close

BKSDA

Flora Fauna

85 Persen Habitat Gajah Berada Diluar Kawasan Konservasi

Banda Aceh — Konflik satwa antara gajah liar dengan manusia tak kunjung berakhir dan sering terjadi hingga sekarang. Data dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, dalam sepekan terakhir, ditemukan lima kasus konflik gajah liar dengan manusia di Kabupaten Aceh Timur, Pidie, Nagan Raya dan Bener Meriah.

Kepala BKSDA Aceh, Sapto Aji Prabowo mengatakan konflik gajah liar dengan manusia merupakan fenomena rutin tahunan. Terjadinya konflik satwa liar dengan manusia terjadi karena banyak habitat satwa liar yang berubah menjadi lahan perkebunan dan permukiman masyarakat.

“Ada yang berubah jadi kebun, dan permukiman. Di Aceh sekitar 85 persen habitat gajah ada di luar kawasan konservasi. Bahkan 60 persen di luar kawasan hutan. Ada di Areal Penggunaan Lain (APL) bukan di hutan. Itu dulu habitatnya, begitu berubah dan jenis tanaman yang ditanam disukai gajah senang sekali mereka (terjadi konflik),” kata Sapto, Senin (26/8/2019).

Konflik gajah liar dengan manusia menimbulkan akibat yang serius, bahkan sampai menimbulkan korban jiwa. Menurut BKSDA Aceh, tahun ini hingga Agustus 2019, sedikitnya satu orang meninggal dunia akibat konflik gajah liar dengan manusia.

“Tahun ini dari sisi gajah belum ada laporan. Kalau dari sisi manusia tahun ini ada dua korban, satu luka berat patah tulang di Pidie Jaya, dan seorang lagi meninggal dunia,” sebut Sapto.

BKSDA Aceh menyiapkan beberapa langkah untuk menangani konflik satwa liar dengan manusia untuk meninimalisir jatuhnya korban. Penanganan konflik antara satwa liar dengan manusia terbagi menjadi jangka pendek dan panjang. BKSDA Aceh membentuk kelompok masyarakat peduli konflik dibantu dari pihak lain. Masyarakat akan dilatih bagaimana cara menghalau gajah liar yang menyerbu ke permukiman atau perkebunan milik warga.

“Kita bekali masyarakat dengan pengetahuan, itu (penanganan) jangka pendek. Jangka panjangnya, kami dengan pemerintah Aceh dan pegiat konservasi sedang menyusun Kawasan Ekosistem Esensial (KEE). Ini adalah di luar kawasan konservasi yang memiliki nilai konservasi penting sehingga perlu untuk dilindungi. Artinya, kita akan buat aturan-aturan yang harus dilakukan sehingga antara kepentingan manusia bisa berdampingan dengan satwa liar yang ada di situ,” jelas Sapto.

“KEE nanti dalam waktu dekat akan diluncurkan di Aceh dan dikelola secara kolaboratif. KEE tidak akan mengubah fungsi kawasan,” tambahnya.

Saat ini penghalauan gajah liar yang masuk ke kawasan permukiman warga hanya dilakukan dengan cara manual menggunakan petasan dan meriam karbit. Alat-alat tersebut mengeluarkan bunyi yang kuat sehingga bisa membuat gajah liar enggan masuk ke perkebunan atau permukiman masyarakat.

“Kita harapkan dengan strategi tertentu mereka (gajah) bisa dihalau ke arah hutan. Kalau sudah tidak mampu lagi menggunakan cara manual, kami akan pertimbangkan untuk menggunakan gajah jinak. Tapi untuk hal tersebut tidak murah sehingga itu menjadi langkah akhir,” ungkap Sapto.

Sumber: voaindonesia.com

read more
Ragam

“Hope” Tampil dalam Peringatan Hari Orangutan Sedunia di Aceh

Banda Aceh – Puluhan pemuda meramaikan peringatan Hari Orangutan Sedunia di Taman Sari Banda Aceh, Minggu (25/08/2019). Mereka mengikuti lomba menggambar poster bertemakan “Selamatkan Orangutan”. Turut hadir seniman lukis dari Komunitas Kanot Bu, Idrus bin Harun yang menampilkan atraksi lukisan diorama kehidupan “Hope”, seekor orangutan yang ditembak 74 peluru belum lama ini di Subulussalam, Aceh.

Acara ini dilaksanakan WWF Indonesia bersama Earth Hour Aceh dan Komunitas Kanot Bu dengan didukung oleh Program Shared Resources Join Sollution yang bermitra dengan Forum DAS Krueng Peusangan dan Balai Syura Ureung Inong Aceh. Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Aceh, Sapto Aji Prabowo membuka Peringatan Hari Orangutan Sedunia.

Kepala BKSDA Aceh dalam sambutannya menyampaikan bahwa orangutan Sumatera saat ini berdasarkan Rencana Aksi Strategis Orangutan jumlahnya tinggal 13 ribu lebih yang terbagi dalam delapan meta populasi. Sebanyak 80 persen orangutan Sumatera ada di Aceh.

“Ini harusnya menjadi sebuah kebanggaan Aceh, tapi tantangan untuk orangutan tetap lestari sangat luar biasa terutama karena degradasi habitat. Aceh mempunyai target membuat Kawasan Ekosistem Esensial untuk menghubungkan delapan metapopulasi spesies yang saat ini terdegradasi,”kata Sapto.

Belum lama ini ada kasus orangutan yang ditembak 74 peluru dan bayinya mati karena malnutrisi bernama Hope. “Kemarin saya menerima petisi tentang penembak Hope yang mencapai 933 ribu tandatangan. Orang memberi perhatian bagaimana kita harusnya menyelamatkan orangutan,”ucap Kepala BKSDA itu.

Manager WWF-Indonesia Northern Sumatera Landscape, Dede Suhendra menyebutkan, kepedulian masyarakat terhadap nasib orangutan masih sangat rendah. Itu terlihat masih banyaknya kasus perburuan, penembakan, dan pengrusakan habitat orangutan salah satunya seperti yang menimpa Hope.

“Kita harus menyadari, orangutan adalah satwa penting yang memastikan keberlangsungan hutan. Jika orangutan hilang, hutan akan hilang karena salah satu penyebar benih utama pohon sudah tak ada,” kata Dede Suhendra.

Yang tak kalah penting, WWF-Indonesia juga memberikan perhatian serius terhadap keberlangsungan habitat dan orangutan Tapanuli yang saat ini terancam oleh berbagai kegiatan pembangunan seperti salah satunya adalah pengerjaan proyek pembangkit listrik oleh salah satu perusahaan swasta nasional. WWF-Indonesia percaya bahwa keanekaragaman hayati dan kelestarian lingkungan adalah dasar dari pembangunan sosial-ekonomi yang sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, saat ini dan di masa depan.

“Jadi, kami menyerukan kepada semua pihak terutama yang mendapat amanah proyek pembangunan pentingnya meninjau kembali rencana konstruksinya dan mengintegrasikan rencana yang kuat untuk mengurangi semua risiko yang berpotensi mengancam keanekaragaman hayati khususnya spesies orangutan dan habitatnya.

Rencana tersebut harus secara transparan diumumkan kepada publik dan dikonsultasikan secara intensif dengan kelompok ahli orangutan yang independen.. WWF-Indonesia mendesak semua pihak untuk melaksanakan himbauan tersebut, dan bersedia untuk pemantauan dan peninjauan oleh pihak independen,” kata Dede.

Untuk menyelamatkan orangutan, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan. Untuk itu WWF-Indonesia mengajak anak-anak muda turut menyampaikan ide mereka tentang penyelamatan orangutan dan habitatnya. Bersama lukisan diorama kehidupan Hope, karya-karya poster anak muda di Banda Aceh diharapkan bisa dipamerkan di ruang publik lainnya. Selain itu, untuk memberikan edukasi kepada anak-anak, WWF-Indonesiamenggelar permainan yang menampilkan informasi seputar orangutan. Hari Orangutan Sedunia diperingati setiap tahun pada tanggal 19 Agustus.[rel]

read more
Flora Fauna

Warga Abdya Serahkan Seekor Anak Orangutan ke BKSDA

Meulaboh – Warga Desa Teladan Jaya, Kecamatan Babah Rot, Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) menyerahkan seekor bayi Orangutan Sumatera (Pongo abelii) kepada Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dan Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) untuk dilepasliarkan ke habitatnya, Senin (19/8).

“Bayi Orangutan Sumatera jantan yang berusia sekitar lima bulan tersebut diserahkan pemiliknya secara sukarela,” kata pejabat Polisi Hutan Resor 13 Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat,Satirin, sebagaimana dilansir ANTARA, Selasa (20/8/2019) di Meulaboh.

Menurutnya, satwa yang dilindungi oleh negara tersebut selama ini dirawat oleh warga setelah sebelumnya ditemukan di dalam kawasan hutan dalam kondisi tidak berdaya.

Setelah diterima oleh petugas, kemudian bayi orangutan tersebut pada Senin malam langsung dibawa ke Provinsi Sumatera Utara guna dilakukan karantina, sehingga nantinya bayi orangutan ini akan dilepasliarkan kembali ke kawasan hutan di Aceh.

Pihaknya berterima kasih atas kerjasama dan kepedulian masyarakat yang selama ini bersedia menyerahkan orangutan agar dilepasliarkan kembali ke kawasan hutan, sehingga diharapkan kelestarian satwa tersebut dapat terus berlanjut.

Satiri mengakui satwa tersebut tetap akan dikarantina selama beberapa waktu lamanya, sehingga setelah bayi orangutan ini mandiri dan bisa mencari makanannya sendiri, barulah dilepasliarkan ke habitatnya di dalam hutan.

Sumber: antaranews.com

read more
Ragam

Lima Penjual Satwa Liar Beruang Madu Divonis Penjara

Meulaboh – Lima orang memperjualbelikan hewan dilindungi, yakni beruang madu, akhirnya dijatuhi pidana penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Meulaboh, Aceh Barat, dalam sidang pamungkas, Kamis (25/7/2019).

Hakim menjatuhkan hukuman berbeda kepada para terdakwa. Empat orang divonis masing-masing sepuluh bulan, yakni Jufri, Badri, Idrus, dan M Daud, serta denda Rp 1 juta subsidair dua bulan kurungan. Hukuman terhadap mereka lebih rendah dua bulan dari tuntutan jaksa.

Seorang terdakwa lainnya, Idris, divonis lebih rendah, yakni enam bulan penjara karena dituntut jaksa hanya delapan bulan penjara. Tapi dendanya lebih besar, yakni Rp 10 juta subsidair satu bulan penjara. Majelis hakim juga memerintahkan agar kelima tervonis tetap ditahan.

Tak seragamnya hukuman para tervonis disebabkan peran dan kedudukan setiap mereka dalam kasus ini berbeda. Ada yang berperan sebagai penjual, ada pula sebagai penadah. Sedangkan orang yang menangkap beruang madu itu telah melarikan diri.

Sidang pamungkas kemarin dimulai pukul 15.00 WIB dengan menghadirkan terdakwa Idris. Sidang dipimpin Al-Qudri SH, didampingi dua hakim anggota: M Taher SH dan Erwanto SH.

Sidang kedua dipimpin M Thaher, didampingi hakim anggota Al-Qudri SH dan Erwanto SH dengan terdakwa terdiri atas Jufri, Badri, dan Idrus.

Sidang ketiga komposisi majelis hakimnya tetap, hanya terdakwanya yang beda, yakni M Daud.

Turut hadir dalam sidang tersebut jaksa penuntut umum (JPU) dari Kejari Aceh Barat, yakni Badrulsyah SH, Baron Sidik SH, dan Yusni Ferbriansyah SH.

Sidang juga disaksikan oleh keluarga terdakwa yang datang dari Leuhan, Kecamatan Johan Pahlawan, dan memadati PN Meulaboh.

Dalam amar putusannya hakim menyatakan bahwa kelima terdakwa terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan melanggar Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Sebagaimana diberitakan sebelumnya, jaksa dari Kejari Aceh Barat menuntut empat terdakwa, M Daud (44), Idrus (40), Barli (45), dan Jufri (43) masing-masing satu tahun. Sedangkan Idris (42) dituntut delapan bulan penjara. Jaksa menghendaki agar kelima terdakwa tetap ditahan.

Kasus ini berawal saat Polres Aceh Barat pada 13 April 2019 menangkap lima warga setempat dalam kasus dugaan perdagangan atau jual beli satwa dilindungi dan langka, yakni beruang madu. Dalam kasus ini seekor beruang madu yang menjadi barang bukti (BB) kejahatan para terdakwa berhasil diamankan. Selain kelima terdakwa, polisi juga masih memburu seorang pelaku lain sebagai orang yang menangkap satwa yang dilindungi itu.

Kasus ini setelah dinyatakan lengkap diserahkan polisi ke Kejari Aceh Barat dan diteruskan ke PN Meulaboh untuk disidangkan. Sedangkan beruang madu setelah diamankan polisi sempat dirawat oleh BKSDA Aceh Barat. Setelah kondisinya normal, beruang madu itu pun dilepasliarkan ke hutan lindung di Kecamatan Sungaimas, Aceh Barat.

Setelah membacakan amar putusan, hakim bertanya kepada kelima terdakwa dan jaksa tentang sikap mereka terhadap vonis tersebut. Dalam kesempatan itu terdakwa dan jaksa sama-sama menyatakan menerima. Dengan demikian, putusan hakim tersebut telah berkekuatan hukum tetap (inkrah).

Kemudian, setelah persidangan kelima tervonis kembali dibawa ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kelas IIB Meulaboh, tempat selama ini mereka ditahan. (riz)

Sumber: aceh.tribunnews.com

read more
Flora Fauna

Yayasan BOS dan BKSDA Lepasliarkan Orangutan ke-400

Kembali sekelompok orangutan hasil rehabilitasi akan dilepasliarkan ke hutan berkat upaya kerja bersama antara Yayasan BOS dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Timur untuk yang ketiga kalinya dalam kurun waktu 30 hari. Pelepasliaran ini menjadi tonggak bersejarah karena melibatkan orangutan ke-400 yang dilepasliarkan sejak upaya baru dimulai pada 2012, ketika kedua pihak melanjutkan kolaborasi untuk melepasliarkan orangutan ke Hutan di Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah.

Yayasan BOS bersama dengan BKSDA Kalimantan Timur terus melepasliarkan orangutan yang telah menuntaskan masa rehabilitasi di Pusat Rehabilitasi Orangutan Yayasan BOS Samboja Lestari ke Hutan Kehje Sewen, sebuah hutan konsesi Restorasi Ekosistem seluas 86.450 hektar yang terletak di Kabupaten Kutai Timur.

“Pelepasliaran orangutan 24 Juli 2019 merupakan ketiga yang diselenggarakan dalam kurun waktu 30 hari. Sebanyak 4 individu orangutan diberangkatkan dan mereka akan menambah populasi di hutan Kehje Sewen menjadi 107,” ungkap Dr. Ir. Jamartin Sihite, CEO Yayasan BOS, Rabu (24/7/2019).

Menurutnya, tahun ini, Yayasan BOS merasa perlu menggalakkan upaya pelepasliaran orangutan yang telah menyelesaikan proses rehabilitasinya. “Maka kami kembali bekerja bersama dengan BKSDA Kalimantan Timur untuk melepasliarkan orangutan ke hutan konsesi Restorasi Ekosistem yang kami kelola di Kabupaten Kutai Timur,” terang Jamartin.

Yayasan BOS masih butuh hutan-hutan seperti ini untuk menampung 500 ratus orangutan yang masih kami rawat saat ini di pusat-pusat rehabilitasi kami. Di Kalimantan Timur saja masih ada 140 orangutan, Kalimantan Tengah masih 360, dengan kebanyakan dari mereka siap dilepasliarkan. “Tapi hutan pelepasliaran yang saat ini kami manfaatkan, sudah semakin mendekati ambang kapasitasnya.”

Jamartin mengaku sangat berharap upaya mendapatkan areal pelepasliaran orangutan dalam skema IUPHHK-RE, mendapatkan dukungan dari semua pihak, terutama pemerintah pusat dan daerah, sehingga ratusan orangutan yang saat ini masih menanti kebebasan di pusat rehabilitasi bisa segera dilepasliarkan.

Ini, ditambah penegakan hukum yang lebih ketat dan sosialisasi undang-undang yang melindungi orangutan agar tidak ditangkap sebagai hewan peliharaan, kami harapkan bisa membantu upaya konservasi orangutan secara umum. “Siapapun bisa membantu. Jika Anda memiliki informasi tentang orangutan yang ditangkap, harap segera laporkan ke kepolisian setempat atau BKSDA.”

Sejak akhir Juni lalu, Yayasan BOS dan BKSDA Kalimantan Timur telah melepasliarkan total 6 individu orangutan ke Kehje Sewen, yaitu 4 jantan dan 2 betina dalam rentang usia 14-25 tahun. Hari ini, kembali 4 orangutan yang terdiri dari Elder, Anna Friel, Mori, dan Edgar akan dibawa dalam sebuah perjalanan panjang selama sekitar 24 jam, melalui rute darat dan sungai ke sisi Selatan Hutan Kehje Sewen. Salah satu orangutan, Mori, pernah menjalani pra-pelepasliaran di pulau Juq Kehje Swen yang terletak di Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur.

Pulau Juq Kehje Swen, tempat Mori menjalani tahap akhir rehabilitasi selama 10 bulan, adalah pulau buatan hasil kemitraan antara Yayasan BOS dengan PT. Nusaraya Agro Sawit (PT. NUSA). Pulau ini merupakan lahan berhutan seluas 82,84 hektar yang terletak di Kecamatan Muara Wahau, dan dinilai memiliki hutan berkualitas, terisolasi berkat adanya air sungai di sekelilingnya sepanjang tahun, serta layak untuk mendukung kebutuhan adaptasi, sosialisasi bagi para orangutan. Dalam hal ketersediaan pakan, pulau ini mampu menampung sekitar 40 orangutan.

Kendati pelepasliaran ini menambah populasi orangutan yang dilepasliarkan di konsesi Restorasi Ekosistem Hutan Kehje Sewen menjadi 107 individu, secara total jumlah orangutan yang telah dilepasliarkan melalui Program Reintroduksi Orangutan Yayasan BOS hari ini akan menjadi 402.

Sementara Ir. Sunandar Trigunajasa N. M.M., Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Timur, mengatakan, dalam beberapa pekan belakangan BKSDA Kalimantan Timur bekerja sama dengan Yayasan BOS tidak hanya berhasil menyelamatkan bayi orangutan melalui penyerahan dari masyarakat, namun juga melepasliarkan sejumlah orangutan hasil proses rehabilitasi panjang ke hutan habitat alami mereka.

“Dengan melepasliarkan 4 orangutan hari ini, berarti sudah 10 individu dilepasliarkan kembali ke hutan sejak bulan Juni lalu sampai hari ini, agar mereka bisa hidup liar secara lestari. Di tanggal 26 Juni lalu kami melepasliarkan 4 orangutan, dan pada tanggal 8 Juli, 2 lagi menyusul.”

“Ini bukan pekerjaan yang mudah, dan butuh kerja sama dengan seluruh pemangku kepentingan, karena konservasi adalah upaya besar yang manfaatnya dirasakan oleh semua manusia. Pemerintah, masyarakat, dan organisasi massa termasuk pelaku bisnis harus saling mendukung aktif dalam melanjutkan upaya pelestarian sumber daya alam di Kalimantan Timur, dalam hal ini orangutan dan satwa liar. Selain dilindungi Undang-Undang, mereka juga berperan besar dalam ekosistem hutan. Mari lindungi hutan kita dan keanekaragaman hayati di dalamnya.” Ungkap Sunandar.

CEO Yayasan BOS mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, BKSDA Kalimantan Timur, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, Pemerintah Daerah di Kabupaten Kutai Timur dan Kutai Kartanegara, serta masyarakat Kabupaten Kutai Timur dan Kutai Kartanegara.

Kegiatan-kegiatan pelepasliaran ini dapat terwujud berkat dukungan finansial yang diberikan oleh BOS Swiss dan para mitra global kami yang lain (BOS Australia, BOS Jerman, BOS UK, dan Save the Orangutan); dan pelaku bisnis, termasuk PT. NUSA, serta para pendukung di seluruh dunia yang mendukung upaya penyelamatan dan rehabilitasi orangutan, dan upaya konservasi orangutan yang lebih luas di Kalimantan. (001)

Sumber: www.niaga.asia

read more
Flora Fauna

Konflik Gajah dan Manusia Terus Terjadi, Bagaimana Jalan Keluarnya?

Banda Aceh – Beberapa hari belakangan ini setelah lebaran, masyarakat sejumlah daerah kembali diganggu dengan kehadiran gajah liar di sekitar mereka. Kehadiran hewan berbadan raksasa ini yang sering juga disebut Po Meurah dalam bahasa Aceh menimbulkan kerusakan pada tanaman dan sejumlah bangunan. Gajah-gajah sepertinya menjadi beringas, menghancurkan apa benda apa saja yang menghalangi lintasan mereka. Pemerintah pun seperti biasa turun tangan berusaha mengatasi gajah liar ini dengan menurunkan gajah jinak untuk menggiring Po Meurah kembali ke habitatnya. Pemerintah lewat BKSDA mencetuskan ide untuk menjadikan daerah yang dihuni gajah menjadi kawasan konservasi.

Pada hari Kamis (13/06/2019) gajah liar masuk ke pemukiman penduduk yang berada di kawasan pedalaman Cot Girek serta merusak sekitar 15 unit rumah dan lahan perkebunan yang sudah ditanami cokelat, pinang, dan pisang. Kejadian penyerangan gajah liar ini sudah berulang kali terjadi dalam beberapa tahun belakangan sehingga masyarakat sangat terpukul.

Petani yang berada di gubuk-gubuk dalam kebun buru-buru melarikan diri saat melihat kedatangan Po Meurah yang berwajah garang. Mereka tak ingin bernasib malang diamuk gajah. Hingga saat ini petani masih merasa was-was belum berani beraktivitas di kebun. Warga pun melaporkan kepada aparat kecamatan yang kemudian meneruskan laporan kepada BKSDA.

Pihak BKSDA telah mengerahkan dua gajah jinak menggiring gajah-gajah liar tersebut. Petugas BKSDA berhasil mendekati gajah liar tersebut bahkan mampu melepaskan alat pelacak yang dipasang pada gajah liar, GPS collar, yang telah habis baterai.

Kepala BKSDA Aceh Sapto Aji Prabowo kepada awak media mengatakan selain di Aceh Utara gajah masuk ke area penduduk terjadi juga di kabupaten Bener Meriah, Pidie, Bireuen, Aceh Timur, Aceh Jaya, Aceh Tenggara dan Aceh Barat hingga Kabupaten Aceh Selasan. Sepanjang 2017 di provinsi Aceh konflik gajah sebanyak 103 kasus dan pada 2018 keseluruhan ada 73 kasus, ujar Sapto.

Petani jika melihat kehadiran gajah di pinggiran perkebunan akan membakar mercon untuk mengusir gajah-gajah tersebut. Namun kali ini sepertinya petani tidak sempat meledakan mercon dikarenakan gajah-gajah tersebut keburu mendatangi kebun. Jika mercon dibakar biasanya gajah akan merasa terganggu dan kembali masuk ke dalam hutan asal mereka.

Selain Aceh Utara, juga dilaporkan di Gampong Baroeh di Aceh Jaya belasan ekor gajah liar mengobrak-abrik lahan persawahan dan perkebunan. Gajah yang diperkirakan berjumlah 15 ekor masuk kampung, merusak lahan sawah serta kebun masyarakat pada Rabu pagi (12/6/2019).
Sejumlah warga di desa tersebut telah melaporkan ke pihak aparat gampong setempat untuk kemudian berkoordinasi melalui unit tanggapan konservasi (CRU) Sampoiniet atas kejadian ini.

Tim Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Aceh Jaya hingga kini memastikan akibat kawanan gajah liar ini belum sampai menimbulkan korban baik jiwa, terdampak maupun masyarakat yang mengungsi.

Cegah Konflik Gajah –Manusia
Aceh Utara yang memiliki populasi gajah yang tinggi akan dijadikan sebagai salah satu Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) atau koridor gajah di Aceh. Daerah hutan Cot Girek menjadi habitat gajah Sumatera, dipandang cocok untuk diterapkan sebagai KEE mengingat intensitas konflik gajah-manusia yang tinggi belakangan ini.

“Agar konflik tidak terulang, kawasan Cot Girek akan dikelola menjadi KEE atau koridor gajah. Hal ini Sedang dibahas di tingkat provinsi,” kata Kepala BKSDA Aceh, Sapto Aji Prabowo seperti dikutip detikcom, Kamis (13/6).

Sapto menjelaskan, di Aceh sedikitnya ada lima kantong habitat gajah sumatera selain yang berada di Cot Girek, Aceh Utara.

“KEE sendiri adalah kawasan di luar kawasan konservasi yang mempunyai nilai konservasi penting. Jadi habitat satwa. Dia bisa hutan produksi, hutan lindung, bisa juga APL,” sebut Sapto. Nantinya KEE akan dikelola bersama antara pemda dan pihak lain yang ditunjuk dengan tetap memperhatikan aspek-aspek konservasi tersebut.

Sebelumnya seorang pegiat lingkungan, Fahmi Rizal, juga pernah mengusulkan Kawasan Strategis Nasional (KSN) yang keberadaannya teramat penting dan mempengaruhi secara nasional baik dari aspek pertahanan dan keamanan, pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pendayagunaan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi, dan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup. Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) merupakan kawasan yang sangat layak menjadi KSN.

KEL memang pantas ditetapkan sebagai KSN mengingat areal hutan hujan di ujung barat Pulau Sumatera ini memiliki keragaman hayati yang amat tinggi dan unik. Wilayah hutan ini merupakan tempat satu-satunya di dunia yang masih memiliki empat mamalia besar endemik di dalam satu wilayah: Gajah Sumatera, Harimau Sumatera, Orangutan Sumatera dan Badak Sumatera. Wilayah jelajah ke-empat satwa besar ini saling berpotongan sehingga membentuk areal yang sangat luas (sekitar 2.255.557 hektar) yang membentang dari tengah Provinsi Aceh (meliputi 13 kabupaten) hingga ke Provinsi Sumatera Utara (meliputi 4 kabupaten).

Sumber: dbs

read more
Flora Fauna

Petugas Sita Orangutan dari Oknum TNI di Aceh Timur

ACEH TIMUR – Seekor individu Orangutan berhasil diselamatkan dari tangan seorang oknum anggota TNI oleh tim gabungan di Gampong Baru, Kecamatan Idie Rayeuk, Kabupaten Aceh Timur, Senin (25/6/2018) tadi pagi.

Tim gabungan yang selamatkan seekor individu Orangutan itu adalah Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Human-Orangutan Conflict Response Unit – Orangutan Information Center (HOCRU – OIC) dan Polsek Idie Rayeuk. Orangutan berusia 2,5 tahun itu sebelumnya dipelihara oleh anggota TNI Langsa selama 2 tahun lebih.

“Orangutan ini sebelumnya dipelihara oleh seorang anggota TNI Langsa selama lebih kurang 2 tahun,” kata Kepala BKSDA Aceh, Sapto Aji Prabowo, Senin (25/6/2018).

Kondisi Orangutan saat ditemukan dalam kondisi sangat prihatinkan, jauh dari kata layak. Orangutan berada dalam kandang yang kotor dan tinggal bersama seekor monyet lainnya.

Selain itu, kondisi Orangutan dalam kondisi kesehatan yang memburuk. Dimana petugas menemukan sejumlah penyakit kulit di tubuh Orangutan yang cukup serius dan butuh segera dilakukan pengobatan secara intensif.

“Kondisi dari orangutan ini pun terbilang buruk dimana ditemukan sejumlah penyakit kulit yang cukup serius,” jelasnya.

Untuk menjalani pengobatan dan rehabilitasi, Orangutan itu sudah dibawa menuju pusat rehabitasi Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP) di Sumatera Utara, Medan.

“Masyarakat harus mengetahui bahwa menangkap, membunuh, memperdagangkan, memiliki orangutan di Indonesia adalah perbuatan illegal dan masuk dalam tindakan kriminal, yang tentu akan ada sanksi hukum berupa denda hingga penjara,” tegas Sapto.

Sejak tahun 2001, SOCP telah menerima lebih dari 360 orangutan di pusat karantina dan rehabilitasi orangutan di dekat Medan, Sumatera Utara. Lebih dari 170 diantaranya telah dilepasliarkan ke pusat reintroduksi SOCP di Provinsi Jambi, dan 105 orangutan lainnya dilepaskan ke hutan Jantho, provinsi Aceh.[]

read more
Flora Fauna

YEL-SOCP & BKSDA Aceh Lepasliarkan Beruang di Aceh Besar

ACEH BESAR – Yayasan Eksositem Lestari Sumatran Orangutan Conservation Program  (YEL-SOCP) bekerjasama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh telah melepasliarkan seekor beruang madu (helarctos malayanus) ke habitatnya, Senin (14/5/2018).

Kepala BKSDA Aceh, Sapto Aji Prabowo mengatakan, beruang madu ini yang dievakuasi tanggal 24 November 2016 lalu di Gampong Karak, Kecamatan Woyla Timur, Kabupaten Aceh Barat, karena kaki kiri depannya terjerat dan terluka parah.

“Sehingga harus dioperasi dan tinggal menyisakan jempolnya saja,” jelasnya.

Setelah mendapatkan perawatan selama 1,5 tahun untuk proses penyembuhan oleh Tim Pusat Kajian Satwa Liar (PKSL) Universitas Syiah Kuala. Beruang malang ini kemudian dinilai oleh tim dokter hewan sudah siap untuk dilepasliarkan kembali ke habitatnya.

Untuk kepentingan penelitian dan guna mengetahui pergerakan beruang tersebut, BKSDA Aceh didukung FKH Unsyiah memasang GPS Collar di leher beruang. GPS Collar yang didatangkan langsung dari Swedia tersebut, akan mengirimkan sinyal ke satelit dan akan dipancarkan kembali ke receiver yang ada di BKSDA dan FKH Unsyiah.

“Dengan data dari GPS Collar tersebut, nantinya dapat diketahui dan dianalisa pola pergerakan, preferensi habitat serta jika ada hal-hal yang tidak diinginkan,” jelasnya.

GPS Collar ini, sebutnya, juga bisa untuk mencegah potensi konflik dengan warga atau terjadi stagnasi pergerakan beruang yang bisa jadi sedang sakit atau bahkan mati, dapat diketahui dengan cepat.

Katanya, menurut keterangan produsen collar, baterai pada collar seharga lebih dari 3.000 dollar itu akan dapat bertahan sekurangnya 2 tahun. “Semoga beruang madu yang dilepasliarkan tersebut dapat kembali hidup nyaman di rumahnya,” tutupnya.[acl]

read more
1 2
Page 1 of 2