close

bencana

Ragam

Beudoh Gampong Selenggarakan Seminar “Pageu Gampong” Hari Ini

Banda Aceh – Di masa lalu gampong (kampung) berpengaruh besar dalam pembentukan jiwa dan karakter keacehan yang tangguh. Tapi setelah bencana gempa dan tsunami di Aceh, peran gampong mulai agak berkurang. Dahulu ada istilah pageu gampong yakni sistem penjagaan adat dan budaya gampong yang memiliki ketahanan terhadap rongrongan, intervensi, atau pengaruh anasir luar.

(more…)
read more
Sains

Mitigasi Bisa Perkuat Pengurangan Risiko Bencana Aceh

Banda Aceh – Mitigasi bencana perlu ditanamkan sejak dini kepada masyarakat sejak usia sekolah. Hal ini penting karena Aceh merupakan Provinsi yang rawan terjadinya bencana. Bahkan sudah sepatutnya mitigasi bencana masuk ke dalam kurikulum pendidikan. Selain itu perlu selalu dipraktekkan misalnya melalui simulasi bencana, seperti gempa bumi dan banjir yang paling sering terjadi selama ini.

Wakil Ketua Forum Pengurangan Resiko Bencana (PRB) Aceh, TM Zulfikar dalam siaran persnya, Sabtu (1/12/2018) mengatakan bahwa tidak semua bencana itu membunuh. Gempa bumi misalnya, justru korban tewas karena tertimpa bangunan-bangunan yang roboh, ujarnya.

Di beberapa Negara misalnya saja di Jepang, sering terjadi bencana alam, kerap diguncang bencana gempa bumi yang besar. Namun, korban jiwa bisa diminimalisir dengan mitigasi. Oleh karena itu berbagai upaya terkait Pengurangan risiko bencana (PRB) perlu terus dilakukan.

Pengurangan risiko bencana adalah konsep dan praktek mengurangi risiko bencana melalui upaya sistematis untuk menganalisa dan mengurangi faktor-faktor penyebab bencana. Mengurangi paparan terhadap bahaya, mengurangi kerentanan manusia dan properti, manajemen yang tepat terhadap pengelolaan lahan dan lingkungan, dan meningkatkan kesiapan terhadap dampak bencana merupakan contoh pengurangan risiko bencana.

Pengurangan risiko bencana meliputi disiplin seperti manajemen bencana, mitigasi bencana dan kesiapsiagaan bencana, tetapi PRB juga merupakan bagian dari pembangunan berkelanjutan. Agar kegiatan pembangunan dapat berkelanjutan mereka juga harus mengurangi risiko bencana.

Semua elemen masyarakat perlu bekerja lebih keras dalam menyebarkan kepedulian dan mengembangkan semangat bersama agar masyarakat memiliki kesadaran, wawasan dan kemampuan di bidang kebencanaan. (rel)

read more
Kebijakan LingkunganRagam

Pakar Diskusikan Respons Pemerintah Aceh Terkait Pengurangan Resiko Bencana

Banda Aceh  – Forum Pengurangan Risiko Bencana (F-PRB) Aceh menggelar diskusi publik bertema Mengenali Potensi Bencana, Mengurangi Risikonya, di Aula Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Gampong (DPMG) Aceh di Banda Aceh, Senin 25 Desember 2017 lalu.

Ketua Panitia Pelaksana, Ir TM Zulfikar MP yang juga Wakil Ketua F-PRB Aceh mengatakan, diskusi tersebut menghadirkan HM Nasir Jamil SAg MSi (anggota Komisi Hukum DPR RI Fraksi PKS) sebagai keynote speaker. Ikut mendampingi Nasir Jamil pakar bencana dari Aceh, Dr Taqwaddin SH SE MSi (Ketua Dewan Pakar F-PRB Aceh/Kepala Ombudsman RI Perwakilan Aceh) dan Mukhsin Syafi’i ST MT (BPBA).

Menurut Zulfikar, diskusi publik yang dimoderatori oleh Yarmen Dinamika (Redpel Harian Serambi Indonesia yang juga Wakil Ketua Forum PRB Aceh) juga menghadirkan narasumber Kepala DPMG Aceh, Prof Dr Ir Amhar Abubakar MSc yang akan mengupas soal bisa tidaknya pengalokasian dana desa untuk program yang terkait pengurangan risiko dan penanggulangan bencana.

Peserta aktif diskusi publik tersebut, lanjut Zulfikar adalah keuchik/aparat gampong dan perwakilan tokoh perempuan dari desa-desa yang rawan bencana di wilayah Kota Banda Aceh dan Aceh Besar. Peserta diskusi diharapkan akan menceritakan berbagai pengalaman mereka ketika masa darurat pascabencana serta upaya apa saja yang dilakukan pemerintah selama ini sebagai bentuk edukasi pengurangan risiko bencana. “Diskusi ini menjadi penting jika dikaitkan dengan target Pemerintah Aceh di bawah kepemimpinan Irwandi-Nova untuk menjadikan Aceh teuga dan tangguh menghadapi bencana,” kata Zulfikar.

Berbagai informasi yang berkembang di forum diskusi akan ditanggapi langsung oleh Nasir Jamil bersama pakar-pakar kebencanaan termasuk Kepala DPMG Aceh yang secara khusus akan memberikan penjelasan kepada para keuchik mengenai pengelolaan dana gampong termasuk untuk program pengurangan risiko bencana seperti untuk penguatan komunitas masyarakat dan desa siaga bencana, simulasi penanggulangan bencana, dan berbagai program lainnya yang disesuaikan dengan tujuan membentuk masyarakat Aceh teuga dan tangguh bencana.(rel)

read more
Perubahan Iklim

Walhi Aceh Sebut Galian C Sumber Malapetaka Kehidupan

walhi-aceh-sebut-galian-c-sumber-malapetaka-kehidupan
Ilustrasi tambang galian C. ©2015 Merdeka.com

Kekeringan melanda sebagian wilayah Indonesia, tak terkecuali di Aceh. Kekeringan juga berakibat fatal pada petani yang terpaksa harus merogoh kocek lebih dalam untuk mengaliri air ke sawah. Mereka harus membeli bahan bakar minyak supaya pompa bisa hidup dan mengaliri air ke sawah.

Petani di Gampong Siron Blang, Kecamatan Kuta Glie, Kabupaten Aceh Besar pernah mengalami krisis air hingga sawah mengering. Padahal mereka berdekatan dengan waduk dan sebelumnya tak pernah mengalami kekeringan. Di Kabupaten Pidie juga merasakan hal yang sama. Kekeringan membuat petani gagal panen, sehingga padi yang telah ditanam hanya menjadi pakan ternak. Petani merugi.

Salah satu penyebab kekeringan bukan hanya musim kemarau panjang. Walhi menyebut proyek galian C salah satu faktor penyebab terjadinya krisis air tanah. Banyak orang mengabaikannya karena beranggapan pertambangan jenis ini tidak terlalu berpengaruh terhadap dampak ke lingkungan.

“Selama ini banyak orang beranggapan galian C enggak berpengaruh. Padahal sangat berpengaruh terhadap ketersediaan air tanah,” kata Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, Muhammad Nur saat ditemui di kantornya, Senin (11/9).

Dua bulan lalu publik dikagetkan mengeringnya sumber air di kawasan Mata Ie, Kabupaten Aceh Besar yang merupakan daerah sumber air. Selama ini, sumber air tersebut tidak pernah kering saat musim kemarau panjang. Akan tetapi, Juli 2017 lalu kolam sumber air di kawasan Mata Ie itu kering.

Walhi Aceh menilai, kekeringan yang melanda Banda Aceh dan Aceh Besar dua bulan terakhir tidak terlepas banyaknya sumber produksi air yang terganggu. Seperti perambahan hutan secara besar-besaran, galian C yang tak terkontrol hingga terganggu sumber produksi air tanah.

Nur menjelaskan, dampak yang paling nyata pertambangan galian C adalah rusaknya sumber air. Pasir, batu atau tanah yang dikeruk semakin mempersempit ruang gerak air untuk mengaliri dan memproduksi, sehingga terjadilah kekeringan.

“Galian C yang paling berdampak itu ketersediaan air,” ungkap Muhammad Nur.

Selain itu, galian C juga akan merusak tanaman pertanian. Resapan air semakin kecil akibat galian C. Sehingga suplai air ke sawah berkurang dan berakibat gagal panen.

Bila sumber air terganggu, dipastikan menjadi malapetaka bagi kehidupan masyarakat. Air yang menjadi kebutuhan pokok makhluk hidup terus berkurang hingga berakibat fatal.

Fakta perusahaan galian C yang beroperasi di seluruh Aceh sebanyak 131 pengusaha, baik eksploitasi, eksplorasi maupun produksi. Dari jumlah tersebut Walhi Aceh menduga 50 persen dari jumlah tersebut diduga ilegal. Belum lagi masih terdapat penambang galian C yang tidak terdata oleh pemerintah.

Dugaan ini berdasarkan data tercatat dari Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Aceh di Aceh Besar hanya ada 1,5 hektar galian C pasir dan batu. Fakta di lapangan, galian jenis tersebut tersebar dimana-mana. Seperti di Genteng, Kecamatan Peukan Bada, Krueng Raya, Krueng Jreu dan sejumlah tempat lainnya di Aceh Besar.

Selama ini Distamben Aceh menutup rapat data lengkap perusahaan galian C di Aceh. Saat Walhi Aceh meminta data tersebut, hanya diberikan tabel daftar pengusaha, baik perseorangan maupun perusahaan.

Walhi Aceh menilai, sulitnya mendapatkan data lengkap mengenai kelengkapan administrasi perusahaan galian C di Aceh, mengindikasikan banyak perusahaan belum melengkapi data sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

“Ini menunjukkan bahwa ada banyak praktik galian C secara illegal di Aceh Besar,” ucapnya. [merdeka]

read more
Ragam

Pilkada & Kerusakan Lingkungan Hidup di Jambi

Tahun 2015 menjadi tahun yang sangat berarti bagi Provinsi Jambi  dan Kabupaten/kota lainnya, karena tahun 2015 menjadi momentum tahun politik untuk menyeleksi Pemimpin Daerah, baik Provinsi maupun Bupati dan Walikota. Para pemimpin ini mungkin akan menjadi pemimpin ter(baik) untuk membawa Propinsi/Kabupaten/kota menjadi lebih mandiri dan maju dalam pembangunan.

Pelaksanaan Pilkada dengan sistem terbaru sesuai UU No 1 tahun 2015 tentang Pilkada yang akan di implementasikan pertama di Prop Jambi, yaitu pemilihan gubernur. Selain itu ada Pilkada 5 Kabupaten/Kota yang bakal dilaksanakan serentak tahun ini, yaitu Bungo, Tanjung Jabung Timur, Tanjung Jabung Barat, Batanghari dan Sungaipenuh, Desember 2015.

Momentum Pilkada ini sangat penting bukan saja menjadi ajang pemilihan pemimpin, namun yang lebih penting bagaimana pemimpin yang akan muncul dan pemimpin yang terpilih memahami kondisi yang tengah dan sedang terjadi baik ekonomi. Salah satu persoalan mendasar adalah persoalan lingkungan yang terkesan sangat memprihatinkan dan menjadi agenda rutin tahunan di Propinsi Jambi, terutama terkait dengan bencana bajir dan kebakaran hutan, yang merugikan secara ekonomi bahkan nyawa, dan merugikan aspek politik secara Internasional.

Marilah kita fahamilah bahwa Pilkada, adalah sarana dan bukan tujuan, sedangkan tujuan yang ingin dicapai adalah  memilih pasangan pemimpin yang baik, tepat dan benar untuk mampu mewujudkan tujuan dan fungsi pembangunan yang diamanah UUD 1945. Melalui upaya keselarasan, keserasian, kesimbangan, dan kebulatan yang utuh dalam seluruh kegiatan pembangunan, yang merupakan proses untuk mewujudkan visi negara yang maju, aman, damai dan sejahtera. Tentunya sebuah sarana tidak  mengganggu pencapaian tujuan bersama dimasing-masing wilayah yang bersinergi dengan tujuan dan visi negara.

Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, sesungguhnya Pilkada memiliki makna penting dan strategis. Momentum tersebut tidak hanya memberikan peluang terjadinya rotasi dan sirkulasi kekuasaan dalam pemerintahan, tapi juga peluang bagi rakyat melakukan koreksi terhadap segala kesalahan dan kekurangan dimasa lalu. Rakyat dapat menentukan pilihan yang tepat dan terbaik bagi kepentingan daerah masing-masing.

Marilah kita melihat kedepan serta mengajak para elite politik dan masyarakat, terutama para Balon/calon Gubenrnur, Bupati, Walikota untuk mengubah paradigma berpikir dalam memandang Pilkada. Jangan lagi memandang Pilkada sebuah pertarungan hidup mati antara kelompok/kekuatan partai politik, tapi yakinilah bahwa Pilkada sebagai sebuah sarana untuk mewujudkan tujuan demokrasi, tujuan berbangsa dan bernegara, yaitu menuju masyarakat yang adil dan makmur secara mandiri.

Jika kita menyimak tujuan bernegara dan berbangsa dalam UUD 1945, salah satunya adalah menuju masyarakat yang adil dan makmur secara mandiri yang diimplementasikan untuk mewujudkannya salah satunya adalah demokrasi melalui Pilkada.

Adil dan makmur tersebut, tentunya akan menjadi acuan dan tujuan yang akan diembankan oleh kita kepada semua Balon/calon Gubernur/Bupati/Walikota sebagai visi negara. Visi dan Misi Balon/Calon Gubernur/Bupati/Walikota adalah bagian dari proses tawar menawar dengan masyarakat pemilik kekuasaan untuk mengajak masyarakat memilih. Ajang kampanye lebih berorientasi untuk meninggalkan pola tradisional, emosional, dan money politic yang selama ini cenderung menjadi pola terstruktur dan masif dalam Pilkada.

Jika kita cermati, saat ini bencana banjir dan kebakaran hutan dan lahan terutama di propinsi Jambi menjadi agenda tahunan bahkan bulanan. Tujuan adil dan makmur, sangat sulit terwujud dengan kondisi alam dan lingkungan yang memiliki kecenderungan semakin tidak bersahabat. Jika dilihat dari frekuensi bencana yang melanda, pemberdayaan ekonomi, peningkatan infrastruktur dalam rangka mewujudkan Visi Negara itu tidak akan berarti, apabila dalam visi dan misi tersebut kegiatan upaya pelestarian lingkungan hidup yang merupakan bagian utama dalam pembangunan berkelanjutan diabaikan.

Isu lingkungan terutama global warming menjadi sebuah permasalahan global  yang menjadi tanggung jawab setiap Negara, pemerintahan, rakyat, bahkan isu tersebut sudah menjadi bagian terintegrasi dari pembangunan Indonesia saat ini. Provinsi Jambi sendiri sebagai provinsi penyumbang asap/kabut cukup besar diantara 5 Provinsi prioritas penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, bersama dengan Propinsi Riau, Sumatera Selatan, Kalimatan Barat dan Tengah. Selain itu bencana banjir merupakan persoalan yang melanda Provinsi jambi setiap tahun.

Namun sungguh menjadi pertanyaan yang sangat besar bagi Imuwan, profesional, masyarakat, balon/calon Gubernur/Bupati/Walikota baik yang sudah muncul maupun yang akan muncul, selama ini justru isu lingkungan tidak menjadi penting, dibanding isu infrastruktur dan ekonomi kerakyatan, pendidikan dan kesehatan menjadi bagian dari isu yang dijadikan startegi kampanye. Isu lingkungan diabaikan, pada hal fakta yang terjadi saat ini lingkungan menjadi bagian utama penyebab kerusakan infrastruktur, gagal panen, yang menyebabkan masyarakat menjadi miskin. Dana yang harus dikeluarkan untuk perbaikan akibat kerusakan lingkungan sangat besar.

Isu yang cenderung dan  dominan yang dijadikan tema kampanye oleh para pasangan yang umumnya menjanjikan peningkatan Pemasukan Negara, PAD (pendapatan asli daerah) melalui pengembangan investasi baik perkebunan, pertambangan, dll, yang dianggap sebagai indikator keberhasilan pembangunan yaitu “pertumbuhan ekonomi”

Karena inti dari Pilar ekonomi tersebut yang tertuang dalam UUD 1945, “sebesar-besar kemakmuran rakyat”, (tentunya tanpa membedakan kelas) yang belum tentu bisa terpenuhi melalui indikator pertumbuhan ekonomi semata-mata, karena dipandang pertumbuhan ekonomi selama ini telah menciptakan jarak miskin dan kaya semakin jauh. Sedangkan salah tujuan Pembangunan Nasional adalah meningkatkan kesejahteraan serta mengentaskan kemiskinan.

Pengalaman penerapan otonomi daerah melalui Pilkada  selama ini yang cenderung melahirkan “raja-raja lokal” dengan kekuatan kekuasaannya yang besar memiliki indikasi hubungan bisnis secara legal dan illegal. Seperti tercermin pada kasus illegal logging, pertambangan, perkebunan dll yang cenderung berada dalam wilayah KKN.  Di Indonesia seharusnya semua pihak harus sadar akan betapa rawan masa depan lingkungan hidup, bila dalam proses Pilkada aspek kepentingan lingkungan diabaikan.

Dengan melihat posisi dan peran Pimpinan daerah, serta legislatif semakin strategis dan menentukan, agenda lingkungan hidup seyogyanya menjadi salah satu pertimbangan penting dalam Pilkada menjadi strategi yang tertuang dalam Visi dan Misi. Akan sangat ideal bila sejak awal kontestan Pilkada dalam visi dan misinya memberikan porsi yang memadai terhadap pemecahan masalah lingkungan hidup di daerah setempat. Karena dengan demikian, rakyat dalam menentukan pilihannya memiliki acuan serta pemahaman yang lengkap mengenai program-program pelestarian lingkungan hidup yang bakal dijalankan oleh calon yang mereka pilih.

Dengan harapan, jika peserta dan kontestan yang nyata-nyata pernah terlibat atau ikut memberi peluang terjadinya perusakan lingkungan hidup, baik melalui kebijakan-kebijakan publik, maupun dalam aktivitas usahanya (non-pejabat), sebaiknya tidak dipilih, agar persoalan yang ada tidak bertambah runyam. Untuk itu, perlu kerja sama dan sikap proaktif dari semua pihak untuk melakukan publikasi dan penyadaran kepada masyarakat agar rakyat pemilih tidak terkecoh dalam menentukan pilihannya.

Diharapkan didalam setiap kebijakan pembangunan yang akan dilakukan oleh para pemimpin dalam hal ini Gubernur/Bupati/Walikota, berpola pikir dengan paradigma pembangunan yang memenuhi kebutuhan hari ini tanpa menggangu kemampuan generasi masa depan untuk memenuhi kebutuhannya, yang mencerminkan dua parameter utama: parameter ‘kebutuhan’ hari ini, dengan tetap memperhatikan kebutuhan masa yang akan datang, tidak berpikir keinginan hari ini dengan mengabaikan kebutuhan yang akan datang, terutama kebutuhan mendasar manusia.

Menurut pemimpin spiritual India Mahatma Gandhi, bahwa bumi menyediakan cukup kebutuhan seluruh umat manusia, tapi bukan untuk kerakusan. Memang, orang-orang yang rakus senantiasa tidak pernah puas dan merasa kurang, sekalipun sudah berkelimpahan. Peringatan Mahatma Gandhi sangat relevan dengan situasi global, lebih-lebih saat ini.

Kerusakan ekologis sebagai suatu penyebab kemisikinan terbesar baik di desa maupun di kota secara bertahap dan kontinyu serta pasti. Fakta ini sudah dibuktikan dengan kerusakan hutan baik secara legal melalui Hak pengusahaan Hutan, Pertambangan, perkebunan dan investasi lain membawa dampak akses ekonomi masyarakat pinggir hutan terbatas, bahkan menjalar ke daerah hilir, yang akan membawa pengaruh pada masyarakat secara ekonomi menurun dan dampak ekologis lainnya yaitu bencana alam banjir dan kekeringan, kebakaran dan penyakit. Sedangkan sumber Pendapatan masyarakat utama adalah pertanian, dan akan membawa pengaruh secara regional  terhadap pusat-pusat ekonomi yang ada di kota.

Hendaknya disadari bahwa masalah lingkungan hidup kini menjadi persoalan yang sangat mendasar bagi bangsa Indonesia. Karena itu, sudah saatnya semua pihak menaruh perhatian serius terhadap masalah ini. Dalam konteks itu, melihat kenyataan bahwa sebagian besar kerusakan lingkungan senantiasa berhubungan erat dengan kebijakan pemerintah, sudah seharusnya penyelamatan lingkungan ikut dijadikan kriteria pokok dan prasyarat formal penentuan pejabat publik[]

* Penulis adalah konservasionist di Jambi dan dapat dihubungi di email: syamsulbahri1605@gmail.com

read more
Ragam

Pemerintah Aceh Lamban Tangani Bencana Longsor

Beberapa daerah di Aceh dilanda bencana banjir, bahkan ada juga yang terkena banjir bandang. Banjir menggenangi ribuan rumah dan fasilitas umum lainnya di dua kecamatan Kabupaten Nagan Raya, yaitu kecamatan kecamatan Tripa Makmur dan Kuala hingga membuat akses tranportasi lumpuh total di kawasan itu. Sementara di Kecamatan Lhoong, Kabupaten Aceh Besar ratusan rumah terendam banjir dan bahkan jalur transportasi putus akibat jalan amblas.

Sayangnya respon pemerintah Aceh untuk mengatasi dampak banjir ini kurang memadai. Salah seorang staf Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, Yusriadi yang terjun langsung ke lokasi bencana mengatakan, Pemerintah Aceh dan juga pemerintah kabupaten lamban menangani bencana longsor dan banjir.

“Pemerintah saya nilai belum siap menghadapi bencana, lamban dalam bertindak untuk mengatasi dan mengevakuasi setiap  bencana yang datang,” kata Yusriadi pada wartawan, Senin (3/10/2014).

Menurut pantauannya, sejak hari pertama terjadi longsor di Gunung Kulu dan Paro, Aceh Besar, tidak ada penanganan yang maksimal paska kejadian. Hanya warga sekitar yang bergotong royong membersihkan tumpukan longsor setinggi pinggang orang dewasa.

Padahal kecamatan Lhoong, telah terisolir dikarenakan longsor yang mengakibatkan jalan amblas. Paling tidak, ada 12 titik longsor di gunung Paro yang membuat jalur transportasi Banda Aceh-Meulaboh putus total.

Kendati demikian, Yusriadi memberikan apresiasi juga kepada Pamerintah Aceh kemudian menetapkan bencana longsor dan banjir di sejumlah daerah menjadi bencana provinsi oleh Gubernur Aceh. “Sudah tepat Pemerintah Aceh tetapkan bencana provinsi, meskipun sedikit terlambat,” tutupnya.[]

read more
Ragam

TDMRC-Unsyiah Survey Gempa Dangkal di Aceh Tengah

Kejadian Gempa Bumi Aceh Tengah – Bener Meriah tanggal 02 Juli 2013 telah memberikan pelajaran bagi kita akan bahaya gempa bumi di darat. Sumber gempa bumi yang dangkal dan dekat dengan perumahan penduduk mengakibatkan getaran yang dirasakan laut lebih besar dan memiliki efek merusak yang kuat.

Hal ini dikatakan oleh Koordinator Survey, Ibnu Rusydy, M.Sc, yang juga merupakan Peneliti Muda TDMRC-Unsyiah, kepada Green Journalist, Minggu (15/6/2014). Menurutnya, apabila dilihat dari skala gempanya, gempa bumi Aceh Tengah – Bener Meriah 2013 tersebut tergolong gempa bumi skala kecil, namun karena sumber gempanya yang dangkal, ditambahkan lagi banyak perumahan dan bangunan berada di tanah yang lunak sehingga menimbulkan efek amplifikasi atau efek penguatan gelombang gempa bumi.

Tim sedang melakukan pengujian | Foto: Ist
Tim sedang melakukan pengujian | Foto: Ist

Efek tanah lunak yang bisa menimbulkan efek amplifikasi ini harus dipetakan dan dipelajari lebih lanjut.  Tim Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) – Universitas Syiah Kuala bersama Tim Bappeda Provinsi Aceh melakukan survey Seismik MASW (Multichannel Analysis of Surface Waves) di Kab. Aceh Tengah dan Bener Meriah dari tanggal 11 – 15 Juni 2014.

Survey ini bertujuan untuk mengetahui kecepatan gelombang geser (Shear Wave) tanah sampai kedalaman 30 meter di beberapa cekungan terpilih di Aceh Tengah dan Bener Meriah. Berdasarkan nilai kecepatan gelombang geser kedalaman 30 meter atau lebih dikenal Vs30, nantinya akan dicarikan faktor amplifikasi.

” Faktor amplifikasi Vs30 ini akan bermanfaat untuk membuat Peta kawasan rawan gempa bumi Kabupaten Aceh Tengah dan Bener meriah yang akan sangat bermanfaat dalam perencanaan pembangunan infrastruktur bangunan tahan gempa bumi di kedua kabupaten tersebut,” jelas Ibnu Rusydi.

Kegiatan merupakan kerjasama antara TDMCR-Unsyiah dengan Bappeda Prov. Aceh menggunakan peralatan Seismik dari Jurusan Teknik Geofisika Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala.[]

read more
Ragam

Bencana Lingkungan Hidup Pengaruhi Keamanan Negara

Awal tahun 2014, Indonesia membuka lembaran perjalanannya dengan serangkaian bencana. Diawali dari musibah erupsi Gunung Sinabung di Sumatera Utara, banjir bandang di Manado dan terjadinya curah hujan dengan intensitas yang tinggi di beberapa kawasan di Indonesia. Maka setiap musim penghujan, bencana banjir dan longsor tidak terhindarkan.

Banjir terjadi tidak hanya terjadi di ibukota Jakarta, namun melanda kawasan Pantura sehingga mengakibatkan kemacetan dan menghambat distribusi barang dan jasa. Kawasan Pantura menuju Kudus dan Pati pun terputus akibat banjir. Cuaca ekstrem yang ditandai dengan curah hujan yang tinggi mengakibatkan ternak ikan maupun hasil pertanian pun mengalami penurunan.

Masalah terkait lingkungan hidup belum dapat disandingkan dengan ancaman teroris ataupun isu keamanan lainnya. Sementara ancaman lingkungan hidup berdampak terhadap banyak hal. Jakarta yang menjadi kawasan langganan banjir apabila curah hujan tinggi seringkali menghadapi dampak akibat banjir.

Yang menjadi masalah klasik yaitu kemacetan, akses jalan yang tertutup akibat banjir maka berdampak terhadap kegiatan ekonomi. Selain itu, tingkat kenyamanan hidup pun mengalami penurunan. Akibat banjir, pengguna transportasi Kereta Rel Listrik (KRL) mengalami kendala dengan dampak terburuk tidak dapat menggunakan KRL akibat stasiun tergenang banjir.

Pengguna jalan raya, yang saat ini umumnya menggunakan kendaraan bermotor bersikap tidak tertib sehingga menimbulkan kesemrawutan di jalan raya yang memperparah dampak banjir. Selain itu, warga menjadi amat mudah gelisah apabila masa penghujan tiba. Cemas apabila tidak dapat sampai ke tempat aktivitas hingga kegelisahan menghadapi ancaman banjir.

Maka, banjir pun tidak dapat lagi dipandang sebagai isu lingkungan hidup biasa. Karena intensitas banjir yang terjadi berulang kali akan berdampak terhadap kehidupan ekonomi dan sosial. Maka sudah selayaknya permasalahan banjir, longsor, deforestasi maupun dampak-dampak negatif akibat kerusakan lingkungan hidup maupun bencana alam menjadi hal yang patut dipertimbangkan dalam aspek keamanan dalam negeri.

Keamanan menekankan pada nasib manusia, mengenai pengejaran kebebasan dari ancaman. Mengenai cara bertahan, tetapi juga termasuk kondisi yang mendukung keamanan. Keamanan menyentuh nasib sekelompok manusia dan menyentuh keamanan personal menyangkut kehidupan manusia secara individual (Buzan, 1991).

Persepsi ancaman terhadap lingkungan hidup dapat dilakukan oleh negara. Maka negara menjadi aktor yang penting karena negara harus bertanggung jawab atas pemeliharaan ekosistem (Eckersley, 2007). Maka negara harus merumuskan dan memiliki konsep mengenai persepsi ancaman lingkungan hidup.

Di Indonesia ancaman lingkungan hidup seperti apa yang masuk dalam indikator ancaman terkait skala waktu dan dampak. Sehingga negara seharusnya memiliki badan maupun lembaga kajian khusus mengenai keamanan lingkungan hidup.

Lembaga kajian khusus berupaya melakukan pengawasan dan pencatatan terkait ancaman lingkungan hidup yang kemudian dapat mengeluarkan skala prioritas ancaman lingkungan yang mana yang mendapatkan penanganan lebih awal terkait skala dampak terhadap masyarakat.

Apabila lembaga kajian khusus terbentuk, maka selain membuat cetak biru mitigasi bencana juga memberikan penyuluhan kepada lapisan masyarakat terkait ancaman lingkungan hidup. Acara penyuluhan pun dapat berperan ganda sebagai upaya menghimpun masukan dari kalangan masyarakat.

Apabila masyarakat sudah mampu mengenali ancaman lingkungan hidup maka masyarakat pun dapat mengadu ataupun mengeluh. Namun sebelum aduan masyarakat terjadi, maka diperlukan mekanisme untuk menampung aduan, keluhan dan saran dari masyarakat. Sehingga dalam menghadapi ancaman lingkungan hidup pemerintah dan masyarakat menjadi mitra. Maka tindakan saling menyalahkan apabila terjadi bencana, sudah seharusnya diganti dengan budaya kemitraan dan saling tanggap bencana, tanpa harus menunggu pemerintah bertindak. Namun negara berkewajiban memfasilitasi sehingga masyarakat tanggap dan terlatih terhadap bencana.

Selain itu, perlu upaya memasukkan materi tanggap bencana dalam kurikulum sekolah menengah. Bencana ataupun ancaman lingkungan hidup bisa terjadi pada siapa saja dan kapan pun, maka sedari dini perlu ditanamkan kesadaran hidup di daerah rawan bencana.

Manajemen evakuasi gempa dan banjir diberlakukan di sekolah berbasis kurikulum internasional. Maka seharusnya kurikulum nasional pun memuat manajemen mitigasi bencana dimulai dari lingkungan sekolah. Sehingga masyarakat terbiasa sejak dini dengan penanganan mitigasi bencana. Sehingga ketika banjir menggenangi, apabila tim relawan melakukan evakuasi, masyarakat paham dan dapat bekerja sama dengan baik dalam upaya evakuasi.

Apabila ancaman lingkungan hidup tidak ditangani dengan baik, maka potensi konflik pun tidak terhindarkan. Tentu kita tidak mengharapkan muncul konflik terlebih dahulu kemudian melakukan pembenahan, maka tindakan pencegahan lebih baik untuk dilakukan. Penanganan bencana ataupun dampak dari kerusakan lingkungan hidup apabila tidak tertangani dengan baik dan cepat maka akan menimbulkan masyarakat yang frustasi. Apabila frustasi muncul, maka konflik dan dampak lebih buruk tidak terhindarkan.

* Penulis adalah pemerhati lingkungan dan pengajar di Universitas Budi Luhur

read more
1 2 3 6
Page 1 of 6