close

banjir

Ragam

Sisi Lain Bencana Banjir Aceh

Bencana selalu saja menyisakan kepedihan dan kerugian bagi para korban. Banjir yang merendam Aceh Utara beberapa waktu lalu menyisakan barang-barang dagangan yang rusak dan berlumpur. Para pedagang di Ibukota Aceh Utara, Lhoksukon mengaku menderita kerugian akibat banjir menerjang beberapa hari lalu. Dimana sebagian barang-barang dagangan tak bisa digunakan lagi karena rusak terendam banjir setinggi tiga meter.

Kondisi yang demikian pun membuat pedagang terpaksa menjual sisa-sisa dagangan secara obral dengan harga yang sangat murah. Meskipun sisa-sisa barang itu dipenuhi lumpur, namun masih bisa digunakan. Hanya saja dagangan itu telah dianggap barang bekas. Pembeli pun berjejer membeli barang murah yang masih tetap bagus manfaatnya.

Berbagai macam jenis dagangan seperti barang kelontong (gelas, piring,), pakaian, sandal, sepatu, elektronik dan mainan anak dijual dengan setengah harga modal. Walhasil, para pembeli yang terdiri dari ibu-ibu justeru ramai-ramai memborong barang-barang bekas tersebut.

Adi (31), salah satu pedagang toko kebutuhan olahraga di Lhoksukon mengatakan, dirinya rugi hingga mencapai 25 Juta. Kerugian itu paling banyak dari modal harga sepatu bola.

“Kerugian yang saya alami mencapai 25 juta. Karena terlalu banyak sepatu bola dan celana training yang tidak bisa digunakan lagi akibat lumpur banjir yang tak bisa hilang kalau dicuci,” keluhnya kepada greenjournalist.net, beberapa waktu lalu.

Oleh karena itu tambahnya, agar kerugian tidak terlalu meningkat, dirinya mencoba untuk menjual sepatu bola dan celana bekas dengan harga 30 ribu sampai 50 ribu.

Biasanya, kata Adi, sepatu bola dijual dengan harga Rp 150 ribu sampai Rp 300 ribu. Sedangkan celana training sebelum banjir dijual dengan harga 120 ribu, kini jadi harga 30 ribu.

Ditempat terpisah, kondisi yang sama juga dialami oleh Thalib (40), salah satu pedagang kelontong di jalan Panglateh Lhoksukon. Namun kerugian yang dialami Thalib lebih parah dibandingkan kerugian Adi. Apalagi setengah barang-barang kelontong milik Thalib masih hutang.

“Setengah barang-barang ini padahal masih hutang di Medan, namun malah hancur menjadi puing-puing bekas akibat banjir ini. Akibatnya saya rugi sampai 50 juta,” keluh Thalib.

Thalib juga menjual sisa-sisa dagangannya itu yang masih bisa digunakan. Pembeli pun harus mencuci sendiri jika hendak membeli barang-barang tersebut.

Untuk piring, Thalib menjual dengan harga Rp 10 ribu perlusin. Begitu juga gelas dan mangkuk. Harga itu justeru jauh lebih murah dibandingkan harga jual biasanya.

Kondisi seperti ini mulai berlaku sejak banjir surut pada Sabtu lalu. Di hari pertama banjir surut, para pedagang malah menjual sisa-sisa dagangannya lebih murah lagi dibandingkan hari ini.

read more
Ragam

Derita Korban Banjir Aceh Utara

Kondisi korban banjir di Lhoksukon, Kabupaten Aceh Utara kian memprihatinkan. Sampai kini, Rabu (24/12/2014) debit air terus bertambah sampai nyaris menenggelamkan rumah-rumah warga. Banjir dengan ketinggian rata-rata dua meter hanya menyisakan pintu dan atap rumah. Derita korban banjir pun sepertinya semakin panjang.

Banjir nyaris menenggelamkan rumah warga, Rabu (24/12/2014) | Foto: Chairul Sya'ban
Banjir nyaris menenggelamkan rumah warga, Rabu (24/12/2014) | Foto: Chairul Sya’ban

Banjir yang melanda sejumlah daerah di Kabupaten Aceh Utara, menimbulkan cerita pedih dari seorang warga. Salah satu rumah warga yang berkontruksi papan hanyut dibawa arus, milik Nurlina (36), warga Gampong Jok Kilometer Dua, Kecamatan Lhoksukon Aceh Utara. Rumah Nurlina dekat dengan tanggul sungai yang jebol sehingga hanyut dibawa arus banjir yang sangat deras. Tak ada puing yang tersisa.

“Rumah kakak saya tinggal pondasi, karena dibawa arus banjir sejak selasa kemarin. Lokasinya pun sangat dekat dengan tanggul jebol,” kata adik Nurlina, Nuraini kepada greenjournalist.net. Kakak beradik itu hanya bisa pasrah sambil menyaksikan rumahnya dibawa arus deras. Nurlina dan adiknya kini hanya mampu mendirikan tenda diatas tanggul irigasi yang tak jauh dari rumah lamanya.

Jalan raya di kota Lhoksukon yang lumpuh akibat banjir, Rabu (24/12/2014) | Foto: Chairul Sya'ban
Jalan raya di kota Lhoksukon yang lumpuh akibat banjir, Rabu (24/12/2014) | Foto: Chairul Sya’ban

Dampak lain, banjir menyebabkan akses lalu lintas lumpuh total.  Untuk menuju kota Lhoksukon, warga terpaksa melewati tanggul irigasi sebagai jalur alternatif.  Namun butuh fisik yang kuat untuk menempuh jalur sepanjang enam kilometer ini dipenuhi lumpur tebal. Banyak kenderaan roda dua dan pejalan kaki terjebak dilumpur. Jalur ini menjadi jalur alternatif warga pulang pergi Lhoksukon – Cot Girek. Lokasinya, terletak di kawasan Gampong Meunasah NgaLhoksukon Kilometer Tiga.

Masyarakat menempuh jalan alternatif di pinggir tanggul karena jalanan utama digenangi banjir, Rabu (24/12/2014) | Foto: Chairul Sya'ban
Masyarakat menempuh jalan alternatif di pinggir tanggul karena jalanan utama digenangi banjir, Rabu (24/12/2014) | Foto: Chairul Sya’ban

Hal ini dilakukan warga karena jalan lintas Lhoksukon-Cot Girek sepanjang tiga kilometer yang biasa tak dapat dilintasi. Ketinggian air dijalan tersebut mencapai satu meter lebih. “ Sejak hari pertama banjir melanda Lhoksukon, kami gunakan tanggul irigasi sebagai jalur alternatif. Meski jauh, namun terpaksa gunakan jalan ini. Kami tak sanggup berjalan di air setinggi satu meter,” kata Irwansyah (43), salah satu pengguna roda dua yang melintas di jalur alternatif. Tak hanya itu, listrik dan sinyal telephone/ handphone pun ikut padam.

Banjir Meningkat

Pantauan greenjournalist.net, sampai dengan hari ini ketinggian air banjir terus bertambah. Awalnya, banjir sempat turun sekitar 5 cm selama empat jam. Namun sekitar pukul15:00 WIB sore tadi, banjir kembali naik lebih dari 5 cm. Banjir terparah terjadi di pusat kota Lhoksukon. Seluruh pertokoan digenangi air setinggi pinggang orang dewasa. Bahkan banjir menggenangi jalan negara Banda Aceh – Medan dengan ketinggian rata-rata setengah meter.

Warga terpaksa membuat saluran darurat di tanggul untuk mengalirkan banjir, Lhoksukon Rabu (24/12/2014) | Foto: Chairul Sya'ban
Warga terpaksa membuat saluran darurat di tanggul untuk mengalirkan banjir, Lhoksukon Rabu (24/12/2014) | Foto: Chairul Sya’ban

Terkait bencana banjir ini, ketua Search and Rescue (SAR) Aceh Utara, Dahlan, mengatakan bahwa pihaknya sudah menurunkan tim ke titik terparah banjir. TNI dan Polri pun turun tangan membantu korban banjir. SAR, TNI dan Polri sudah menyiapkan belasan boat karet bermesin untuk mengevakuasi warga yang terjebak banjir.

Dahlan merincikan ada sekitar 19 kecamatan di Aceh Utara yang lumpuh akibat dilanda banjir. Ketinggian air pun bervariasi, mulai dari 30 cm sampai dua meter lebih. Ketinggian air yang melebihi satu meter, melanda sejumlah desa di pedalaman Aceh Utara. Bahkan tidak sedikit desa-desa yang dilanda banjir dengan ketinggian air tiga meter.

Kecamatan yang sedang dilanda banjir meliputi Kecamatan Langkahan, Lhoksukon, Baktiya, Baktiya Barat, Matangkuli, Tanah Luas, Tanah Pasir, Paya Bakong, Cot Girek, Lapang, Samudera, Meurah Meulia, Geureudong Pase, Syamtalira Bayu, Syamtalira Aron, Simpang Keuramat, Kuta Makmur dan Nisam.

Hingga berita ini disajikan, debit air terus bertambah secara perlahan. []

read more
Galeri

Bencana Banjir Landa Aceh

Hujan deras beberapa hari belakangan menyebabkan banjir melanda sebagian daerah Aceh Utara sejak Minggu (21/12/2014). Salah satu kawasan terparah dilanda banjir adalah Kecamatan Lhoksukon dan sekitarnya dimana air pada mencapai ketinggian 3 meter. Jalan lintas Banda Aceh – Medan pun terendam setinggi 30 cm sehingga menyebabkan transportasi terhambat. Masyarakat mengungsi ke tempat-tempat yang lebih aman dan pemerintah setempat telah menyiapkan bantuan emergensi | Foto: Chairul Sya’ban/greenjournalist.net

read more
Perubahan Iklim

Banjir Kembali Terjang Aceh Utara

Hujan deras terus mengguyur dalam sepekan terakhir ini mengakibatkan banjir kembali melanda sejumlah desa di Kecamatan Lhoksukon, Jum’at (19/14) dan meluas hingga ke tujuh desa di Aceh Utara. Sebelumnya, pada Rabu lalu banjir sempat melanda dua desa di kecamatan tersebut.

Desa yang digenangi banjir meliputi Desa Meunasah Krueng KM 5, Desa Dayah KM 6, Desa Kumbang KM 7, Desa Teungoh KM 8, Desa Buloh KM 9 dan Desa Geulumpang KM 10. Titik banjir yang terparah yaitu di Desa Kumbang KM 7 dan Desa Dayah KM 6.

Di titik yang terparah itu, banjir menggenangi badan jalan Lhoksukon-Cot Girek dengan ketinggian 40 cm. Sedangkan berdasarkan amatan GreenJournalist.Net, ketinggian banjir yang menggenangi rumah warga rata-rata 20 cm sampai 60 cm.

Sementara berdasarkan keterangan dari warga, banjir disebabkan curah hujan yang sangat tinggi. Tak hanya itu, tanggul jebol sepanjang sepuluh meter yang terletak di Desa Kumbang KM 7 juga belum diperbaiki. Walhasil, banjirpun kembali mengganas.

“Tanggul masih jebol dan belum ditangani oleh pihak terkait. Dan akhirnya, banjirpun kembali melanda tempat tinggal kami,” ujar Nasrullah (41), warga setempat.

Terkait bencana banjir ini, melalui handphone, Ketua TIM Search and Rescue (SAR) Aceh Utara, Dahlan, mengatakan, bahwa pihaknya belum bisa menurunkan tim untuk mengevakuasi korban banjir. Pihaknya hanya menerjunkan tim ke lokasi banjir terparah yaitu di Kecamatan Langkahan, Aceh Utara.

“Kita bukan tidak peduli terhadap banjir di Lhoksukon, karena kami masih sibuk mengevakuasi korban banjir di Kecamatan Langkahan. Di kecamatan itu, banjir mencapai ketinggian air dua meter lebih,” kata Dahlan.

Hal serupa juga disampaikan oleh Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Aceh Utara, Munawar Ibrahim SE. Kata dia, pihaknya hanya bisa menurunkan tim untuk memantau di lokasi banjir Lhoksukon.

“Kita hanya bisa menerjunkan tim ke lokasi banjir untuk memantau ketinggian air dan bersiaga disana. Sedangkan untuk melakukan pengevakuasian, kita belum bisa melakukannya. Karena kami masih sedang mengevakuasi korban banjir di Langkahan. Disana, kita turunkan enam unit boat karet,” jelasnya.[]

Hingga berita ini diturunkan, korban banjir hanya bisa dibantu oleh pihak Koramil 08 Lhoksukon. Banjir pun kian meluas dengan debit air yang terus menambah.

read more
Ragam

Tanggul Jebol, Banjir Rendam Aceh Utara

Banjir, memang bukan hal yang baru di alami warga di Kabupaten Aceh Utara. Tiap akhir tahun dikala musim hujan datang, banjir kerap menghantui warga. Meskipun sudah terbiasa, namun hal ini justeru masih membuat warga kesal.

Seperti yang terjadi di dua Desa Kecamatan Lhoksukon, Aceh Utara. Dua Desa masing-masing Desa Dayah KM 8 dan Desa Kumbang KM 7, dilanda banjir dengan ketinggian air 20 cm-50 cm, pada Rabu (17/12/2014). Banjir yang terjadi disebabkan oleh jebolnya tanggul sepanjang tujuh meter dan hujan deras yang mengguyur selama satu hari satu malam.

Pengguna jalanpun kesulitan melintas di jalan Lhoksukon-Cot Girek yang sedang digenangi banjir setinggi 20 cm. Tak hanya itu, sampah-sampah kayu yang dibawa arus banjir ke jalanan juga menyulitkan pengendara sepeda motor.

Dilokasi banjir, Danramil 08 Lhoksukon, Kapten. Inf. Saifullah, bersama anggotanya dan Tim Search and Rescue (SAR) Aceh Utara siap siaga dan siap mengevakuasi warga jika banjir semakin parah. Tim tiba dilokasi banjir setelah menerima informasi dari masyarakat.

“Kita disini siap membantu warga. Sepertinya debit air banjir inipun terus bertambah. Banjir terjadi karena ada tanggul yang jebol,” ujar Danramil, Kapten. Inf. Saifullah, kepada GreenJournalist.

Sementara dari pantauan GreenJournalist dilokasi, sejumlah warga mengemas barang berharga dan menggiring hewan peliharaan mereka ke tempat yang tidak tergenang banjir.

Menurut warga, banjir mulai datang sejak pukul 15:00 WIB yang mengikuti hujan deras. Arus yang datang sangat deras. Walhasil, dalam hitungan menit banjir pun merendam pemukiman warga.

“Kami tak mengira bahwa banjir datang secepat ini,” ujar Wahid (39) warga setempat.

Tidak ada korban jiwa akibat musibah banjir tersebut, warga pun tidak mengungsi. Namun hingga berita ini diturunkan, debit air terus bertambah dan arus semakin deras.[]

read more
Ragam

Pemerintah Aceh Lamban Tangani Bencana Longsor

Beberapa daerah di Aceh dilanda bencana banjir, bahkan ada juga yang terkena banjir bandang. Banjir menggenangi ribuan rumah dan fasilitas umum lainnya di dua kecamatan Kabupaten Nagan Raya, yaitu kecamatan kecamatan Tripa Makmur dan Kuala hingga membuat akses tranportasi lumpuh total di kawasan itu. Sementara di Kecamatan Lhoong, Kabupaten Aceh Besar ratusan rumah terendam banjir dan bahkan jalur transportasi putus akibat jalan amblas.

Sayangnya respon pemerintah Aceh untuk mengatasi dampak banjir ini kurang memadai. Salah seorang staf Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, Yusriadi yang terjun langsung ke lokasi bencana mengatakan, Pemerintah Aceh dan juga pemerintah kabupaten lamban menangani bencana longsor dan banjir.

“Pemerintah saya nilai belum siap menghadapi bencana, lamban dalam bertindak untuk mengatasi dan mengevakuasi setiap  bencana yang datang,” kata Yusriadi pada wartawan, Senin (3/10/2014).

Menurut pantauannya, sejak hari pertama terjadi longsor di Gunung Kulu dan Paro, Aceh Besar, tidak ada penanganan yang maksimal paska kejadian. Hanya warga sekitar yang bergotong royong membersihkan tumpukan longsor setinggi pinggang orang dewasa.

Padahal kecamatan Lhoong, telah terisolir dikarenakan longsor yang mengakibatkan jalan amblas. Paling tidak, ada 12 titik longsor di gunung Paro yang membuat jalur transportasi Banda Aceh-Meulaboh putus total.

Kendati demikian, Yusriadi memberikan apresiasi juga kepada Pamerintah Aceh kemudian menetapkan bencana longsor dan banjir di sejumlah daerah menjadi bencana provinsi oleh Gubernur Aceh. “Sudah tepat Pemerintah Aceh tetapkan bencana provinsi, meskipun sedikit terlambat,” tutupnya.[]

read more
Ragam

Bencana Lingkungan Hidup Pengaruhi Keamanan Negara

Awal tahun 2014, Indonesia membuka lembaran perjalanannya dengan serangkaian bencana. Diawali dari musibah erupsi Gunung Sinabung di Sumatera Utara, banjir bandang di Manado dan terjadinya curah hujan dengan intensitas yang tinggi di beberapa kawasan di Indonesia. Maka setiap musim penghujan, bencana banjir dan longsor tidak terhindarkan.

Banjir terjadi tidak hanya terjadi di ibukota Jakarta, namun melanda kawasan Pantura sehingga mengakibatkan kemacetan dan menghambat distribusi barang dan jasa. Kawasan Pantura menuju Kudus dan Pati pun terputus akibat banjir. Cuaca ekstrem yang ditandai dengan curah hujan yang tinggi mengakibatkan ternak ikan maupun hasil pertanian pun mengalami penurunan.

Masalah terkait lingkungan hidup belum dapat disandingkan dengan ancaman teroris ataupun isu keamanan lainnya. Sementara ancaman lingkungan hidup berdampak terhadap banyak hal. Jakarta yang menjadi kawasan langganan banjir apabila curah hujan tinggi seringkali menghadapi dampak akibat banjir.

Yang menjadi masalah klasik yaitu kemacetan, akses jalan yang tertutup akibat banjir maka berdampak terhadap kegiatan ekonomi. Selain itu, tingkat kenyamanan hidup pun mengalami penurunan. Akibat banjir, pengguna transportasi Kereta Rel Listrik (KRL) mengalami kendala dengan dampak terburuk tidak dapat menggunakan KRL akibat stasiun tergenang banjir.

Pengguna jalan raya, yang saat ini umumnya menggunakan kendaraan bermotor bersikap tidak tertib sehingga menimbulkan kesemrawutan di jalan raya yang memperparah dampak banjir. Selain itu, warga menjadi amat mudah gelisah apabila masa penghujan tiba. Cemas apabila tidak dapat sampai ke tempat aktivitas hingga kegelisahan menghadapi ancaman banjir.

Maka, banjir pun tidak dapat lagi dipandang sebagai isu lingkungan hidup biasa. Karena intensitas banjir yang terjadi berulang kali akan berdampak terhadap kehidupan ekonomi dan sosial. Maka sudah selayaknya permasalahan banjir, longsor, deforestasi maupun dampak-dampak negatif akibat kerusakan lingkungan hidup maupun bencana alam menjadi hal yang patut dipertimbangkan dalam aspek keamanan dalam negeri.

Keamanan menekankan pada nasib manusia, mengenai pengejaran kebebasan dari ancaman. Mengenai cara bertahan, tetapi juga termasuk kondisi yang mendukung keamanan. Keamanan menyentuh nasib sekelompok manusia dan menyentuh keamanan personal menyangkut kehidupan manusia secara individual (Buzan, 1991).

Persepsi ancaman terhadap lingkungan hidup dapat dilakukan oleh negara. Maka negara menjadi aktor yang penting karena negara harus bertanggung jawab atas pemeliharaan ekosistem (Eckersley, 2007). Maka negara harus merumuskan dan memiliki konsep mengenai persepsi ancaman lingkungan hidup.

Di Indonesia ancaman lingkungan hidup seperti apa yang masuk dalam indikator ancaman terkait skala waktu dan dampak. Sehingga negara seharusnya memiliki badan maupun lembaga kajian khusus mengenai keamanan lingkungan hidup.

Lembaga kajian khusus berupaya melakukan pengawasan dan pencatatan terkait ancaman lingkungan hidup yang kemudian dapat mengeluarkan skala prioritas ancaman lingkungan yang mana yang mendapatkan penanganan lebih awal terkait skala dampak terhadap masyarakat.

Apabila lembaga kajian khusus terbentuk, maka selain membuat cetak biru mitigasi bencana juga memberikan penyuluhan kepada lapisan masyarakat terkait ancaman lingkungan hidup. Acara penyuluhan pun dapat berperan ganda sebagai upaya menghimpun masukan dari kalangan masyarakat.

Apabila masyarakat sudah mampu mengenali ancaman lingkungan hidup maka masyarakat pun dapat mengadu ataupun mengeluh. Namun sebelum aduan masyarakat terjadi, maka diperlukan mekanisme untuk menampung aduan, keluhan dan saran dari masyarakat. Sehingga dalam menghadapi ancaman lingkungan hidup pemerintah dan masyarakat menjadi mitra. Maka tindakan saling menyalahkan apabila terjadi bencana, sudah seharusnya diganti dengan budaya kemitraan dan saling tanggap bencana, tanpa harus menunggu pemerintah bertindak. Namun negara berkewajiban memfasilitasi sehingga masyarakat tanggap dan terlatih terhadap bencana.

Selain itu, perlu upaya memasukkan materi tanggap bencana dalam kurikulum sekolah menengah. Bencana ataupun ancaman lingkungan hidup bisa terjadi pada siapa saja dan kapan pun, maka sedari dini perlu ditanamkan kesadaran hidup di daerah rawan bencana.

Manajemen evakuasi gempa dan banjir diberlakukan di sekolah berbasis kurikulum internasional. Maka seharusnya kurikulum nasional pun memuat manajemen mitigasi bencana dimulai dari lingkungan sekolah. Sehingga masyarakat terbiasa sejak dini dengan penanganan mitigasi bencana. Sehingga ketika banjir menggenangi, apabila tim relawan melakukan evakuasi, masyarakat paham dan dapat bekerja sama dengan baik dalam upaya evakuasi.

Apabila ancaman lingkungan hidup tidak ditangani dengan baik, maka potensi konflik pun tidak terhindarkan. Tentu kita tidak mengharapkan muncul konflik terlebih dahulu kemudian melakukan pembenahan, maka tindakan pencegahan lebih baik untuk dilakukan. Penanganan bencana ataupun dampak dari kerusakan lingkungan hidup apabila tidak tertangani dengan baik dan cepat maka akan menimbulkan masyarakat yang frustasi. Apabila frustasi muncul, maka konflik dan dampak lebih buruk tidak terhindarkan.

* Penulis adalah pemerhati lingkungan dan pengajar di Universitas Budi Luhur

read more
Perubahan Iklim

Sungai-sungai Lenyap dari Bangladesh

Bangladesh adalah negeri yang sangat banyak memiliki sungai tetapi perubahan iklim telah menyebabkan sepertiga dari lebih dari 300 sungai besar di negara itu menghilang.

Sungai-sungai mengering sebagai akibat dari bendungan yang dibangun hulu untuk mengalihkan air dan melindungi orang dari bencana banjir yang menjadi lebih sering karena cuaca tidak menentu. Penurunan curah hujan juga secara bertahap mengurangi debit air.  Hal ini sebagaimana dikutip dari laman scidev.net, Senin (3/3/2014).

Lenyapnya sungai telah mempengaruhi pola mata pencaharian masyarakat setempat. Banyak dari mereka yang sebelumnya mendapat penghasilan dari perikanan telah berpaling ke pertanian karena pekerjaan yang dulu tidak lagi bisa menguntungkan.

Untuk meringankan masalah tersebut, pemerintah dan LSM membangun program yang bertujuan mendorong terciptanya pasar sementara di mana orang bisa menjual barang seperti goni, molase, dan lentil. Ada juga upaya untuk meningkatkan transportasi sehingga masyarakat setempat dapat pindah ke kota-kota terdekat sampai situasi ekonomi mereka meningkat. Pemerintah juga berencana untuk menetapkan hak kepemilikan atas tanah yang telah muncul ke permukaan dari lenyapnya sungai kepada orang-orang yang keluarganya telah tinggal selama berabad-abad di dekat sungai.

Sumber: scidev.net

read more
1 2 3 4 5
Page 2 of 5