close

gambut

Kebijakan Lingkungan

Gambut Aceh Butuh Lembaga Pengelolaan

Banda Aceh – Ekosistem gambut di Aceh tersebar sepanjang pantai barat daratan pulau Sumatera, dengan total luas ± 339,282 Ha. Dari total luasan tersebut, 53% ditetapkan sebagai fungsi lindung dan 47% fungsi budidaya. Luas total 36 Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) di Aceh kurang dari 10% luas total KHG di Pulau Sumatera yaitu 4.985.913 Ha (lindung) dan 4.618.616 Ha (budidaya). Walaupun luas bentang alamnya relatif kecil, namun kawasan rawa gambut di Aceh memiliki keunikan geografis dan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi.

Pemerintah Aceh sedang menyusun draft akhir dari Dokumen Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPPEG) Aceh melalui Tim Penyusun dibawah Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh. RPPEG Aceh yang sedang disusun ini tentunya perlu melibatkan multipihak, dan setelah melalui semua proses perumusan dokumen rencana, diharapkan nantinya ditetapkan dengan Peraturan Gubernur Aceh tentang Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPPEG) Aceh.

Pemerintah Aceh melakukan kegiatan Workshop Finalisasi Draft Rencana Perlindungan Dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPPEG) Aceh, di Aula Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh, Selasa (19/11/ 2019). Kegiatan ini diselenggarakan bekerja sama antara Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh, Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) dan TFCA Sumatera.Tujuan kegiatan ini untuk mendapatkan berbagai saran dan masukan dalam rangka melakukan finalisasi draft dokumen RPPEG Aceh. Dokumen RPPEG Aceh yang akan ditetapkan dengan Peraturan Gubernur selanjutnya menjadi rujukan bersama multipihak dalam upaya perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut di Aceh dan khususnya Rawa Tripa.

Perwakilan YEL, TM Zulfikar mengatakan lahan gambut di Aceh butuh pengelolaan yang serius. Gambut merupakan lahan yang sangat rentan, mudah terbakar di musim kemarau yang bisa mengakibatkan kebakaran hutan dan banjir akibat perubahan lahan. “Kami berharap semua pihak berperan dalam menjaga dan mengelola gambut, baik pemerintah Aceh dan nasional,”ujarnya.

RPPEG ini akan mencantumkan secara tegas bagaimana pengelolaan lahan gambut di Aceh. Peraturan Gubernur ini sejalan dengan peraturan pemerintah nasional, sebagaiman yang sedang disusun oleh Badan Restorasi Gambut. “Bahkan kita di Aceh lebih maju dalam rancangan kebijakan gambut,”kata TM Zulfikar.

Ia berharap peserta workshop yang mewakili pemerintah, LSM dan media dapat memberikan masukan yang kontruktif demi pengelolaan gambut Aceh.

Workshop diisi pemaparan kondisi lahan gambut terkini di Aceh oleh DLHK, presentasi RPPEG oleh tim penyusun yang diwakili oleh Yacob Ishadamy.[]

read more
Hutan

BRG Kembangkan Model Ekowisata Kawasan Gambut Pantai Timur Sumatera

Sentul – Indonesia merupakan negara ke-empat yang memiliki ekosistem gambut terluas di dunia, dimana pada tahun 2011 luas lahan gambut Indonesia tercatat mencapai 14,9 juta hektar (Ritung et al, 2011). Lahan gambut merupakan ekosistem khas dan penting karena selain berfungsi sebagai pengatur tata air dan iklim mikro juga sebagai pusat keanekaragaman hayati dan habitat berbagai jenis burung air dan burung pemangsa yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai kawasan untuk kegiatan ekowisata.

Dalam Diskusi Kelompok Terpadu (Focus Group Discussion/FGD) yang berlangsung hari ini di Bogor, Rabu (3/07/2019) Badan Restorasi Gambut (BRG) bersama Bogor Nature’s Group berinisiatif untuk menyusun model pembangunan ekowisata berbasis lahan gambut di kawasan pantai timur Sumatera sekaligus menyediakan rancangan manajemen untuk pengembangan program wisata berkelanjutan dan pelestarian burung air di pantai timur Sumatera.

Sebagaimana diungkapkan oleh Kepala BRG Republik Indonesia, Nazir Foead, ”Tujuan pengembangan model ekowisata ini, selain untuk meningkatkan ekonomi lokal, juga untuk menjaga daya dukung dan daya tampung lingkungan, melestarikan sumberdaya alam dan pantai. Karena prinsip dasar ekowisata berkelanjutan, adalah menyelaraskan pertumbuhan ekonomi berbasis ekosistem dengan pelestarian alam dan kearifan budaya lokal.”

Dewasa ini, banyak bisnis wisata dijalankan dengan label ekowisata namun belum tentu memenuhi kaidah ekowisata. Bisnis ekowisata sebenarnya sangat khas, ditopang perencanaan dan manajemen lingkungan yang berkelanjutan serta integrasi antara potensi setempat dan daya dukung lingkungan.

Apalagi untuk lahan gambut dan hutan bakau di kawasan pantai timur Sumatera menjadi habitat hewan air, udang, kepiting yang menjadi daya tarik persinggahan burung-burung migran.

Dengan Tema “Pelestarian Burung Air dan Pengembangan Model Ekowisata Kawasan Gambut Pantai Timur Sumatera, dari FGD ini diharapkan bisa menghasilkan usulan konkrit baik rancangan manajemen dan rancangan teknik pengembangan model ekowisata dan pelestarian burung air di pantai timur Sumatera. Kelak, keberhasilan ekowisata di ekosistem gambut ini, akan menjadi promosi penting untuk menunjukkan keberhasilan program restorasi gambut serta dapat menjadi model ekowisata Indonesia yang berbasis kelestarian ekosistem gambut.[rel]

read more
Kebijakan Lingkungan

Peraturan Menteri KLHK Melemahkan Ekosistem Gambut

Jakarta – Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia sepatutnya mencabut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.10 Tahun 2019 tentang Penentuan, Penetapan, dan Pengelolaan Puncak Kubah Gambut Berbasis Kesatuan Hidrologis Gambut karena isinya bertentangan dengan semangat perlindungan dan restorasi gambut, mengancam pencapaian komitmen iklim Indonesia.

Peraturan Menteri P.10/2019 yang seharusnya hanya mengatur masalah teknis penetapan puncak kubah gambut untuk menentukan area fungsi lindung ekosistem gambut ini justru ‘menyelipkan’ norma baru yang secara keseluruhan melemahkan perlindungan ekosistem gambut.

Pertama, aturan ini mengecilkan ruang lingkup ekosistem gambut yang tidak boleh lagi dieksploitasi untuk perkebunan sawit dan hutan tanaman industri. Aturan ini memperbolehkan perusahaan sawit dan HTI untuk terus mengeksploitasi ekosistem gambut dengan fungsi lindung hingga jangka waktu izin berakhir apabila lokasinya berada di luar puncak kubah gambut.

Padahal, PP 71/2014 jo PP 57/2016 memandatkan bahwa ekosistem gambut dengan fungsi lindung tidak boleh lagi dieksploitasi untuk sawit dan HTI setelah satu daur tanam, baik yang berada di puncak kubah gambut maupun di luar puncak kubah gambut. Lebih parah lagi, aturan ini memperbolehkan eksploitasi puncak kubah gambut untuk sawit dan HTI apabila di dalam satu KHG (Kesatuan Hidrologis Gambut) ada lebih dari satu puncak gambut.

“Memberikan keringanan kepada pelaku izin usaha sawit dan HTI untuk terus melakukan usahanya di ekosistem gambut dengan fungsi lindung tanpa proses review bertentangan dengan semangat restorasi gambut untuk mengembalikan fungsi ekologi lahan gambut,” ujar Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Muhammad Teguh Surya. “Keterlanjuran pemberian izin di ekosistem gambut lindung seharusnya dikoreksi, bukan justru dibiarkan hingga izin berakhir. Ini bahaya karena jangka waktu izin konsesi sangat lama sementara ekosistem gambut dapat rusak dalam waktu singkat.”

Data pemerintah dalam Status Hutan dan Kehutanan Indonesia 2018 menyebutkan 23,96 juta hektare ekosistem gambut atau 99,2 persen berada dalam kondisi rusak. Studi Bappenas tahun 2015 juga menyebutkan kebakaran gambut menyumbang 23 persen dari total emisi Indonesia pada tahun 2010, melepas 0,8 sampai 1,1 GtCO2e atau setara dua kali lipat emisi sektor energi di tahun yang sama.

P.10 berpotensi memperburuk kerusakan gambut ini. Temuan awal Madani, pada Januari-Maret 2019 ini, di Riau saja sudah muncul 319 titik panas (hotspot) di lokasi perkebunan sawit dan HTI yang merupakan wilayah prioritas restorasi BRG (tingkat kepercayaan tinggi). Di sisi lain, masa tugas Badan Restorasi Gambut (BRG) akan berakhir pada 2020. Tinggal 1 tahun lagi bagi BRG untuk menyelesaikan tugas restorasi gambut yang diembannya.

“Agar tidak mencederai upaya mengembalikan fungsi ekologi lahan gambut dan komitmen iklim pemerintah, aturan ini harus segera dicabut dan dikembalikan ke ‘trah’-nya, yaitu aturan yang lebih teknis untuk menentukan puncak kubah gambut saja tanpa ada pengaturan tentang pemanfaatan puncak kubah gambut,” ujar Teguh. “Selain itu, Presiden harus mulai memikirkan bagaimana kelanjutan keberadaan BRG karena kerja-kerja restorasi gambut adalah kerja-kerja yang bersifat jangka panjang,” tutupnya.[rel]

read more
Kebijakan Lingkungan

Kawasan Rawa Gambut Aceh Miliki Biodiversitas Sangat Tinggi

Banda Aceh – Dari semua kawasan ekosistem gambut di Aceh, Rawa Gambut Tripa-Babahrot menjadi fokus banyak pihak domestik dan internasional dikarenakan status kawasan ini berada pada tingkat ancaman kepunahan tertinggi dan masuk dalam salah satu dari 174 “Situs yang Tak Tergantikan di Dunia” (World’s Most Irreplaceable Places) berdasarkan kajian yang dilakukan International Union for Conservation of Nature (IUCN) tahun 2013. Kawasan Ekosistem Gambut Rawa Tripa-Babah Rot sangat penting dalam konservasi keanekaragaman hayati secara global dan seluruh areal (lebih dari 60.000 Ha) berada di dalam Kawasan Ekosistem Leuser yang telah ditetapkan sebagai KSN dalam penataan ruang nasional.

Demikian sejumlah poin-poin penting yang disampaikan dalam acara penyusunan dokumen awal Rencana Perlindungan Dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPPEG) Aceh yang berlangsung di Kyriad Muraya Hotel, Banda Aceh, Selasa (30/4/2019). Kegiatan ini sendiri diselenggarakan oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh bekerjasama dengan Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) dan TFCA Sumatera.

T. Muhammad Zulfikar dari YEL perwakilan Aceh menyatakan ekosistem gambut Aceh tersebar sepanjang pantai barat daratan pulau Sumatera dengan total luas berdasarkan data yang termuat dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Nomor K.130/Menlhk/Setjen/Pkl.0/2/2017 tentang Penetapan Peta Fungsi Ekosistem Gambut Nasional, 339,282 Ha. Dari total luasan tersebut, 178,662 (53%) ditetapkan dengan fungsi lindung dan 160,622 Ha (47%) fungsi budidaya. Luas total 36 kesatuan hidrologis gambut atau KHG di Aceh kurang dari 10% luas total KHG di Pulau Sumatera, 4.985.913 Ha (lindung) dan 4.618.616 Ha (budidaya).

Peserta RPPEG | Foto: Ist

Peserta Workshop Penyusunan Dokumen RPPEG Aceh yang dilibatkan dalam kegiatan ini meliputi unsur Tim Penyusunan RPPEG Aceh, Dinas/Instansi Terkait ditingkat Pemerintah Pusat, Pemerintahan Provinsi Aceh, perguruan tinggi, pihak swasta serta lembaga non pemerintah/ organisasi non pemerintah, diperkirakan sebanyak + 55 orang peserta.

Kegiatan workshop ini menghadirkan pemateri antara lain Ir. Sri Parwati Murwani Budisusanti, M.Sc., Direktur Pengendalian Kerusakan Gambut, Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup, Kementerian LHK RI dengan topik Kebijakan Nasional Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, kemudian mewakili Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh, Muhammad Daud yang berbicara tentang Tata Kelola Ekosistem Gambut Aceh, dan selanjutnya M. Yakob Ishadamy, Konsultan RPPEG Aceh YEL-TFCA Sumatera dengan materi Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPPEG) Aceh.

Walaupun luas bentang alamnya relatif kecil, namun kawasan rawa gambut di Aceh memiliki keunikan geografis dan memiliki keragaman hayati sangat tinggi. Semua unit ekosistem (36 KHG) di Aceh tersebar sepanjang Pantai Barat – Selatan yang terkonsentrasi dalam bentang alam rawa gambut Rawa Teunom-Arongan dan sekitarnya dalam wilayah Kabupaten Aceh Jaya dan Aceh Barat, Kawasan Rawa Tripa -Babah Rot dan sekitarnya dalam wilayah Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Daya, Rawa Kluet dalam wilayah Kabupaten Aceh Selatan dan Rawa Trumon-Singkil dalam wilayah Kabupaten Aceh Selatan, Aceh Singkil dan Kota Subulussalam. Disamping terkonsentrasi dalam beberapa kawasan tersebut, beberapa KHG secara terpisah sepanjang pesisir Kabupaten Aceh Jaya sampai Kabupaten Aceh Singkil.

Dalam konteks ruang dan kebijakan, kawasan Rawa Gambut Teunom–Arongan berada diluar Kawasan Strategis Nasional (KSN) Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dan hanya 4,042.0 Ha dari total luas 32,717.2 Ha yang ditetapkan sebagai kawasan lindung gambut RTRW Aceh.

Kawasan Rawa Teunom-Arongan sebagian berada dalam wilayah KPH-IV Aceh dan sebagian lainnya berada dalam wilayah KPH-I Aceh. Hampir seluruh kawasan Rawa Trumon-Singkil berada dalam pengelolaan KPH konservasi SM Rawa Singkil yang overlap dengan wilayah KPH-VI Aceh. Sebagian besar Rawa Kluet berada dalam wilayah Taman Nasional Gunung Leuser yang juga masih dalam wilayah KPH-6VI Aceh. Kawasan Rawa Tripa berada dalam wilayah KPH-V Aceh dan 11347,7 Ha dari total luas lebih dari 60,000.0 Ha, telah ditetapkan sebagai kawasan lindung gambut

RTRW Aceh
Sebagai upaya harmonisasi dari kompleksitas pengelolaan diatas, diperlukan suatu rencana bersama yang melibatkan multipihak untuk perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut yang berkelanjutan di Aceh. Upaya ini juga memuat strategi perlindungan dan pengelolaan yang mencegah penurunan kualitas dan kerusakan permanen ekosistem gambut. Sesuai mandat dari PP 71/2014 dan perubahannya dalam PP 57/2016, Pemerintah Aceh sedang menyusun RPPEG Aceh dengan membentuk Tim Penyusun dibawah Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan. RPPEG Aceh yang sedang disusun perlu melibatkan multipihak terkait dengan perlindungan dan pengelolaan gambut di Aceh, dan setelah melalui semua proses perumusan dokumen rencana, diharapkan nantinya ditetapkan dengan Peraturan Gubernur Aceh tentang Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut Aceh.

Pelaksanaan kegiatan ini bermaksud untuk mendapatkan berbagai saran dan masukan dalam rangka melakukan penyusunan dokumen RPPEG Aceh dan Rawa Tripa dalam wilayah Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Daya. Dokumen RPPEG berisi analisis terhadap berbagai bentuk pengelolaan kawasan dan rekomendasi terhadap suatu bentuk pengelolaan yang ideal yang dirangkum dalam dokumen rencana perlindungan dan pengelolaan pada tingkat provinsi dan khusus Rawa Tripa. Dokumen RPPEG yang ditetapkan dengan Peraturan Gubernur selanjutnya menjadi rujukan bersama multipihak dalam upaya perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut di Aceh dan khususnya Rawa Tripa.

Kegiatan ini sebagai upaya perbaikan tata kelola kawasan ekosistem gambut dan perlindungannya dalam mendukung pembangunan berkelanjutan di Aceh. Pada saat bersamaan ingin merumuskan rekomendasi kebijakan untuk mendorong lahirnya unit pengelola khusus dalam perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut di Aceh yang kompeten sesuai dengan peraturan-perundangan yang berlaku.

read more
Flora FaunaHutan

YEL dan DLHK Bentuk Task Force Rencana Pengelolaan Gambut Aceh

Hutan Aceh yang sangat kaya dengan beragam biodiversity harus selalu dikelola dengan baik karena hutan memberikan manfaat kepada makhluk hidup sekitarnya. Tak terkecuali hutan gambut, dimana hutan ini sangat rentan mengalami degradasi akibat ulaat manusia. Pemerintah Aceh memasukan kawasan hutan gambut seluas 11.359 Ha menjadi kawasan gambut lindung yang dimasukkan dalam Qanun RTRW Aceh.

Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) dan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Propinsi Aceh pada Senin malam (1/11/2018) di Banda Aceh melakukan Kick off Meeting Rencana Pembentukan Tim Task Force dalam Rangka Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Kawasan Ekosistem Gambut (RPPEG) Aceh dan Proses Kelembagaannya. Keberadaan RPPEG ini dianggap penting untuk penyelamatan hutan gambut Aceh. Turut hadir Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Propinsi Aceh, Ir. Syahrial.

Perwakilan YEL, T.Muhammad Zulfikar menyampaikan bahwa rencana pengelolaan gambut bisa benar-benar menjadi perhatian pemerintah Aceh. RPPEG diharapkan bisa jadi hingga terbentuk juga kelembagaan yang mengelolanya. “Bentuknya bagaimana akan kita diskusikan bersama,”ujarnya. RPPEG sebagai payung pelaksanaan pengelolaan gambut dan menjadi dokumen milik pemerintah Aceh

Konsultan penyusunan RPPEG, Yakob Ishadamy menambahkan lingkup kegiatan ini adalah mengumpulkan peraturan perundangan yang terkait pengelolaan gambut, kajian evaluatif terhadap beberapa kebijakan paralel dengan RPJP dan RPJM, baik propinsi dan kabupaten/kota. Harapan kita semua aturan ini bisa diintegrasikan dalam sebuah dokumen dan bisa dioperasional sebaik mungkin.

“RPPEG ini masa berlakunya 20 tahun, dapat dilaksanakan oleh pemerintah Aceh,”kata Yacob.

Paling akhir diharapkan ada rekomendasi mengenai bentuk kelembagaan untuk mengelola gambut. Diharapkan nanti RPPEG ini dapat disahkan menjadi peraturan Gubernur Aceh, kata Yacob.

Sebuah tim penyusunan dokumen RPPEG yang terdiri dari sejumlah ahli dari LSM, akademisi dan pemerintah akan dibentuk agar proses penyusunan dokumen bisa berjalan dengan baik.

 

 

 

read more
HutanKebijakan Lingkungan

Kejari Nagan Raya Eksekusi Kepala Kebun PT SPS II

NAGAN RAYA – Kejaksaan Negeri (Kejari) Nagan Raya mengeksekusi seorang terpidana kasus pembakaran lahan perkebunan sawit PT Surya Panen Subur II (SPS II), dari tiga terpidana yang telah diputuskan bersalah oleh Mahkamah Agung (MA), Senin (25/6/2018) lalu.

Terpidana yang dieksekusi itu sebelumnya menjabat sebagai Kepala Kebun Seunaan PT SPS II, Anas Muda Siregar. Dia terbukti bersalah melalui keputusan MA kasus pembakaran lahan dalam rentang waktu Maret hingga Juli 2012 lalu seluas 1.200 hektar.

Sedangkan dua terpidana lainnya, Eddy Sutjahyo Busin (Presiden Direktur PT SPS), Marjan Nasution (Administrator PT SPS), gagal dieksekusi karena alasan dalam kondisi sakit saat ini. Pihak Kejadi Nagan mengaku akan terus memantau perkembangan kesehatan kedua terpidana yang belum dieksekusi tersebut.

“Terpidana dieksekusi ke Lembaga Permasyarakatan Kelas II B Meulaboh, Aceh Barat,” kata Kepala Kejari Nagan Raya, Sri Kuncoro.

Anas Muda Siregar dihukum penjara selama dua tahun penjara oleh MA. Selain itu, MA juga menghukum pidana denda sebesar Rp 3 miliar dengan subsidair 3 bulan penjara. Putusan hukuman yang sama juga diberikan kepada kedua terpidana yang belum dieksekusi pihak Kejari Nagan Raya.

Ketiga petinggi PT SPS dipidanakan karena telah membuka lahan untuk perkebunan sawit dengan cara membakar seluas 1.200 hektar di lahan gambut. Lalu pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menggugat perusahaan tersebut hingga persidangan bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Meulaboh.

Seperti dikutip dari mongabay.co.id, persidangan yang berlangsung Kamis (28/1/2016) di Meulaboh, Hakim Rahma Novatiana, menjatuhkan denda untuk perusahaan ini sebesar Rp 3 miliar dan hukuman penjara 3 tahun, subsider 1 bulan, kepada Anas Muda Siregar (kepala kebun) dan Marjan Nasution (kepala proyek). Namun, Presiden Direktur PT. SPS II Edi Sutjahyo Busiri yang ikut menjadi pesakitan dinyatakan bebas.

Hukuman ini lebih ringan dibandingkan dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum Rahmat Nur Hidayat yang menuntut hukuman 3,5 tahun penjara kepada terdakwa dan denda Rp 4 miliar ke perusahaan. Persidangan PT. SPS II telah berlangsung sejak 2013.

Hakim menjerat terdakwa dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Menurut majelis hakim, PT. SPS II terbukti bersalah membuka lahan dengan cara membakar secara berlanjut. “Hal yang memberatkan perbuatan terdakwa ini menyebabkan perubahan karakteristik pada lahan gambut. Perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam pelestarian lingkungan di lahan gambut.”

Majelis hakim juga memberi pertimbangan lain yang meringankan PT. SPS II yang dianggap telah memiliki manajemen kesigapan tanggap darurat terhadap kebakaran dan telah melakukan upaya maksimal memadamkan kebakaran lahan sehingga kebakaran tidak meluas dan dapat dilakukan secara cepat tanpa bantuan pemerintah.

Kebakaran terjadi di areal konsesi PT. SPS II di Desa Pulo Kruet, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya. PT. SPS II memiliki konsesi hak guna usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit seluas 12.957 hektar di Tripa dan beroperasi atas izin budidaya Gubernur Aceh tahun 2012 setelah membeli HGU itu dari PT. Agra Para Citra. Hasil pemeriksaan lapangan menunjukkan bahwa areal yang terbakar merupakan lahan yang sudah ditanami sawit dan sebagian merupakan lahan yang sudah dibuka sebelum kebakaran terjadi.

Atas vonis hakim ini, para terpidana menyatakan banding. Menurut pengacara PT. SPS II, Trimulya, ada hal yang kontradiktif dalam putusan majelis hakim. “Dalam pertimbangan majelis hakim disebutkan para terdakwa telah menerapkan metode pembukaan lahan tanpa bakar.”

Kejari Nagan Raya tinggal mengeksekusi dua terpidana lainnya yang dinyatakan masih sakit, sehingga tidak bisa dieksekusi. Atas putusan ini menjadi pelajaran semua pihak bahwa begitu penting penyelamatan dan pelestarian lahan gambut di  kawasan Rawa Tripa dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).

read more
HutanKebijakan LingkunganRagam

Hutan Gambut Rawa Tripa Nasibmu Kini

Rabu 8 Januari 2014 yang cerah di Meulaboh. Hakim PN Meulaboh bersiap-siap membaca putusan. Para pihak yang terkait nampak sedikit tegang, mungkin dalam hatinya berharap hakim berdiri di pihaknya. Hakim pun memutuskan bahwa PT Kallista Alam (KA) terbukti bersalah melakukan pembakaran lahan gambut Rawa Tripa sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan. KA diminta untuk membayar ganti rugi materil sebesar Rp.114,3 miliar dan biaya pemulihan lingkungan sebesar Rp.251,7 miliar. Pihak penggugat dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan WALHI Aceh tersenyum cerah. Sementara pengacara tergugat tidak terima dan menyatakan banding.

Dalam sidang dengan nomor perkara No.12/PDT.G/2012/PN-MBO, gugatan pembakaran lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit, Rabu (8/1/2014), majelis hakim mengabulkan sebagian tuntutan penggugat. Majelis berpendapat berdasarkan keterangan para saksi, fakta-fakta di lapangan dalam sidang Pemeriksaan Setempat (PS) dan bukti-bukti yang diajukan kedua belah pihak maka gugatan pembakaran lahan terbukti dilakukan oleh KA. Sementara itu dikabulkannya ganti rugi materil dan biaya pemulihan lahan juga dikabulkan karena telah berdasarkan perhitungan para ahli. Pencarian keadilan untuk lingkungan pun bergulir panjang.

KA mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi kemudian kalah. Masih tak puas, KA mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, rupanya hakim sependapat dengan PN, KA pun pulang dengan kekalahan. Tinggal satu peluang lagi dan ini digunakan juga oleh KA yaitu mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dengan alasan mendapatkan bukti-bukti baru. PK pun tak memberikan kemenangan pada KA. Tergugat tetap diputuskan bersalah dan membayar denda sebagaimana diputuskan di atas. Apakah lantas perjuangan lingkungan menyelematkan hutan Rawa Tripa sudah selesai? Belum, jalan masih panjang. Rawa Tripa nyatanya masih saja diobrak-abrik oleh pihak-pihak tertentu. Denda pun yang rencananya untuk merehabilitasi Rawa Tripa tak kunjung di bayar. Bagaimana nasib Rawa Tripa kini?

Untuk mengetahui kondisi terkini hutan gambut Rawa Tripa, kami mewawancarai Koordinator Program Aceh, Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), TM Zulfikar, beberapa hari lalu.

Zulfikar menjelaskan status hukum lahan 1.605 Hektar yang dimenangkan oleh WALHI Aceh status hukumnya sudah final atau inkrah. Karena pengajuan Peninjauan Kembali (PK) oleh PT Kallista Alam ditolak oleh Mahkamah Agung (MA).

Secara aktual kondisi lahan yang ditetapkan sebagai bagian dari Kawasan Lindung Gambut tersebut seperti tanah tak bertuan. Padahal sudah sangat jelas, pengelolaannya sudah diberikan kepada Pemerintah Aceh. Bahkan tahun 2016 lalu Gubernur Aceh Zaini Abdullah memerintahkan Dinas Kehutanan Aceh segera melakukan rehabilitasi atau pemulihan. ” Lahan tersebut merupakan tambahan untuk Kawasan Lindung Gambut yang total mencapai 13.000 hektar jika mengacu pada RTRW Aceh 2013-2033. Tinggal sekarang kita dorong Pemerintah Aceh lebih serius melakukan upaya-upaya lanjutan terkait restorasi di Kawasan Lindung Gambut Rawa Tripa,”kata Zulfikar.

Seharusnya lahan tersebut masih utuh, namun hasil pemantauan yang dilakukan oleh Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) kondisi lahan semakin hari semakin berkurang akibat konversi lahan yang dilakukan secara illegal.
Beberapa oknum di lapangan bahkan mencoba-coba mengkapling-kapling lahan tersebut baik secara perorangan maupun kolektif. Seharusnya Pemerintah Aceh beserta Pemerintah Kabupaten setempat segera mengambil tindakan sebelum nantinya permasalahan akan semakin rumit, tegasnya.

YEL bersama beberapa LSM lingkungan lainnya mencoba melakukan berbagai upaya dan langkah strategis terkait hutan rawa gambut Rawa Tripa. Salah satunya adalah mendesak agar kawasan tersebut dijadikan Kawasan Lindung Gambut diluar Kawasan Hutan. “Alhamdulillah telah membuahkan hasil, yakni dengan ditetapkannya kawasan Rawa Tripa sebagai Kawasan Lindung Gambut seluas lebih kurang 11.359 Hektar, lalu ditambah lagi dengan lahan sengketa dengan PT Kallista Alam seluas 1.605 Hektar, sehingga jika ditotal kawasan lindung gambut di Rawa Tripa mencapai 12.964 Hektar,”jelasnya. Jika lahan PT Surya Panen Subur II seluas 5000 Hektar yang pernah ditawarkan untuk dijadikan areal konservasi, maka jumlah kawasan lindung gambut mencapai + 18.000 Hektar. Namun hingga saat ini belum ada tindakan serius dari Pemerintah Aceh atau Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh.

Disisi lain YEL sudah berusaha membantu melalui Program kerjasama TFCA Sumatera melakukan kegiatan restorasi di kawasan gambut Rawa Tripa. Beberapa kegiatan yang dilakukan seperti Pembangunan dam atau Blocking Canal sebanyak 31 titik untuk mempertahankan tinggi permukaan air sehingga kondisi rawa sebagai penyedia air dan perlindungan ekosistem dapat berjalan. Selain itu juga YEL melakukan penanaman ratusan ribu pohon di lokasi rawa gambut yang selama ini sudah hampir kritis, serta berbagai program kemasyarakatan lainnya.

Untuk rencana ke depan, sesuai hasil diskusi dengan parapihak, termasuk hasil workshop yang dilakukan bersama antara Pemerintah Aceh dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, maka perlu segera dicari format yang tepat untuk status lahan tersebut. Beberapa tawaran yang muncul seperti Kawasan Ekosistem Essensial (KEE), Kawasan Lindung serta Kawasan Konservasi. “Jadi untuk pilihan-pilihan ini harus diputuskan sehingga nantinya bisa ditetapkan melalui regulasi yang mengikat semua pihak,”kata Zulfikar.

Selain itu harus secepatnya ditentukan Badan atau Lembaga Pengelola, misalnya Unit Perlindungan Gambut, Badan Restorasi Gambut Aceh, atau apa saja namanya yang tepat, dan nantinya badan atau lembaga ini di SK kan melalui Ketetapan Gubernur Aceh.

Kawasan Rawa Gambut di Tripa ini sebagian besar merupakan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), sebagaimana yang diatur di dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dalam Pasal 150 sudah jelas sekali Kawasan ini menjadi Kewenangan Pemerintah Aceh. Selain itu Rawa Tripa berada di Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Daya, maka perlu juga dilibatkan kedua Pemerintahan Kabupaten tersebut. Jadi ketika nanti sudah dibentuk lembaga pengelola lahan gambut, maka selain pihak Provinsi, maka Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Daya harus ada perwakilannya. Termasuk juga mengajak pihak lainnya seperti LSM, masyarakat setempat, perguruan tinggi serta perusahaan untuk terlibat dalam pengelolaan dan pemantauan Kawasan Lindung Gambut Rawa Tripa. []

read more
Sains

Universitas Jepang Kerja Sama Riset Restorasi Gambut Indonesia

Badan Restorasi Gambut (BRG) merintis kerja sama dengan Universitas Kyoto dan Institut Nasional untuk Humaniora (The National Institute of Humaniora, NIHU), Jepang untuk pengembangan riset mendukung restorasi gambut. Kepala BRG, Nazir Foead, memberikan Joint Statement di Kyoto pada Senin, 25 April 2016 pukul 9:15 waktu setempat bersama Presiden Universitas Kyoto, disaksikan Plt. Gubernur Riau, Arsyadjuliandi Rachman.

Nazir Foead, dalam kesempatan itu menyatakan pentingnya menjalin kerja sama yang berfokus pada aksi nyata dan riset terapan di lapangan tentang restorasi lahan gambut dan pemanfaatan lahan gambut yang berkelanjutan di wilayah kerja prioritas. “Aksi nyata pemulihan restorasi gambut akan dikerjakan di Riau bersamaan dengan program riset,” kata Kepala BRG.

Gubernur Riau, Arsyadjuliandi Rachman menyatakan bahwa Provinsi Riau dengan luas lahan gambut terbesar dalam target restorasi, perlu bersinergi dengan berbagai pihak agar dapat mensukseskan agenda aksi restorasi gambut. Riau telah mendukung komitmen nasional terkait aksi restorasi mengintegrasikan pengembangan komoditi lokal yang ramah terhadap gambut, seperti Budidaya Sagu. Laboratorium internasional restorasi rawa gambut tropis di Meranti, perlu mendapat dukungan untuk pengembangannya, dalam hal ini kerjasama dengan berbagai lembaga dan universitas di Jepang.

Dukungan riset dan kerja sama internasional diperlukan untuk memberikan basis ilmiah yang kuat pada intervensi restorasi. Universitas Kyoto mendukung upaya mengatasi permasalahan kebakaran lahan gambut yang berulang, dan rencana untuk memulihkan lahan gambut terdegradasi melalui pembentukan Badan Restorasi Gambut. “Kami berharap dapat bekerja sama dengan pemerintah RI di bidang penelitian dan pendidikan yang berkaitan dengan terdegradasinya lahan gambut Indonesia, pemanfaatan lahan gambut yang berkelanjutan dan restorasi gambut”, demikian disampaikan Rektor Universitas Kyoto, Prof Juichi Yamagiwa.

Selanjutnya, BRG, Universitas Kyoto dan NIHU sepakat untuk menuangkan komitmen kolaborasi ini dalam bentuk Memorandum of Understanding (MOU), pada bulan Juni 2016 di Jakarta.[rel]

read more
1 2
Page 1 of 2