukitan berbatu membuat saya nyaris terperosok berkali-kali ke lubang yang bertaburan. Rawa yang diperkirakan dengan luas sepuluh hektare itu terletak di sebelah perbukitan dan jauh dari pemukiman penduduk. Untuk sampai dilokasi, butuh waktu dua jam. Sungai baru ini masuk wilayah Gampong Cinta Makmur Unit Enam, Buket Hagu Lhoksukon, Aceh Utara.

Beberapa warga mendampingi perjalanan saya menuju lokasi rawa yang jadi sungai. Jalan berbatu, licin, dan perbukitan harus dilalui dengan ekstra hati-hati demi sampai ke tujuan dengan selamat.

Setelah memakan waktu hingga satu jam perjalanan, lokasi itupun sudah mulai terlihat jelas. Salah satu warga yang juga tokoh masyarakat setempat menginstruksikan agar berhati-hati menginjak areal lahan gambut.

“Nah, kita sudah sampai di lokasi. Untuk sampai ke pinggir rawa itu, kita harus melewati lahan gambut sejauh 500 meter. Hati-hati, jangan terlalu kuat menginjak gambut,” saran Radikum (45), tokoh masyarakat.

Sungai baru yang terbentuk di atas lahan gambut | Foto: Chairul Sya'ban
Sungai baru yang terbentuk di atas lahan gambut | Foto: Chairul Sya’ban

Mau tak mau, instruksi sang tokoh ini harus dipatuhi demi keselamatan. Perjalanan pun terus dilanjutkan. Areal lahan gambut nyaris membuat kami terjerumus. Beruntung masih ada ranting-ranting kayu yang bisa dijadikan pegangan di jalan setapak.

Kami pun sampai di tujuan. Luar biasa, genangan air tenang yang warnanya agak kehitaman sudah menenggelamkan areal perkebunan sawit yang diketahui milik Yayasan Malikussaleh Panton Labu.

Lebar sungai ini diperkirakan sekitar dua puluh meter, dengan kedalaman rata-rata lima meter. Sementara panjang sungai ini tidak diketahui, sebab belum ada satupun warga yang mengarungi sungai baru tersebut.

Beredar cerita di dalam masyarakat, konon munculnya fenomena rawa yang berubah jadi sungai ini akibat ditiduri ular yang telah lama bersemadi. Benar atau tidaknya, namun warga meyakini mitos ini.

Dari cerita warga, awalnya pada 26 Desember 2014 lalu, pada saat bencana banjir menerjang Lhoksukon, terdengar suara gemuruh pada malam hari. Keesokan paginya, genangan airpun mulai merendam areal lahan gambut tersebut.

Warga ramai-ramai melihat sungai yang baru terbentuk | Foto: Chairul Sya'ban
Warga ramai-ramai melihat sungai yang baru terbentuk | Foto: Chairul Sya’ban

Namun setelah sepekan lamanya, debit air terus bertambah. Tanaman sawit seluas sepuluh hektare milik yayasan Malikussaleh yang masih berumur sekitar tiga tahun dan tinggi sekitar tiga meter tenggelam tidak kelihatan lagi. Sebagian tanaman sawit malah terseret ke pinggiran sungai yang baru jadi ini.

“Tempat ini sering dilalui warga untuk mencari rumput hewan peliharaan, memancing dan pergi ke kebun. Saat itu masih bisa dilalui karena lahannya sama sekali kering tanpa air,” cerita salah satu warga, Abdullah Ali (50).

Dari informasi lain, sebelumnya areal rawa dan perkebunan yang berubah menjadi sungai ini dulunya memang sungai besar. Bahkan, ada mitos yang tersebar bahwa ada salah satu kapal yang tenggelam di sungai ini dulunya.

Nama kampung inipun sebelumnya dinamakan “Kota Gantung”. Julukan ini menunjukkan adanya salah satu jembatan gantung untuk melintas menuju ke seberang sungai.

“Dulunya memang ada sungai disini, sungai besar yang sempat dilintasi kapal. Bahkan ada kapal yang tenggelam disitu. Ada pula jembatan gantung untuk menuju akses ke sungai ini. Jadi bisa saja sungai ini kembali muncul menjadi seperti semula,”kata warga.

Sejak munculnya sungai ini, warga masih dibuat heboh dan penasaran. Masih banyak yang belum tahu secara detail tentang asal mula munculnya sungai yang menenggelamkan areal perkebunan sawit dan rawa-rawa ini.

Saat ini warga hanya yakin dengan mitos yang bercerita ada ular meniduri areal tersebut sebelum muncul sungai besar.

Sungai baru ini dari pusat kota Lhoksukon, berjarak sekitar 30 km dan terletak di perbatasan Lhoksukon, Baktiya, dan Cot Girek. Jalur menuju lokasi dipenuhi banyak semak belukar, sehingga tak jarang pengunjung yang jatuh ke lumpur. []

read more
Ragam

Lagi-lagi Banjir Menerjang Bumi Pasee Aceh

Dua unit mobil double cabin Search and Rescue (SAR) Aceh Utara dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Aceh Utara melaju kencang menuju Kecamatan Matangkuli dan Pirak Timu, Rabu (14/01/2015).

Masing-masing mengangkut perahu karet bermesin. Petugas SAR dan BPBD juga tampak siaga duduk dibelakang mobil memegang erat perahu karet itu. Sirene juga dinyalakan, lampu kiri kanan juga demikian.

Tiba di Matangkuli dan Pirak Timu, tim penyelamat langsung menurunkan dua unit perahu tersebut. Ternyata, banjir sedang merendam dua kecamatan itu. Ketinggian air berkisar antara 30 CM hingga 70 CM.

Satu persatu warga disana dievakuasi. Tim Muspika menyarankan agar warga segera meninggalkan rumah mereka guna antisipasi jika banjir terus naik. Ada juga warga yang enggan dievakuasi karena mereka pastikan kalau banjir pasti segera surut.

Warga lelah, warga trauma, semua itu belum pulih pasca banjir besar menerjang di akhir tahun 2014 lalu. Banjir kali ini yang terjadi di bulan januari pun merupakan banjir yang ketiga kalinya. Tidak begitu parah, akan tetapi warga semakin lelah.

“Bukan hal yang baru bencana banjir yang singgah di kecamatan ini. Bulan ini aja sudah tiga kali banjir menerjang. Kami lelah dengan semua ini,” ucap Suryadi (38), warga Matangkuli.

Seraya berharap agar banjir segera surut, Suryadi bersama warga lainnya terus sibuk memindahkan seluruh isi rumah ketempat yang lebih tinggi. Kesibukan semacam itu berlanjut sampai sore hari. Banjirpun belum surut.

Dari catatan Tim Muspika setempat, banjir merendam 651 rumah di 19 Desa Kecamatan Matangkuli. Sekitar 745 KK juga sempat mengungsi karena debit air terus naik.

Masing-masing desa Tanjung Tgk Kari, Meunasah Teungoh, Alue Euntok, Teumpok Barat, Parang Sikureung, Meuria, Hagu, Alue Thoe, Siren, Lawang, Cibrek, Punti, Tanjung Babah Krueng. Tanjung Tgk Ali, Pante Pirak, Mee, Baroe, Beuringen, dan Teungoh Seulemak.

Sedangkan titik terparah banjir yaitu di Desa Alue Tho, Hagu, Teumpok Barat, Tanjong Haji Muda, dan Lawang. Namun hingga saat ini belum ada yang mengungsi.

“Warga sudah mulai mengungsi sejak naik air pagi tadi, dan sebagian ada yang nekat pulang ke rumah. Bantuan pun untuk saat ini belum ada,” kata Camat Matangkuli, T. Azwar SE, kepada greenjournalist.net.

Menurutnya, banjir yang terjadi hari ini (Rabu-red) masih terbilang dalam kategori biasa, sebab desa-desa ini memang sudah menjadi langganan banjir bila musim penghujan tiba baik hujan local maupun banjir kiriman. Banjir terjadi akibat sungai kreuto meluap setelah hujan lebat mengguyur Bener Meriah dan Pante Bahagia.

Kepala Dinas Sosial Aceh Utara, Drs Jailani, juga bergerak cepat soal banjir ini. Dia mengatakan bahwa pihaknya telah menurunkan tim ke lokasi banjir untuk memantau kondisi masyarakat setempat. Pihaknya mengaku akan menyalurkan bantuan bila nantinya masih ada warga yang mengungsi bila debit air bertambah.

Greenjournalist.net terus menunggu perkembangan banjir Matangkuli, hingga akhirnya banjir dilaporkan mulai surut sejak pukul 20:00 WIB malam. Sebagian warga ada yang sudah pulang kerumahnya masing-masing, dan sebagian lagi enggan pulang karena masih lelah.

Sebelumnya, banjir yang sama juga sempat menerjang Kecamatan Nisam, Aceh Utara sehari sebelum banjir melanda Matangkuli dan Pirak Timu. Banjir yang datang secara tiba-tiba pukul 03:00 dinihari Selasa (13/01/2015) justeru membangunkan penghuni rumah untuk bekerja keras menyelamatkan barang-barang rumah.[]

read more
Ragam

Bersih-bersih Pasca Banjir Besar Aceh Utara

Lonceng berbunyi pertanda kelas segera dimulai. Begitu biasanya setiap pagi pukul 07:45 WIB di semua sekolah yang berada di Aceh. Namun hari ini beda, ini bukanlah lonceng untuk masuk kelas, melainkan pertanda bahwa gotong royong sudah bisa dimulai.

Sang guru mengarahkan murid-murid menyiapkan peralatan. Sebagian memegang sapu, cangkul, sekop, ada pula yang memegang timba. Begitu suasana di MTsS Peutoe Lhoksukon, Aceh Utara di hari pertama masuk sekolah setelah libur panjang, Senin (05/01/2015).

Seperti pendidikan ala militer, sang murid langsung mengerjakan perintah sang guru tanpa menolak perintah. Masing-masing murid mulai sibuk mengangkat meja dan kursi untuk dijemur diterik matahari.

Menjemur dokumen dan peralatan sekolah yang basah terendam banjir | Foto: Chairul Sya'ban
Menjemur dokumen dan peralatan sekolah yang basah terendam banjir | Foto: Chairul Sya’ban

Hanya sebagian peralatan mobiler yang masih bisa dipakai. Sebagiannya lagi rusak akibat terendam banjir. Surat-surat penting di ruang dewan guru juga ikut jadi korban, tak ada satupun dokumen yang masih bisa dipakai.

Kondisi yang demikian akibat banjir bandang setinggi tiga meter yang menghantam 26 Kecamatan di Kabupaten Aceh Utara. Ditambah lagi kondisi sekolah yang terletak tidak jauh dari tanggul sungai yang jebol, tepatnya di Desa Joek KM II Lhoksukon.

Lumpur tebal setinggi 20 centimeter nyaris tak mau lekang bagai sahabat dengan lantai kelas. Dengan bantuan air yang keluar deras dari selang mesin pompa air, si lumpur menyerah.

“Alhamdulilah, akhirnya lumpurnya bisa lekang dari lantai ruang kelas kita. Kalau tidak, maka kelas ini bisa jadi kandang sapi. Karena lumpur yang lengket pasti bisa tumbuh rumput nantinya,” kata Wakil Kepala Sekolah MTsS Peutoe, Putri Zuliati SPd.I, kepada muridnya.

Kelas yang dipenuhi lumpur sisa banjir | Foto: Chairul Sya'ban
Kelas yang dipenuhi lumpur sisa banjir | Foto: Chairul Sya’ban

Bocah-bocah berseragam terus bekerja melaksanakan perintah, sang gurupun turut membantu. Dalam waktu tiga jam, sebagian ruang kelas mulai bersih mengkilau setelah dicuci. Ada empat ruang kelas disekolah itu, ruang dewan guru hanya satu.

Hal serupa juga terlihat di sekolah MTsN Lhoksukon. Sekolah yang menitikberatkan pada pelajaran agama Islam ini juga diterjang banjir. Kantor dewan guru yang lebih tinggi lantainya dibanding ruangan lain malah ikut terendam banjir setinggi lutut. Sedangkan di halaman rambut orang dewasa nyaris tidak kelihatan tertutup banjir.

Muridnya juga sibuk membersihkan kelas. Sedangkan guru, sibuk menjemur surat-surat penting yang basah terendam. Banyak sekali dokumen yang tidak bisa dipakai lagi.

“Semua dokumen penting rusak total. Ya, tak bisa berbuat apa, sudah takdir. Ini musibah, bukan karena disengaja,” ungkap Kepala Sekolah MTsN Lhoksukon, Hamdani A Jalil.

Kerugian di sekolah itu bahkan mencapai 1 milyar lebih. Kerugian yang terjadi karena banyaknya mobiler dan fasilitas belajar mengajar rusak parah.

Sementara jika di hitung total kerugian seluruhnya untuk sekolah yang ada di Lhoksukon, kerugian mencapai 15 milyar lebih. Kerugian dialami oleh 36 sekolah dari 42 sekolah di Lhoksukon.

“Dari 42 sekolah di Lhoksukon, hanya 36 sekolahan yang turut terendam banjir. Kerugian pun mencapai 15 Milyar lebih,” jelas Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Lhoksukon, Usmani SPd.

Wartawan greenjournalist.net, Chairul Sya’ban, terus memantau kondisi ini hingga Selasa (06/01/2015). Disisi lain, banjir juga menyisakan ribuan ton sampah di 26 Kecamatan yang dilanda banjir.

Petugas membersihkan sampah akibat banjir di Lhoksukon  | Foto: Chairul Sya'ban
Petugas membersihkan sampah akibat banjir di Lhoksukon | Foto: Chairul Sya’ban

Tumpukan sampah kian menggunung di sudut-sudut kota. Kota Lhoksukon salah satu kawasan yang terparah akibat banjir dan kawasan yang paling banyak dipenuhi sampah sisa banjir.

“Sejak banjir surut, sampah sisa banjir yang sudah kami angkut mencapai seribu ton. Yang paling banyak adalah di Lhoksukon,” kata Kepala Dinas Kebersihan, Pasar dan Pertamanan (DKPP) Aceh Utara, M. Dahlan SE, kepada greenjournalist.net.

Jalan rusak tepatnya di daerah Landing lhoksukon | Foto: Chairul Sya'ban
Jalan rusak tepatnya di daerah Landing lhoksukon | Foto: Chairul Sya’ban

Ruas jalan Banda Aceh – Medan juga ikut jadi korban. Kondisi jalan semakin membahayakan pengguna jalan. Banyak lubang-lubang besar yang menganga dan kerikil bertaburan disana. Batu kerikil dan debu juga berterbangan menyulitkan pengguna jalan.

read more
1 2 3 5
Page 1 of 5