close

BBM

Kebijakan Lingkungan

Menteri ESDM: Indonesia Pengimpor Minyak Terburuk

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia, Sudirman Said menjadi pembicara utama dalam seminar nasional pengelolaan migas yang digelar Universitas Syiah Kuala (Unsyiah). Seminar nasional ini berlangsung Sabtu (27/12) di gedung AAC Dayan Dawood. Acara ini dihadiri dan dibuka langsung oleh Gubernur Aceh Zaini Abdullah. Turut juga hadir wali Nanggroe, Malik Mahmud Al-Haytar, anggota DPR-RI, Nasir Jamil, Wakil DPRA T. Irwan Djohan, Rektor Unsyiah, Prof. Dr. Ir. Samsul Rizal, M.Eng, dan para pejabat lainnya.

Dalam sambutannya, Rektor Unsyiah menilai kegiatan ini sangat penting untuk digelar. Terlebih jika merujuk pada data dan fakta, Aceh termasuk provinsi yang kaya sumber daya alam termasuk minyak dan gas.

“Tapi pengelolaan sumber daya ini tidak akan berjalan baik jika tidak didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas, serta pemahaman yang benar tentang sumber daya alam” ujar Rektor di hadapan para tetamu dan ratusan mahasiswa Unsyiah.

Ia juga menambahkan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya mineral dan gas, buka semata-mata peran dari pemerintah Aceh tapi diperlukan juga peran dari semua pihak. Termasuk diantaranya para akademisi atau institusi pendidikan di Aceh. Terlebih saat ini di Aceh, pengaturan migas serta pengelolaannya telah diatur dalam Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) nomor 11 tahun 2006, yang menegaskan cara pemanfaatan mineral dan migas yang baik dan efisien.

“Harapan kami, semoga semua pihak pengiat migas yang hadir pada seminar ini, dapat terus bersinergi dengan Universitas Syiah Kuala untuk menemukan formulasi terbaik, dalam rangka efesiensi pengelolaan sumber daya alam Indonesia”

Sementara itu, Menteri ESDM Sudirman Said yang hadir sebagai keynote speaker, menjabarkan beberapa tantangan ESDM yang terkait langsung dengan ketahanan nasional. Seperti  Rp 246 triliun dihabiskan untuk subsidi BBM dan LPG. Ini merupakan posisi terburuk di antara negara pengimpor minyak.

Tentu langkah-langkah konkret dilakukan demi peningkatan pembangunan sektor energi. Kebijakan itu dilakukan dengan meningkatkan  produksi energi primer seperti minyak, gas bumi, dan batubara. Meningkatkan cadangan operasional energi termasuk peningkatan efisiensi dalam penggunaan energi. Hingga meningkatkan pengelolaan subsidi yang lebih transparan dan tepat sasaran.

Sudirman menyadari, sektor migas paling banyak disoroti oleh masyarakat. Bahkan ia mengaku, saat pertama kali menjabat, ia merasakan kepercayaan masyarakat begitu rendah terhadap sektor ini.
“Situasi hari ini merupakan hasil apa yang kita perbuat sepuluh tahun yang lalu. ESDM jadi begini, karena ada akumulasi problem dari sebelumnya.”

Ia pun teringat saat penunjukkan langsung oleh Presiden Jokowi beberapa bulan lalu. Jokowi mengatakan, jika sektor ini berat dan banyak godaan. Jadi dibutuhkan sosok yang jujur bukan sekedar pintar.

“Ini bukan saya memuji diri sendiri, ya!” ujar Sudirman yang disambut gelak tawa peserta.

Di hadapan mahasiswa Unsyiah, Sudirman juga berpesan untuk menyiapkan diri untuk kehidupan mendatang dan siap menyongsong jalan yang lurus. Menurutnya ada dua cara, yaitu jaga identitas diri dan bangun kompetensi.

“Zaman dulu, orang melihat Anda anak siapa dan berasal dari mana. Tapi sekarang, orang tidak melihat lagi Anda asal darimana, tapi bisa apa. Semoga semakin banyak orang lurus yang mau mengurus negeri ini.”

Seminar setengah hari ini turut dihadiri para dosen, dekan serta wali nanggroe Aceh. Acara ini juga membahas dinamika pengelolaan migas untuk kesejahteraan rakyat di Aceh. Turut menghadirkan pemateri Kepala Dinas Pertambangan dan Energi di Aceh Said Ikhsan, Presiden direktur PT Perta Arun Gas Teuku Khaidir, dan Tim Reformasi Tata Kelola Migas Fahmy Radhi. (rel)

read more
Energi

BBM Mahal, Pabrik Jamu Manfaatkan Limbah Pabrik

PT Sido Muncul Tbk (SIDO) telah memanfaatkan limbah pabrik sebagai sumber energi untuk memproduksi jamu dan obat-obatan. Limbah pabrik ini lebih murah ketimbang bahan bakar minyak dan gas bumi.

“Suatu hari nanti harga bahan bakar minyak dan gas akan meningkat. Kami tidak bisa selamanya menggunakan bahan bakar fosil untuk menopang operasional perusahaan,”kata Direktur Utama Sido Muncul Irwan Hidayat, di Jakarta, Jumat (25/4/2014).

Menurutnya, volume limbah yang bisa diolah mencapai 35 ton per hari. Namun, Sido Muncul baru bisa mengolah 12 ton limbah per hari. Irwan mengungkapkan Sido Muncul tengah membidik pasar Asean dan Jepang. Untuk itu, Sido Muncul akan bekerja sama dengan perusahaan Thailand dan Jepang.

“Agar seluruh limbah yang dihasilkan bisa dimanfaatkan, perseroan perlu menambah 4-5 mesin lagi,” jelas dia. Satu mesin membutuhkan biaya investasi Rp 1,2 miliar.

“Perusahaan Jepang ingin Sido Muncul menjual produk-produk mereka di Indonesia. Sebaliknya, dia akan menjual produk Sido Muncul di Jepang,” jelas dia.

Adapun perusahaan Thailand bakal berperan menjadi distributor produk Sido Muncul untuk pasar Thailand, Vietnam, dan Kamboja. “Saat ini prosesnya baru mulai penjajakan,” jelas dia.

Sumber: merdeka.com

read more
Sains

Bisakah Batu Bara Menjadi Bahan Bakar Bersih?

Menurut para pemerhati lingkungan, batu bara bersih hanya mitos. Itu sudah jelas: Lihat saja West Virginia. Puncak-puncak Pe­gunungan Appalachia di sana sudah dipangkas menjadi lembah untuk mencapai batu bara di bawahnya, sementara sungai mengalir jingga dengan air asam. Atau lihat pusat kota Beijing. Kini, udara di sana biasanya lebih pekat daripada ruang merokok di bandara. Pencemaran udara di Cina, yang sebagian besar akibat pembakaran batu bara, dituding telah menyebabkan sejuta kematian prematur per tahun.

Ini bukanlah masalah baru. Pada akhir abad ke-17, ketika batu bara dari Wales dan Northumberland menyulut api pertama revolusi industri di Britania, penulis Inggris John Evelyn sudah mengeluhkan “bau dan kegelapan” asap yang menyelimuti London. Tiga abad ke­mudian, pada bulan Desember 1952, kabut tebal yang penuh batu bara turun di London dan menetap selama akhir pekan yang panjang, memicu epidemi penyakit pernapasan yang menewaskan hingga 12.000 jiwa pada bulan-bulan selanjutnya. Kota-kota di Amerika juga me­nanggung trauma sendiri.

Pada suatu akhir pekan Oktober 1948, di kota kecil Donora di Pennsylvania, penonton di pertandingan football SMA menyadari bahwa mereka tidak bisa melihat pemain ataupun bola: Asbut (asap kabut) dari pabrik peleburan seng berbahan bakar batu bara di dekat sana menggelapkan lapangan. Pada hari-hari berikutnya, 20 orang meninggal, dan 6.000 orang—hampir setengah kota itu—sakit.

Kalau menggunakan eufemisme para eko­nom, batu bara itu penuh “eksternalitas”—biaya berat yang ditanggung masyarakat. Batu bara adalah sumber energi kita yang paling kotor dan mematikan. Namun, berdasarkan berbagai perhitungan, batu bara juga paling murah, dan kita bergantung padanya. Jadi, per­tanyaan penting sekarang ini bukan dapat­kah batu bara menjadi “bersih”. Itu tak mungkin. Pertanyaannya, dapatkah batu bara jadi cukup bersih—tak hanya untuk mencegah bencana lokal, tetapi juga untuk mengatasi perubahan radikal dalam iklim global.

Pada Juni lalu, pada hari yang panas dan gerah di Washington, D.C., Presiden Barack Obama menyampaikan pidato tentang iklim yang selama ini ditakuti industri daya listrik dan batu bara Amerika—dan yang diharapkan pemerhati lingkungan—sejak pelantikan per­tamanya, pada 2009. Berbicara dengan ber­kemeja lengan pendek dan sesekali menyeka kening, Obama mengumumkan bahwa sebelum Juni 2014, Environmental Protection Agency (EPA) akan menyusun peraturan baru yang akan “mengakhiri pembuangan pencemaran karbon tak terbatas dari pembangkit listrik kita.” Peraturan itu akan dikeluarkan di bawah Clean Air Act, undang-undang yang sebagian terilhami oleh bencana di Donora. Undang-undang itu sudah digunakan untuk secara drastis mengurangi emisi sulfur dioksida, oksida nitrogen, dan partikel jelaga dari pembangkit listrik Amerika. Tetapi, karbon dioksida, pe­nyebab utama pemanasan global, merupakan masalah pada skala yang berbeda sama sekali.

Pada 2012, dunia mencetak rekor emisi se­besar 34,5 miliar ton karbon dioksida dari bahan bakar fosil. Batu bara menjadi kontributor ter­besarnya. Akhir-akhir ini, gas alam murah me­ngurangi permintaan batu bara di AS, te­tapi di semua tempat lain, terutama di Cina, per­mintaan tetap melonjak. Selama dua dasawarsa ke depan, beberapa ratus juta orang di seluruh dunia akan mendapat listrik pertama kalinya, dan jika pola saat ini berlanjut, sebagian besar akan menggunakan listrik yang dihasilkan oleh batu bara. Desakan paling agresif yang me­nuntut sumber energi alternatif dan peng­hematan energi sekalipun tidak akan mampu menggantikan batu bara—setidaknya, tidak dalam waktu dekat.

Secepat apa Arktika meleleh, setinggi apa laut naik, sepanas apa gelombang panas—semua unsur masa depan kita yang tak pasti ini tergantung pada tindakan dunia tentang batu bara, khususnya AS dan Cina. Apakah kita akan terus membakarnya dan membuang karbon ke udara tanpa diredam? Atau akankah kita menemukan cara untuk menangkap karbon, seperti sulfur dan nitrogen dari bahan bakar fosil, dan menyimpannya di bawah tanah?

“Kita perlu sekuat tenaga menuntut ener­gi terbarukan dan efisiensi energi, dan pe­ngurangan emisi karbon dari batu bara,” kata peneliti Stanford University, Sally Benson, yang berspesialisasi di bidang penyimpanan karbon.

Sumber: NGI

read more
Energi

Peneliti UGM Produksi BBM dari Limbah Biomassa

Riset selama dua tahun terakhir, yang dilakukan oleh Profesor Arief Budiman bersama delapan mahasiswa S3 dan S2 bimbingannya, menghasilkan temuan teknologi menarik. Pengajar Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada itu menemukan cara memproduksi bensin dan minyak tanah dari bahan sisa-sisa tanaman perkebunan, hutan dan pertanian alias biomassa.

“Kami sedang menyempurnakan riset ini agar bisa diaplikasikan di industri energi terbarukan,” kata Arief kepada Tempo di kampus Fakultas Teknik UGM pada Jumat, (10/1/2014).

Arief menguji teknologinya ini ke biomassa dari sisa-sisa tanaman yang berstruktur pejal, seperti tandan kelapa sawit, ranting dan cabang kayu hutan produksi serta ampas sisa perasan tebu atau bagasse. Dalam catatannya, aktivitas perkebunan kelapa sawit di Indonesia diperkirakan menghasilkan 20 juta ton tandan kosong selama 2014.

Sementara kegiatan penebangan kayu di hutan produksi biasanya hanya mengambil 40-60 persen dari komponen pohon saja. Jumlah biomassa berstruktur pejal lebih besar lagi apabila ditambah dengan sisa kayu perkebunan dan ampas perasan tebu di pabrik gula yang kerap terbuang percuma. “Batang padi sisa panen petani juga bisa dimanfaatkan sebagai bahan,” kata dia.

Dia memperkirakan saat ini Indonesia memiliki bahan limbah tandan kelapa sawit dan kayu hutan serta perkebunan sekitar 98 juta ton per tahun. Teknologi hasil penelitiannya menemukan cara memerah bensin dari biomassa dengan hasil 10 persen dari bahan. “Dari 98 juta ton biomassa bisa didapatkan 9,8 juta ton minyak atau 235.000 barrel per hari, jadi 20 persen dari kebutuhan BBM nasional,” kata dia.

Secara ringkas, teknologi pengubahan biomassa menjadi bahan bakar minyak ini terbagi dalam tiga tahap. Menurut Arief, bahan biomassa di tahap awal diolah dalam proses bernama pirolisis. Tahapan ini berupa mengonversi biomassa padat menjadi gas, cairan dan arang atau char lewat pemanasan dengan oksigen minim pada suhu 500-an derajat celcius.

Cairan hasil proses pirolisis, yang berwarna hitam pekat seperti kopi kental, merupakan bio-oil. Bahan ini sebenarnya berpotensi menjadi beragam produk jadi berbahan minyak seperti bensin, minyak tanah, oli hingga biodiesel alias solar. “Saya lebih fokus ke bensin karena ini yang paling dibutuhkan saat ini,” kata akademikus yang menekuni riset energi terbarukan sejak 1997 ini.

Menurut Arief bio-oil kemudian dimasukkan dalam peralatan lain untuk menjalani proses cracking atau perengkahan. Perengkahan dalam suhu 700 derajat celcius dilakukan dengan melibatkan zat katalis untuk membuat proses pemecahan rantai molekul lebih efektif. “Banyak zat katalis yang potensial dipakai, salah satu yang kami manfaatkan ialah zeolit,” kata Arief.

Cairan hasil dari proses perengkahan tersebut kemudian menjalani proses distilasi atau pemisahan zat dengan membedakan titik didih. Hasilnya, dua jenis cairan, yakni gasolin alias bensin dan kerosin atau minyak tanah. Gasolin berupa cairan berwarna kuning keemasan, sementara kerosin, kuning kehitaman.

Dia mengaku belum menguji tingkat efektivitas bensin dari bahan biomassa ini pada mesin, meskipun unsur kimiawinya sudah mirip seperti bensin dari bahan fosil. Arief masih mendalami kemungkinan efek tingkat keasaman yang tinggi dari bahan itu. “Kami akan kerja sama dengan peneliti di teknik mesin UGM,” kata Arief.

Dia juga menjelaskan ada satu teknologi lagi yang melengkapi hasil riset ini agar bisa teraplikasi secara mudah dalam industri. Dia merakit alat khusus yang berfungsi menyerap gas panas dari dua tabung baja tempat proses pirolisis dan perengkahan berlangsung. Fungsinya menyimpan limbah gas bersuhu tinggi untuk dimanfaatkan lagi dalam proses pirolisis atau perengkahan selanjutnya.

Arief menyebut alat tersebut berfungsi melakukan oksidasi parsial. Intinya menyimpan panas hasil proses di dua alat lain agar limbah gas tak terbuang dan mengurangi kebutuhan energi penaik suhu.

Dengan begitu, proses produksi bensin dari biomasaa ini miskin limbah. Sebabnya, arang hasil proses pirolisis atau biochar juga bisa dipakai untuk menyerap karbon tanah karena tekstur dalamnya yang berongga. “Bisa di tanam di lapisan tengah tanah dan membantu kesuburan karena menyerap karbon,” kata Arief.

Kalau ketiga peralatan tadi diintegrasikan, maka sudah layak jadi skema industri energi terbarukan. Kebetulan dia sudah membuat miniatur model industri yang memakai konsep pengintegrasian alat itu di laboratoriumnya. “Masih kami teliti lagi agar konsepnya matang,” kata dia.

Seorang mahasiswa S3 bimbingan Arief yang pernah berkunjung ke Brazil, Dani mengatakan model industri energi terbarukan yang terintegrasi sudah lazim dipraktikkan di negeri samba itu. Di sana semua pabrik gula memproduksi gula sekaligus etanol untuk bahan bakar kendaraan. “Kalau gula harganya naik, dipakai untuk produksi gula, tapi kalau turun, etanol yang diproduksi pabrik tebu di sana,” kata dia.

Semua proses riset teknologi mengubah biomassa jadi bensin ini dilakukan di laboratorium sederhana seluas separuh lapangan tenis. Dindingnya terbangun dari tumpukan batako tanpa pelapis semen tembok. Lokasinya ada di tebing pinggiran Kali Code yang meliuk tepat di belakang kompleks kampus Fakultas Teknik UGM.

Sumber: tempo.co

read more
Energi

Krisis Lebah Landa Eropa

Para peneliti memperingatkan akan jumlah lebah yang terlalu sedikit di Eropa. Jika ada lebih banyak lebah, produksi bahan bakar hayati bisa bertambah.

Peternak lebah, aktivis lingkungan dan ilmuwan di Eropa mengeluhkan jumlah lebah yang semakin berkurang dan khawatir akan buah dan sayur yang tidak bisa diserbuki lagi. Tapi di waktu bersamaan, muncul laporan yang mengatakan bahwa jumlah populasi lebah madu di seluruh dunia bertambah pesat hingga mencapai tujuh persen.

Menurut Peter Rosenkranz dari Universitas Hohenheim, jumlah lebah bertambah karena kini ada lebih banyak peternak lebah. “95 persen populasi lebah adalah berkat para peternah lebah madu”, jelas pakar biologi tersebut. Jadi mereka bisa menentukan, berapa banyak lebah yang beterbangan di ladang dan rumput. Namun, setiap tahun jumlahnya juga berkurang karena dampak bahan kimia dan parasit Tungau Varroa. Pada musim dingin, jumlah lebah yang mati mencapai 30 persen seluruh populasi. Jumlah tersebut harus digantikan di musim semi.

Masalah yang lebih besar adalah jumlah lebah yang hidup secara liar. Khususnya di lokasi pertanian yang menyemprotkan pestisida dalam jumlah besar, hampir tidak ada lagi lebah liar.

Lebah ‘to go’
Hasil penelitian terbaru para ilmuwan dipublikasikan di majalah online PLOS ONE. Mereka menuntut adanya lebih banyak lebah bagi lebih banyak tanaman untuk kepentingan produksi bahan bakar hayati. Ini berarti petani harus memesan lebah dari peternak lebah sesuai kebutuhan dan membayarnya. Sisanya akan dilakukan para lebah dengan sendirinya. Tren layanan lebah sebagai serangga penyerbuk utama mulai ditemukan di Eropa. Di negara lain seperti Amerika Serikat atau Cina, ini sudah menjamur.

Pertanyaan berikutnya adalah: tanaman apa yang diperlukan? Dari raps atau bunga matahari akan diperoleh madu berkualitas baik. Tapi sayangnya, petani lebih sering menanam jagung untuk produksi bahan bakar bio di Eropa. Rosenkranz menjelaskan, “Jagung bukan tanaman yang disukai lebah.” Jadi jagung tidak akan menguntungkan bagi peternak lebah. Karena itu para peneliti menuntut dipilihnya tanaman bagi produksi bahan bakar bio yang juga “menarik” bagi para peternak lebah.

Tanaman ramah lebah
Alternatif lain masih ada. Misalnya menghasilkan bahan bakar dari taman bunga. Hasilnya memang lebih sedikit. Kira-kira hanya 30 hingga 40 persen. Kelebihannya, lebah akan bekerja di lokasi yang lebih sehat dan berbagai spesies bunga akan terus mengalami reproduksi. Tapi Rosenkranz khawatir, para petani tidak akan menyetujuinya. Sulit untuk meyakinkan mereka untuk merelakan keuntungan lima hingga sepuluh persen demi taman bunga yang ekologis.

Saat ini ilmuwan di pusat teknologi pertanian Augustenberg (LTZ) tengah menguji berbagai campuran serbuk sari yang berbeda-beda. Campuran tersebut harus ramah bagi lebah dan ekologis.
Sumber: dw.de

read more
Energi

Sedang Dikaji Pemakaian Biofuel untuk Pesawat

Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sepakat untuk memanfaatkan bahan bakar nabati bagi pesawat udara (aviation biofuel). Kedua kementerian juga akan memanfaatkan energi terbarukan (renewable energy) secara berkelanjutan untuk kebutuhan energi di bandar udara.

“Kedua program tersebut merupakan bagian dari aksi Kementerian Perhubungan dalam penanggulangan perubahan iklim dan mitigasi gas rumah kaca,” kata Menteri Perhubungan, E.E. Mangindaan, dalam sambutan kerja sama kedua kementerian melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Udara dan Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi di Jakarta, Jumat 27 Desember 2013.

Mangindaan menjelaskan, upaya itu dilakukan dengan mempertimbangkan potensi dan sumber daya nasional di bidang bioenergi serta energi terbarukan. Aksi tersebut juga menjadi bagian dari upaya nasional dalam program konservasi energi.

Pemanfaatan aviation biofuel pada pesawat udara dan renewable energy pada bandar udara, dia menambahkan, akan berkontribusi dalam substitusi bahan bakar minyak berbasis fosil secara bertahap.

Kesepakatan bersama tersebut juga merupakan tindak lanjut atas kebijakan, strategi, dan langkah aksi program Rencana Aksi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) Kementerian Perhubungan yang telah ditetapkan dalam Keputusan Menteri Perhubungan No. 201 Tahun 2013.

Dalam keputusan itu antara lain mencakup implementasi aviation biofuel dengan bauran 2 persen pada 2016 dan target bauran 3 persen pada 2020. Demikian juga dengan pemanfaatan energi terbarukan, yaitu sebesar 7,5 megawatt pada bandar udara hingga 2020.

Kesepakatan bersama tersebut juga menetapkan dibentuknya tim kerja yang akan melibatkan kedua kementerian beserta operator dan pemangku kepentingan lainnya. Mereka bertanggung jawab melakukan kegiatan perencanaan, pra pelaksanaan, dan pelaksanaan secara berkelanjutan mulai 2014 hingga 2016.

Tim akan fokus pada empat aspek utama, yaitu pertama, penguatan kelembagaan, regulasi, sumber daya manusia, tata kelola dan bisnis proses.

Kedua, studi, riset, dan pengembangan. Ketiga, uji coba dan persiapan sertifikasi, dan keempat adalah analisis komersial serta harga, produksi, dan keberlanjutan.

Tim kerja tersebut akan mendapatkan pendampingan dan bantuan teknis melalui program kerja sama dengan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) MSA Annex 5 yang telah ditandatangani pada Oktober 2013 di Montreal, Kanada.

Turunkan emisi gas rumah kaca
Mangindaan menambahkan, melalui kerja sama itu, pemerintah berupaya menanggulangi dampak perubahan iklim dan mitigasi gas rumah kaca seperti telah disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pertemuan G20 di Pittsburgh, AS.

Pemerintah berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen pada 2020 dengan upaya sendiri dan sebesar 41 persen dengan dukungan internasional.

Dia menjelaskan, pemerintah melalui Perpres No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Gas Rumah Kaca dan Perpres No. 71 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional, telah memberikan landasan hukum bagi kementerian dan lembaga, khususnya sektor energi serta transportasi untuk menjabarkan program RAN-GRK secara berkelanjutan hingga 2020.

Khusus untuk inisiatif program dan pemanfaatan bahan bakar nabati pada pesawat udara dan energi terbarukan pada bandar udara telah tercakup dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 201 Tahun 2013. Keputusan itu diperkuat dengan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 25 Tahun 2013, yaitu mempercepat kontribusi nasional dalam penurunan emisi gas rumah kaca.

“Aksi itu dalam kerangka melakukan konservasi energi sesuai target nasional, yaitu dengan bauran 5 persen biofuel dan energi terbarukan pada 2025,” tuturnya.

Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) maupun Organisasi Maritim Internasional (IMO) telah meletakkan kerangka dasar strategi dalam penanggulangan perubahan iklim dan mitigasi emisi gas rumah kaca itu. Upaya yang dilakukan antara lain pengembangan teknologi dan rancang bangun sarana bergerak, mesin pendorong, dan prasarana yang lebih hemat konsumsi bahan bakar dan energi.

Selain itu, pengembangan tata kelola, bisnis proses, dan operasional serta perawatan sarana bergerak serta titik simpul yang efisien dan hemat bahan bakar atau energi. Upaya lain, peningkatan jalur-jalur, rute-rute, manajemen lalu lintas penerbangan, serta pelayaran yang lebih efisien dan hemat bahan bakar.

Langkah selanjutnya adalah pengembangan bahan bakar alternatif dan energi terbarukan untuk sarana bergerak maupun prasarana bandar udara dan pelabuhan.

“Strategi itu memberikan gambaran bahwa upaya penurunan emisi sektor transportasi sangat erat hubungannya dengan efisiensi bahan bakar dan konservasi energi berbasis fosil,” tuturnya.

Dia juga menjelaskan, kontribusi gas rumah kaca dalam berbagai aktivitas transportasi secara nasional cenderung meningkat, seiring dengan pertumbuhan sektor transportasi dan ekonomi nasional. Kondisi itu juga dipengaruhi pertumbuhan aktivitas industrialisasi serta mobilitas barang, dan pertumbuhan populasi, sebaran, serta mobilitas sumber daya manusia.

“Kenaikan pertumbuhan sektor transportasi darat, laut, dan udara maupun kereta api berkontribusi signifikan terhadap kenaikan emisi gas rumah kaca,” ujarnya.

Kegiatan di sektor transportasi itu, menurut dia, masih didominasi oleh pertumbuhan penggunaan energi berbasis fosil, yaitu bahan bakar minyak (BBM) yang menghasilkan emisi gas rumah kaca.

Keberhasilan pemanfaatan bahan bakar nabati dan energi terbarukan itu menjadi tantangan dan perlu disikapi bersama, dengan mensinergikan segala elemen dan sumber daya nasional maupun internasional. Upaya ini diharapkan dapat memberikan daya ungkit (leverage) maksimal bagi pencapaian target pengurangan emisi gas rumah kaca itu.

Sementara itu, Menteri ESDM, Jero Wacik, mengatakan, upaya pemanfaatan bahan bakar nabati dan energi terbarukan itu merupakan kerja sama untuk mengurangi impor bahan bakar minyak yang jumlahnya sangat besar dan membebani anggaran negara.

“Kita impor BBM ongkosnya setengah triliun rupiah setiap hari. Dengan adanya ini, pelan-pelan kita alihkan ke aviation biofuel dan gas,” kata Wacik.

Menurut Wacik, pemanfaatan energi baru terbarukan di Indonesia masih tergolong sangat kecil, hanya 5 persen dari total bauran energi nasional. Padahal, Indonesia memiliki potensi bahan bakar nabati terbesar kedua setelah Brasil.

Maskapai mendukung
Sementara itu, manajemen PT Garuda Indonesia Tbk menyambut positif rencana penggunaan biofuel tersebut sebagai bahan bakar pesawat.

“Kami mendukung biofuel tersebut dan perlu diuji coba,” kata Direktur Utama Garuda, Emirsyah Satar, melalui pesan tertulisnya, Jumat, 27 Desember 2013.

Namun, Emirsyah mengatakan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan bahan bakar itu. “Yang paling penting adalah terkait harga,” tuturnya.

Dia menjelaskan, harga biofuel yang jauh lebih mahal dibanding avtur biasa, bisa membuat biaya operasi meningkat. “Selain itu, perlu diperhatikan soal kepastian suplainya,” kata dia.

Emirsyah menambahkan, bahan bakar menyerap 40 persen dari biaya operasi maskapai penerbangan pelat merah itu.

Maskapai Lion Air pun tidak mempermasalahkan penggunaan biofuel sebagai bahan bakar pesawatnya. Asalkan, ada satu syarat yang harus dipenuhi.

“Kami, sih, prinsipnya tidak masalah (menggunakan biofuel),” kata Direktur Umum Lion Air, Edward Sirait, ketika dihubungi media.

Edward mengatakan, Lion Air dengan senang hati akan menggunakan bahan bakar itu sebagai sumber energi mesin pesawatnya. Tapi, itu bisa dilaksanakan kalau sudah “diamini” oleh perusahaan pembuat pesawat.

“Itu kalau memang sudah diperbolehkan pabrik pembuat pesawat. Kami kan tidak bisa menentukan sendiri (penggunaan) biofuel,” kata dia.

Dia pun mengatakan bahwa maskapainya belum mendapatkan informasi tentang kemungkinan mesin pesawat-pesawat yang dioperasikan Lion Air, menggunakan biofuel. Selama ini, maskapai berlambang singa terbang ini menganggarkan dana puluhan persen untuk biaya bahan bakar.

“Sekitar 40-45 persen dari total operational cost,” kata dia.

Namun, dia tidak menyebutkan secara pasti jumlah avtur yang “ditenggak” pesawat-pesawatnya. “Itu, kan tergantung operasionalnya, tergantung jam terbangnya,” kata dia. []
Sumber: vivanews.com

read more
Energi

Biji Kemiri Potensi untuk Dikembangkan sebagai Biodiesel

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menggandeng Kementerian Pertanian dalam memanfaatkan kemiri sunan untuk dijadikan alternatif bahan bakar nabati (BBN) jenis biodiesel.

Seperti dikutip dari situs resmi Kementerian ESDM, tanaman yang bernama latin Reutealis Trisperma (Blanco) Airy Shaw, itu akan dibudidayakan untuk lahan bekas tambang, sekaligus reklamasi dan konservasi bekas pertambangan yang akan menghasilkan bahan biodiesel. Tanaman asli Filipina ini juga bisa digunakan untuk konservasi lahan kritis.

Menurut situs tersebut, dari sisi produktivitas minyak, kemiri sunan lebih baik daripada tanaman penghasil minyak nabati lainnya, seperti sawit dan jarak pagar.

Tanaman ini mulai berbuah sejak umur empat tahun dan mengalami puncaknya pada umur delapan tahun. Produktivitas biji berkisar 50-300 kg per pohon per tahun dengan rendemen minyak kasar sekitar 52 persen. Rendemen biodiesel mencapai 88 persen dari minyak kasar, sisanya berupa gliserol.

Pengembangan kemiri sunan di wilayah reklamasi pertambangan ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sarana konservasi lahan untuk menghutankan kembali lahan-lahan kritis, guna meningkatkan kualitas lingkungan hidup.

Selain itu, sebagai sumber pasokan diversifikasi bahan baku untuk menghasilkan minyak biodiesel yang ramah lingkungan (satu hektare lahan dengan 100-150 pohon kemiri sunan dapat menghasilkan 6-8 ton biodiesel per tahun), sebagai pengganti bahan bakar minyak dan mengurangi ketergantungan pada impor bahan bakar minyak.

Upaya itu juga dapat meningkatkan perekonomian masyarakat dengan terciptanya lapangan kerja dan pengembangan usaha, investasi di dalam negeri, pengembangan sektor industri hilir pertanian, serta peningkatan nilai tambah produk dalam negeri.

Manfaat lain sebagai peningkatan kualitas lingkungan dengan pengurangan emisi gas rumah kaca, pengurangan tingkat polusi udara, serta membaiknya kualitas udara, kesehatan umum, dan kesejahteraan masyarakat

Pengembangan itu juga untuk meningkatkan ketahanan energi nasional melalui penyediaan biodiesel yang berasal dari tanaman yang tidak berkompetisi dengan bahan baku makanan dan industri. []

Sumber: vivanews.com

read more
Energi

Membangun Biogas Plant Membantu Selamatkan Lingkungan

Biogas mengacu pada energi terbarukan yang dihasilkan melalui limbah biologis. Hal ini merupakan energi ramah lingkungan karena diproduksi dari semua jenis limbah makhluk hidup seperti tanaman, hewan dan kotoran manusia.

Plant (pembangkit-red) Biogas menangkap gas metana yang dihasilkan dari dekomposisi bahan biodegradable dan membentuk energi yang dapat digunakan dalam kehidupan kita sehari-hari. Tapi apakah Anda pernah berpikir bagaimana plant ini bekerja. Plant pada dasarnya memiliki tangki yang besar disebut Digester, di mana limbah dikumpulkan. Plant juga bekerja sebagai converter karena sampah organik terkumpul dan berubah menjadi gas. Berikut beberapa manfaat dari biogas dan apa yang manfaat plant bagi lingkungan.

1. Generator listrik : Gas metana yang dihasilkan dalam digester dipindahkan ke ruang yang berbeda di mana gas dibakar dan energi yang dihasilkan dialirkan ke turbin yang akhirnya menghasilkan listrik. Listrik yang dihasilkan dapat digunakan untuk tujuan yang berbeda dalam kehidupan kita sehari hari. Selain itu, listrik yang dihasilkan melalui plant gas ini lebih cerah dan lebih aman bila dibandingkan dengan lampu minyak tanah yang sebagian besar digunakan di daerah-daerah pertanian.

2. Pupuk : Sampah yang tersisa setelah pembakaran gas metana dapat digunakan sebagai pupuk tanaman karena mereka aman, kaya nutrisi dan juga organik. Pupuk ini bisa langsung dipakai pada tanaman untuk meningkatkan produktivitas. Pupuk ini murah dan memiliki dampak negatif yang lebih sedikit dibandingkan dengan pupuk kimia yang banyak tersedia di pasar.

3. Energi Panas : Ketika metana dibakar, sejumlah besar panas dihasilkan. Panas ini ditangkap dan digunakan untuk beberapa tujuan seperti pemanas ruangan. Beberapa industri menggunakan panas ini untuk membuat gerakan mekanis yang akhirnya mengurangi polusi dan membantu melindungi alam.

4. Pengurangan Metana di Atmosfer : Metana adalah gas rumah kaca, yang dihasilkan oleh bakteri yang memecah sampah organik dari aktivitas manusia. Metana memiliki dampak yang besar pada pemanasan global, meskipun konsentrasi lebih rendah dari CO2 . Metana dianggap sebagai gas yang merusak setelah karbon dioksida. Saat ini para ilmuwan lebih terfokus pada pengurangan emisi metana. Plant Biogas memainkan peran utama di sini, mengumpulkan metana dan mengubahnya menjadi menjadi listrik sehingga membantu melindungi lingkungan kita. Gas yang dibebaskan setelah pembakaran metana adalah karbon dioksida. Meskipun juga merupakan gas rumah kaca, tetapi kerusakan yang disebabkan oleh ke atmosfer adalah 20 kali lebih sedikit dibandingkan bila dibandingkan dengan metana mentah.

5. Pengurangan bau : Jika Anda tinggal di dekat peternakan atau pertanian,  Anda akan tahu bahwa bau yang dipancarkan dari limbah peternakan ini adalah betapa menjengkelka. Plant Biogas membantu mengurangi bau. Plant mengumpulkan sampah bio dan membakarnya untuk menghasilkan listrik. Listrik ini dapat digunakan di daerah pertanian untuk memasak, penerangan rumah dan kegiatan lainnya. Mesin pertanian juga dapat dijalankan menggunakan listrik yang dihasilkan oleh plant ini.

Sumber: greenerideal.com

read more
1 2
Page 1 of 2