close

gambut

Kebijakan Lingkungan

Badan Restorasi Gambut Identifikasi 100 Desa Gambut

Dua bulan sejak dibentuk pada Januari 2016 dan sebulan setelah melengkapi personelnya, Badan Restorasi Gambut Republik Indonesia (BRG) semakin mantap menjalankan tugas. Kepala BRG, Nazir Foead, dalam kesempatan pertemuan dengan media di Kantor Staf Presiden, Kamis, 31 Maret 2016, memaparkan sejumlah kemajuan dalam pelaksanaan program BRG kepada media. Pertemuan yang juga dihadiri oleh Kepala Kantor Staf Presiden, Teten Masduki, itu membahas antara lain rencana lokasi restorasi di 4 Kabupaten, yakni Kepulauan Meranti (Riau), Ogan Komering Ilir dan Musi Banyuasin (Sumatra Selatan), dan Pulang Pisau (Kalimantan Tengah).

BRG baru saja memetakan daerah restorasi indikatif di empat Kabupaten tersebut yang dikerjakan bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Bappenas, Badan Informasi dan Geospasial (BIG), serta NGO. Lokasi tersebut terdiri dari 77% kawasan budidaya dan 23% kawasan lindung, dengan luas total 834.491 hektar. “Peta ini akan dikonsultasikan dengan para pihak terkait”, demikian ditambahkan oleh Budi Wardhana, Deputi bidang Perencanaan dan Kerja Sama BRG. Lebih lanjut, Budi menjelaskan bahwa penentuan arahan lokasi restorasi itu didasarkan pada empat kriteria yaitu: (i) Lahan yang bergambut; (ii) Kondisi tutupan lahan; (iii) Keberadaan kanal dan dampak pengembangan kanal; dan (iv) Historis kebakaran dalam 5 tahun terakhir.

Selanjutnya, arahan kegiatan restorasi akan ditentukan lebih lanjut berdasarkan pada status lahan, kondisi topografi dan hidrologis aliran air bawah permukaan, kegiatan budidaya dan kondisi sosial budaya masyarakat. Untuk itu, pemetaan detail di lokasi tersebut akan segera dilaksanakan.

Terkait dengan konstruksi restorasi, BRG tengah merampungkan panduan dan prosedur operasional standar (POS) pembangunan infrastruktur pembasahan gambut (sekat kanal/canal blocking), pembuatan persemaian (seedling nursery), penanaman di lahan gambut, dan pemasangan sumur pipa bor (deep wells). Deputi bidang Konstruksi, Operasi dan Pemeliharaan BRG, Alue Dohong, menyatakan pihaknya sedang mengkonsultasikan panduan dan POS dengan para pakar. Dengan panduan ini maka para pihak yang akan melakukan konstruksi infrastruktur restorasi hidrologi gambut akan mempunyai standar operasi kerja yang sama. Alue juga manambahkan bahwa pada pertengahan April ini akan dilaksanakan aksi cepat bersama masyarakat untuk membangun sekat kanal bersama masyarakat di Tebing Tinggi Timur, Kepulauan Meranti, Riau dan Kabupaten Pulang Pisau, dan pemasangan sumur bor (deep wells) di desa Rimbo Panjang, Kecamatan Tambang, Kabupaten Riau dan tiga desa di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah berpedoman pada panduan dan POS yang sudah dibuat.

“Aksi restorasi bukan hanya tugas Pemerintah, tetapi juga menjadi tanggung jawab korporasi pemegang konsesi, apalagi sekarang diindikasikan hingga 77% lokasi indikatif restorasi ada di kawasan budidaya. Oleh sebab itu keberadaan standar kerja restorasi yang jelas dan monitoring pelaksanaannya menjadi kebutuhan mendesak dan kerjasama konstruktif dengan dunia usaha,”demikian disampaikan Kepala BRG. Selain itu, Kepala BRG juga mengarahkan agar BRG berupaya untuk sedini mungkin menghindari dampak sosial yang tidak diinginkan, serta menyesuaikan dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Untuk mencapai hal tersebut, maka disusunlah kebijakan kerangka pengaman sosial (social safeguard). Di dalamnya terdapat prosedur konsultasi untuk mendapatkan persetujuan masyarakat terhadap pembangunan konstruksi dan program aksi restorasi lain. Persetujuan tersebut harus diperoleh setelah memberikan informasi di awal yang jelas kepada masyarakat.

Saat ini, BRG sedang memperluas lokasi-lokasi percontohan yang melibatkan masyarakat, seperti halnya percontohan perluasan pembangunan sekat kanal, penanaman menggunakan vegetasi lokal rawa gambut  dan opsi-opsi restorasi lainnya. BRG memaknai restorasi gambut pula sebagai restorasi sosial dimana partisipasi dan kesejahteraan masyarakat adalah kuncinya. Oleh sebab itu, desa akan menjadi pusat aksi restorasi. Selain itu, BRG tengah menyusun panduan program Desa Peduli Gambut. Program ini adalah acuan umum bagi berbagai inisiatif pelibatan masyarakat dalam restorasi gambut seperti halnya desa peduli api, masyarakat peduli api dan lain-lainnya.

Deputi bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan, Myrna A. Safitri, menyatakan pihaknya bersama sejumlah akademisi, lembaga swadaya masyarakat dan jejaring masyarakat gambut mulai merintis pendataan sekitar 100-an desa yang berada di berbagai lokasi lahan dan rawa gambut. Pemetaan sosial dan pengkinian data terhadap desa-desa itu pun mulai dilakukan. Program relawan dan mahasiswa yang ber-KKN juga sudah dikembangkan untuk langsung terjun ke desa-desa ini; untuk tahap awal BRG bekerjasama dengan Universitas Riau, Universitas Palangkaraya, UNS dan UGM, dan selanjutnya bersama universitas-universitas lainnya seperti Universitas Jambi, Universitas Sriwijaya, Universitas Tanjung Pura, Universitas Lambung Mangkurat, Universitas Cendrawasih dll. Target relawan dan mahasiswa yang akan dilibatkan berjumlah 2000 orang per tahun.

Basis ilmiah dari kegiatan restorasi diperkuat melalui sejumlah riset aksi. Saat ini BRG menjalin kerjasama dengan Pusat Penelitian dan Universitas yang selama ini telah menjalankan riset gambut baik untuk kepentingan budidaya maupun konservasi. Haris Gunawan, Deputi bidang Penelitian dan Pengembangan BRG menekankan pentingnya riset aksi dalam hal pengelolaan tata air dan vegetasi serta aspek sosial ekonomi budaya lainnya. Sebagai tahap awal yang akan dimulai bulan April tahun ini, BRG  akan membangun model etalase aksi restorasi ekosistem rawa gambut di Kabupaten Meranti (Riau) dan Kabupaten Pulang Pisau (Kalimantan Tengah). Dukungan dari Pemerintah Daerah, berbagai kalangan masyarakat, kalangan akademisi-peneliti dan para pihak, termasuk komitmen kerjasama riset aksi dari Universitas Kyoto dan Hokaido Jepang telah diperoleh untuk mendukung kegiatan tersebut.

Melengkapi struktur BRG, Kelompok Ahli yang terdiri dari 24 pakar dari berbagai latar belakang dan disiplin keilmuan telah dibentuk dan mulai bekerja. Sekretaris BRG, Hartono Prawiratmadja, menyampaikan pula bahwa Tim Restorasi Gambut Daerah akan segera dibentuk di daerah-daerah prioritas kerja BRG. Untuk menajamkan program, pada awal April 2016 di Jambi akan diselenggarakan Rapat Koordinasi Teknis bersama kementerian/lembaga dan pemerintah daerah terkait. Hartono juga menyiapkan organisasi tata kerja BRG di tingkat pusat.[rel]

read more
Sains

Peneliti Usulkan Rawa Tripa Jadi Laboratorium Alam

Tim ahli Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh mengusulkan agar  Rawa Gambut Tripa di Propinsi Aceh dijadikan laboratorium alam (science park). Luas yang diusulkan mencakup 12 ribu hektar yang masih memiliki tutupan hutan. Ini adalah salah satu cara manajemen pengelolaan Tripa yang paling memungkinkan dilakukan oleh pemerintah.

Ketua tim ahli Unsyiah, Agus Halim menyebutkan wacana menjadikan Rawa Tripa sebagai laboratorium alam merupakan tindak lanjut dari penelitian yang telah dilakukan oleh tim ahli Unsyiah pada tahun 2013.

“Hasil studi kita mendapatkan ada 12 ribu hektar hutan yang masih bagus di Rawa Tripa yang bisa dikelola dengan manajemen konservasi berbasis masyarakat. Pilihan terbaik adalah menjadikan Tripa sebagai laboratorium alam yang bisa dimanfaatkan untuk ilmu pengetahuan, ekowisata dan pengembangan ekonomi masyarakat,” kata Agus sebagaimana dirilis Senin (14/7/2014).

Dari 12 ribu hektar sisa hutan yang ada di Rawa Tripa sebagian besar sudah menjadi areal konsesi Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit milik PT. Surya Panen Subur (SPS) II dan PT. Kalista Alam. Agus mengatakan, pemerintah, perusahaan dan masyarakat diharapkan bisa membangun komitmen bersama menyelamatkan rawa gambut Tripa.

Menurut Agus, Rawa Tripa Science Park tidak hanya bicara konservasi tapi perlu keterlibatan pemerintah dan perusahaan perkebunan kelapa sawit. “Kita berharap 12 ribu hektar itu sepakat untuk diselamatkan sebagai plasma nuftah (sumber genetik) yang dikembangkan ke depan untuk isu perubahan iklim,”katanya.

Banyak hal menarik yang bisa diteliti di Tripa untuk isu perubahan iklim. Para peneliti menemukan adanya tumbuhan khas rawa yang dapat beradaptasi pada genangan aerob yang merupakan pertemuan antara genangan air rawa dan pasang surut air laut. Tumbuhan tertentu didapatkan menggunakan zat aktif tertentu secara alami sehingga tahan hidup di daerah genangan pasang surut.

Rawa Tripa juga merupakan pusat kajian biologi akuatik karena merupakan daerah genangan yang memiliki banyak jenis ikan dan kerang (lokan) yang bisa menjadi sumber ekonomi masyarakat.

Luas total Rawa Tripa mencapai 60.657,29 hektar berada di dua kabupaten yakni Nagan Raya dan Aceh Barat Daya. Pembukaan perkebunan kelapa sawit sejak 1990 menyebabkan hutan gambut hanya tersisa 12.455,45 hektar saja.
Menurut Agus, dari 12 ribu hektar sisa hutan, hanya 8 ribu hektar saja yang masih terakumulasi dalam satu bentang besar, yang lainnya sudah terfragmentasi.

“Salah satu yang penting dilakukan adalah segera mengeluarkan regulasi untuk membangun koridor di sepanjang badan sungai dan sepadan pantai untuk menghubungi koridor yang terputus itu, agar satwa-satwa masih bisa bergerak bebas,” jelasnya.

Sejumlah pihak telah melakukan penelitian di Tripa di antaranya Unsyiah, ICRAF, Wetland, Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), dan Pusat Penelitian Ilmu Tanah Bogor. Data yang didapat oleh para peneliti ini didorong untuk dijadikan kebijakan satu peta (one map) oleh Badan REDD+ agar tidak membingungkan para pihak di lapangan.

“Kami sudah memetakan ke dalam gambut yang mencapai lebih dari 3 meter yang layak untuk dilindungi,” kata Agus.
Data yang didapat menyebutkan Rawa Tripa  kaya akan keanekaragaman hayati dan merupakan spot penting di Kawasan Ekosistem Leuser yang layak dipertahankan hutannya. Pilihan untuk mengkonversi rawa gambut Tripa menjadi perkebunan kelapa sawit telah berdampak pada terancamnya flora dan fauna khas (endemik) di Rawa Tripa.

Dari kajian biodiversitas, Tripa merupakan ekosistem rawa gambut yang unik kaya akan jenis tumbuhan dan hewan, namun sangat rentan dan sulit untuk kembali ke bentuk semula jika rusak. Hasil survai lapangan menunjukkan jenis fauna yang ditemukan di Rawa Tripa saat ini tinggal sebanyak 91 jenis, di mana 18 jenis diantaranya memiliki nilai ekonomi dan ekologi dan 14 jenis memiliki nilai endemik dan harus dilindungi.

Hewan langka seperti orangutan, harimau, beruang madu, lutung hitam, rusa, trenggiling, burung bangau tongtong, burung punai, burung serindit hitam masih ditemukan keberadaannya di dalam hutan rawa gambut Tripa yang tersisa. Namun populasinya terus menyusut dan dilaporkan mulai jarang terlihat.  Keberadaan flora fauna dalam kawasan berada dalam daerah terisolir dan di lokasi yang terfragmentasi di sepanjang pantai.

Sumber: TGJ/Mongabay

read more
Hutan

Film Harrison Ford tentang Hutan Gambut Indonesia Dirilis

Dalam serial bagian pertama berdurasi satu jam ini, Harrison Ford melihat langsung bagaimana deforestasi dan perusakan hutan gambut.  Film serial televisi produksi Showtime yang dibintangi oleh Harrison Ford, berjudul Years of Living Dangerously, akhirnya dirilis.

Film yang proses pengambilan gambarnya sempat menghebohkan pihak otoritas pemerintahan di Indonesia ini, dibuat dalam sembilan seri terpisah. Salah satunya menghadirkan Harrison Ford di Provinsi Riau untuk melihat kerusakan hutan di Indonesia, tampil dalam serial perdana yang akan dirilis pekan ini oleh Showtime.

Dalam serial bagian pertama berdurasi satu jam ini, Harrison Ford melihat langsung bagaimana deforestasi dan perusakan hutan gambut menjadi salah satu penyebab terpenting dalam perubahan iklim di dunia. Hutan gambut yang menyimpan jutaan ton karbon menjadi salah satu target pembakaran lahan di Indonesia.

Selain menghilangkan jutaan ton simpanan karbon, hal ini pun membuat Indonesia kehilangan habitat bagi sejumlah satwa langka yang hidup di dalamnya.

Serial ini akan dirilis bersamaan dengan laporan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) tentang dampak perubahan iklim. Laporan ini merupakan rangkuman dari riset selama beberapa dekade yang dilakukan oleh ribuan pakar.

Apa yang ditemukan? Nyatanya dari hasil riset ditemukan bahwa pemanasan global kini sudah menekan produksi hasil pertanian, meningkatkan kerusakan air, meningkatkan keasaman air laut, menyebabkan cuaca ekstrem dan menambah risiko terjadinya konflik sosial.

Sumber: NGI/Mongabay Indonesia

read more
Hutan

LSM Cemaskan Lahan Gambut Rawa Tripa yang Menyusut

Yayasan Ekosistem Leuser mengkhawatirkan penyusutan gambut akibat dari pengeringan yang dilakukan perusahaan perkebunan kelapa sawit  berdampak pada penurunan permukaan tanah sekitar 20 – 50 cm/tahun untuk tahun-tahun pertama pascapengeringan (drainase).

“Untuk  beberapa tahun ke depan diperkirakan sebagian daratan di Kabupaten Nagan Raya (Kecamatan Darul Makmur) dan Aceh Barat Daya  (Babahrot) yang dalam dua tahun terakhir ini sering mengalami banjir akan berada di bawah permukaan laut,” kata Staf Komunikasi YEL, TM Zulfikar di Banda Aceh, Jumat.

Dampak lain dari pengeringan itu juga akan menghilangkan semua potensi pertanian dan perkebunan serta perikanan darat di areal tersebut, termasuk perkebunan kelapa sawit itu sendiri, kata dia menjelaskan.
Lima perusahaan besar yang memperoleh konsesi untuk perkebunan kelapa sawit di wilayah itu masing-masing  PT Kalista Alam , PT Surya Panen Subur 2 (eks PT Agra Para Citra), PT Gelora Sawita Makmur, PT Dua Perkasa Lestari, dan PT Cemerlang Abadi.

Dijelaskan, salah satu kontribusi terbesar bagi emisi gas rumah kaca di Indonesia berasal dari konversi hutan rawa gambut. Gambut pada dasarnya adalah karbon dan air, dan rawa-rawa gambut secara alami menyimpan karbon dalam jumlah besar.

Sementara hutan hujan tropis di tanah mineral juga menyimpan karbon dalam jumlah yang relatif besar dibanding padang rumput misalnya, jumlah yang disimpan hutan di lahan gambut adalah 10 sampai 20 kali lebih besar.
Diperkirakan bahwa hutan primer yang tersisa di Tripa mengandung sekitar 110  ton karbon/hektare di atas permukaan tetapi sampai 1.300 ton/hektare di bawah permukaan di gambut. Secara keseluruhan stok karbon di Tripa diperkirakan tidak  kurang dari 50 sampai 100 juta ton.

Zulfikar juga menyebutkan ketika tsunami menerjang pesisir pantai barat Aceh 26 Desember 2004, Rawa Tripa merupakan benteng alami yang mencegah kerusakan bagi wilayah Nagan Raya dan Aceh Barat Daya.

Karenanya, YEL yang juga tercatat sebagai anggota Tim Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa (TKPRT) yang  peduli terhadap kerusakan kawasan rawa gambut Tripa telah melakukan kajian hukum tentang legalitas perkebunan kelapa sawit dan telah memantau terhadap kerusakan.

Selain YEL, juga terdapat beberapa lembaga lainnya yang telah melakukan survey dan penelitian di wilayah rawa gambut Tripa. Salah satunya adalah Tim Peneliti dari Universitas Syiah Kuala.

“Untuk itu TKPRT bekerja sama dengan YEL berinisiatif melaksanakan lokakarya hasil penelitian gambut di kawasan rawa Tripa-Babahrot, sehingga dapat menjadi bahan bersama guna menggali potensi yang ada sehingga pengelolaan lebih lanjut menuju atas kawasan lestari dalam dilaksanakan secara tepat,” kata TM Zulfikar.[]

Sumber: antaranews.com

read more
Kebijakan Lingkungan

Pembukaan Lahan di Rawa Tripa Masih Terjadi

Landscape Protection Specialist Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) dalam presentasinya menyatakan bahwa di lahan gambut Rawa Tripa sampai hari ini masih ada pembukaan. Hal ini tampak dari gambar citra satelit dimana titik hutan gambut yang dibuka bisa dilihat dengan jelas. Selain itu, hasil survey YEL pada 59 titik di Rawa Tripa menunjukan kedalam gambut yang bervariasi.

Landscape Protection Specialist YEL, Graham Usher, dihadapan Tim Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa (TKPRT), Senin (3/2/2014) melakukan presentasi kondisi Rawa Tripa terkini. Dalam presentasi yang dilaksanakan di kantor Yayasan Leuser International, Graham mengatakan berdasarkan peta satelit yang diperolehnya pada Januari 2014 tampak ada perluasan atau pembukaan lahan di kawasan 1605 hektar hutan gambut Rawa Tripa milik PT Kallista Alam (KA) dan PT SPS.Lahan ini sendiri telah dicabut izin usaha budidaya perkebunan-nya oleh Gubernur Aceh, Dr. Zaini Abdullah sehingga seharusnya tidak boleh dijamah siapapun.

Ada dugaan masyarakat membuka lahan tersebut namun dibekingi oleh pemodal karena melibatkan alat-alat berat untuk membuka kanal untuk mengeringkan gambut.

Selain itu juga ada pembukaan jalan oleh Pemkab Aceh Barat Daya yang membelah hutan gambut menuju pelabuhan yang akan dibangun dalam waktu dekat.

” Kami memakai peta dasar yang dulu dipakai Wetland sebagai perbandingan. Survey gambut di 59 titik Rawa Tripa mendapatkan hasil bahwa gambut di lahan PT KA merupakan gambut dalam, antara 4 sampai 7 meter,” ujar Graham. Sampel gambut masih berada di Bogor untuk dianalisa jenis gambutnya dan juga sedang dibor lebih banyak titik lagi di lahan gambut agar diperoleh hasil yang lebih akurat tentang kedalaman gambut dan luasnya.

Gambut terdalam yang pernah diukur mencapai 8,5 meter dimana daerah gambut ini akan dilintasi oleh jalan tembus ke pelabuhan baru di kabupaten Aceh Barat Daya. ” Ini butuh investasi yang besar untuk penimbunan dan jalan kemungkinan akan amblas,” kata Graham.

Selain survey yang dilakukan YEL, Tim dari Universitas Syiah Kuala juga melakukan survey yang sejenis di daerah yang sama. Namun bagi Graham dan sebagian besar anggota TKPRT, Survey dari Unsyiah ini masih menimbulkan tanda tanya besar.

“Survey Unsyiah menyatakan jenis tanah aluvial di lahan gambut yang bisa ditanam, padahal lahan ini malah memiliki kedalaman gambut hingga 7 meter,” ungkap Graham.

Senada dengan Graham, anggota TKPRT, T. Muhammad Zulfikar juga meminta diadakan konsolidasi hasil survey antara YEL dengan Tim Unsyiah mengingat hakikat dari dua survey ini sama, yaitu meneliti kondisi gambut di Rawa Tripa.

” Kita minta dilakukan telaah hasil survey atau penelitian antara tim peneliti dari YEL dengan tim peneliti Unsyiah dan akan melakukan kolaborasi hasil temuan para pihak untuk menjadi hasil bersama,” ujar T. Muhammad Zulfikar.

Blokir Kanal

YEL juga saat ini sedang mengusulkan pemblokiran kanal di kawasan seluas 1.605 hektar di Rawa Tripa dimana daerah ini telah mendapat penetapan dari PN Meulaboh sebagai sitaan negara. ” Kami mengusulkan kepada program TFCA (sebuah program yang didanai USAID-red) untuk memblokir kanal dalam beberapa bulan ke depan. Ada 4 kanal utama yang akan diblokir,” jelas Graham.

Menurutnya Bupati Nagan Raya bersedia mengeluarkan surat dukungan pemblokiran lahan dengan terlebih dahulu YEL dan TFCA mempresentasikan rencananya dihadapan bupati.

Hutan gambut Rawa Tripa saat ini sudah terbelah-belah dalam konsesi milik perusahaan perkebunan kelapa sawit. Sebenarnya pemanfaatan lahan gambut yang bertekstur lembut dan mudah amblas dalam jangka panjang akan merugikan pengelola sendiri.

Saat ini tidak jelas berapa luas daerah berhutan yang masih bersisa di Rawa Tripa karena dari total luasnya 61.803 hektar, hampir seluruhnya telah menjadi konsesi kebun sawit. Sebagian besar sudah dibuka, sebagian masih hutan namun terfragmentasi, sebagian ada yang sudah dibuka namun ditinggalkan karena tidak cocok untuk ditanami sawit.

Jika melihat keadaan hutan gambut yang terus menerus mengalami kehancuran, sulit rasanya bisa menjalankan komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi GRK sebesar 26 persen dari tingkat business as usual (BAU, kondisi tanpa adanya rencana aksi) pada tahun 2020 atau sampai dengan 41persen dengan bantuan internasional, sebagaimana yang diumumkan Presiden Yudhoyono pada tahun 2009.

“Ada yang tidak nyambung antara impian, aturan konservasi dan kenyataan di lapangan. Upaya penurunan emisi bisa nonsens. Kebakaran hutan terbesar terjadi di hutan gambut,” ucap Graham.

TKPRT berharap restorasi lahan gambut Rawa Tripa dapat dimulai dari penutupan kanal di lahan 1605 hektar yang telah dicabut izinnya oleh Pemerintah Aceh. Penutupan kanal bertujuan agar air dari gambut tidak mengalir keluar kawasan sehingga menyebabkan lahan kering. Penutupan juga dilakukan agar terjadi penghutanan kembali kawasan yang telah dibuka secara alami.

read more
Ragam

Masyarakat Berdaya, Rawa Tripa pun Lestari

Hutan gambut Rawa Tripa, sebuah kawasan yang terletak bersilangan antara Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Daya, Provinsi Aceh. Hutan ini masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang membentang mulai dari wilayah tengah Aceh, Pantai Timur, Pantai Barat dan sebagian wilayah Sumatera Utara. Memiliki luas sekitar ± 61.803 hektar.

Rawa Tripa adalah salah satu dari 3 kawasan gambut pantai yang sangat penting yang ada di Aceh, yang dua lainnya adalah Rawa Kluet (18.000 ha), dan Rawa Singkil (100.000 ha). Ketiga lokasi hutan gambut dataran rendah ini  telah lama mengalami kerusakan karena dirambah oleh berbagai perusahaan perkebunan kelapa sawit sejak puluhan tahun lalu.

Hampir 50 persen daerah Rawa Tripa  telah mengalami deforestasi karena pembukaan perkebunan dan pembuatan kanal untuk mengeringkan rawa gambut. Kerusakan ini menyebabkan berbagai satwa langka seperti Orangutan kehilangan habitat yang paling ideal dan terancam punah. Karena pembukaan lahan rawa Tripa ini penduduk yang tinggal di sekitarnya yang sering tertimpa bencana banjir di musim hujan dan mengalami kekeringan yang parah dimusim kemarau.

Ancaman terbesar yang dihadapi oleh Kawasan Rawa Gambut Tripa adalah terjadinya penurunan permukaan gambut secara perlahan-lahan menurun dan akan semakin tenggelam dimasa mendatang. Dapat dipastikan nasib hutan gambut Rawa Tripa akan punah tanpa ada tindakan nyata oleh semua pemangku kepentingan khususnya pemerintah Aceh untuk mencegah dan membatalkan konsesi yang telah diberikan kepada perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit.

Penyelamatan hutan gambut Rawa Tripa memasuki babak baru tahun 2012. Dari segi advokasi,  kampanye penyelamatan Rawa Tripa dilakukan secara intensif oleh Tim Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa (TKPRT) yang dipimpin oleh WALHI Aceh. Kampanye ini mendapat dukungan internasional secara luas. TKPRT telah berkali-kali mendesak pemerintah, baik pusat maupun provinsi Aceh, untuk menyelesaikan permasalahan rawa gambut Tripa dan masalah lingkungan yang semakin memburuk di kawasan ini.

Salah satu pencapaian TKPRT adalah dicabutnya Izin Usaha Perkebunan Budidaya PT. Kallista Alam di  Desa Pulo Kruet Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya Provinsi Aceh dengan luas areal +1.605 Ha. Izin perkebunan yang terletak di hutan gambut Rawa Tripa ini dicabut oleh Gubernur Aceh, dr. Zaini Abdullah setelah sebelumnya TKPRT memasukan gugatan di Pengadilan Negeri Tata Usaha Negara Banda Aceh. Pencabutan izin tersebut diikuti dengan gugatan hukum perdata dan pidana oleh Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia terhadap perusahaan terkait kerusakan lingkungan yang mereka timbulkan akibat pembakaran lahan.

Pemberdayaan Masyarakat
Selain melaksanakan advokasi, pemberdayaan masyarakat sekitar Rawa Tripa dan konservasi hutan harus tetap dilaksanakan. Salah satu lembaga yaitu Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) melakukan pendampingan terhadap masyarakat di hutan gambut Rawa Tripa sejak tahun 2008 melalui program-program pemberdayaan masyarakat dan konservasi hutan. YEL yang berdiri awal tahun 2000, merupakan lembaga yang fokus pada isu-isu lingkungan dan pengembangan masyarakat, terutama mereka yang tinggal di sekitar daerah konservasi. YEL memiliki kantor utama di Medan dan kantor-kantor lapangan dimana proyek mereka sedang berjalan dewasa ini.

Aceh Communications Officer Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), T. Muhammad Zulfikar kepada Greenjournalist menyampaikan, pada tahun 2012, YEL dengan dukungan program Tropical Forest Conservation Action (TFCA) Sumatera melaksanakan program pemberdayaan masyarakat di hutan gambut Rawa Tripa.  “ Tahap awal program ini mengembangkan bibit secara partisipatif bersama masyarakat setempat untuk rehabilitasi kawasan rawa yang terdegradasi,” kata T. Muhammad Zulfikar.
**
TFCA adalah proyek pengalihan utang untuk lingkungan (debt for nature swap) Pemerintah Amerika Serikat yang ditujukan kepada negara yang memiliki hutan hujan tropis dan utang kepada Amerika Serikat. Hutan hujan tropis dipilih dikarenakan hutan ini mampu menampung bermacam-macam makhluk hidup didalamnya baik berupa tumbuhan maupun hewan serta mengurangi gas karbon dan mengatur siklus hidrologi. Penggunaan dana ini untuk rehabilitasi Rawa Gambut Tripa akan sangat menguntungkan.

Pemerintah Amerika Serikat (AS) sepakat untuk menghapus hutang luar negeri Indonesia, sebesar hampir 30 juta dolar AS selama 8 tahun. Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menyalurkan dana pembayaran hutangnya bukan ke Pemerintah Amerika Serikat namun dialihkan untuk mendukung penyediaan dana hibah bagi perlindungan dan pebaikan hutan tropis Indonesia.
**

YEL sedang mengimplementasikan kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat di kawasan Rawa Tripa, yang merupakan bagian dari program besar untuk merehabilitasi dan melindungi kawasan tersebut. Belajar dari pengalaman panjang, banyak proyek-proyek konservasi yang sangat strategis dari bantuan asing yang tidak berkelanjutan karena kurangnya koordinasi dan kerjasama dengan berbagai elemen masyarakat lokal.

Masyarakat yang merupakan aktor utama dalam pelestarian hutan harus diberdayakan agar mereka tidak melakukan kegiatan mencari nafkah yang merusak hutan, kata T. Muhammad Zulfikar. Selama ada kecenderungan lembaga-lembaga konservasi hanya fokus pada flora dan fauna saja, sehingga masyarakat sekitar hutan terabaikan, sambung alumni Pascasarjana Konservasi dan Sumber Daya Lahan Unsyiah ini.

T. Muhammad Zulfikar mengatakan rehabilitasi kembali kawasan Rawa Tripa yang rusak perlu segera dilakukan. “ Jikapun nantinya wilayah ini menjadi wilayah lindung maupun konservasi, tentunya akses masyarakat untuk mengelolanya tentunya tetap terbuka,” ujarnya. Namun kegiatan ekonomi untuk daerah tertentu yang secara ekologi sangat sensitif di kawasan Rawa Tripa sebaiknya diterapkan prinsip kehati-hatian. Itulah sebabnya studi yang lebih komprehensif sangat perlu dilakukan di kawasan ini.

Hal ini sejalan dengan niat Pemerintah untuk mengurangi dampak perubahan iklim, maka selayaknya hutan Gambut Rawa Tripa dikembalikan seperti fungsi semula. “ Untuk itu mari kita tunggu langkah konkrit Pemerintah melalui lembaga yang menangani isu perubahan iklim dan juga Pemerintah Daerah baik di Provinsi Aceh maupun di Kabupaten Nagan Raya dan Abdya, ucap T. Muhammad Zulfikar. **

Koordinator Program Pengembangan Ekonomi Masyarakat, TFCA, Rahmadani, kepada Greenjournalist bercerita banyak tentang program pemberdayaan yang dilaksanakannya bersama masyarakat.

Rahmadani yang biasa dipanggil Dani menjelaskan ada tiga program utama YEL di Rawa Tripa, sejak pertengahan April 2012. “ Tiga program itu yang pertama kampanye Lingkungan, kemudian pengembangan ekonomi masyarakat sekitar hutan gambut Rawa Tripa dan yang terakhir survey Biodiversity hutan gambut Rawa Tripa,” ujar Dani.

Penelitian tentang biodiversity hutan gambut Rawa Tripa mencakup survey kedalaman gambut, menghitung stok karbon, vegetasi tanaman, pencemaran dan sebagainya. Juga dilakukan survey populasi Orangutan yang rencananya akan dilakukan awal tahun 2014. Hasil penelitian ini akan dimasukan ke dalam jurnal internasional sehingga bisa dibaca banyak pihak terutama komunitas internasional.

Namun tantangan penelitian ini juga sangat besar. Banyak titik-titik survey yang berada dalam lahan Hak Guna Usaha (HGU) milik perusahaan perkebunan sehingga untuk masuk ke dalamnya wajib mendapatkan izin terlebih dahulu. Perusahaan-perusahaan yang lahannya menjadi lokasi penelitian biasanya enggan memberikan izin masuk kepada peneliti.

Dalam melakukan pengembangan ekonomi masyarakat, mereka membuat program pembibitan dengan mengembangkan berbagai bibit tanaman lokal, meliputi tanaman kayu dan buah buahan yang biasa dijumpai di kawasan rawa. Masyarakat tidak diberikan bibit yang sudah jadi tetapi mereka diajarkan cara melakukan pembibitan sendiri seperti cara melakukan okulasi, pencangkokan, stek dan sebagainya. Ini merupakan proses alih pengetahuan.

Pembibitan yang sudah berhasil antara lain pembibitan tanaman seperti Jabon, Sengon dan pohon-pohon lain untuk rehabilitasi hutan. Selain itu juga dilakukan pembibitan tanaman yang bernilai ekonomis seperti pohon rambutan, durian dan sebagainya. “ Lebih kurang 9000 bibit sudah disebarkan kepada masyarakat,” kata Dani.

Setelah bibit-bibit ini siap tanam maka bibit segera didistribusikan ke masyarakat. Untuk tanaman hutan seperti jabon dilakukan penanaman pada lahan kritis. Sedangkan pohon rambutan dan durian ditanam dalam kebun milik masyarakat.

Jika pohon-pohon tersebut tumbuh dengan baik maka dalam jangka waktu lima tahun diharapkan masyarakat sudah dapat memetik hasilnya. Pemberian bibit tanaman pohon dilaksanakan di daerah Kecamatan Babah Rot, Kabupaten Aceh Barat Daya.

Warga dan Pendamping dari YEL sedang memeriksa kondisi kolam pemijahan lele | Foto: YEL
Warga dan Pendamping dari YEL sedang memeriksa kondisi kolam pemijahan lele | Foto: YEL

Selain pemberian bantuan bibit, Dani mengatakan program TFCA di Rawa Tripa juga membantu masyarakat melakukan budidaya ikan lele. Pada awalnya sekitar 15 kolam yang masing-masing berukuran 3 x 6 meter dengan kedalaman 1,2 meter, diberikan kepada masyarakat yang membentuk kelompok-kelompok yang beranggotakan 8 orang. Kini jumlah kolam sudah berkembang menjadi 27 kolam setelah berhasil melaksanakan panen beberapa kali.

Setiap kolam ditaburkan 3000 benih ikan yang merupakan bantuan dari Balai Benih Ikan setempat. Masyarakat juga diajarkan cara pemijahan ikan atau membuat benih ikan. Bantuan benih ikan diberikan kepada masyarakat di Kecamatan Babah Rot Kabupaten Aceh Barat Daya dan Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya.

Demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat pinggir hutan Rawa Tripa melalui pemberdayaan ekonomi, selain dua program bantuan di atas juga dibagikan bantuan kambing, bebek petelur dan ayam potong. Warga dari dua kecamatan di atas mendapat bantuan tersebut.

Siapa yang layak menerima bantuan ini ? Dani menjawab penerima bantuan adalah masyarakat yang telah menjadi kader lingkungan dan dibina oleh YEL. Kader ini diharapkan turut menjaga kelestarian lingkungan hidup hutan gambut Rawa Tripa.  Program ini berjalan bukannya tanpa tantangan. Keterbatasan alokasi dana dan jumlah masyarakat pinggir hutan membutuhkan bantuan jauh lebih banyak dari jumlah bantuan tersedia menjadi tantangan utama pelaksanaan program. Banyak penduduk yang bertanya-tanya, “Mengapa kami tidak dapat bantuan sedangkan yang lain dapat?”, Dani menceritakan.

Menurut Dani tidak semua bantuan pemberdayaan ekonomi yang diterima masyarakat berjalan sukses. Misalnya saja ada panen ikan lele yang gagal dan ada juga sistem pengelolaan yang kurang terbuka membuat munculnya rasa tidak percaya dalam anggota kelompok. Namun Dani memperkirakan sekitar 80 persen bantuan yang mereka berikan berkembang baik.

Sementara ini YEL masih berperan  menjadi penggerak dan pemberi semangat namun realisasinya semuanya terletak di pundak masyarakat yang melanjutkan program. Program yang akan berakhir pada April 2015 ini selalu dimonitor dan dievaluasi oleh donor setiap enam bulan sekali untuk mengecek dan membandingkan antara laporan dan fakta lapangan. Namun donor berjanji akan memperpanjang program ini untuk beberapa daerah selama dua tahun jika hasilnya memuaskan.**

Salah satu peneriman bantuan yang sempat dihubungi GreenJournalist adalah Nurdin, warga kampung Blang Luah Kecamatan Darul Makmur. Saat diwawancarai, ia hendak menjual ikan lele hasil panen dari kolam bantuan. Lele yang mereka pelihara adalah lele jenis Sangkuriang. Ia juga mendapat bantuan itik yang baru berusia 1,5 bulan.

Nurdin menceritakan kelompoknya mengelola lima kolam ikan dan mendapatkan bantuan itik sebanyak 100 ekor. Selama ini mereka telah tiga kali melakukan panen ikan dan hasil yang diperoleh terus meningkat dari tahun ke tahun. Saat panen pertama, mereka meraup sekitar 97 kg ikan lele dari satu kolam. Pada panen kedua  hasilnya sedikit menurun, diperoleh 184 kg ikan lele dari satu kolam dan ketika panen ketiga diperoleh hasil yang memuaskan yaitu sekitar 150 kg/kolam.

“ Untung dari penjualan ikan kami bagai ke anggota kelompok setelah dipotong modal untuk usaha lagi,” kata Nurdin. Nurdin juga mendapat bantuan bibit pohon seperti pohon mahoni, jabon, durian dan rambutan. Semua bibit ini sudah ditanamnya di kebun dan ia pun rutin melakukan perawatan di tanamannya. Nurdin menyampaikan program bantuan yang dilakukan YEL berjalan dengan transparan. “ Tidak ada istilah balas budi atau apa-apa dibelakangnya,” ujar Nurdin. Namun ia tidak menampik bisa saja ada oknum yang membonceng program ini untuk popularitas.

Sudah dua tahun program ini berjalan dan dirasakan manfaatnya. Nurdin mengakui bantuan-bantuan pemberdayaan ekonomi yang ia dan warga desa terima telah memberikan kemajuan ekonomi walaupun belum begitu banyak. Ia berharap, YEL dapat terus membantu masyarakat ke depannya.

Rahmadani mengharapkan dampak dari program ini dapat meningkatkan kemandirian masyarakat penerima manfaat. Program ini ingin menyampaikan kepada masyarakat pinggiran hutan gambut Rawa Tripa bahwa mereka tidak perlu menanam sawit di lahan gambut karena masih banyak usaha alternatif yang sangat ekonomis untuk meningkatkan pendapatan. Percontohan kegiatan ekonomi alternatif harus terus disosialisasikan. Memang ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tapi harus terus dicoba.[]

read more
Kebijakan Lingkungan

Hakim Sita Lahan PT. Kalista Alam di Rawa Tripa

Ketua Hakim Majelis perkara perdata No.12/PDT.G/2012/PN-MBO di Pengadilan Negeri Meulaboh, Rahmawati SH mengabulkan permintaan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) untuk menyita lahan seluas 5.769 hektar lahan milik PT. Kallista Alam yang terletak di hutan gambut Rawa Tripa. Lahan berada di Desa Pulo Kruet Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya.

“Permohonan Kementerian Lingkungan Hidup atas sita jaminan ini dikabulkan,” kata Ketua Majelis Hakim saat berlangsung sidang penyerahan kesimpulan dan bukti tambahan, Kamis (7/11/2013) di PN Meulaboh, Aceh Barat.

“Kita minta penggugat dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dapat segera melengkapi berkas dan syarat-syarat terkait penetapan sita tersebut,” kata Rahmawati lagi.

Kuasa Hukum KLH, Syafruddin SH menegaskan permohonan sita jaminan lahan milik PT. Kalista Alam ini untuk menjamin pemenuhan kewajiban tergugat membayar ganti rugi sebagaimana dalam pokok perkara gugatan perdata.

Menanggapi masalah penetapan sita ini, Kuasa Hukum PT. Kalista Alam, Alfian C. Sarumaha SH mengatakan penetapan sita lahan PT Kalista Alam tidak mengganggu operasional perusahaan kelapa sawit tersebut.

“Operasional perusahaan tetap boleh dilakukan, tapi yang tidak boleh adalah lahan tersebut dipindahtangankan atau di jual kepada pihak lain,” ujar Alfian yang didampingi tim kuasa hukumnya yang lain, Rebecca F. E Siahaan dan Irianto Subiakto SH.

Selain menetapkan sita lahan, Rahmawati SH menunda agenda persidangan menjadi Kamis 14 November 2013 pekan depan dengan agenda penyerahan kesimpulan PT. Kalista Alam (KA).

“Sebenarnya kami sudah siapkan kesimpulan PT. Kalista Alam, tapi karena ada bukti tambahan dari KLH maka kami (red- kuasa hukum PT. KA) akan mempelajari kembali bukti tersebut, karena yang diklaim oleh KLH seluas 1.000 hektar lahan yang terbakar,” kata pengacara PT. KA, Alfian C. Sarumaha dalam persidangan tersebut.

“Pekan depan kami akan serahkan kesimpulan PT. Kalista Alam,” kata rekannya yang lain, Irianto Subiakto SH sembari mengatakan bukti tambahan itu harus kita tanggapi, karena kita ngak tahu penjelasan dari peta-peta tersebut.

Bukti tambahan KLH merupakan peta blok kebun.

Tuntutan Pidana

Selain kasus perdata menimpa PT Kallista Alam, kasus pidana juga menyeret Direktur Utama perusahaan ini, SR. Dakwaan pidana itu terkait pembukaan lahan hutan gambut Rawa Tripa tanpa izin dan melakukan pembakaran hutan secara ilegal.

Pengacara PT. Kalista Alam, Alfian C. Sarumaha mengaku surat dakwaan Pidana terhadap PT. Kalista Alam sudah masuk ke Pengadilan Negeri Meulaboh. “Dakwaan tersebut harus dibatalkan,” katanya Kamis (7/11/2013) di PN Meulaboh.

Ia mengatakan dakwaan pidana itu tidak lengkap dan tidak jelas. ” Kita akan ajukan tanggapan terhadap surat dakwaan pidana itu pada Selasa (12/11/2013),” katanya lagi.

Menurut sumber di PN Meulaboh, sidang perdana kasus pidana itu mulai digelar pada Senin (28/10/2013) dengan agenda pembacaan surat dakwaan. Sidang berikutnya yaitu mendengar tanggapan dari terdakwa melalui kuasa hukumnya akan berlangsung pada Selasa (12/11/2013).

Dakwaan Pidana ini terdaftar di PN Meulaboh nomor 131/pid.B /2013/PN MBO dengan Paniteranya Mawardi SH. Kemudian No. 132/Pid.B/2013/PN MBO Paniteranya bernama Zamzami dan 133/Pid.B/2013/PN MBO dengan Panitera M. Nazir.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kasus Pidana untuk dakwaan pidana ini bernama Rahmat Nur Hidayat SH. Sedangkan
para hakimnya bernama Arman Surya Putra SH, Dedy SH dan Rahma Novatiana SH. Terdakwa dalam dakwaan ini disebutkan yaitu PT. Kalista Alam/SR. Disebut-sebut jumlah saksi dalam dakwaan ini sebanyak 18 orang.[]

Sumber: acehterkini.com

read more
Perubahan Iklim

Penginderaan Jarak Jauh untuk Mengukur Emisi Lahan Gambut

Indonesia Climate Change Center (ICCC), sebuah lembaga di bawah kemitraan Indonesia-Amerika Serikat, saat ini sedang mengembangkan metode untuk mengukur dan memperkirakan jumlah emisi karbon dari kebakaran gambut.

Untuk langkah awal inisiasi ini, ICCC telah melakukan lokakarya tentang pengembangan metodologi perkiraan Gas Rumah Kaca (GRK) dari kebakaran lahan gambut pada 3 Oktober 2013 lalu. Lokakarya ini dihadiri oleh para pakar gambut internasional dan nasional, para perwakilan dari kementrian dan lembaga pemerintah terkait, LSM dan institusi terkait. Lokakarya ini memfasilitasi masing-masing lembaga pemerintah, non-pemerintah dan ahli gambut untuk dapat mengetahui kesenjangannya dan bisa saling melengkapi sehingga salah satu target Rencana Aksi Nasional GRK yaitu pengurangan emisi dari kebakaran lahan gambut tercapai.

Communications Officer ICCC Arfiana Khairunnisa, dalam rilisnya mengungkapkan, hingga saat ini data tentang laporan emisi gas rumah kaca kebakaran lahan gambut, baik dari segi kualitas maupun kuantitas masih sangat terbatas. Sehingga mengarah ke mis informasi yang tidak dapat dipercaya.

“Apa yang dibutuhkan segera adalah penyediaan data yang diperlukan oleh sistem tersebut, terutama untuk perkiraan jumlah emisinya, serta sinkronisasi dengan lembaga pemerintah, non-pemerintah, dan para ahli gambut,”kata Farhan Helmy, Sekretaris Kelompok Kerja Mitigasi, Dewan Nasional Perubahan Iklim.

Dari laporan pertama Indonesia ke lembaga dunia yang konsen pada isu perubahan iklim, UNFCCC, disebutkan bahwa kebakaran lahan gambut berkontribusi pada GRK sebesar 20-40 persen. Sedangkan studi terbaru menyatakan, lahan gambut yang terbakar berkontribusi sekitar 13 persen dari total inventori GRK nasional pada 2000. Selain itu, beberapa hasil studi yang ada menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Situasi ini diperburuk dengan belum adanya panduan yang dikeluarkan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) untuk metodologi perkiraan jumlah emisi GRK dari kebakaran gambut.

Farhan melanjukan, walaupun sebagian data yang dibutuhkan sudah tersedia, namun belum tentu semuanya mudah diakses atau kualitasnya tidak memadai sehingga tidak layak dan kredibel. Sehingga, dibutuhkan institusi yang bertanggung jawab atau memiliki tugas pokok khusus memperkirakan emisi GRK dari kebakaran gambut.

Pakar kebakaran gambut, Dr. Kevin Ryan, dalam lokakarya tersebut menambahkan, memang yang dibutuhkan adalah kerjasama interdisipliner, sebab mempekirakan jumlah emisi dari kebakaran gambut berbeda dengan memperkirakan jumlah emisi dari kebakaran lain. Banyak faktor yang harus diperhitungkan dalam hal ini, termasuk biomassa di atas permukaan tanah, biomassa di bawah permukaan tanah, kondisi cuaca dulu dan sekarang, kondisi hidrologi, apakah kebakaran berada di atas permukaan atau bara api di bawah permukaan. Jadi, tidak ada “perbaikan cepat” yang dapat dilakukan untuk kajian perkiraan jumlah emisinya.

Ada beberapa metode untuk penilaian perkiraan jumlah emisi. Dr. Mark Cochrane, pakar penginderaan jauh, dalam workshop mendiskusikan tentang potensi penginderaan jarak jauh dalam mendeteksi kebakaran lahan gambut. Mark memberi contoh penggunaan satelit MODIS yang mendeteksi titik api. “Tetapi satelit ini masih terbatas pada titik api pada permukaan saja, sehingga tidak bisa mendeteksi banyak api dan tidak menyediakan luas area yang terbakar.”ujarnya.

Memahami situasi seperti ini, ICCC berinisiatif untuk terlibat dalam pengembangan metodologi perkiraan jumlah emisi GRK dari kebakaran gambut. Apalagi Indonesia merupakan negara yang memiliki lahan gambut luas di dunia yaitu 14,9 juta hektar, yaitu diperkirakan luas lahan gambut di Indonesia lebih dari 10% luas total daerahnya. (Marwan Azis).

read more
1 2
Page 2 of 2