close

gajah

Flora Fauna

Memperingati Hari Gajah Sedunia di CRU Peusangan

Berbagai kegiatan digelar di CRU DAS Peusangan dalam rangka memperingati hari World Elephant Day,  dengan melibatkan berbagai komunitas dan lembaga swadaya masyarakat yang peduli dengan kelestarian Gajah, terutama di DAS Peusangan, Minggu (12/8/2018).

“Selain mengajak masyarakat untuk lebih mengenal gajah dan camping, banyak hal yang kita lakukan dalam serimoni World Elephant Day di CRU DAS Peusangan diantaranya dengan penanaman tumbuhan yang tidak disukai gajah seperti seperti jeruk lemon, serai, kita juga dibantu oleh Komunitas, KomaTiga dan HPI” ujar Ketua Panitia, Muhammad Agung.

Khusus untuk pengenalan gajah, kegiatan ini merupakan edukasi kepada masyarakat terutama warga di seputaran CRU DAS Peusangan tentang pentingnya menjaga kelestarian Gajah dan lingkungan.

Daerah Aliran Sungai Peusangan memiliki total wilayah mencapai 238.550 hektare, merupakan tempat bagi 45 hingga 50 individu gajah dan sejumlah binatang liar lainnya.

Peringatan hari Gajah Dunia di CRU DAS Peusangan sendiri merupakan rangkaian kegiatan peringatan hari gajah sedunia, dengan kegiatan, sosialisasi, penanaman pohon dan kemah jurnalistik di CRU DAS Peusangan dan CRU Sampoiniet.

CRU DAS Peusangan Memprihatinkan

CRU DAS Peusangan berada di Kecamatan Pintu Rime Gayo, wilayah Kabupaten Bener Meriah yang berbatasan dengan Kabupaten Bireuen dan wilayah kerjanya Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah dan Bireuen. Keberadaannya sangat penting terutama dalam mitigasi konflik gajah dengan manusia. CRU ini memiliki tiga gajah jinak dengan tiga Mahout, dua asisten Mahout, satu orang juru masak dan satu orang penjaga barak serta seorang leader.

Leader CRU DAS Peusangan, Sahru Rizal mengatakan pihaknya sebenarnya mempunyai banyak kendala, terutama untuk operasional” Saat ini kita tidak punya dana untuk patroli dan monitoring karena sudah tidak dianggarkan di Dinas terkait,”sebut Sahru.

Dengan segala keterbatasan yang ada, kata Sahru semangat tak boleh surut, tim CRU terus berusaha maksimal. Unit ini dibentuk oleh Pemerintah Aceh dan bertanggung jawab atas pengusiran gajah liar di desa dan di kawasan Peusangan. Selain CRU yang dibentuk oleh Pemerintah Aceh, ada pula kelompok serupa yang dibentuk oleh WWF-Indonesia dengan nama Kelompok Delapan. Semua kelompok tersebut pun berkolaborasi dalam menjalankan tugasnya dan memiliki tujuan sama, yaitu untuk membantu masyarakat kawasan rentan konflik gajah dan meminimalisir konflik yang terjadi.

Konflik gajah dengan manusia kerap terjadi dan telah memakan korban nyawa di Bener Meriah. Sejak tahun 2012 silam, tercatat, lima warga Bener Meriah yang tewas karena menjadi korban amukan gajah dan puluhan orang luka-luka. Bukan itu saja, lahan pertanian dirusak ditambah dengan sejumlah rumah warga yang dirusak. Warga yang ketakutan terpaksa berulangkali mengungsi.

Masalah konflik gajah ini bukan hanya masalah Kecamatan Pintu Rime Gayo atau Bener Meriah saja dan penanganannya harus melibatkan tiga kabupaten yakni Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Bireuen. Pemerintah sendiri diharapkan serius dalam persoalan.

“Yang kita bisa lakukan saat ini adalah memberikan pengarahan kepada masyarakat tentang cara penggiringan gajah yang masuk ke pemukiman dan perkebunan, karena jika salah penanganan maka dampaknya akan lebih buruk”kata Sahru.[]

Sumber: Arsadi Laksamana

 

 

 

read more
Green StyleKebijakan Lingkungan

Empat LSM Lingkungan Presentasikan Program Hutan & Satwa Aceh

Banda Aceh – Program Tropical Forest Conservation Action for Sumatera (TFCA Sumatera) menyelenggarakan kegiatan pemaparan proyek perlindungan hutan Aceh, Kamis (19/7/2018) bertempat di Kyriad Hotel Banda Aceh. Kegiatan menghadirkan empat LSM lingkungan yang mendapat bantuan pendanaan dari TFCA Sumatera untuk mempresentasikan kegiatan mereka dalam melindungi hutan Aceh. TFCA sendiri adalah sebuah program kerjasama antara pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat dimana dananya diambil dari pengalihan hutang Indonesia (debt Swap) kepada Amerika. Uang yang berasal dari pembayaran hutang ditampung dalam rekening trust fund kemudian disalurkan untuk pembiayaan perlindungan hutan. Program berjalan selama delapan tahun (2009-2020) dengan total dana USD 42,6 juta.

Keempat LSM tersebut adalah Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) yang mempresentasikan program mereka di hutan gambut Rawa Tripa, Yayasan Leuser Internasional (YLI) yang menjelaskan program mereka di Suaka Margasatwa Rawa Singkil, Forum Konservasi Leuser (FKL) yang mempresentasikan kegiatan mereka di Kawasan Ekosistem Leuser dan Conservation Response Unit (CRU) Aceh yang memaparkan program perlindungan gajah di Kawasan Ekosistem Leuser. Setiap lembaga memaparkan apa yang telah mereka laksanakan dalam proyek TFCA, capaian-capaian, tantangan dan rencana program ke depan.

Wakil dari YEL, T. Muhammad Zulfikar dalam pemaparannya menyampaikan pentingnya kawasan gambut Rawa Tripa yang terletak di Nagan Raya dan sebagian Aceh Barat Daya. Hutan ini, yang menjadi habitat Orangutan Sumatera mengalami kerusakan parah akibat dibuka untuk perkebunan kelapa sawit. Karena itu YEL mengadvokasi kawasan gambut ini menjadi kawasan lindung.

“Gambut harus diselamatkan karena sudah banyak yang mengalami perubahan tata guna lahan,”ujarnya. Isu Rawa Tripa sempat menjadi perhatian public pasca gugatan sejumlah LSM terhadap PT Kallista Alam yang dituduh membakar lahan dan membuka kebun illegal. Gugatan ini dimenangkan LSM lingkungan hingga MA, namun sayangnya eksekusi putusan MA tertunda akibat gugatan balik yang dilancarkan oleh PT Kallista Alam. Seluas 1.605 hektar bekas lahan milik perusahaan ini dikembali kepada fungsi semula namun sayangnya akibat pengelolaan yang tidak jelas kini sebagian lahannya jadi ajang perebutan.

Menurut Zulfikar isu gambut sangat penting untuk dibicarakan dan dicarikan solusinya. Apalagi pemerintah Aceh dimasa Gubernur Zaini Abdullah mengeluarkan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dari Qanun Tata Ruang Aceh. Kementerian LHK sudah memberikan rekomendasi agar KEL dimasukan kembali ke dalam Qanun RTRW Aceh.
Sekitar 13.000 hektar gambut di Rawa Tripa diperjuangkan menjadi kawasan lindung gambut. Sementara masih ada 3000-an hektar lahan gambut di Aceh Jaya yang belum tersentuh program advokasi. “Takutnya jika gambut Aceh Jaya tidak diadvokasi, gambut ini akan hilang sedikit-sedikit akibat perubahan lahan,”kata Zulfikar.

Zulfikar juga menegaskan pentingnya dibentuk badan yang khusus mengurusi masalah lahan gambut di Aceh. Jika di tingkat nasional ada Badan Restorasi Gambut, maka di Aceh perlu bentuk lembaga yang sejenis.

Selain program kehutanan, YEL juga memberikan bantuan kepada masyarakat sekitar hutan Rawa Tripa. Bantuan berupa keterampilan membuat pupuk, pemberian bantuan bibit tanaman dan ikan. Ini dilakukan agar kesejahteraan masyarakat sekitar dapat meningkat.

Sementara itu mewakili dari YLI, Nijar Tarigan menampilkan kegiatan yang mereka lakukan di suaka marga satwa Rawa Singkil. Ia menyebutkan Suaka Margasatwa Rawa Singkil seluas 102.500 ha yang berada di dalam KEL merupakan salah satu hutan rawa gambut yang masih tersisa di dunia yang perlu dipertahankan. Kawasan hutan ini rawan mengalami kerusakan dan membutuhkan perlindungan secara berkelanjutan, juga menjadi habitat banyak mamalia, tumbuhan, burung, spesies ikan dan banyak jenis reptil yang langka dan terancam, serta penting untuk memelihara berbagai jasa-jasa lingkungan.

Tampil mewakili CRU Aceh adalah Wahdi Azmi. Lembaga ini mendapat bantuan dana dari program TFCA spesies untuk khusus menangani gajah. Diantara program CRU Aceh yang menonjol adalah memasang Collar GPS pada gajah untuk mengetahui pergerakan gajah dan membangun barrier gajah dengan memadukan antara artificial barrier (barrier buatan manusia) dengan natural barrier (barrier alami) agar gajah liar tidak masuk pemukiman penduduk yang sering menimbulkan konflik.

Wahdi menyebutkan bahwa habitat gajah di Aceh masih mencukupi karena hutan Aceh masih relative luas. Hal ini berbeda dengan hutan di Sumatera lainnya yang luasnya semakin menyusut. Aceh mempunyai kesempatan yang bagus untuk menjaga kehidupan gajah yang tersebar hampir di seluruh daerah Aceh. Hanya saja gajah Aceh tidak mendiami daerah konservasi sendiri atau suaka marga satwa tapi tinggal dalam hutan-hutan yang pengelolaannya dibawah pemerintah Aceh. CRU Aceh akan memperjuangkan berdirinya suaka margasatwa (sanctuary) yang menjadi tempat berlindung hewan-hewan liar. CRU Aceh sendiri terpisah secara struktural dengan CRU-CRU lain yang berada di bawah BKSDA.

Topografi hutan Aceh yang ekstrim, tebing-tebing hutan yang curam menjadi natural barrier yang bagus bagi gajah. Barrier buatan sendiri tidak akan efektif bila tidak dikelola dengan benar. Perpaduan kedua barrier ini menjadikannya sebagai barrier yang efektif dan efisien. Saat ini terdapat 70-80 ekor gajah kawasan hutan Ulu Masen.

FKL lebih banyak mempresentasikan program patroli mereka dimana mereka sangat sering menemukan jerat hewan liar dan perambahan liar di kawasan KEL. Patroli rutin mereka laksanakan untuk mencegah perburuan hewan liar. Tak kurang dari ribuan jerat berbagai ukuran untuk berbagai macam hewan liat telah berhasil mereka sita. Selama berpatroli mereka ditemani oleh petugas dari BKSDA yang memang secara UU memiliki kewenangan khusus beroperasi dalam kawasan lindung.

Dana Hibah TFCA untuk Aceh
Selama lima siklus dan off cycle program TFCA, banyak lembaga lingkungan yang melaksanakan konservasi di Aceh dengan bantuan dana TFCA. Berikut daftar lembaga yang mendapat pendanaan untuk bekerja di propinsi Aceh:
1. Yayasan Leuser International
Nama Proyek: Pengamanan Kawasan Strategis Aceh Selatan – Singkil bagi Konservasi yang Berbasis Masyarakat Secara Berkelanjutan di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Bentang Alam: Taman Nasional Batang Gadis, Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Gunung Leuser,
Durasi Hibah: Maret 2011-Januari 2017
Bantuan dana : Rp. 11.181.842.059

2. Yayasan Ekosistem Lestari
Nama proyek : Penyelamatan Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa-Babahrot Melalui Upaya Penetapan Kawasan Lindung di Luar Kawasan Hutan dan Restorasi dengan Pendekatan Multi Pihak
Bentang Alam: Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Gunung Leuser,
Durasi Hibah: Mei 2012-April 2017
Bantuan dana: Rp. 6.548.795.000

3. Konsorsium Jantho Lestari
Nama proyek : Kegiatan Konservasi Hutan Tropis di Cagar Alam Jantho Kabupaten Aceh Besar, Pidie dan sekitarnya untuk Perbaikan Fungsi Kawasan Konservasi, Keanekaragaman Hayati dan Peningkatan Taraf Hidup Masyarakat Sekitar Hutan
Anggota Konsorsium: 1. Yayasan Pemerhati Alam Dunia Hijau Indonesia (PADHI) 2. WWF-Indonesia
Bentang Alam: Hutan Seulawah – Ulu Masen,
Durasi Hibah: Juni 2014 – Mei 2017
Bantuan dana: Rp. 4.620.828.000

4. Konsorsium Suar Galang Keadilan
Nama proyek: Penguatan Kapasitas Penegak Hukum Dalam Penanganan Kasus Kejahatan Terhadap Satwa Liar yang Dilindungi di Aceh
Bentang Alam: Hutan Seulawah – Ulu Masen,
Durasi Hibah: Oktober 2016 – April 2017
Bantuan dana: Rp. 1.000.000.000

5. Konsorsium HAKA
Nama proyek: Konservasi Badak Sumatera Di Kawasan Ekosistem Leuser Melalui Peningkatan Peran Pemerintah Daerah dan Masyarakat Lokal
Anggota Konsorsium: 1. Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HaKA) 2. Forum Konservasi Leuser (FKL) 3. Forum Masyarakat Leuser Aceh Tenggara (FORMALAT)
Bentang Alam: Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Gunung Leuser,
Durasi Hibah: November 2015-Oktober 2016
Bantuan dana: Rp. 1.000.000.000

(Sumber: tfcasumatera.org)

 

 

read more
Flora Fauna

Polisi Tangkap Dua Tersangka Pembunuh Gajah Bunta

Kepolisian berhasil menangkap dua dari empat tersangka yang telah membunuh gajah Sumatra langka dan memotong gadingnya bulan lalu.

Polres Aceh Timur, mengumumkan (3/7/2018) bahwa mereka telah menangkap dua pria dan sedang mengejar dua orang lainnya, yang semuanya merupakan tersangka pembunuh gajah. Polis menunjukkan bukti-bukti yang disita dari para tersangka, termasuk parang dan dua gading gajah, yang salah satunya diyakini diambil dari Bunta, hewan yang ditemukan mati pada 9 Juni di dalam Ekosistem Leuser.

Bunta, gajah jantan Sumatra (Elphas maximus sumatranus) berusia 27 tahun , sejak tahun 2016 secara teratur dilatih dan dipekerjakan oleh polisi hutan sebagai bagian dari unit untuk menangkal kawanan gajah liar yang merambah di pertanian dan desa. Petugas konservasi menduga Bunta diracuni.

Kepala unit kejahatan khusus Polisi Nasional, Adi Karya, mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa pihak berwenang berkomitmen untuk membasmi jaringan perdagangan di balik pembunuhan gajah. “[Kami] berharap penangkapan ini dapat menjadi pelajaran bagi orang lain untuk tidak melakukan [jenis] kejahatan terhadap satwa liar ini,” tambahnya.

Berdasarkan hukum konservasi Indonesia, pembunuhan, perdagangan atau distribusi spesies yang dilindungi dan bagian-bagiannya dapat menyebabkan hukuman penjara hingga lima tahun dan denda hingga 100 juta rupiah.

Namun penegakan hukum terhadap pembunuhan terhadap satwa liar masih lemah, dengan pelanggar jarang dituntut. Pada beberapa kesempatan, kasus-kasus itu sampai ke pengadilan, para pelakunya biasanya menerima hukuman atau denda jauh kurang dari maksimum.

Berita tentang pembunuhan Bunta menarik perhatian nasional, bahkan Gubernur Aceh menawarkan hadiah untuk informasi yang mengarah pada penangkapan para pelaku. (Gubernur, Irwandi Yusuf, minggu ini ditangkap oleh penyelidik antikorupsi dalam kasus suap). Sebuah petisi online muncul meminta pihak berwenang Indonesia untuk mengusut pembunuhan tersebut menerima hampir 85.000 tanda tangan.

Kematian Bunta adalah pembunuhan gajah kedua di Sumatera oleh para pemburu. Pada bulan Januari, para petani menemukan tubuh gajah jantan di hutan lindung  dengan kedua gadingnya dipotong. Gajah tersebut mati diduga karena diracuni.

Pada Desember tahun lalu, seekor gajah yang hamil ditemukan mati di sebuah perkebunan kelapa sawit di Aceh. Dalam kasus itu, pihak berwenang mengatakan otopsi menunjukkan tanda-tanda umum keracunan, termasuk organ-organ pencernaan berubah menjadi hitam. Gajah itu diperkirakan berusia 25 tahun dan diyakini setidaknya enam bulan lagi akan melahirkan. Gajah betina tidak memiliki gading, ciri khas untuk gajah Sumatra betina.

Tingkat penggundulan hutan yang tinggi di sebagian besar Sumatera, terutama untuk perkebunan monokultur seperti kelapa sawit, karet dan kayu pulp, telah mendorong satwa liar asli keluar dari habitatnya dan lebih sering konflik dengan manusia. Orangutan dan gajah, khususnya, dilihat sebagai hama oleh petani karena merampok tanaman dan menginjak tanaman. Penduduk setempat dalam banyak kasus terpaksa meracuni atau menembak binatang.

Selain masalah-masalah ini, spesies Ekosistem Leuser yang terancam punah juga menghadapi ancaman yang semakin meningkat dari semakin banyaknya penyusupan manusia ke habitatnya sebagai hasil dari proyek jalan. Wilayah ini sangat penting secara ekologi sebagai salah satu dari hutan hujan utuh yang masih ada di Indonesia. Ini adalah rumah bagi empat spesies yang paling ikonik dan sangat terancam punah di Bumi: gajah Sumatera, harimau (Panthera tigris sondaica), badak (Dicerorhinus sumatrensis) dan orangutan (Pongo abelii).

Bunta dilaporkan adalah salah satu gajah yang dikunjungi oleh superstar Hollywood dan filantropis margasatwa Leonardo DiCaprio pada Maret 2016. Yayasan milik aktor tersebut memberikan $ 3,2 juta kepada LSM Rainforest Action Network dan Haka untuk melindungi Ekosistem Leuser.

Hanya ada sekitar 2.400 ekor gajah sumatera yang tersisa di alam liar, tersebar di 25 habitat yang terfragmentasi di pulau itu.[]

Sumber: mongabay.com

read more
Flora Fauna

Pemerintah Serius Tangani Pembunuhan Gajah Bunta

JAKARTA – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) akan menyelidiki dan mengusut secara serius kematian gajah bernama “Bunta” yang diduga diracun orang tak dikenal, pada Sabtu 9 Juni lalu. Pembunuhan gajah, hewan yang dilindungi ini terjadi di sekitar Conservation of Respond Unit (CRU) di Desa Bunin, Kecamatan Serbajadi, Aceh Timur.

Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar, Rabu (13/6/2018) kepada media mengatakan akan segera memanggil pihak CRU Serbajadi, Aceh Timur, Aceh.

Tempat konservasi tersebut mendapatkan bantuan dana dari pihak swasta. Secara keseluruhan di Aceh ada pusat tempat konservasi gajah sebanyak 7 CRU. Jadi unit ini untuk mengatasi mitigasi konflik di Aceh timur, Utara dan Pidi, Aceh jaya, Aceh barat, Aceh Selatan, biayanya oleh USAID, oleh Astra juga. Jadi biayanya dari mitra,” kata Siti.

Mengenai perkembangan penanganan gajah “Bunta”, Menteri Siti menjelaskan, KLHK bersama tim Inafis dan Identifikasi Polres Aceh Timur serta tim dokter hewan BKSDA Aceh, melakukan nekropsi dan olah tempat kejadian perkara atau TKP dengan hasil sebagai berikut. Pertama, pengambilan sampel jantung, limpa, usus dan ginjal untuk uji laboratorium.

Lalu, kedua pengambilan sisa patahan gading sebelah kiri sepanjang 46 cm (sisanya hilang) berat belum ditimbang dan gading sebelah kanan sepanjang 148 cm berat belum ditimbang sebagai berat badan.

Ketiga, kata Siti, diagnosa sementara tim medis BKSDA Aceh adalah toxicosis, berdasarkan kerusakan dan perubahan organ-organ usus mengalami pendarahan, jantung nekrosis, dan hiperemi, pembengkakan (oedema) dan sianosis pada paru, oedema (pembengkakan) hati, cairan dirongga dada sangat keruh dan adanya buah kuini di dalam usuus serta ditemukan buah tersebut didekat bangkai satwa ditemukan.

Menteri Siti juga mengungkapkan soal pengelolaan gajah terlatih di Provinsi Aceh. Sampai saat ini gajah terlatih di seluruh Aceh berjumlah 33 ekor dan 2 anak gajah, baik yang lahir maupun yang dievakuasi bulan lalu (sebelum kematian Bunta).

Gajah terlatih tersebut tersebar di Pusat Konservasi Gajah (PKG) Sare dan 7 Conservation Respon Unit (CRU : Unit untuk melakukan mitigasi konflik gajah) yang tersebar di Aceh Timur, Aceh Utara, Bener Meriah, Pidie, Aceh Jaya, Aceh Barat dan Aceh Selatan.

Dikemukakan Siti,CRU dimpin oleh satu orang leader, dan di dalamnya ada mahout dan asisten mahout. Leader bertanggung jawab langsung kepada Kepala Seksi Wilayah dan berkoordinasi secara teknis dengan Kepala Pusat Konservasi Gajah atau PKG. Total dari hasil survei KLHK di awal 2017, jumlah gajah di Aceh 539 ekor.

Pencarian pembunuh Gajah Bunta

Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf menggelar sayembara berhadiah sebesar Rp 100 juta bagi yang dapat memberikan informasi pelaku pembunuh gajah Bunta. Total hadiah yang bakal diterima pemberi informasi bisa Rp135.000.000, yaitu dari Irwandi Rp100 juta dan Rp35 juta dari kumpulan beberapa lembaga lingkungan dan perorang.

Selain itu, sejumlah lembaga lingkungan seperti Forum Konservasi Leuser (FKL), Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), Wildlife Conservation Society (WSC), Orangutan Information Centre (OIC), Yayasan Ekosistem Lestari, mengecam pembunuhan gajah “Bunta” dan memberikan apresiasi kepada pemberi informasi pelaku pembunuhan.

Sedangkan warung kopi Leuser Cafe menggratiskan minum kopi seumur hidup bagi mereka yang menemukan identitas pelaku pembunuhan gajah tersebut.[]

Sumber: news.okezone.com 

 

 

read more
Flora Fauna

Para Ahli Gajah Asia-IUCN Lakukan Pertemuan Tahunan ke IX di Bangkok

Bangkok – Sebagai salah satu organisasi di bawah IUCN (badan konservasi dunia), Asian Elephant Specialist Group (AsESG) mengadakan pertemuan tahunan di Bangkok, Thailand pada tanggal 25-28 April 2018 ini. Organisasi yang beranggotakan para spesialis konservasi gajah Asia ini turut melibatkan perwakilan pemerintah dari masing-masing negara Asia yang memiliki populasi gajah.

Menteri Sumber Daya Alam dan Lingkungan Thailand Jenderal Surasak Karnjanarat dalam sambutannya menyatakan bahwa konservasi jangka panjang dan perlindungan Gajah Asia hanya dapat dicapai melalui keseimbangan konservasi dan strategi manajemen yang baik. Thailand telah mengembangkan Rencana Induk Dua puluh Tahun untuk Konservasi Gajah untuk memastikan praktik terbaik untuk konservasi gajah liar dan gajah jinak secara berkelanjutan. “Pertemuan ini akan menjadi platform tidak hanya untuk mendiskusikan tindakan yang diambil, mengidentifikasi prioritas serta tantangan yang diperlukan untuk mengatasi masalah konservasi Gajah Asia tetapi juga memperkuat kolaborasi untuk melindungi Gajah Asia di masa depan,” katanya.

“Sangat menggembirakan melihat keragaman keahlian dengan dedikasi tinggi di antara anggota AsESG. Sebagai sekelompok ilmuwan dan ahli, adalah tugas kita untuk menggunakan atribut ini untuk menjamin kelangsungan hidup gajah Asia untuk generasi mendatang, ”kata Vivek Menon, Ketua IUCN-AsESG.

Delegasi pemerintah Indonesia turut hadir diwakili oleh Puja Utama Kasubdit Pengawetan Jenis, Direktorat KKH, Ditjen KSDAE – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia untuk menyampaikan update dari Indonesia tentang status konservasi gajah di Indonesia untuk mendapat masukan dari para ahli konservasi. Puja menyampaikan bahwa Indonesia sedang merampungkan revisi dari document strategi dan rencana aksi konservasi gajah sumatera dan gajah kalimantan dan ditargetkan akan selesai tahun ini untuk durasi 10 tahun ke depan, mengingat dokumen yang lalu telah habis masa berlakuknya pada tahun 2017 lalu. Indonesia adalah salah satu negara dari sedikit negara lainya yang telah memiliki dokumen strategi dan rencana aksi dan telah memasuki siklus 10 tahun kedua.

Puja juga menguraikan bahwa salah satu tantangan terbesar adalah kehilangan habitat gajah akibat dikonversi menjadi berbagai keperluan pembangunan sehingga akhirnya berujung pada meningkatnya insiden konflik antara manusia dan gajah. Namun disebutkan juga bahwa Indonesia sedang melakukan berbagai upaya untuk dapat mengelola habitat dan populasi gajah secara aktif sehingga konflik dapat diminimalisir, sehingga gajah dan manusia dapat hidup berdampingan secara lebih harmonis.

Puja menyebut beberapa terobosan yang sedang dilakukan oleh provinsi Aceh, Bengkulu dan Lampung dengan membentuk beberapa kawasan perlindungan gajah dengan melibatkan pemerintah daerah dan mengaplikasi berbagai metoda termasuk strategi barrier (penghalang) untuk memperkuat skema pengelolaan habitat gajah, disamping membangun berbagai tim yang didedikasikan untuk merespon konflik dan sebagai cikal bakal pengelola habitat dan populasi gajah di tingkat tapak. Indonesia sendiri, terutama berbagai daerah telah dan sedang mengalami masalah yang cukup berat dengan konflik gajah dengan lahan budidaya masyarakat.

Pada beberapa kasus gajah sesungguhnya tidak kekurangan habitat, hanya dibutuhkan pengelolaan habitat yang lebih aktif secara kolaboratif antara otoritas konservasi pusat dengan pemerintah daerah dan swasta yang nota bene adalah pemangku lahan dimana gajah liar berada.

Sementara itu, salah satu anggota IUCN Asian elephant specialist group (AsESG) dari Indonesia Wahdi Azmi juga diminta menyampaikan laporan dan perkembangan dari pertemuan pemerintah negara-negara di Asia yang memiliki populasi gajah (Asian Elephant Range State Meeting/AsERSM) yang dilaksanakan tahun lalu di Jakarta.

Wahdi yang didampingi Heidi Riddle Donny Gunaryadi dari Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI) menyampaikan hasil dan tindak lanjut tentang penyelenggaraan pertemuan kedua pemerintah tingkat tinggi tersebut setelah sepuluh tahun dilaksanakan untuk pertama kalinya di Malaysia pada tahun 2006. Wahdi menggarisbawahi bahwa pada pertemuan AsERSM tersebut telah menjadi tonggak sejarah dimana untuk pertama kalinya perwakilan pemerintah di Asia melahirkan sebuah deklarasi konservasi gajah yang diberi nama “The Jakarta Declaration for Asian Elephant Conservation” dimana deklarasi tersebut menetapkan prioritas dan agenda bersama pemerintah negara Asia.[rel]

read more
Green StyleKebijakan Lingkungan

Bupati Aceh Jaya Bahas Barrier Gajah Bersama Masyarakat

Calang – Bupati Aceh Jaya mengundang berbagai instansi terkait, pemerintah Kecamatan Mukim dan Geuchik di kabupaten Aceh Jaya yang sering mengalami konflik gajah untuk mendiskusikan teknik penanggulangan yang berdampak jangka panjang. Pertemuan berlangsung di ruang pertemuan Setdakab Aceh Jaya, 20 April lalu. Acara sekaligus mensosialisasikan rencana pemasangan barrier (penghalang) buatan untuk memperkuat formasi barrier alami berupa tebing dan gugus perbukitan terjal, dan rawa dalam yang sudah ada sehingga diharapkan gajah akan tetap berada didalam habitat nya dan tidak keluar ke kawasan budidaya masyarakat.

Situasi konflik gajah liar dan manusia menempatkan kedua pihak pada situasi dirugikan, dimana solusi tunggal dalam penyelesaian masalah ini belum ada. Kepala Balai BKSDA Aceh Sapto Aji Prabowo, yang juga menjadi moderator pada acara diskusi tersebut menyampaikan bahwa sebagian besar persebaran populasi gajah di Aceh, berada di luar kawasan konservasi yang dikelola langsung oleh BKSDA Aceh. Persebaran populasi gajah liar lebih banyak berada diatas kawasan hutan yang dikelola oleh Dinas Kehutanan bahkan juga dikawasan APL yang sudah dibebani hak HGU oleh berbagai pihak swasta. Aceh Jaya adalah salah satu contoh yang unik dimana tidak satupun kawasan konservasi dibawah BKSDA berada di Kabupaten ini, tapi populasi gajah masih ada dan cukup signifikan.

Kepala BKSDA menyampaikan bahwa Aceh Jaya tidak kekurangan habitat gajah. Yang perlu dilakukan di masa depan adalah mengelola habitat ini secara lebih aktif, salah satunya dengan menerapkan strategi barrier buatan, sehingga Aceh Jaya akan memiliki kawasan perlindungan gajah yang tidak hanya menjadi solusi bagi kondisi konflik selama ini, tapi akan menjadi solusi bagi konservasi gajah dalam jangka panjang. Kepala BKSDA menyampaikan bahwa skema pengelolaan yang sedang dilakukan adalah secara kolaboratif melalui sebuah konsorsium yang terdiri dari BKSDA Aceh, KPH wilayah I dan lembaga CRU Aceh yang didukung oleh skema pendanaan dari TFCA Sumatera.

Kepala KPH wilayah I, Fajri turut menghimbau bebagai kalangan untuk mendukung program pemasangan barrier ini, karena tujuanya tidak lain adalah untuk kemaslahatan masyarakat semata, peletakan posisi barrier lebih banyak berada didalam kawasan hutan dalam pengelolaan KPH wilayah I. Akan tetapi karena orientasinya adalah mengikuti formasi barrier alami, maka bisa jadi beberapa lokasi barrier akan terletak diatas kawasan budidaya masyarakat.

Terhadap rencana ini, berbagai respon positif diungkapkan oleh Camat Darul Hikmah, Camat Krueng Sabee, Camat Sampoiniet dan Camat Setia Bakti beserta para geuchik maupun mukim yang berhadir. Mereka berharap hendaknya program ini melibatkan secara langsung pihak kecamatan dan masyarakat desa dan diharapkan program ini tidak menghalangi masyarakat untuk melakukan usaha diatas lahan yang telah menjadi hak nya.

Direktur CRU Aceh Wahdi Azmi, yang ikut hadir bersama tim, menjelaskan bahwa pemasangan barrier buatan ini akan menambah kelengkapan strategi mitigasi konflik gajah di Aceh Jaya. Lokasi-lokasi pemasangan barrier ini sendiri telah diinspirasi oleh data dari GPS Collar (kalung GPS) yang telah dipasang di salah satu kelompok gajah di Aceh Jaya dimana data ini memberikan informasi setiap 4 jam sekali posisi pergerakan gajah, sehingga dapat mempelajari bagaimana kelompok gajah menggunakan habitatnya dan memberikan informasi titik-titik pintu masuk ke kawasan budidaya yang kemudian akan dipasang barrier.

Wahdi menyebut bahwa pihaknya bersama Pusat Kajian Satwa Liar (PKSL) di Fakultas Kedokteran Hewan Unsyiah mendukung BKSDA Aceh untuk memasang GPS collar pada gajah liar di Aceh. Progam ini juga didukung oleh peneliti Post Doctoral dari dari India bernama Dr. Gaius Wilson yang difasilitasi oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Syiah Kuala. BKSDA Aceh sudah memasang 5 GPS collar di Aceh dan masih berencana memasang beberapa lagi termasuk di bagian selatan dari kabupaten Aceh Jaya.

Staff ahli Bupati Muchtaruddin, yang juga mantan kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Aceh menutup pertemuan dengan sebuah refleksi sejrah betapa sulitnya menangani konflik gajah di Aceh jaya pada masa beliau bertugas. Konflik datang tidak mengenal waktu, kadang-kadang di bulan puasa dan hari raya masih disibukkan dengan urusan konflik gajah.

“Barrier ini hanya dipasang di beberapa tempat yang ada kekosongan barrier alami, bukan disepanjang batas habitat gajah. Mari kita dukung program ini demi kemaslahatan masyarakat banyak,” demikian ungkap beliau mengakhiri pertemuan.[rel

read more
Flora FaunaHutan

Mencegah Konflik Gajah-Manusia dengan Barrier Alam dan Artifisial

Hutan Leuser sebagai habitat Gajah Sumatera semakin terancam keberadaannya akibat perubahan fungsi lahan baik oleh perusahaan maupun masyarakat. Data terakhir menunjukan telah terjadi 248 kasus konflik antara hewan besar ini dengan manusia selama 10 tahun terakhir, yang kadang berujung pada kematian manusia ataupun gajah sendiri. Hewan langka ini terpaksa masuk ke lahan yang dikelola manusia untuk mencari makan ataupun lahan yang masuk dalam koridor home range gajah. Konflik ini harus dicegah agar tidak terus menimbulkan korban, salah satunya dengan memanfaatkan fungsi benteng (barrier) alam maupun buatan manusia (artificial).

Apa perbedaan antara barrier alam dan artifisial? Direktur Program Aceh Climate Change Initiative (ACCI), Wahdi Azmi kepada greenjournalist menjelaskan tentang kedua jenis barrier tersebut. Ia menjelaskan strategi barrier untuk gajah, adalah upaya menjaga agar gajah tetap berada di dalam habitatnya dan tidak masuk ke kawasan budidaya masyarakat dan menimbulkan konflik.

“Pembuatan barrier buatan, menurut saya harus mengikuti potensi barrier alami (natural barrier) yang sudah ada. barrier alami bisa berupa gugusan tebing perbukitan, jurang, atau rawa dalam. Biasanya barrier alami ini ada gap yang menjadi celah bagi gajah untuk keluar dari habitatnya dan masuk ke kawasan budidaya. Memang tidak semua daerah konflik gajah diuntungkan dengan keberadaan formasi barrier alami yang tersedia, karena wilayahnya datar, sehingga pemasangan barrier buatan harus menjadi sangat panjang dan mahal dan belum tentu bisa effektif, karena semakin panjang barrier maka semakin sulit untuk merawatnya agar tetap efektif. Kadang kadang longsor atau hujan deras pada tanah yang labil bisa membuât parit gajah tidak lagi effektif,”Wahdi memberikan penjelasan.

Wahdi menunjukan contoh gambar yang memuat kondisi topografi yang menjadi barrier alam bagi gajah. Kondisi topografi di sekitar Pinto Rime Gayo yang dilihat dari arah Aceh Tengah, di daerah Bener Meriah, dimana gajah menggunakan lembah di kanan kiri Krueng Peusangan sebagai koridor utama. Sementara di sebelah kanan terlihat pola-pola lahan pertanian dan perkebunan.

Gambar topografi wilayah yang menjadi barrier alam bagi gajah | Sumber: ACCI

“Garis merah yang saya gambar menunjukkan deretan tebing disepanjang Krueng Peusangan. Gajah terkadang naik ke atas dan masuk ke kawasan budi daya yang berada di sebelah kanan Krueng Peusangan. Gajah bisa naik ke atas melalui jalur celah celah landai. Celah celah tersebutlah yang sesungguhnya perlu identifikasi dan menjadi barrier,”ujarnya.

Barrier artifisial buatan manusia dapat berupa pagar ataupun parit dalam yang memanjang sehingga tidak bisa dilewati gajah. Barrier artifisial ini mempunya kelemahan yaitu biaya pembuatan dan perawatannya mahal sehingga perlu dikombinasikan dengan barrier alam. Namun ada yang perlu diingat, bahwa gajah adalah hewan yang cerdas. Mereka akan mempelajari situasi kondisi yang ada untuk mencari jalan keluar dari barrier tersebut oleh karenanya pemantauan gajah penting dilakukan.[]

read more
Flora Fauna

Gajah, Hewan yang Perlu Perhatian Khusus

Gajah merupakan salah satu hewan langka yang terdapat di Aceh. Bersama tiga hewan langka lainnya yaitu Harimau, Orangutan dan Badak, hewan-hewan langka ini hidup berdampingan dalam satu kawasan hutan luas di Aceh yang disebut Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Jumlah gajah saat ini diperkirakan sekitar 475-500 ekor di seluruh Aceh namun keberadaannya semakin terancam. Gajah butuh perhatian khusus mengingat karakteristiknya yang sangat unik.

Dengan luas ± 2,63 juta hektar, KEL mampu memenuhi kebutuhan konservasi dalam skala luas yang membentang dari Provinsi Aceh (± 2,2 juta hektar) dan Sumatera Utara (357.840 hektar). Bahkan seperempat dari seluruh jumlah jenis mamalia di Indonesia ada di kawasan ini. Hal yang patut dibanggakan untuk masyarakat Indonesia dan dunia.

Direktur Program Aceh Climate Change Initiative (ACCI), Wahdi Azmi menyampaikan hal tersebut dalam Seminar Lingkungan Internasional yang berlangsung Selasa (17/4/2018) di Gedung AAC Dayan Dawood, Darussalam Banda Aceh. Wahdi merupakan seorang aktivis lingkungan yang lama berkecimpung dalam usaha-usaha penyelamatan gajah. Alumni Fakultas Kedokteran Hewan ini menyajikan banyak sekali data terkait hewan liar tersebut.

Gajah merupakan hewan yang bertubuh besar, mempunyai jangkauan (home range) yang luas yaitu 32,4 – 166,9 km2. Selain itu gajah membutuhkan makanan yang banyak serta suasana yang aman dan nyaman agar perilaku kawin (breeding) tidak terganggu dan proses reproduksinya dapat berjalan dengan baik. Gajah termasuk satwa yang sangat peka terhadap bunyi-bunyian. Setiap kelompok gajah Sumatera dipimpin oleh induk betina yang paling besar.

“Gajah mempunya masa reproduksi yang panjang, hamil selama 22 bulan dan hanya melahirkan satu anak saja. Juga ada masa menyusui anak gajah,”kata Wahdi Azmi.

Sementara saat ini habitat gajah di KEL sudah semakin terancam akibat pembukaan lahan baik oleh perusahaan dan masyarakat. Dampaknya bisa dirasakan segera, konflik antara gajah dan manusia semakin meningkat. Gajah memasuki lahan yang dikelola manusia untuk mencari makan ataupun melintasi karena lahan tersebut dulunya merupakan home range gajah.

Gajah yang mati akibat konflik ini semakin banyak padahal untuk melestarikan gajah saja juga susah karena hewan ini butuh perhatian khusus. Tercatat 248 kasus kematian gajah selama 2007-2017 di Aceh.

“Zaman Sultan Iskandarmuda dahulu, gajah bisa hidup berdampingan dengan damai bersama manusia. Ada ribuan gajah hidup di ibukota kerajaan. Mereka tidak memakan tanaman milik manusia karena saat itu tanaman yang banyak ditanam seperti lada, merica dan rempah-rempah lainnya tidak disukai gajah,”ujar Wahdi.

Dalam rangka memonitor pergerakan gajah di Aceh, peneliti memasang GPS collar pada leher gajah sehingga keberadaan mereka terus dipantau secara berkala dalam waktu tertentu. []

 

read more
1 2 3 4 8
Page 2 of 8