close

gajah

Pejuang Lingkungan

Cara Nicholas Saputra Melindungi Lingkungan

Jakarta – Nicholas Saputra, 35 tahun, mengawali karier di dunia film saat menjadi siswa Sekolah Menengah Atas Negeri 8, Jakarta. Ia memerankan Rangga, siswa pendiam penyuka puisi, dalam film Ada Apa dengan Cinta (2002), yang kemudian melekat dalam ingatan banyak orang.

Setelah menjalani hampir separuh usianya sebagai aktor, Nicholas Saputra beralih menjadi produser—tentu sambil tetap menjalani profesi lamanya. Ia awalnya membuat film-film pendek, semuanya dokumenter. Kini ia memproduksi film panjang yang juga dokumenter. Film itu berjudul Semes7a, menampilkan tujuh tokoh berbeda agama yang sama-sama berbuat untuk lingkungan. Film tersebut akan diputar di bioskop mulai akhir Januari 2020.

Potongan Semes7a yang telah selesai dikerjakan pada tahun lalu itu diputar di Paviliun Indonesia dalam arena Konferensi Perubahan Iklim COP25 di Madrid, Spanyol, Kamis, 11 Desember lalu. Ia berbicara tentang kekuatan penceritaan atau story-telling dalam kampanye mencegah krisis iklim.

Menurut Nico, tujuh tokoh dalam film itu dibuat terpisah-pisah dan disusun menggunakan pendekatan agama sebagai pengikatnya. “Mayoritas masyarakat Indonesia sangat religius. Saya berharap, dengan pendekatan agama, film ini bisa menggerakkan mereka untuk berbuat sesuatu bagi alam,” ujarnya.

Pemeran Soe Hok Gie dalam film Gie ini memang pencinta alam. Ia pun gemar berjalan-jalan, baik di dalam maupun luar negeri. Akun Instagram-nya dipenuhi foto perjalanannya, dari Alor Kecil di Nusa Tenggara Timur hingga Rio de Janeiro, Brasil. Memadukan kegemaran bertualang dan kepeduliannya terhadap alam, ia membangun vila di Tangkahan, Sumatera Utara. Uniknya, tak seperti selebritas lain, foto dirinya tak pernah tampil di akun yang memiliki 1,1 juta pengikut itu.

Pada suhu 3 derajat Celsius di halaman gedung Ifema, Madrid, setelah Nico berbicara di podium Paviliun Indonesia, jurnalis berbincang panjang dengannya. Ia menuturkan alasannya peduli terhadap alam dan pengalamannya membuat film Semes7a. Sebagian ceritanya off the record, terutama tentang perusahaan yang bersedia menjadi sponsor filmnya tapi ia tolak. “Mereka bisa berbuat baik di tempat lain, tapi tidak di film saya,” katanya.

Nicholas mengatakan awal ia menyukai isu lingkungan adalah saat ia setengah dipaksa untuk nonton acara flora dan fauna di TVRI (Televisi Republik Indonesia). Acara itu juga yang mendorong Nicholas untuk banyak traveling. “Saya ingin melihat aslinya bagaimana, sih, apa yang saya tonton di acara televisi itu,” katanya.

Tidak hanya itu, Nicholas Saputra pun suka sekali menonton berita. Menonton berita membuat dia tahu ada perang di beberapa tempat, ada pula berbagai tempat baru di pelosok negeri. “Saya jadi ingin melihat langsung. Di Indonesia, saya pergi ke banyak tempat. Dari dulu dan sering. Di banyak tempat, saya perginya bolak-balik,” katanya.

Setelah itu baru ia masuk dunia film, sejak SMA. Nicholas Saputra banyak jalan mulai kuliah dan setelah lulus. “Nah, di Indonesia, saya suka daerah pelosok. Di sana, saya mendapatkan privasi. Orang enggak tahu saya, belum ada media sosial, tidak ada yang minta foto. Saya menemui banyak hal yang genuine,” katanya.

Berbagai pengalamannya bepergian ke berbagai tempat Nicholas Saputra menemukan pengalaman dari tangan pertama tentang berbagai perubahan yang ada. Perubahan itu dalam hal kualitas udara, kualitas lingkungan, kebiasaan membuang sampah. “Dari situ, concern saya terhadap lingkungan muncul,” katanya.

Ia pun akhirnya mendalami isu perubahan iklim. Awalnya, Nicholas Saputra banyak membantu organisasi non-pemerintah untuk kampanye. Kepeduliannya waktu itu disalurkan melalui Fauna and Flora International, yang memperkenalkannya pada Aceh, gajah, hutan, dan lain-lain. “Saya juga pernah bantuin The Nature Conservancy, Indonesia Conservancy, buat proyek-proyek marine mereka. Di situlah saya belajar,” katanya.[]

Sumber: tempo.co

read more
Flora Fauna

Satu Dekade Konflik Gajah dan Manusia di Pintu Rime Gayo

Redelong, Aceh – “Kami maunya gajah gak datang lagi ke kampung kami,” ucap Idayani penuh harap. Kalimat itu membuat bibir perempuan ini tampak bergetar saat berucap, air mata pun menetes di wajahnya, seolah menunjukkan kedalaman harap dari apa yang disampaikannya.

Idayani (42) adalah warga Dusun Sejahtera, Kampung Rime Raya, Kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah, Aceh.

Saat itu di penghujung November 2019, rumah perempuan ini baru saja didatangi kawanan gajah liar di malam hari. Dinding rumahnya jebol, pintu rumah didobrak, dan seisi rumah hancur berantakan oleh kehadiran hewan mamalia bertubuh besar itu.

“Dua malam dia (gajah) datang. Waktu malam pertama itu saya masih di Binjei (Sumatera Utara), itu dinding rumah cuma dirusak yang lain gak ada dirusak. Malam keduanya saya udah disini, karena dinding rumah rusak saya tidur di rumah kakak sebelah,” tutur Idayani.

“Malam keduanya itu udah masuk semua ke dalam rumah, sampai kamar dia masuk, itu karung beras pun dia ambil. Dapur sampai kamar semua berantakan,” kisahnya lagi.

Ibu dua anak ini menuturkan delapan tahun sudah ia merajut pengalaman merasakan konflik gajah yang terjadi di kampungnya. Rasa trauma terus mendera di dadanya selama bertahun-tahun. Di saat-saat kawanan gajah mulai kembali ke desanya, saat itulah rasa khawatir tak lagi bisa terusir untuk hanya sekedar bisa tidur nyenyak di malam hari, di dalam rumahnya sendiri.

“Takut, malam-malam selalu takut kami. Kalau udah dengar suara terompetnya itu dah hidup jantung. Memang dia jarang ganggu, tapi kami yang perempuan ini kan tetap ketakutan,” kata Idayani.

Hal yang sama juga diutarakan oleh Julita (32). Perempuan yang masih satu desa dengan Idayani ini juga mengaku tak bisa melawan rasa takutnya setiap kali berhadapan dengan kenyataan bahwa gajah-gajah liar sedang bermain-main di dekat rumahnya.

“Saya dengar suaranya aja langsung gemetar saya. Kalau malam suaranya itu keras kali, dari jauh aja suaranya kedengaran satu kampung ni, apalagi kalau dia dekat, itu rasanya takut kali,” tutur Julita.

“Kadang-kadang dia udah di belakang rumah, lewat gitu, ribut suaranya krasak krusuk. Sering dia datang kalau malam, paginya ada bekas tapak kakinya di belakang rumah itu banyak,” ujarnya lagi.

Ibu dua anak ini menuturkan bahwa sejak beberapa tahun belakangan, sudah banyak warga desanya yang memilih untuk hijrah meninggalkan kehidupan di desa itu.

Menurutnya warga-warga yang pindah tersebut karena sudah tak tahan lagi harus menjalani kehidupan yang selalu dalam ketakutan.

“Kami pun kalau bisa pindah dari sini pindah kami pun, cuma kami gak tahu mau pindah kemana, lahan kami cuma di sini, gak ada di tempat lain, mau gak mau harus terus di sini,” ucapnya sambil membenahi alas tampat menjemur biji kopi robusta di halaman rumahnya.

Kopi jenis Robusta kata Julita adalah salah satu komoditi perkebunan warga di sana untuk bisa menopang kehidupan ekonomi keluarga.

Wilayah kampung ini yang terletak di kawasan pinggirian Kabupaten Bener Meriah memiliki iklim tak sesejuk wilayah Dataran Tinggi Gayo pada umumnya yang dikenal subur untuk menumbuhkan tanaman kopi jenis Arabica gayo sebagai komoditi unggulan yang namanya telah tersohor ke seantero dunia.

“Kalau kami disini tanamnya kopi Robusta semua, karena disinikan udah daerah panas, arabica gak bagus lagi tanam disini,” kata Julita.

Jika kawanan gajah liar sudah mulai kembali datang ke desa ini, tanaman kopi di areal perkebunan warga kerap luluh lantak, batang-batang kopi bisa patah atau tercabut dari akarnya oleh ulah satwa berbelalai itu.

Sementara ada ratusan hektare lahan perkebunan warga di desa ini dengan berbagai jenis tanaman pertanian di dalamnya terus menerus mendapat ancaman kerusakan sebagai dampak dari konflik gajah yang terjadi.

Warga lainnya, Mariman (46), mengatakan sejak kawanan gajah liar kembali ke desanya dalam sebulan terakhir mulai akhir Oktober 2019, penduduk di desa itu pun mulai menerapkan ronda malam massal untuk berjaga dan mengantisipasi kehadiran kawanan gajah, kalau-kalau mulai mendekati rumah-rumah penduduk.

Untuk ini warga hanya dibekali petasan sebagai alat untuk dapat mengusir para satwa dilindungi itu agar menjauh dari pemukiman penduduk.

Ledakan-ledakan dari suara petasan yang sengaja dibunyikan oleh warga selama ini masih menjadi cara dan solusi paling efektif yang bisa dilakukan.

“Setiap malam kami jaga. Tapi kadang kami kehabisan mercon, habis stok kami. Itu terpaksa kami kumpul-kumpul sesama warga untuk bisa beli mercon lagi,” kata Mariman.

Rumah rusak dan korban jiwa

Reje (Kepala) Kampung Rime Raya Muklis pada 23 November 2019 mencatat ada sebanyak 14 rumah warga di desanya yang dirusak oleh kawanan gajah liar hanya dalam waktu dua pekan saja.

“Itu total (rumah rusak) dua minggu ini, sejak gajah datang lagi ke desa kami. Memang tidak semua rumah rusak berat, kalau yang rusak berat itu ada empat rumah,” kata Muklis.

“Belum lagi kalau kita hitung seluruh kerusakan dari beberapa tahun lalu, sejak tahun 2011. Apalagi kalau kebun, itu mungkin sudah ratusan hektare (kebun rusak), di kampung ini saja,” ujarnya lagi.

Muklis menuturkan bahwa sepengetahuannya sejak konflik gajah terjadi mulai tahun 2011 juga telah berdampak pada jatuhnya korban jiwa.

Dia mengingat ada delapan warga menjadi korban meninggal dunia akibat berbagai insiden yang melibatkan hewan mamalia bertubuh besar itu dengan warga.

Mulai dari insiden kecelakaan di jalan raya akibat kawanan gajah turun menyeberangi jalan, hingga berbagai insiden lainnya yang berakibat fatal bagi keselamatan manusia.

“Itu korban jiwa yang kami ketahui sejak 2011. Kemarin dengan media lain saya salah sebut, saya bilang 5 korban jiwa, padahal sudah 8 korban,” ucap Muklis.

Tapi menurutnya total jumlah korban jiwa itu adalah yang terhitung untuk se Kecamatan Pintu Rime Gayo secara keseluruhan.

Wilayah kecamatan ini disebut merupakan kawasan utama di Kabupaten Bener Meriah, Aceh, dimana kawanan gajah liar selalu hilir mudik pada jalur lintasannya mendatangi satu desa ke desa lainnya dalam wilayah kecamatan tersebut.

“Kalau dari desa kami tidak pernah ada korban jiwa, seingat kami tidak ada,” kata Muklis.

Mencari solusi terbaik

Camat Pintu Rime Gayo Edi Iwansyah Putra menyebut bahwa kawanan gajah liar mulai kembali mendatangi hampir setiap desa dalam wilayah kecamatan tersebut mulai Juli 2019.

Upaya penggiringan para satwa dilindungi itu agar kembali ke kawasan hutan atau minimal menjauh dari wilayah perkampungan penduduk terus dilakukan, namun hasilnya nihil hingga memasuki Desember 2019.

Gajah-gajah liar itu tetap enggan beranjak, mereka hanya meninggalkan satu desa untuk sesaat, itu pun untuk menuju ke desa lainnya, lalu kembali lagi ke desa sebelumnya.

“Makanya untuk penggiringan itu bukan menjadi solusi kalau menurut saya, itu hanya sebagai upaya antisipasi sementara. Sama saja misalnya saat kita usir gajah itu dari wilayah kita, kemudian mereka masuk ke wilayah Bireuen atau Aceh Tengah, nah dari sana juga dilakukan pengusiran, lalu gajahnya kembali lagi masuk ke wilayah kita, begitu terus terjadi,” tutur Edi Iwansyah Putra.

Edi menjelaskan bahwa konflik gajah telah menjadi persoalan rutin setiap tahunnya di wilayah Kecamatan Pintu Rime Gayo, namun tak pernah ada solusi konkrit dari pihak berwenang untuk upaya penanganannya secara tuntas dan terencana.

Sementara pemerintah daerah setempat dalam hal ini, kata dia juga tidak punya kewenangan khusus untuk dapat menangani persoalan tersebut, sehingga masalah konflik gajah ini seolah tak bertuan dan terus menggantung tanpa ada solusi penanganannya.

“Karena urusan satwa dilindungi ini kan sudah jadi urusan pusat ya, Pemda tidak punya anggaran untuk itu. Nah kenapa tidak direncanakan penanganannya secara paripurna, kita gelontorkan anggarannya, tapi permasalahan selesai,” ucapnya.

Edi berharap ada upaya terencana yang dilakukan oleh pihak berwenang baik dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh maupun Pemerintah Provinsi Aceh untuk penuntasan masalah konflik gajah tersebut agar tidak lagi menjadi persoalan rutin setiap tahunnya di daerah itu.

“Apakah dipindah, apakah dipagar, itu bagaimana mekanismenya. Karena kalau seperti ini terus cara penanganannya, memang kita keluarkan dana sedikit, tapi karena rutin, itu akan menjadi besar juga anggarannya,” kata Edi.

Contohnya kata dia dalam sepekan saja melakukan upaya penggiringan kawanan gajah untuk keluar dari satu desa, Pemerintah Kabupaten Bener Meriah sedikitnya harus menggelontorkan dana sebesar Rp40 juta.

“Itu untuk membiayai Tim Delapan namanya, dari masyarakat yang melakukan penggiringan. Dana itu dipakai untuk beli mercon, biaya tim turun ke lapangan, dan juga uang saku untuk mereka,” sebut Edi.

Menurutnya dana itu belum termasuk anggaran yang harus dikucurkan oleh pemerintah daerah setempat dalam membantu warga yang rumahnya dirusak oleh kawanan gajah liar, juga biaya yang dikeluarkan untuk membuat parit gajah sebagai pembatas agar kawanan gajah tak memasuki wilayah perkampungan penduduk.

“Tapi parit ini pun kan gak terlalu efektif, karena gak disemen. Suatu saat nanti datang hujan tertimbun lagi,” kata dia.

Karena itu Edi sangat mengharapkan adanya upaya maksimal dari pemerintah di tingkat provinsi dan pusat untuk dapat menuntaskan konflik gajah yang terjadi di daerah ini.

Hal itu kata dia pastinya akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit sehingga memang harus ditangani oleh pemerintah provinsi dan pemerintah pusat.

“Tapi harus paripurna, kita gelontorkan dana besar, tapi selesai. Apakah kita padukan dengan program kepariwisataan misalnya, jadi gajah tetap disitu tapi tidak memasuki wilayah pemukiman warga. Itu bisa menjadi objek wisata, itu harapan kita sebenarnya,” ujarnya.

Edi menuturkan bahwa wilayah Kecamatan Pintu Rime Gayo merupakan kawasan utama di Kabupaten Bener Meriah yang setiap tahunnya didera konflik gajah.

Kondisi ini kata dia selalu menimbulkan kerugian di tengah masyarakat seperti hilangnya sumber pendapatan ekonomi warga dari hasil pertanian karena lahan-lahan perkebunan mereka terus dirusak oleh kehadiran kawanan gajah liar.

Selain itu sejak Juli 2019 juga telah banyak rumah penduduk dalam wilayah kecamatan ini yang dilaporkan mengalami pengrusakan oleh kawanan gajah, bahkan tercatat ada sebanyak 17 unit rumah yang mengalami kerusakan berat.

“Di sini kawasan yang rentan itu seperti Desa Arul Cincin, Arul Gading, Belang Rakal, Negeri Antara, dan Desa Pantanlah,” sebut Edi.

Ekowisata gajah liar

Salah satu solusi yang dimunculkan untuk penanganan konflik gajah liar di daerah ini adalah dengan menjadikannya sebagai pusat ekowisata gajah liar.

World Wildlife Fund for Nature (WWF) Indonesia adalah pihak yang sangat mendorong hal itu terwujud.

Pada 1 November 2019 pihak WWF bahkan telah menggelar sebuah workshop tentang pengembangan ekowisata gajah liar dengan turut mengundang masyarakat desa dari wilayah konflik gajah dari tiga kabupaten yakni Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Bireuen.

Workshop tersebut digelar di Takengon. Pihak WWF, Chik Rini mengatakan bahwa mereka dalam hal ini berupaya untuk mendorong pengembangan sektor ekowisata gajah liar pada kawasan yang selama ini mengalami konflik gajah sebagai solusi.

Menurutnya desa-desa yang selama ini menjadi jalur pergerakan kawanan gajah liar punya peluang untuk mengembangkan sektor ekowisata tersebut agar masalah konflik gajah yang selama ini terjadi dapat diubah menjadi potensi pendapatan ekonomi bagi masyarakatnya.

“Ketika keberadaan gajah di desa bisa memberi keuntungan kepada masyarakat di desa itu, diharap masyarakat nantinya bisa lebih menerima keberadaan gajah ini tanpa takut rugi kebunnya rusak, karena ekowisata sudah menjadi sumber ekonomi alternatif,” tutur Chik Rini.

Dia mengatakan ada empat desa di rute Daerah Aliran Sungai (DAS) Peusangan yang telah didampingi oleh WWF Indonesia sejak tahun 2015 dan mulai tertarik untuk mencoba pengembangan sektor wisata minat khusus tersebut.

Keempat desa itu masing-masing adalah Desa Karang Ampar dan Desa Bergang di Kabupaten Aceh Tengah, Desa Arul Gading di Kabupaten Bener Meriah, dan Desa Pante Peusangan di Kabupaten Bireuen.

“Jadi masyarakat di empat desa ini kan sudah lama mengalami konflik gajah. Kita di WWF sudah dari 2015 mendampingi mereka, bagaimana mencoba mitigasi konflik, mengurangi dampak, dan melatih tim-tim di desa. Nah salah satu solusi yang sama-sama kita cari jalan keluarnya saat ini yaitu peluang untuk pengembangan ekowisata ini,” ujarnya.

Rini menuturkan pihak WWF selama ini sudah memfasilitasi masyarakat di empat desa tersebut untuk bisa mengkaji potensi jika program ekowisata dikembangkan di masing-masing desa.

Menurutnya masyarakat desa juga sudah sepakat untuk menjalankan program tersebut dengan memanfaatkan dana desa dan akan menjadikannya sebagai bagian dari kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat di masing-masing desa.

“Kita memfasilitasi mereka. Dan setelah mereka susun potensi wisata di desa mereka ternyata tidak hanya gajah liar, potensi desa mereka ternyata lebih dari itu, mereka punya alam yang bagus, kehidupan budaya mereka juga unik, dan ada kegiatan-kegiatan ekonomi masyarakat yang juga menarik dari sisi wisata,” sebut Rini.

Karena itulah pihak WWF Indonesia kemudian memfasilitasi workshop di Takengon dengan mengundang pihak-pihak terkait dari pemerintah daerah setempat untuk bisa memaparkan hasil penyusunan rencana pengembangan ekowisata gajah liar yang telah disusun oleh masyarakat di empat desa tersebut.

“Ini lho ide masyarakat, mereka punya perencanaan ini, mereka sudah berbicara intens, dan mereka ingin mendapat dukungan. Mereka bisa menjalankan,” tuturnya.

Rini mengatakan jika program ekowisata ini berhasil diterapkan di empat desa tersebut maka akan menjadi yang pertama di Indonesia.

Namun menurutnya kegiatan ekowisata gajah liar di sejumlah negara sudah lama dikembangkan dan terbukti sukses untuk menarik minat kunjungan wisatawan.

“Di banyak negara kesuksesan untuk ekowisata gajah liar itu sudah lama sekali. Nah saya pikir kita harus melihat ini, ketika pasar di dunia untuk wisata itu ada, kenapa tidak mengambil peluang itu, sehingga satwa ini pada akhirnya memberi manfaat untuk masyarakat,” tutur Chik Rini.

Sementara banyak kalangan menilai bahwa sebenarnya bukan kawanan gajah yang datang mengganggu wilayah perkampungan penduduk, tapi sebaliknya, kitalah yang datang ke wilayah jalur pergerakan kawanan gajah yang telah memiliki rute perjalanan tetap sejak dulu.

Untuk pendapat ini, solusi yang kemudian bisa ditawarkan hanya ada dua, yaitu mencoba hidup berdampingan dan berbagi ruang antara warga dan kawanan gajah seperti konsep ekowisata yang didorong terwujud oleh pihak WWF, atau relokasi masyarakat kampung ke tempat yang lebih layak.[]

Sumber: aceh.antaranews.com

read more
Flora Fauna

Penanganan Konflik Gajah-Manusia Harus Konprehensif, Bukan Sekedar Usir

Redelong – Konflik gajah dengan manusia di kawasan Pitu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah, hingga kini belum kunjung selesai. Konflik sudah berlangsung selama sepuluh hari di kawasan itu, warga pun disibukkan dengan gangguan kawanan gajah liar yang memasuki perkampungan.

Belasan rumah warga dirusak kawanan gajah liar, selain itu belasan hektare kebun warga diobrak-abrik hewan belalai panjang tersebut. Akibat gangguan hewan dilindungi tersebut, warga harus berjibaku melakukan jaga malam mengawasi agar gajah liar itu tidak masuk dan merusak rumah dan kebun warga.

Masyarakat yang mendiami kawasan itu semakin resah dengan keberadaan gajah tak kunjung berpindah dari perkampungan warga.

Kepala Seksi Konservasi Wilayah I BKSDA Aceh, Kamarudzaman kepada media, Senin (18/11/2019) menyampaikan terkait konflik gajah di kawasan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah.

“Permasalahan gajah ini kan sama-sama kita ketahui bukan hanya di Bener Meriah, tapi hampir di semua kabupaten di Aceh,” ujar Kamarudzaman.
Ia menambahkan, pemicunya karena habitat hewan dilindungi ini rusak disebabkan pembukaan lahan baru untuk kebun dan perambahan hutan secara serampangan.

“Gajah ingatannya sangat kuat, hewan tersebut akan kembali lagi ke tempat dimana habitatnya semula,”katanya.

Untuk solusinya, menurut Kepala Seksi Konservasi Wilayah I BKSDA Aceh, Kamarudzaman, harus secara konperehensif, habitatnya yang dilindungi. “Kalau BKSDA hanya mencegah dengan cara penggiringan, itu cuma memindahkan masalah atau mengulur-ngulur masalah, tapi masalah pokok tidak terselesaikan,”katanya.

“Kalau habitatnya kita lindungi dari pembukaan lahan, seperti illegal logging dan perambahan hutan secara serampangan dan invasi tanaman perkebunan ke dalam kawasan hutan misalnya, itu akan mencegah terjadi konflik gajah dengan manusia,” bebernya.

Lanjutnya, dalam setiap kesempatan pihak BKSDA telah memberikan pemberitahuan mengenai hal tersebut kepada masyarakat maupun kepada pihak pemerintah daerah. Permasalahan ini, sebenarnya bukan permasalah BKSDA saja, ini permasalahan semua warga, termasuk masyarakat, pemerintah daerah harus berperan, sama-sama mencari solusi untuk mencegah terulangnya konflik gajah dengan manusia di kawasan itu.

BKSDA sangat merespon konflik gajah, buktinya kata Kamarudzaman, dengan menempatkan Conservation Response Unit (CRU) dan resort di kawasan tersebut.

“Bentuk respon kita penggiringan gajah liar menggunakan mercon oleh tim CRU, setidaknya kita bersama masyarakat,” ungkapnya.

Untuk penggiringan dengan gajah jinak sekarang ini, menurut Kepala Seksi Konservasi Wilayah I BKSDA Aceh, biayanya sangat mahal, belum ditambah ongkos untuk mengantar gajah jinak ke lokasi juga butuh personel banyak.

“Hari ini, tim BKSDA juga telah membawa gajah jinak untuk penggiringan ke Aceh Timur, memang sangat luar biasa instesitas konflik gajah di Aceh,” tutupnya.

Sumber: serambinews.com

read more
Flora Fauna

85 Persen Habitat Gajah Berada Diluar Kawasan Konservasi

Banda Aceh — Konflik satwa antara gajah liar dengan manusia tak kunjung berakhir dan sering terjadi hingga sekarang. Data dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, dalam sepekan terakhir, ditemukan lima kasus konflik gajah liar dengan manusia di Kabupaten Aceh Timur, Pidie, Nagan Raya dan Bener Meriah.

Kepala BKSDA Aceh, Sapto Aji Prabowo mengatakan konflik gajah liar dengan manusia merupakan fenomena rutin tahunan. Terjadinya konflik satwa liar dengan manusia terjadi karena banyak habitat satwa liar yang berubah menjadi lahan perkebunan dan permukiman masyarakat.

“Ada yang berubah jadi kebun, dan permukiman. Di Aceh sekitar 85 persen habitat gajah ada di luar kawasan konservasi. Bahkan 60 persen di luar kawasan hutan. Ada di Areal Penggunaan Lain (APL) bukan di hutan. Itu dulu habitatnya, begitu berubah dan jenis tanaman yang ditanam disukai gajah senang sekali mereka (terjadi konflik),” kata Sapto, Senin (26/8/2019).

Konflik gajah liar dengan manusia menimbulkan akibat yang serius, bahkan sampai menimbulkan korban jiwa. Menurut BKSDA Aceh, tahun ini hingga Agustus 2019, sedikitnya satu orang meninggal dunia akibat konflik gajah liar dengan manusia.

“Tahun ini dari sisi gajah belum ada laporan. Kalau dari sisi manusia tahun ini ada dua korban, satu luka berat patah tulang di Pidie Jaya, dan seorang lagi meninggal dunia,” sebut Sapto.

BKSDA Aceh menyiapkan beberapa langkah untuk menangani konflik satwa liar dengan manusia untuk meninimalisir jatuhnya korban. Penanganan konflik antara satwa liar dengan manusia terbagi menjadi jangka pendek dan panjang. BKSDA Aceh membentuk kelompok masyarakat peduli konflik dibantu dari pihak lain. Masyarakat akan dilatih bagaimana cara menghalau gajah liar yang menyerbu ke permukiman atau perkebunan milik warga.

“Kita bekali masyarakat dengan pengetahuan, itu (penanganan) jangka pendek. Jangka panjangnya, kami dengan pemerintah Aceh dan pegiat konservasi sedang menyusun Kawasan Ekosistem Esensial (KEE). Ini adalah di luar kawasan konservasi yang memiliki nilai konservasi penting sehingga perlu untuk dilindungi. Artinya, kita akan buat aturan-aturan yang harus dilakukan sehingga antara kepentingan manusia bisa berdampingan dengan satwa liar yang ada di situ,” jelas Sapto.

“KEE nanti dalam waktu dekat akan diluncurkan di Aceh dan dikelola secara kolaboratif. KEE tidak akan mengubah fungsi kawasan,” tambahnya.

Saat ini penghalauan gajah liar yang masuk ke kawasan permukiman warga hanya dilakukan dengan cara manual menggunakan petasan dan meriam karbit. Alat-alat tersebut mengeluarkan bunyi yang kuat sehingga bisa membuat gajah liar enggan masuk ke perkebunan atau permukiman masyarakat.

“Kita harapkan dengan strategi tertentu mereka (gajah) bisa dihalau ke arah hutan. Kalau sudah tidak mampu lagi menggunakan cara manual, kami akan pertimbangkan untuk menggunakan gajah jinak. Tapi untuk hal tersebut tidak murah sehingga itu menjadi langkah akhir,” ungkap Sapto.

Sumber: voaindonesia.com

read more
Kebijakan Lingkungan

85 Persen Gajah Di luar Kawasan Konservasi, Keberadaan Gajah Kritis


Banda Aceh – Saat ini 85 persen gajah Sumatera di Aceh berada diluar kawasan konservasi, sehingga mengakibatnya konflik gajah dan manusia semakin sering terjadi. Penataan ruang yang keliru menyebabkan keberlangsungan hidup gajah kian terancam kritis. Perebutan kawasan antara manusia dengan satwa tak terelakkan. Selain itu pemerintah daerah kurang aktif melindungi gajah.

Secara regulasi perlindungan satwa dimandatkan kepada kementerian melalui Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). Direktur Pusat Kajian Satwa Liar Universitas Syiah Kuala, Wahdi Azmi di Banda Aceh, Rabu (20/3/2019) mengatakan, “Hanya gajah Sumatera yang terancam punah.”

Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) sudah ada, namun tidak ada kemajuan, “Belum berhasil (melindungi gajah-red), terjadi penurunan populasi, turun hingga 28 persen,” ujarnya kembali.

Ada sekitar 1.700 individu Gajah Sumatera di Indonesia dan sebaran populasinya di Aceh mencapai 500 ekor, Lampung 355 ekor.

“Jika konflik tidak dianggap masalah dan tidak ada aksi untuk melindungi gajah maka kematian gajah akan terus terjadi. Kematian gajah berawal dari konflik,” jelasnya.

“Diminta atau tidak Aceh wajib menjaga kelestarian gajah” tegas Wahdi.
Sekitar 85 persen satwa lindung berada diluar kawasan konservasi bahkan diluar kawasan hutan yang dikelola oleh Kesatuan Pengelola Hutan (KPH).

“Regulasi hanya membebankan satwa lindung kepada BKSDA, Sehingga pemerintah daerah sering lepas tangan. Padahal konflik dirasakan oleh warga daerah,” ujarnya.

Ketika dampak akibat konflik dirasakan oleh daerah warga lokal. Perlu solusi yang komprehensif, tidak ada solusi tunggal, Gajah dan manusia sama-sama penting.

“Mengusir seperti sekarang tidak akan menyelesaikan persoalan. Perlu hidup harmonis dengan gajah. Sejarah masa lalu harus menjadi inspirasi agar dapat di aplikasikan di masa sekarang. Seperti di masa sultan yang dimana manusia bisa hidup berdampingan dengan gajah,” kata Wahdi. (fat)

read more
Ragam

Menghalau Gajah Mencegah Konflik

Konflik gajah masih terjadi selama ini di Aceh akibat habitatnya yang sudah rusak. Koridor hewan dilindungi ini juga sudah berubah fungsinya menjadi perkebunan dan fungsi lainnya. Meskipun begitu, mitigasi harus diperkuat untuk mengurangi konflik satwa liar dengan manusia. (more…)

read more
Flora Fauna

Melestarikan Satwa dengan Kemah Jurnalistik

Pipit setengah berteriak di hadapan puluhan jurnalis, mahasiswa, dan aktivis lingkungan yang duduk melingkar di Aula Conservation Respons Unit (CRU) Sampoiniet, Kabupaten Aceh Jaya, Aceh. Perempuan dengan nama asli Fitria itu adalah manager program CRU Aceh, berhadapan dengan para jurnalis.

Malam itu, Kamis (16/8/2018) jarum jam baru saja menunjukkan pukul 20.30 WIB saat puluhan peserta Kemah Jurnalistik berkumpul di Aula CRU Sampoiniet. Bangunan basecamp yang didirikan untuk merespons konflik gajah liar itu terletak di pinggiran hutan Ulu Masen, sekitar 24 kilometer dari Jalan Banda Aceh – Meulaboh.

Genset sumber energi untuk menghidupkan beberapa lampu penerangan di CRU. Bangunan itu jauh dari pemukiman, tanpa akses listrik, dan sinyal telepon.

Pipit menjadi narasumber menyampaikan pengetahuan tentang Gajah Sumatera dalam diskusi yang digagas oleh Forum Jurnalis Lingkungan (FJL). Ia berharap, jurnalis punya andil besar dalam mengampanyekan keberadaan satwa Gajah Sumatera yang kini keberadaannya semakin terancam.

“Kita berharap jurnalisnya smart. Jurnalis harus memberitakan fakta, kalaupun ada bumbu, bumbunya harus edukatif, bukan provokatif,” kata perempuan itu dengan suara yang lumayan keras.

Pipit menerangkan bahwa kehidupan satwa gajah kini semakin terancam karena hutan habitatnya sudah menipis akibat pembalakan liar. Dalam beberapa bulan ini saja, dalam setiap bulannya terdapat seekor gajah ditemukan mati. Pada 9 Juni, gajah jinak bernama Bunta dibunuh untuk diambil gadingnya di CRU Serbajadi, Aceh Timur.

Sebulan berselang, pada 12 Juli, seekor gajah liar ditemukan tewas di HGU milik PT. Bumi Flora di Desa Jambo Reuhat, Kecamatan Banda Alam, Aceh Timur. Baru-baru ini, pada tanggal 13 Agustus 2018, gajah jinak bernama Retno juga ditemukan tak bernyawa di CRU Lala, Pidie.

Kematian gajah belakangan ini merupakan dampak setelah meluasnya pembalakan liar dan hutan sebagai habitat gajah yang menyempit. Pipit menyebut, akibat habitat yang berkurang, gajah liar terpaksa turun ke perkebunan warga di beberapa kabupaten di Aceh. Sehingga terjadi konflik satwa liar dan manusia.

Konflik satwa dan seringnya turun gajah ke perkebunan dan perkampungan warga tidak terlepas tingginya penghancuran hutan di Aceh. terutama di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) Aceh.

KEL Aceh juga tempat terakhir di bumi dimana Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), Harimau (Panthera tigris sumatrae), Gajah (Elephas maximus sumatraensis) dan Orangutan (Pongo abelii) berada bersama di alam bebas. Bila laju kerusakan terus meningkat, hewan yang dilindungi ini juga semakin terancam, baik akibat pemburuan maupun kehilangan habitat sehingga terjadilah konflik satwa dengan manusia.

Berdasarkan data dari Yayasan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), laju kerusakan hutan di KEL Aceh semakin tinggi. Setiap bulannya kerusakan terus terjadi akibat adanya perambahan hutan. Hutan yang awalnya seluas 2.255.577 hektar, pada Juni 2018 tersisa sekitar 1,8 juta hektar. Periode Januari – Juni 2018, luas tutupan hutan yang hilang diperkirakan seluas 3.290 hektar.

Angka ini memang relatif menurun dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2017 seluas 3.780 hektare, dan meningkat dibanding periode Juli – Desember 2017 seluas 3.095 hektare. Namun Hutan Lingsung tertinggi terjadi deforestasi saat ini.

Kawasan Hutan Lindung (HL) di KEL Aceh menjadi kawasan hutan yang mengalami penghancuran dan pengurangan areal tutupan hutan paling tinggi seluas 615 hektar. Selanjutnya yaitu Hutan Produksi (HP) dengan deforestasi seluas 525 hektare, dan Taman Nasional seluas 368 hektar Hutan Produksi Terbatas 263 hektar, Suaka Margasatwa 96 hakter dan Taman Baru 24 hektar.

Sementara kawasan fungsi hutan yang mengalami kerusakan paling parah terjadi di Kabupaten Gayo Lues, seluas 433 hektar. Disusul Aceh Timur 290 hektar, dan Aceh Tenggara 222 hektar. Total kerusakan hutan di kawasan hutan mencapai 1.891 hektare

Kerusakan areal tutupan hutan KEL Aceh seluas 3.290 hektare pada periode Januari – Juni 2018 diakibatkan oleh berbagai kegiatan ilegal. Forum Konservasi Leuser (FKL) Aceh menilai ada tiga faktor utama menjadi penyebab laju deforestasi di KEL, yaitu pembalakan liar, perambahan, dan pembukaan akses jalan.

Tentunya keberadaan CRU, khususnya di  Sampoiniet, Kabupaten Aceh tak terlepas dari merespon konflik gajah liar yang terus terjadi di Aceh. Setelah perdamaian antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka pada 15 Agustus 2005, perambahan hutan pun semakin gencar dilakukan.

Apalagi untuk pemenuhan pasokan kayu untuk rekonstruksi pembangunan pascatsunami menerjang Aceh pada 26 Desember 2004. Dampaknya, gajah liar semakin rutin turun dan mengobrak-abrik areal perkebunan warga di Kabupaten Aceh Jaya.

Merespons konflik satwa ini, kemudian pada Juli 2008, CRU Sampoiniet resmi didirikan di Desa Ie Jeureungeh, Kecamatan Sampoiniet, Aceh Jaya. Sebanyak empat ekor gajah jinak dari Pusat Latihan Gajah (PLG) Saree, Aceh Besar, ditempatkan ke sana. Mereka adalah Olu, Johana, Isabela, dan Azis.

Meski sudah ada CRU, gajah liar masih enggan pindah dari kawasan hutan yang sekarang menjadi perkebunan warga. Namun, keberadaan CRU menjadi benteng besar agar tidak terjadi konflik langsung antara gajah liar dan warga di Sampoiniet.

Tidak cukup hanya CRU, dalam waktu dekat ini, kata Pipit, CRU Aceh ingin membangun barier penghalang gajah liar di tengah hutan Ulu Masen untuk meredam konflik satwa. Barier itu nantinya akan menarik batas Kawasan Pengelolaan dan Pengawasan Habitat Gajah Aceh Jaya.

Hingga kini, pihak CRU Aceh masih merencanakan pemasangan barier jenis seperti apa yang cocok digunakan di kawasan hutan Ulu Masen. Menurut Pipit, ada dua jenis barier untuk gajah liar, yaitu berbentuk parit dan pagar listrik.

“Barier salah satu strategi untuk meredam konflik gajah liar, selain GPS Collar (pendeteksi posisi gajah liar). Apakah akan efektif, nanti akan kita lihat kalau sudah selesai,” kata Pipit.

Untuk pamasangan barier gajah, kata Pipit, lokasi pembangunannya harus terdapat barier alami. Misalnya, berupa dinding terjal, bukit terjal, dan lain sebagainya yang bisa menjadi penghalang lintasan gajah. “Barier dipasang di tengah hutan, di mana ada barier alaminya,” katanya.

Gajah Sumatera, kata Pipit, merupakan satu di antara empat spesies kunci yang hidup di hutan Aceh dan saat ini terancam keberadaannya. Keempat spesies itu adalah gajah, harimau, badak, dan orangutan.

“Sebenarnya, satwa yang terancam itu milik mereka,” kata Pipit sembari menunjuk tiga anak kecil berlarian di tengah forum diskusi. Usia mereka di bawah lima tahun. “Makanya, kita harus menjaganya. Ini hutang ke generasi yang akan datang.”

FJL Bentuk Keresahan Jurnalis

Ketua Divisi Organisasi dan Pendidikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Banda Aceh, Zulkarnain Masry mengatakan,  FJL pada dasarnya dibentuk sebagai respon dari keresahan jurnalis terhadap pembalakan hutan dan perburuan satwa liar yang gencar terjadi.

Dengan menggelar Kemah Jurnalistik pada setiap bulannya, kata Zul, sehingga semakin terbuka wawasan terhadap satwa, terutama gajah Sumatera.

“Kegiatan ini akan dilakukan dengan rutin dengan tema berbeda, sebulan sekali atau dua bulan sekali. Meskipun bukan wartawan, tapi berkonsentrasi dalam isu lingkungan, untuk menyelamatkan hutan, satwa, dan lingkungan kita,” kata dia.

Sementara itu Koordinator FJL Aceh, Ratno Sugito mengatakan, peserta Kemah Jurnalistik  dari kalangan jurnalis profesional, pers kampus dan blogger. Selama Kemah Jurnalistik digelar mereka diberikan pemahaman tentang pentingnya memberitakan isu-isu lingkungan.

Katanya, mengambil momen 17 Agusutus pada hari peringatan proklamasi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). FJL Aceh ingin mengkampanyekan perlindungan satwa yang dilindungi dan terancam punah di Aceh.

“Setidaknya ada 40 orang jurnalis, pers kampus, baik tulis, foto dan video berkumpul bersama. Diharapkan nantinya bisa memantik untuk menulis tentang isu-isu lingkungan,” ungkapnya.

FJL Aceh dalam melaksanakan Kemah Jurnalistik juga selalu didukung oleh beberapa elemen sipil yang peduli terhadap lingkungan. Seperti CRU Aceh, Yayasan Ekosistem Leuser (YEL), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh, Pewarta Foto Indonesia (PFI) Aceh, Ikatan Jurnalis Telivisi Indonesia (IJTI), Aceh, Walhi Aceh dan Aceh Chilimate Change Inisitive (ACCI).

Upacara Bendera Libatkan Gajah

Jumat (17/8) pagi, CRU Sampoiniet menggelar upacara bendera Hari Kemerdekaan Ke-73 Republik Indonesia. Uniknya, tiga gajah jinak di CRU bernama Olu, Johana, dan Isabela dilibatkan sebagai pembawa bendera sebelum dinaikkan oleh pengibar bendera merah putih.

Bendera diikatkan di sebatang bambu. Kemudian, gajah Olu merangkul bambu itu dengan belalai dan menyerahkannya kepada seorang mahout yang bertugas sebagai pengibar bendera. Setelah diserahkan, tiga gajah itu hormat bendera dengan menundukkan kepala.

Seusai upacara, gajah turut menyusuri sungai. Sang mahout yang duduk di pundak masing-masing gajah memegang bendera merah putih.

Leader CRU Sampoiniet, Samsul Rizal mengatakan upacara bendera pada HUT Kemerdekaan Ke-73 RI yang melibatkan gajah Sumatera baru pertama kali dilakukan. Dengan melibatkan gajah, dia ingin mengampanyekan bahwa manusia bisa hidup berdampingan dengan gajah.

“Untuk mengampanyekan bahwa kita bisa hidup dengan gajah. Kita di Indonesia hari ini merasakan kemerdekaan, termasuk gajah,” kata Samsul Rizal.[]

Penulis : Habil Razali

read more
Flora Fauna

Dalam Setahun, Dua Gajah Jinak Tewas di Aceh

BANDA ACEH – Gajah jinak di Conservation Response Unit (CRU) Mila, Kabupaten Pidie kembali ditemukan tewas. Kasus ini merupakan kasus kematian gajah jinak milik CRU yang  kedua dalam tahun 2018.

Gajah betina usia 40 tahun ini ditemukan tewas di pinggir sungai, sekitar 300 meter dari CRU Mila, Senin sore (13/8/2018). Dugaan sementara, hewan bertubuh besar ini tewas karena keracunan akibat terpapar tuba ikan yang  ada di sungai tersebut.

Pagi harinya, gajah malang itu dalam kondisi sehat saat ditambatkan di pinggir sungai. Gajah ditaruh di pinggir sungai mengingat Kabupaten Pidie sedang dilanda kemarau. Sehingga gajah ditambatkan di pinggir sungai agar mudah mendapat air.

Biasanya,sore harinya mahout (pawang gajah) mengambil gajah kembali untuk dibawa ke dalam arena CRU. Rutinitas ini dilakukan selama musim kemarau yang sedang melanda Pidie.

“Gajah tersebut ditambat di sungai pada pagi harinya dalam kondisi sehat,” kata Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Sapto Aji Prabowo. Seraya menjelaskan, gajah betina itu tewas kecil kemungkinan dibunuh, karena dipastikan tidak ada unsur ekonomis hendak mengambil gading.

Gajah betina bernama Retno tidak mungkin dibunuh untuk mendapatkan gading karena gajah betina tidak memiliki gading. Maka dugaan awal karena keracunan.

Berdasarkan analisis dari tim yang melakukan pemeriksaan, tidak ditemukan adanya bukti mengarah upaya seseorang meracun gajah tersebut.

Meskipun tim dokter hewan sempat kebingungan. Hasil pemeriksaan di usus, jantung dan ginjal terdapat pendarahan mirip terjadi keracunan. Namun saat diambil sampel makanan di lambung gajah tidak mengandung racun.

“Dari makanan yang diambil tidak ada racun, sehingga kita agak ragu ambil kesimpulan awalnya. Namun dari analisis awal ada tanda-tanda keracunan, bukan berarti sudah pasti, tidak, tapi ada tanda-tanda keracunan, karena ditandai ada pendarahan di usus, jantung dan ginjal,” ujar tim dokter hewan.

Saat ini di wilayah CRU Mila, Kabupaten Pidie sedang dilanda kemarau. Air sungai pun semakin surut. Kondisi kemarau inilah kemudian memaksa gajah jinak itu ditambatkan di pinggir sungai jarak sekitar 300 meter dari CRU Mila.

Menurut Sapto, di kawasan sungai yang ditambat gajah jinak itu ada warga yang mencari ikan menggunakan tuba ikan. Kemungkinan, Retno meminum air sungai itu dan terpapar dengan tuba ikan warga yang sedang mencari ikan saat air sungai sedikit.

“Dugaannya adalah gajah ini meminum air sungai, karena kondisinya surut airnya yang kemungkinan terpapar racun tuba ikan, beberapa orang memang sering menemukan mencari ikan dengan tuba ikan,” tukasnya.

Pada tahun 2018 ini, gajah sudah tewas sebanyak 4 ekor. Tiga ekor berada di Kabupaten Aceh Timur dan satu ekor di Pidie. Dua di antaranya adalah gajah jinak tewas.

Sebelumnya gajah jinak jenis kelamin jantan bernama Bunta juga ditemukan tewas di CRU Desa Bunin, Kecamatan Serbajadi, Aceh Timur. Saat ini polisi sudah membekuk dua tersangka dan satu masih buron.

read more
1 2 3 8
Page 1 of 8