close

biofuel

EnergiKebijakan Lingkungan

Isu Panas Minyak Kelapa Sawit Jelang Pemilu Indonesia

Menteri Koordinator Maritim RI, Luhut Panjaitan baru-baru ini menentang pembatasan Uni Eropa (UE) tentang penggunaan minyak kelapa sawit untuk biofuel. Sikap UE menjadi topik pembahasan yang panas jelang pemilu Indonesia yang akan berlangsung 17 April 2019. Ini merupakan salah satu pemilu terbesar didunia, memilih anggota parlemen mulai dari tingkat kabupaten/kota, propinsi, pusat dan sekaligus memilih presiden.

Saat ini wilayah dominan perkebunan sawit terletak di Sumatera dimana hasil survey menunjukan jumlah pemilih Capres penantang lebih unggul sedikit dibanding suara petahana, Presiden Joko Widodo. Misalnya saja propinsi Aceh dan Sumatra Barat, serta tiga provinsi besar lainnya penghasil sawit seperti Sumatera Utara, Sumatera Selatan dan Lampung, yang merupakan rumah bagi lima juta penduduk yang kebanyakan adalah transmigran Jawa pro-Jokowi.

Luhut Panjaitan, menteri berpengaruh asli Sumatra, bulan lalu mengancam akan melarang impor UE terpilih jika blok tersebut menempatkan batasan lebih ketat tentang bagaimana minyak sawit digunakan dalam biofuel sebagai bagian dari revisi Renewable Energy Package (RED II) yang diadopsi oleh Eropa Parlemen Desember lalu.

Luhut juga memperingatkan Indonesia akan menarik diri dari perjanjian 2015 tentang Perubahan Iklim Paris. “Jika Amerika Serikat dan Brasil dapat keluar dari kesepakatan iklim, kami akan mempertimbangkannya juga karena ini terkait dengan kepentingan rakyat,” katanya.

Harga minyak sawit mentah dunia berada dalam tren menurun selama setahun terakhir, merosot dari US $ 700 per ton pada Maret 2018 menjadi $ 539 pada November, sebelum pulih sedikit ke level saat ini $ 570.

Lebih dari 20 juta orang Indonesia, di Sumatra dan Kalimantan, mengandalkan minyak kelapa sawit untuk mata pencaharian mereka. Tetapi perusahaan perkebunan mendapat kecaman di Eropa yang sadar akan konservasi karena menyebabkan deforestasi dan membahayakan habitat orangutan dan margasatwa langka lainnya.

Dalam pembelaan Indonesia, para pejabat menunjuk pada moratorium izin baru untuk perkebunan kelapa sawit, yang akhirnya ditandatangani Joko Widodo tahun lalu, tiga tahun setelah ia berjanji untuk melakukannya setelah kebakaran tahun 2015 dan krisis kabut asap yang mempengaruhi Asia Tenggara.

Produsen mengeluh bahwa dalam banyak kasus, pembalakan liar yang terus berlangsung di konsesi mereka adalah pekerjaan militer, polisi dan pemegang kekuasaan lokal lainnya. “Kami disalahkan,” kata seorang eksekutif perusahaan sawit di Sumatra, “Tetapi seringkali tanah itu tidak digunakan untuk kelapa sawit.”

“Kami menduga bahwa ini semua tentang kepentingan bisnis (produsen minyak nabati Eropa), bukan masalah lingkungan,” kata seorang pejabat Kementerian Koordinator Maritim, memuji keunggulan kelapa sawit dengan hasil yang jauh lebih tinggi daripada tanaman lainnya. Lagipula, minyak sawit lebih murah daripada minyak bunga matahari. ”

Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad mengirim surat bersama ke Komisi Eropa dan Parlemen pada 5 April, memprotes tindakan terhadap ekspor pertanian terbesar di Asia Tenggara dan mengancam sanksi perdagangan.

“Kedua pemerintah kami memandang ini sebagai strategi ekonomi dan politik yang disengaja, diperhitungkan dan merugikan untuk menghilangkan minyak kelapa sawit dari pasar UE,” kata mereka. “Jika peraturan yang didelegasikan ini mulai berlaku, pemerintah kita harus meninjau hubungan kita dengan UE secara keseluruhan, serta negara-negara anggotanya.”

Kedua negara ingin meningkatkan kampanye diplomatik yang agresif, termasuk membawa kasus mereka ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang berbasis di Jenewa. “Kami telah memberi tahu UE bahwa kami harus membalas jika mereka melanjutkan diskriminasi tidak adil terhadap minyak sawit ini,” katanya.

RED II tidak secara eksplisit melarang penggunaan minyak kelapa sawit sebagai biofuel, atau bahkan membatasi perdagangan. Tetapi membatasi konsumsi biofuel sektor transportasi yang berasal dari tanaman pangan dan pakan sampai 7% pada tahun 2021 dan untuk menghentikannya seluruhnya pada tahun 2030.

Selain itu, biodiesel berbasis minyak kelapa sawit juga tidak akan lagi dianggap sebagai bagian dari bauran energi terbarukan dan karenanya memenuhi syarat untuk subsidi yang ada.

Pembatasan melalui Parlemen Resolusi Eropa 2016/2222, mendesak negara-negara anggota untuk mengambil tindakan yang bertujuan melindungi hutan hujan yang musnah dan penggunaan minyak sawit berkelanjutan, yang sudah lebih diatur daripada minyak nabati lainnya.

Mantan ketua Dewan Negara-negara Penghasil Minyak Sawit (CPOPC) Mahendra Siregar mencatat bagaimana ekspor minyak sawit Indonesia ke Eropa telah turun dari 77% menjadi hanya 16% dari total produksi sejak 1990. “Saya tidak berpikir Eropa Pasar kelapa sawit sangat penting bagi Indonesia saat ini, dan ini adalah pola pikir yang harus kita miliki, ”katanya baru-baru ini.

Nilai impor minyak sawit UE tahun 2018 dari Indonesia turun 22% dibandingkan dengan 2017, tetapi dengan biodiesel yang disuling Indonesia diperhitungkan, jumlah total sebenarnya turun hanya 2% dibandingkan dengan tahun sebelumnya, meskipun jatuhnya harga global.

Ekspor Indonesia tahun lalu naik 8% menjadi 34,5 juta ton, senilai $ 20,3 miliar, dengan India (24,5%), Uni Eropa (16,1%) dan China (12,01%) tiga pasar utama. Ekspor ke Eropa relatif stabil dengan rata-rata 3,5 juta ton, atau € 2,2 miliar per tahun.

Analis mengatakan sementara usulan Luhut Panjaitan akan diterima dengan baik di dalam negeri, dan menunjukkan kepada pemilih bahwa pemerintah peduli dengan kesejahteraan pekerja perkebunannya, tidak mungkin membujuk UE untuk mengubah arah dan bahkan mungkin memiliki efek sebaliknya.

Ancaman mungkin juga tak berarti. Menteri Luhut mengindikasikan bahwa pesawat yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan Eropa dapat menjadi target boikot, tetapi saat ini dimana maskapai Garuda berusaha membatalkan pesanan 49 pesawat jet Boeing 737 MAX yang bermasalah, pilihannya sekarang terbatas.

Garuda telah memiliki 22 Airbus A330 Eropa dan 16 turboprop Franco-Italia ATR 72, di samping 43 A-320 dan delapan A320neo baru yang diterbangkan oleh anak perusahaan anggaran Citilink – bersama dengan 27 pesawat yang sudah dipesan.

Ekspor minyak sawit mentah (CPO) untuk makanan dan minuman tetap tidak terganggu, tetapi membatasi bahan bakar berbasis CPO akan membuat permintaan keseluruhan menurun dan jauh dari ekspektasi petani setelah memperbesar produksi dari 20,5 juta ton pada 2008 menjadi 46 juta ton pada tahun 2018.

Hampir setengah dari minyak sawit impor UE sekarang digunakan untuk biofuel, tetapi dengan perubahan kebijakannya, produsen Indonesia berharap bahwa konsumsi domestik dan peningkatan pengiriman ke India dan Cina akan membantu mengatasi kekurangan tersebut.

Didorong oleh keputusan pemerintah untuk menggunakan biofuel dalam mengurangi impor minyak yang mahal, penggunaan minyak sawit dalam negeri melonjak menjadi 13,4 juta ton pada tahun 2018, dengan 4,3 juta ton yang menjadi biodiesel. Konsumsi bahan bakar B20 lokal, atau 20% minyak sawit, naik 72% dibandingkan dengan tahun sebelumnya, atau 3,8% dari total bauran energi.

Pemerintah menginginkan perusahaan minyak negara PT Pertamina untuk memodifikasi dua kilang Sumatra, Plaju dan Dumai, yang memiliki kapasitas harian gabungan 300.000 barel per hari, untuk menghasilkan biodiesel dalam upaya untuk menghemat sebanyak 23.000 barel minyak mentah impor setiap hari .

Indonesia berencana untuk meningkatkan penggunaan energi terbarukan dari 13% saat ini menjadi 23% dari campuran energi pada tahun 2025, dengan biodiesel akhirnya menyerap sekitar 30% dari total produksi minyak sawit saat ini. Seorang eksekutif perusahaan minyak sawit mengatakan: “Akan ada peningkatan marginal dalam produksi keseluruhan selama beberapa tahun ke depan, tetapi moratorium pada akhirnya akan menutupnya.”

Sumber: www.asiatimes.com

read more
Energi

Studi: Biofuel Tanaman yang Tepat Melawan GRK

Jagung, gandum dan lobak dapat untuk membuat biofuel, layaknya bioetanol dan biodiesel. Temuan terbaru para ahli lingkungan di Radboud University-Belanda, menyebutkan bahwa lahan pertanian untuk menanam tanaman biofuel ini memiliki dampak besar pada emisi gas rumah kaca yang dihasilkan. Studi yang sampai pada kesimpulan diterbitkan oleh Jurnal Nature Climate Change tanggal 11 Mei 2015.

Untuk meningkatkan produksi biofuel dari tanaman seperti jagung dan gandum, tanah perlu dipersiapkan menjadi lahan pertanian. Kegiatan awal ini menimbulkan peningkatan emisi gas rumah kaca (greenhouse gas). Menggunakan model global, Pieter Elshout bersama ilmuwan lingkungan di Radboud University memperlihatkan berapa lama keuntungan yang diberikan biofuel dibandingkan bahan bakar fosil agar setara dengan emisi pada masa penyiapan lahan. Pada skala global, waktu pengembalian rata-rata untuk gas rumah kaca adalah sembilan belas tahun.

Dari Eropa Barat untuk daerah tropis
Seorang kandidat PhD di Universitas Radboud, Elshout, menjelaskan,”Sembilan belas tahun terdengar seperti waktu yang lama, tetapi dalam hal pertanian, itu sama sekali tidak lama. Apalagi angka itu adalah rata-rata global. Di Eropa Barat, periodenya jauh lebih singkat, kadang-kadang hanya beberapa tahun. Di daerah tropis, bisa mencapai seratus tahun. Model ini menunjukkan bahwa lokasi tanaman biofuel memiliki dampak yang signifikan terhadap emisi gas rumah kaca. Lebih daripada jenis tanaman atau tata kelola pertanian (yaitu jumlah pupuk dan irigasi yang digunakan)”.

Model-skala global pertama
Elshout menambahkan,”model kami adalah yang pertama yang menawarkan gambaran global, spasial-eksplisit emisi gas biogenik yang dihasilkan dari tanaman yang digunakan untuk memproduksi biofuel. Dalam mengembangkan model ini, perhitungan kami memperhitungkan jangka waktu pengembalian dengan mempertimbangkan rantai produksi seluruh bahan bakar fosil dan biofuel dengan emisi rumah kaca yang menyertainya. Model global ini berlaku untuk generasi pertama biofuel. Ini termasuk bioetanol dari jagung, gandum dan tebu, serta biodiesel dari kedelai dan lobak.

Perdebatan tentang Pangan
Hasil penelitian memberikan kontribusi terhadap nuansa perdebatan biofuel yang terjadi saat ini di Belanda. Dalam sebuah studi tindak lanjut pada pertanian tanaman biofuel, Elshout dan rekan-rekannya berharap untuk menyelidiki masa pengembalian yang terkait dengan dampak terhadap keanekaragaman hayati.[]

Referensi: Title: Greenhouse gas payback times for crop-based biofuels
P. M. F. Elshout, R. van Zelm, J. Balkovic, M. Obersteiner, E. Schmid, R. Skalsky, M. van der Velde and M. A. J. Huijbregts
Nature Climate Change
DOI: 10.1038/nclimate2642

Sumber: www.ru.nl

read more
Energi

Rumput Laut Negara Tropis Menjadi Sumber Energi Alternatif

Pemanenan ‘hutan’ rumput laut dan kemudian mengolahnya dalam digester bawah air suatu hari nanti bisa memenuhi kebutuhan energi dunia, cukup untuk menggantikan bahan bakar fosil seluruhnya.  Demikian dilaporkan dalam sebuah penelitian.

Dengan penggunaan yang lebih cepat dan realistis, rumput laut – sumber energi yang belum dimanfaatkan – akan sangat meningkatkan kemandirian dan keberlanjutan negara kepulauan kecil, namun investasi terbatas serta teknologi yang relevan menjadi tantangan besar, ujar seorang ahli kelautan.

Menggunakan rumput laut untuk bahan bakar digester anaerobik dapat menyediakan bagi masyarakat setempat energi yang melimpah melalui biogas serta menghasilkan pupuk, menurut Antoine N’Yeurt, seorang peneliti di Pacific Centre for Environment and Sustainable Development at the University of the South Pacific, Fiji.

” Aplikasi ini akan mengurangi ketergantungan negara-negara kepulauan kecil dari impor dan membangun sistem berkelanjutan, ” katanya kepada SciDev.Net di sela-sela kegiatan the 2014 Ocean Sciences Meeting in Hawaii, United States, 23-28 February 2014.

” Teknologi ini bisa berkembang pesat jika ada tersedia dana yang memadai,” tambahnya.

Pemrosesan anaerobik adalah teknik yang menghasilkan metana dan produk yang kaya nutrisi untuk pupuk fermentasi berbagai bahan organik.

Tapi butuh identifikasi kondisi dan peralatan untuk mengoptimalkan metode pengolahan biomassa laut, kata N’Yeurt .

Dia memulai proyek percontohan di Fiji pada bulan Januari – upaya pertama menggunakan rumput laut untuk produksi biofuel di kawasan Pasifik , katanya – Ia menggunakan digester senilai USD 200 yang dirancang untuk keluarga yang ideal masyarakat miskin dan terisolasi.

Operasi skala kecil yang sempurna untuk daerah pulau-pulau Pasifik, menurut N’Yeurt, tetapi bersama dengan profesor dan peneliti ia melihat teknologi ini memiliki kepentingan di seluruh dunia.

Hutan Bawah Laut

Mark Capron , presiden PODenergy , perusahaan mengeksplorasi penggunaan ganggang sebagai sumber energi, yang mempresentasikan ide-ide kelompok pada konferensi tersebut membayangkan sebuah dunia di mana rumput laut dapat memenuhi kebutuhan energi dunia tanpa menambah emisi karbon.

Raksasa seperti balon digester anaerobik di dasar laut bisa menggunakan tekanan alami dari laut dalam untuk mempercepat fermentasi yang mengarah ke produksi biogas, diberi makan oleh hutan tanaman besar rumput laut, katanya.

Meliputi sembilan persen dari dasar laut, hutan rumput laut ini bisa memberikan energi yang cukup untuk menggantikan bahan bakar fosil, menghilangkan karbon dari atmosfer dan meningkatkan stok ikan dengan menggantikan ekosistem yang lebih produktif, katanya.

Sementara beberapa delegasi yang awalnya merasa skeptis tentang skala produksi yang diusulkan ini, yang menurut Capron sendiri adalah ” agak optimis “, ternyata telah berminat pada idenya.

Sebagai contoh, studi kelayakan telah diterbitkan dalam jurnal peer -review dan skema laut penghijauan nya dari seorang seorang finalis kompetisi yang dijalankan oleh CoLab Iklim – platform crowdsourcing untuk solusi perubahan iklim dijalankan oleh Massachusetts Institute of Technology, Amerika Serikat.

Jika mimpi ini menjadi kenyataan, pemerintah dan donor harus membuang keengganan mereka untuk mendukung proyek-proyek percontohan yang diperlukan untuk menjalankan teknologi dari teori ke praktek, kata Capron.

Seorang peneliti di Massachusetts General Hospital, Alex Golberg, Amerika Serikat, yang telah menerbitkan sebuah makalah tentang menggunakan rumput laut untuk produksi biofuel, setuju bahwa pemerintah memiliki peran penting untuk bermain dalam pengembangan teknologi.

Pemerintah harus siap untuk membangun landasan yang kokoh dengan mendukung proyek percontohan dan penelitian lebih lanjut sebelum perusahaan swasta langkah untuk meningkatkan teknologi, ia mengatakan kepada scidev.

Terlepas dari masalah keuangan, teknologi ini ” siap untuk digunakan” dalam komunitas kecil. Penelitiannya menunjukkan bahwa proses menjadi lebih efisien dalam skala yang lebih kecil, sehingga ideal bagi masyarakat Pasifik yang terisolasi namun memiliki rumput laut yang melimpah.

Tapi teknik ini belum terbukti dalam skala besar, jadi ide Capron adalah masih jauh dari kenyataan, ia menambahkan.

Sumber: scidev.net

read more
Hutan

Biofuel dan Hutan: Jalan Panjang Perdebatan

Besarnya optimisme akan kontribusi bahan bakar hayati atau biofuel terhadap ketahanan energi, mitigasi dan pembangunan pedesaan membuka jalan bagi pandangan skeptis tentang keberlangsungan ekonomi dan publisitas buruk soal perebutan lahan terkait serta perusakan lingkungan.

Dalam diskursus yang sangat terpolarisasi antara “mendukung” dan “menentang”, debat menunjukkan sedikit nuansa dan terbawa menjadi dipenuhi asumsi berkualitas rendah. Dengan kondisi sektor biofuel masih dalam masa pertumbuhan, apakah asumsi-asumsi ini benar-benar menopang kecermatan lebih lanjut atau apakah biofuel secara prematur diabaikan?

Hingga saat ini bukti untuk menyatakan ada interaksi antara ekonomi biofuel dan hutan, produksi pangan, serta hak masyarakat miskin desa selalu rumit dalam pengambilan keputusannya, dan tidak seharusnya di-generalisasi dan disederhanakan secara berlebihan. Daripada mengabaikan biofuel begitu saja, perhatian lebih besar seharusnya diberikan pada membangun mekanisme yang tepat untuk mengembangkan sektor-sektor potensial pengembangan, seraya memitigasi potensi kerugiannya.

Biofuel Generasi pertama 
Sebagai respon terhadap perubahan kondisi global, beberapa negara membangun target konsumsi dan produksi biofuel sebagai bagian sebuah pergeseran menuju penggabungan lebih besar sumber energi terbarukan menuju bauran energi dan peningkatan ekonomi rendah karbon.

Pasar besar seperti Uni Eropa, AS, dan akhir-akhir ini Brasil mewajibkan campuran biofuel.

Untuk menjamin campuran biofuel memenuhi tujuan lingkungan di Uni Eropa dan AS, mereka harus memenuhi kriteria ketat keberlanjutan. Bagaimanapun, kritikus menyatakan bahwa tindakan tersebut belum memadai sebagai perlindungan terhadap seluruh rentang potensi dampak merugikan kebijakan seperti itu.

Contohnya, dengan merangsang permintaan untuk apa yang disebut tanaman-pertanian-flex (yaitu tanaman yang bisa digunakan untuk beragam kegunaan, termasuk pangan), hal ini dinyatakan bisa mengalihkan pertanian pangan untuk konsumsi energi, mengancam pemenuhan pangan dan stabilitas harga.

Sebagai tambahan, banyak yang berpendapat bahwa ketika perubahan lahan tidak langsung (iLUC) terjadi, banyak biofuel tidak akan memenuhi target reduksi gas rumah kaca (GRK), yang biasanya hanya dipertimbangkan terhadap perubahan lahan langsung. Sebagai respon terhadap kritik ini, pada 2013 Uni Eropa menerapkan pendekatan baru, termasuk membatasi jumlah biofuel berbasis-pangan yang bisa digunakan dan sebagai kriteria tambahan berkaitan dengan GRK yang diemisi dari iLUC.

Lebih jauh lagi, banyak negara mulai mempertanyakan keberlangsungan ekonomi biofuel, sejalan dengan rendahnya harga bahan bakar seringkali membutuhkan subsidi substansial untuk menjamin bahwa produsen biofuel tidak malah mengincar pasar pangan yang lebih menguntungkan, di tengah ekspansi besar tuntutan pasar pangan.

Biofuel Hanya Menambah Tekanan 
Kekhawatiran ini, seharusnya dipandang sebagai satu perspektif. Walaupun produksi total biofuel berkembang lebih dari sepuluh kali lipat antara 2000 dan 2010, hanya 9 persen minyak sayuran produksi global digunakan untuk membuat biofuel.

Di banyak negara, ethanol banyak diproduksi dari sisa molases dan bukan dari jus tebu. Oleh karena itu, hubungan antara biofuel dan jenis perubahan penggunaan lahan yang tidak diinginkan seperti deforestasi seringkali tidak langsung dan tidak dalam proporsi untuk memberi tekanan dari ujung lain pasar. Yang terakhir mendapat dorongan kuat dari tuntutan manfaat pangan mereka dan meningkatnya konsumsi daging di negara yang ekonominya bangkit seperti India dan China.

Mengingat batasan penggunaan tanaman kunci bagi produksi biofuel, debat mengenai dampak terbesar ada di wilayah proyeksi. Lebih jauh, walaupun upaya analitis penting telah dilakukan sejauh ini, menduga dampak iLUC terhadap konversi hutan masih sulit dibangun dalam praktik dan masih membutuhkan perbaikan metodologis secara substansial. Sebagai tambahan, penelitian menyarankan bahwa emisi GRK yang dikembangkan dari konversi lahan untuk bahan baku biofuel bisa memerlukan beberapa dekade atau bahkan abad untuk dibalikkan. Hingga saat ini, bagaimanapun, jejak lingkungan rinci mengenai biofuel masih belum jelas.

Sumber: blog.cifor.org

read more
Energi

Pemerintah Lirik Kemiri Sunan untuk Pengganti Solar

Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar (Balittri), Kementerian Pertanian menghadirkan hasil penelitiannya yaitu Kemiri Sunan sebagai sumber energi altenatif pengganti solar. Kadar rendemen kemiri biji sunan hasilkan crude oil 40 hingga 50% atau  88 hingga 92% untuk biodiesel.

“Kita harus mengurangi impor BBM baik premium maupun solar, kalau kita tidak ngapa-ngapain, tidak menggeber produksi biodiesel, tahun ini impor kita itu kira-kira 800.000 barel per hari, baik dari minyak mentah maupun produk solar dan BBM,” ujar Wakil Menteri ESDM, Susilo Siswoutomo seperti yang dilansir dari situs resmi esdm, Jakarta, Senin (10/2/2014).

Berdasarkan laporan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi kepada Wamen, rata-rata impor crude mencapai 350.000 per hari,  sedang BBM rata-rata 500.000 hingga 600.000 barel per hari. Jadi total rata-rata 800.000 hingga 900.000 berel per hari.

“Belinya impor itu pake duit dollar. Jika 1 barel seharga katakanlah US$ 125 per barel, maka 800.000 barel dikalikan US$ 125, itu cuma US$120 juta dollar per hari. kalau kita ga ngapa-ngapain impor kita, pasti 1,2 hingga 2 juta barel per hari, kalikan saja dengan US$ 120, kita akan butuh US$ 250 juta per hari. Duitnya darimana,” ujarnya bernada tanya.

Susilo menjelaskan, produksi minyak mentah kita itu terus turun karena usia sumur yang sudah tua. Dilain pihak kebutuhan BBM terus meningkat akibat berbagai faktor, karena antara produksi dan konsumsi masih lebih banyak konsumsi, maka pemerintah terpaksa harus impor BBM, jenis premium dan solar.

“Impor kita terus naik, pasti naik, ga usah diapa-apain, naikknya kira-kira 120.000 barel per hari,” tuturnya.

Selain itu, tambahnya, peningkatan impor BBM per tahun tersebut dapat disubsitusi dengan produski Bahan Bakr Nabati (BBN). Saat ini kapasitas CPO yang dapat dimanfaatkan berkisar antara 80 hingga 100.000 barel per hari dan sisanya dimungkinkan dari BBN jenis lain misalnya, kemiri sunan.

Sebagaimana diketahui, kemiri sunan sangat prospek untuk dikembangkan sebagai biodoesel. Kemiri sunan memiliki beberapa kelebihan dibandingkan pendahulunya seperti jarak pagar dan biji nyamplung. Beberapa kelebihan kemiri sunan antara lain,  tidak bersaing dengan pangan, dapat mulai berproduksi umur 4 tahun, pada umur 8 tahun dapat menghasilkan produksi sampai 15 ton (6 – 8 ton biodiesel) per ha per tahun.

“Rendemen biji kemiri sunan dapat menghasilkan crude oil (40-50%)  atau  88 hingga 92% jika dijadikan produk biodiesel,” ujar Kepala Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Kementerian Pertanian, Muhammada Syakir.

Syakir mengungkapkan, kemiri sunan dapat dikembangkan oleh masyarakat biasa karena, tidak memerlukan pabrik untuk pengolahan seperti halnya sawit, populasi tanaman hanya 150 pohon/ha, dapat ditumpangsarikan dengan tanaman lain dan dapat dikembangkan di lahan sub optimal.  []

Sumber: energitoday.com

read more
Energi

LIPI Kembangkan Biomasa non-Pati Pengganti BBM

Salah satu hal yang selalu menjadi polemik ketika harganya naik atau saat langka di pasaran adalah Bahan Bakar Minyak (BBM). Untuk itu, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) terus berupaya mencari penggantinya.

Salah satu upaya yang kini tengah dilakukan adalah mengembangkan biomasa sebagai energi yang dapat terbarukan. Merujuk tulisan di Wikipedia, Biomasa adalah sumber energi yang berasal dari bahan organik dan dapat diolah serta dikonversikan menjadi bahan bakar.

Biomasa meliputi banyak hal seperti materi tumbuhan yang telah mati, limbah terbiodegrasi dan banyak lagi.

Dalam hal ini, pihak LIPI mencoba mengembangkan biomasa non-pati atau dapat diartikan sebagai bahan organik yang mengandung lignoselulosa, seperti contohnya jerami padi, klobot, jagung, sekam padi, ilalang kering, kulit pisang, kulit nanas, serat kayu dan lain sebagainya.

“Penelitian terkait pemanfaatan biomasa non-pati terutama sellulsa sedang dikembangkan oleh peneliti LIPI saat ini,” ujar Kepala Pusat Bioteknologi LIPI, Dr Ir Witjaksono, M.Sc dalam acara “Kick off Meeting of JST-JICA-SATREPS Biorefinery” dengan tajuk Innovative Bio-Production Indonesia (Ibiol): Integrated Bio-Refinery Strategy to Promote Biomass Utilization using Super-micorbes for Fuels and Chemicals Production, seperti yang dikutip dari Antara (21/01/2014).

Witjaksono menjelaskan, pemanfaatan biomasa turunan dari industri kelapa sawit menjadi salah satu fokus kegiatan LIPI.

“Kami telah mengembangkan penelitian pemanfaatan biomasa tersebut untuk produk pangan fungsional, biothanol (pengganti BBM) dan produk lainnya,” ujarnya.

Menurut Witjaksono, selama ini, harga bioethanol berbasis biomasa non-pati masih tidak ekonomis yang disebabkan oleh teknologi yang belum tepat. Dengan penerapan teknologi proses yang memperhatikan tiga aspek tersebut di atas, harga bioethanol diharapkan bisa menjadi lebih ekonomis atau terjangkau oleh masyarakat.

“Teknologi adalah kunci agar proses menjadi enzim yang dibutuhkan secara efisien dengan menggunakan isolat lokal, dan breeding mikroba untuk menghasilkan mikroba yang cocok untuk fermentasi,” ujarnya.[]
Sumber: merdeka.com

read more
Energi

Peneliti UGM Produksi BBM dari Limbah Biomassa

Riset selama dua tahun terakhir, yang dilakukan oleh Profesor Arief Budiman bersama delapan mahasiswa S3 dan S2 bimbingannya, menghasilkan temuan teknologi menarik. Pengajar Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada itu menemukan cara memproduksi bensin dan minyak tanah dari bahan sisa-sisa tanaman perkebunan, hutan dan pertanian alias biomassa.

“Kami sedang menyempurnakan riset ini agar bisa diaplikasikan di industri energi terbarukan,” kata Arief kepada Tempo di kampus Fakultas Teknik UGM pada Jumat, (10/1/2014).

Arief menguji teknologinya ini ke biomassa dari sisa-sisa tanaman yang berstruktur pejal, seperti tandan kelapa sawit, ranting dan cabang kayu hutan produksi serta ampas sisa perasan tebu atau bagasse. Dalam catatannya, aktivitas perkebunan kelapa sawit di Indonesia diperkirakan menghasilkan 20 juta ton tandan kosong selama 2014.

Sementara kegiatan penebangan kayu di hutan produksi biasanya hanya mengambil 40-60 persen dari komponen pohon saja. Jumlah biomassa berstruktur pejal lebih besar lagi apabila ditambah dengan sisa kayu perkebunan dan ampas perasan tebu di pabrik gula yang kerap terbuang percuma. “Batang padi sisa panen petani juga bisa dimanfaatkan sebagai bahan,” kata dia.

Dia memperkirakan saat ini Indonesia memiliki bahan limbah tandan kelapa sawit dan kayu hutan serta perkebunan sekitar 98 juta ton per tahun. Teknologi hasil penelitiannya menemukan cara memerah bensin dari biomassa dengan hasil 10 persen dari bahan. “Dari 98 juta ton biomassa bisa didapatkan 9,8 juta ton minyak atau 235.000 barrel per hari, jadi 20 persen dari kebutuhan BBM nasional,” kata dia.

Secara ringkas, teknologi pengubahan biomassa menjadi bahan bakar minyak ini terbagi dalam tiga tahap. Menurut Arief, bahan biomassa di tahap awal diolah dalam proses bernama pirolisis. Tahapan ini berupa mengonversi biomassa padat menjadi gas, cairan dan arang atau char lewat pemanasan dengan oksigen minim pada suhu 500-an derajat celcius.

Cairan hasil proses pirolisis, yang berwarna hitam pekat seperti kopi kental, merupakan bio-oil. Bahan ini sebenarnya berpotensi menjadi beragam produk jadi berbahan minyak seperti bensin, minyak tanah, oli hingga biodiesel alias solar. “Saya lebih fokus ke bensin karena ini yang paling dibutuhkan saat ini,” kata akademikus yang menekuni riset energi terbarukan sejak 1997 ini.

Menurut Arief bio-oil kemudian dimasukkan dalam peralatan lain untuk menjalani proses cracking atau perengkahan. Perengkahan dalam suhu 700 derajat celcius dilakukan dengan melibatkan zat katalis untuk membuat proses pemecahan rantai molekul lebih efektif. “Banyak zat katalis yang potensial dipakai, salah satu yang kami manfaatkan ialah zeolit,” kata Arief.

Cairan hasil dari proses perengkahan tersebut kemudian menjalani proses distilasi atau pemisahan zat dengan membedakan titik didih. Hasilnya, dua jenis cairan, yakni gasolin alias bensin dan kerosin atau minyak tanah. Gasolin berupa cairan berwarna kuning keemasan, sementara kerosin, kuning kehitaman.

Dia mengaku belum menguji tingkat efektivitas bensin dari bahan biomassa ini pada mesin, meskipun unsur kimiawinya sudah mirip seperti bensin dari bahan fosil. Arief masih mendalami kemungkinan efek tingkat keasaman yang tinggi dari bahan itu. “Kami akan kerja sama dengan peneliti di teknik mesin UGM,” kata Arief.

Dia juga menjelaskan ada satu teknologi lagi yang melengkapi hasil riset ini agar bisa teraplikasi secara mudah dalam industri. Dia merakit alat khusus yang berfungsi menyerap gas panas dari dua tabung baja tempat proses pirolisis dan perengkahan berlangsung. Fungsinya menyimpan limbah gas bersuhu tinggi untuk dimanfaatkan lagi dalam proses pirolisis atau perengkahan selanjutnya.

Arief menyebut alat tersebut berfungsi melakukan oksidasi parsial. Intinya menyimpan panas hasil proses di dua alat lain agar limbah gas tak terbuang dan mengurangi kebutuhan energi penaik suhu.

Dengan begitu, proses produksi bensin dari biomasaa ini miskin limbah. Sebabnya, arang hasil proses pirolisis atau biochar juga bisa dipakai untuk menyerap karbon tanah karena tekstur dalamnya yang berongga. “Bisa di tanam di lapisan tengah tanah dan membantu kesuburan karena menyerap karbon,” kata Arief.

Kalau ketiga peralatan tadi diintegrasikan, maka sudah layak jadi skema industri energi terbarukan. Kebetulan dia sudah membuat miniatur model industri yang memakai konsep pengintegrasian alat itu di laboratoriumnya. “Masih kami teliti lagi agar konsepnya matang,” kata dia.

Seorang mahasiswa S3 bimbingan Arief yang pernah berkunjung ke Brazil, Dani mengatakan model industri energi terbarukan yang terintegrasi sudah lazim dipraktikkan di negeri samba itu. Di sana semua pabrik gula memproduksi gula sekaligus etanol untuk bahan bakar kendaraan. “Kalau gula harganya naik, dipakai untuk produksi gula, tapi kalau turun, etanol yang diproduksi pabrik tebu di sana,” kata dia.

Semua proses riset teknologi mengubah biomassa jadi bensin ini dilakukan di laboratorium sederhana seluas separuh lapangan tenis. Dindingnya terbangun dari tumpukan batako tanpa pelapis semen tembok. Lokasinya ada di tebing pinggiran Kali Code yang meliuk tepat di belakang kompleks kampus Fakultas Teknik UGM.

Sumber: tempo.co

read more
Energi

Krisis Lebah Landa Eropa

Para peneliti memperingatkan akan jumlah lebah yang terlalu sedikit di Eropa. Jika ada lebih banyak lebah, produksi bahan bakar hayati bisa bertambah.

Peternak lebah, aktivis lingkungan dan ilmuwan di Eropa mengeluhkan jumlah lebah yang semakin berkurang dan khawatir akan buah dan sayur yang tidak bisa diserbuki lagi. Tapi di waktu bersamaan, muncul laporan yang mengatakan bahwa jumlah populasi lebah madu di seluruh dunia bertambah pesat hingga mencapai tujuh persen.

Menurut Peter Rosenkranz dari Universitas Hohenheim, jumlah lebah bertambah karena kini ada lebih banyak peternak lebah. “95 persen populasi lebah adalah berkat para peternah lebah madu”, jelas pakar biologi tersebut. Jadi mereka bisa menentukan, berapa banyak lebah yang beterbangan di ladang dan rumput. Namun, setiap tahun jumlahnya juga berkurang karena dampak bahan kimia dan parasit Tungau Varroa. Pada musim dingin, jumlah lebah yang mati mencapai 30 persen seluruh populasi. Jumlah tersebut harus digantikan di musim semi.

Masalah yang lebih besar adalah jumlah lebah yang hidup secara liar. Khususnya di lokasi pertanian yang menyemprotkan pestisida dalam jumlah besar, hampir tidak ada lagi lebah liar.

Lebah ‘to go’
Hasil penelitian terbaru para ilmuwan dipublikasikan di majalah online PLOS ONE. Mereka menuntut adanya lebih banyak lebah bagi lebih banyak tanaman untuk kepentingan produksi bahan bakar hayati. Ini berarti petani harus memesan lebah dari peternak lebah sesuai kebutuhan dan membayarnya. Sisanya akan dilakukan para lebah dengan sendirinya. Tren layanan lebah sebagai serangga penyerbuk utama mulai ditemukan di Eropa. Di negara lain seperti Amerika Serikat atau Cina, ini sudah menjamur.

Pertanyaan berikutnya adalah: tanaman apa yang diperlukan? Dari raps atau bunga matahari akan diperoleh madu berkualitas baik. Tapi sayangnya, petani lebih sering menanam jagung untuk produksi bahan bakar bio di Eropa. Rosenkranz menjelaskan, “Jagung bukan tanaman yang disukai lebah.” Jadi jagung tidak akan menguntungkan bagi peternak lebah. Karena itu para peneliti menuntut dipilihnya tanaman bagi produksi bahan bakar bio yang juga “menarik” bagi para peternak lebah.

Tanaman ramah lebah
Alternatif lain masih ada. Misalnya menghasilkan bahan bakar dari taman bunga. Hasilnya memang lebih sedikit. Kira-kira hanya 30 hingga 40 persen. Kelebihannya, lebah akan bekerja di lokasi yang lebih sehat dan berbagai spesies bunga akan terus mengalami reproduksi. Tapi Rosenkranz khawatir, para petani tidak akan menyetujuinya. Sulit untuk meyakinkan mereka untuk merelakan keuntungan lima hingga sepuluh persen demi taman bunga yang ekologis.

Saat ini ilmuwan di pusat teknologi pertanian Augustenberg (LTZ) tengah menguji berbagai campuran serbuk sari yang berbeda-beda. Campuran tersebut harus ramah bagi lebah dan ekologis.
Sumber: dw.de

read more
1 2 3
Page 1 of 3