close

ganja

Hutan

Tanaman Ganja Pun Merambah TN Gunung Leuser

Petugas gabungan TNGL, POLRI dan TNI melakukan pemusnahan ladang ganja di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), Resort Bakongan, SPTN Wilayah II Kluet Utara, BPTN Wilayah I Tapaktuan, Kabupaten Aceh Selatan pada Selasa, (7/8/2018).

Lahan ganja illegal itu bermula didapat melalui data analisa citra satelit yang dilakukan petugas TN. Gunung Leuser. Mengetahui hal tersebut Kepala BPTN Wilayah I Tapaktuan, Buana Darmansyah, S.Hut. T, menugaskan anggotanya untuk melakukan pengecekan langsung ke tempat kejadian perkara (TKP) bersama dengan tim terpadu lainnya.

Tim Patroli terpadu ini terdiri dari petugas TN. Gunung Leuser, Polres Aceh Selatan dan Kodim 0107 Aceh Selatan. Kegiatan berlangsung selama 4 hari sejak Minggu, 05 Agustus 2018. Perjalanan menuju lokasi dari desa terdekat Gampoeng Seunebok Keuranji, Kecamatan Kota Bahagia, Aceh Selatan membutuhkan waktu 2 hari.

Hasilnya, tim patroli menemukan kebun ganja seluas 2 hektar namun pemilik ladang tidak dijumpai di lapangan. Sekitar 2000 batang tanaman ganja berusia ± 3-4 bulanan dimusnahkan petugas. Pemusnahan terhadap tanaman illegal tersebut dilakukan dengan cara mencabut dan membakar, sementara sebagian barang bukti lainnya dibawa ke Polres Aceh Selatan.

“Terimakasih kami kepada kerja keras seluruh tim juga dukungan dan kerjasama Kapolres Aceh Selatan, AKBP. Dedy Sadsono, ST dan Dandim 0107 Aceh Selatan, Letkol Kav. Hary Mulyanto dalam menumpaskan tanaman ilegal di kawasan TNGL”, ujar Buana.[]

Sumber: gunungleuser.or.id  

 

 

read more
HutanRagam

Agusen dari Produsen Ganja ke Destinasi Wisata

GAYO LUES – Jarum jam tangan saya menunjukkan pukul 03.45 (WIB). Kami sudah menempuh perjalanan lebih 17 jam dari Banda Aceh menuju Desa Agusen, Kabupaten Gayo Lues. Provinsi Aceh.  Di depan kami terdapat galian badan jalan berair bagaikan saluran yang bekum selesai.

Kami mencoba memastikan bahwa jalan yang kami pilih tidak salah. Beberapa teman turun dan mengamati jejak ban mobil untuk memastikan jalur ini sudah benar.

“Apa mungkin ini Bang. Kenapa ada saluran,” tanya Munjier-reporter RRI Stasion Banda Aceh yang berada di belakang stir.

Tanpa sempat menjawab, Munjier pun menyela. “Tapi ada ban mobil dan beberapa mobil terlihat parkir di depan sebuah bangunan,” kata Munjier meyakinkan.

Sambil sempat memutar arah mobil dan mencari jejak lain. Saya mencoba membuka aplikasi WhatsApp untuk memastikan titik lokasi yang dikirim Mbak Berni saat dalam perjalanan dari Banda Aceh.

“Nah, ini ada tenda biru dan tulisan Jalan Budi Waseso, tapi kita tidak ketemu, gimana?”

“Tapi kita sudah benar masuk gerbang Desa Agusen,” timpal Munjier lagi membela diri.

Di antara temaram cahaya sesaat kami tiba di posko Field Trip. Beberapa mobil terparkir berjejer menghadap kantor  kepala desa atau keuchiek- di kawasan Gayo Lues disebut Pengulu.

Kami menuju ke tempat parkir di depan kantor pengulu. Mobil kami  mengambil posisi sebelah kanan kantor di antara halaman samping kantor penghulu. Dari kegelapan terdengar suara air yang menurut kami pasti ada sungai. Memang, beberapa meter terdapat titi gantung yang lebarnya sekitar satu meter.

Jam sudah menunjukkan pukul 04.00 pagi waktu setempat. Kami pun tak ingin berlama di luar mobil, hanya sesaat tanpa memeriksa kondisi sekitar. Namun Afrizal, kontributor Inews TV, saya dan Munjier masih ragu posisi yang kami tuju. Selain tanpa menemukan gambar petunjuk dari panitia, juga tidak ada tulisan kantor kepala desa.

“Mungkin di sini, kantor geusyiek disebut pengulu,” Munjier mencoba menyimpulkan.

Setelah dia sesaat, kami pun mencoba keluar dari depan kantor penghulu dengan maksud mencari tempat yang menurut kami belum benar. Setelah keluar kembali ke arah jalan Gayo Lues, Kutacane, saya mencoba membuka aplkasi Whats App dan mencari sesuatu petunjuk arah. Saya pun mendapatkan kiriman nomor kontak bernama Jaboi.

Saya segan menelpon karena sudah jam 4 pagi. Tapi dua teman lainnya berusaha meyakinkan jika kondisi saat ini memungkinkan Jaboi ditelpon.

Telpon aja, kan ini darurat, Panitia sudah siap dengan risiko apa pun,”saran Munjier.

Saya pun mengontak Jaboi sambil memberitahukan posisi saat ini. Segan juga rasanya menelpon orang yang menurut kami sedang nyenyak karena kondisi cuaca sangat dingin.

“ Halo, mohon maaf. Ini Bang Jaboi ya, kami udah putar-putar, Cari kantor keuchiek tidak ketemu,” kata saya.

“Kami sudah  di depan kantor pengulu,  dan sudah parkir mobil,” saya memastikan.

‘Ya bang, sudah benar tadi,” ujar Jaboi.

Kami pun langsung balik lagi ke tempat awal. Tak lama beberapa penghuni kantor pengulu keluar termasuk Kang Een dari rekam.or.id-fasilitator field trip Agusen.

“Masuk aja Bang, dingin di luar,“ ujar Jaboi sambil membuka daun pintu.

Memang, suhu udara di luar ruangan menunjukkan pada angka 17 derajat celcius, cukup dingin untuk ukuran kita dari daerah pesisir.

Ya, terimakasih, mohon maaf ya sudah mengganggu tidurnya, kata kami berbasa-basi.

“Kami tunggu sampai jam 1 malam tadi, tidak ada kabar,” timpal Jaboi dan diamini Khairul Wahab-anggota penghuni kantor pengulu yang langsung menyapa saya.

Kami sempat dihidangkan segelas air putih hangat untuk melawan hawa dingin. Afrizal dan Munjier langsung mengambil posisi dalam kamar untuk istirahat. Saya mencoba mengakali untuk tidur dalam mobil karena beberapa penghuni merokok dan bercampur bau obat anti nyamuk.

Sebenarnya, kami mendapat jatah menginap di rumah warga. Karena datangnya sudah dini hari, sangat tidak mungkin menuju ke sana. Kami pun transit sebentar di kantor pengulu.

Saya pun mengambil posisi di luar kantor untuk menghindari asap rokok dan kepulan obat bakar anti nyamuk. Rasa berat berada di luar yang berhawa dingin, tapi apa daya untuk menyelamatkan sesak asap.

Hanya  beberapa saat berada di dalam mobil, saya kembali masuk kantor pengulu karena tidak bisa tidur. Apalagi beberapa saat waktu subuh tiba.  Takut ketiduran dan waktu salat subuh buyar.

Benar saja. Entah karena lelah, saya tertidur dan harus kesiangan salat subuh. Perasaan bersalah tentunya, Tapi, saya harus tetap salat dengan menuju sungai untuk berwudhuk yang tak jauh dari kantor pengulu.

Sekitar pukul 7.30 pagi, kami diarahkan ke rumah warga sebagao tempat menginap selama berada di wilayah Agusen. Satu jam kemudian kami harus kembali ke posko untuk pengarahan.  Maksud mandi urung jadinya karena suhu dingin. Kami hanya sikat gigi dan minum alakadar kemudian langsung kembali ke posko.

Tak mesti menunggu lama, beberapa peserta mulai berkumpul di depan posko. Ada yang baru menyeberangi jembatan gantung, ada yang diantar dengan kendaraan warga.

Kang Een dan Mbak Berni serta beberapa staf mencoba mengumpulkan peserta untuk rundown kegiatan pada Sabtu pagi. Kami pun diperkenalka perangkat Desa Agusen yang kali ini menjadi tujuan Field Trip kami. Tujuanya adalah mempromosikan desa yang pernah mendapat stigma penghasil ganja tersohor di Kabupaten Gayo Lues.

Membenam Stigma

Menyandang predikat desa penghasil ganja sangat tidak nyaman. Setelah puluhan tahun image ini melekat di Desa Agusen, dua tahun lalu  memotivasi warga desa yang terletak di  Kecamatan Blang Keujren Kabupaten Gayo Lues, Aceh beralih profesi. Sebagai desa bekas  penghasil ganja terbaik di dunia Agusen kini berbenah menuju desa  destinasi wisata

Desa berpeduduk 206 kepala keluarga ini terletak di lembah dan dikelilingi Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).  Agusen berbenah menjadi destinasi wisata pilihan bagi  para pecinta alam.

Memiliki sungai berair jernih yang mengalir dari kawasan gunung Leuser. Kini warganya mulai giat menjadi tuan rumah bagi pelancong. Potensi sungai dan tracking atau jelajah bukit serta kebun kopi dan pendakian. Desa terdekat dengan ekosistem Leuser menawarkan beberapa agenda wisata.

Tracking sungai,  hutan dan bukit menjadi pilihan para pengunjung ke desa tersebut. Areal hutan yang sebelumnya jadi hamparan kebun ganja menjadi kebun kopi Arabica Gayo yang terkenal. Juga tempat wisata sungai yang bisa dimanfaatkan untuk drafting atau arung jeram.

Sejak dipilihnya Agusen menjadi desa wisata tahun 2016 lalu, kini pemuda setempat terus memotivasi warga untuk menyiapkan diri. Rumah warga akan ditata menjadi home stay atau tempat tinggal yang nyaman bagi turis. Pagelaran seni pun ditingkatkan menyambut tamu.

“Dulu Agusen adalah produsen the best marijuana in the world. Kita akan melatih warga untuk mengelola homestay atau rumah tinggal sementara wisatawan, “ ujar Amru saat silaturrahmi dengan warga Agusen Sabtu (05/05/2018).

Desa yang dihuni petani dan perkebun  ini memang baru berbenah. Warga secara bertahap mulai meninggalkan kebiasaan menanam ganja yang jadi penghalang mereka berkembang seperti diakui Bupati Gayo Lues, Muhammad Amru.

Tak gampang mengalihkan pola pikir dan pola kerja warga Agusen. Lebih dari 50 persen warganya berprofesi sebagai penanam ganja Namun, sosialisasi dan himbauan secara terus menerus membuat mereka bisa meninggalkan ganja.

Pengulu atau kepala Desa Agusen, Ramadhan pun nyaris putus asa ketika mengajak warganya meninggalkan kebiasaan yang dilarang. Pola kepemilikan satu hektare tanaman kopi ternyata  bisa  mengalihkan usaha mereka dari ganja ke kopi dan wisata.

“Kita selalu menyampaikan dan membujuk para petani ganji untuk beralih ke kopi dalam setiap kesempatan,” kenang Ramadhan.

Memang butuh waktu untuk berbenah dan mengobati citra dari desa produsen ganja menjadi desa destinasi wisata. Meskipun demikian, pemerintah setempat terus mendorong dengan melatih mereka menjadi tuan rumah destinasi wisata.[acl]

Penulis : Muhktaruddin Yacob

read more
Ragam

Petani Australia Kembangkan Tanaman Sejenis Ganja

Sejumlah petani dan pengusaha Australia mendorong agar tanaman hemp, yang satu genus dengan tanaman ganja yang memabukkan, boleh digunakan sebagai bahan makanan.

Klara Maroszeky, seorang aktivis hemp di daerah Northern Rivers, New South Wales, tengah memimpin pelatihan cara membangun dengan menggunakan hemp, sebagai bagian dari festival hutan tahun 2014.

“Di Kanada, mereka memproduksi pasta, susu, adonan kue, roti hemp,” ucap Marosszeky, “Dan (bahan ini) terkenal bergizi tinggi.”

Hemp dan produk sampingannya bisa digunakan untuk membuat bahan bangunan, minyak-minyak industri, restorasi lahan, produksi biofuel, dan makanan, jelasnya.

Marosszeky telah melakukan penelitian agronomik dan penelitian tentang bahan bangunan. Saat ini ia menjalankan perusahaan penyedia bahan bangunan dari hemp. Ia ingin menjadikan hemp alternatif yang menguntungkan dan berkelanjutan bagi petani skala kecil Australia.

“Di NSW, saya bekerja dekat dengan salah satu komunitas di Ashford untuk mengembangkan sebuah sistem, di mana mereka memproses hemp di lahan tani mereka, dan menghasilkan pendapatan yang mereka anggap menguntungkan,” ceritanya.

“Mereka menumbuhkan enam hektar hemp, mereka punya domba, dan menanam sedikit lucerne. Mereka memproses hemp, hingga siap saya gunakan sebagai bahan pembuat bahan bangunan,” tutur Marosszeky.

Ada beberapa hal yang menghambat petani Australia dalam menumbukan varietas hemp yang rendah kadar THC-nya, yaitu zat yang memabukkan. Namun, ia optimis sebuah forum menteri kesehatan negara dan negara bagian Australia akan membolehkan penanaman varietas hemp dengan kadar THC rendah untuk konsumsi manusia di Australia.

Ketua Asosiasi Hemp Industrial Tasmania, Philip Reader, mendorong agar pemerintah tidak lagi melarang pengembangan hemp sebagai bahan makanan manusia.

Potensi tanaman tersebut ditentang para politisi dan birokrat, ucap laki-laki yang merupakan satu dari 10 petani Tasmania yang menanam hemp berkadar THC rendah di sekitar 100 hektare lahan untuk perusahaan Midland Seeds dan EcoFibre Industries.

Menurutnya, pengumuman terakhir dari menteri-menteri Australia dan Selandia Baru yang membidangi peraturan makanan menyatakan bahwa mereka memerlukan investigasi lebih lanjut perihal penggunaan hemp berkadar THC rendah dalam tanapan makanan.

Sumber: NGI/Kompas.com/ABC Australia

read more