close

gas rumah kaca

Sains

Akademisi Serambi Mekkah Ubah Limbah Bonggol Janggung dan Durian jadi Bahan Bakar

Banda Aceh – Bonggol jagung dan kulit durian merupakan limbah organik yang selama ini dibiarkan berserakan di pinggir jalan atau tidak dimanfaatkan sama sekali. Pedagang pinggir jalan seperti yang terdapat di jalan menuju pantai Ulee Lheue banyak menghasilkan sampah bonggol jagung dan kulit durian. Limbah ini sebenarnya mempunya nilai ekonomis kalau diubah menjadi bahan bakar. Selain bernilai ekonomis maka kegiatan membuat energi terbarukan tersebut ikut mengurangi limbah organik yang banyak menghasilkan gas rumah kaca penyebab perubahan iklim.

Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Serambi Mekkah (USM) mengadakan kegiatan pemberdayaan masyarakat dalam memanfaatkan bonggol jagung dan limbah kulit durian menjadi briket di kawasan wisata Ulee Lheue. Kawasan pantai Ule Lhee merupakan salah satu kawasan wisata halal yang mempunyai beragam tempat dan kuliner untuk wisatawan.. Kegiatan yang paling populer di pantai Ule Lhee ini adalah duduk santai ditepian pantai dengan menikmati jagung bakar. Hal ini mengakibatkan tingginya volume bonggol jagung yang merupakan bahan baku yang dapat diolah sebagai biomassa energe terbarukan yaitu briket.

Acara ini dilakukan Senin (1/07/2019) bertempat di gedung serbaguna gampong Ulee Lheue. Tujuan pelaksanan pemberdayaan ini adalah melatih masyarakat membuat limbah bonggol jagung dan kulit durian menjadi briket yang memiliki nilai ekonomis. Acara dibuka oleh Akademisi USM Irhamni, ST., MT yang juga Ketua Tim Peneliti USM Prodi Teknik Lingkungan. Masyarakat cukup antusias mengikuti kegiatan pembuatan energi terbarukan ini karena dapat memberikan manfaat ekonomi dan mengurangi sampah.

Peserta terdiri dari ibu-ibu produktif yang memiliki usaha jagung bakar. Keuchiek Gampong Ulee Lheue Kecamatan Meuraxa Kota Banda Aceh, Dedi Armasyah, SE menyatakan pemberdayaan ini dapat meningkatkan pengetahuan msayrakat dalam mengurangi volume sampah khususnya bonggol jagung. Seusai pelatihan, dilakukan penyerahan plakat dari USM kepada Ketua PKK Gampong Ulee Lheue Kecamatan Meuraxa, Kota Banda Aceh, Sufatmiaty.

Kegiatan ini sendiri didukung oleh Kementerian Ristekdikti yang telah mendanai penelitian pemberdayaan masyarakat (PKM) di bawah LPPM Universitas Serambi Mekkah. [rel]

read more
Sains

Menanam di Lahan Gambut untuk Tekan Emisi

Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) akan mengoptimalkan lahan-lahan gambut yang terlantar guna meredam emisi gas rumah kaca. Caranya dengan menanam tanaman sela di lahan gambut.

Pemanfaatan lahan gambut tidur ini sudah dilakukan di lima provinsi. Salah satunya di Desa Jabiren, Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah yang telah dilakukan sejak 2010 lalu.

Syamsidar Thamrin, Kepala Sekretariat ICCTF menjelaskan, lahan ini sempat terbakar pada 2005 sehingga mengalami degradasi.

“Karbon yang tersimpan dalam lahan gambut (carbon sink) sangat tinggi. Setiap perubahan penggunaan lahan gambut, menghasilkan emisi gas rumah kaca yang sangat besar,” ucap Syamsidar saat dihubungi, beberapa waktu lalu.

Untuk itu, lahan gambut seluas lima hektare tersebut ditanami tanaman pokok karet (seedling) dan tanaman sela diantaranya padi, jagung dan nanas. “Lahan gambut di Kalimantan Tengah ini bertujuan meningkatkan usaha mitigasi terhadap peningkatan karbon dan menurunkan emisi gas rumah kaca sehingga memperoleh model usaha tani yang ramah lingkungan,” jelas Syamsidar.

Guna menekan emisi karbon, ICCTF bekerjasama dengan Kementerian Pertanian menebar amelioran atau sejenis pupuk organik (pupuk kandang ayam dan tanah mineral) sehingga mampu menurunkan emisi karbon dioksida (CO2) sebesar 36%-47%.

Pencatatan data iklim di lokasi ini menggunakan Automatic Weather Station alias AWS. Pengambilan GRK atau CO2 dilakukan rutin setiap tiga hari di posisi lahan bawah tanaman karet, antar tanaman karet dan tanaman sela. Pengukuran emisi CO2 menggunakan Mobile GC.

Sumber: perubahaniklim.co

read more
Perubahan Iklim

Sektor Energi & Transportasi Sumbang Emisi Terbesar di Aceh

Dokumen Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Propinsi Aceh (RAD GRK Aceh) tahun 2012-2020 menyimpulkan sektor energi dan transportasi merupakan penyumbang terbesar emisi di propinsi ini yaitu sebesar 181.834.677 CO2 Gg/Th. Kemudian disusul oleh sektor kehutanan dan lahan gambut (14.498.933,15 Gg/Th), selanjutnya sektor pertanian (1.482.660 Co2 Gg/Th dan 2.120 N2O Gg/Th) dan terakhir sektor industri dan persampahan 19.51 N2O Gg/Th.

Perhitungan ini dilakukan pada tahun 2012 oleh tim yang beranggotakan berbagai stakeholder mulai dari pemerintahan dan pihak swasta. Dokumen RAD-GRK sendiri merupakan amanat dari Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK).

Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 1, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota berperan penting dalam penurunan emisi gas rumah kaca di wilayah masing-masing, Gubernur berkewajiban menyusun Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) selambat-lambatnya 12 (dua belas) bulan setelah ditetapkan Perpres dimaksud.

Dokumen RAD-GRK Aceh yang dihasilkan dapat dijadikan pedoman bagi Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pelaksanaan pembangunan yang berkeberlanjutan dalam substansi penurunan emisi gas rumah kaca. Selain itu dokumen ini berisikan informasi mengenai tingkat, status, dan kecenderungan perubahan emisi Gas Rumah Kaca secara berkala dari berbagai sumber emisi (source) dan penyerapnya (sink) termasuk
simpanan karbon (carbon stock) di Aceh.

Selain kesimpulan yang telah disebutkan diatas mengenai jumlah GRK, terdapat beberapa kesimpulan lain yaitu :

1. Secara riil emisi dominan untuk Gas CO2 dan N2O di Aceh yang diproduksi adalah dari Bidang Energi dan Transportasi khususnya Sektor Transportasi, mengingat pertumbuhan kendaraan bermotor khususnya kendaraan pribadi cukup tinggi.

2. Meskipun Bidang Energi dan Transportasi khususnya sektor energi memberikan sumbangan emisi paling dominan berdasarkan hasil perhitungan untuk gas CO2, namun emisi sektor energi tersebut tidak di produksi di Aceh karena Aceh belum memiliki pembangkit listrik.

4. Untuk Gas Methana Bidang Pertanian menjadi penyumbang paling besar dibandingkan bidang lainnya, karena potensi pengembangan peternakan baik skala besar, maupun skala rumah tangga cukup besar dan dominan terdapat di kawasan pantai barat Aceh.

5. Berdasarkan hasil perhitungan Location Quotient (LQ) dari 9 sektor di Aceh dapat dilihat bahwa sektor-sektor yang memberikan implikasi terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca adalah merupakan sektor yang masuk dalam kategori sektor basis atau memiliki keunggulan komparatif jika dibandingkan sektor lain atau mampu
menopang pertumbuhan sektor lainnya, di antaranya adalah: Pertanian (Pertanian dan Peternakan), Kehutanan dan lahan Gambut, Listrik, Gas dan Air Bersih, Transportasi dan Komunikasi. Sedangkan untuk Sektor Lainnya beberapa diantaranya memiliki nilai LQ < 1 dan nilai LQ > 1 memberikan kontribusi terhadap peningkatan gas
rumah kaca pada sektor lain, yaitu : Bidang Industri dan Pengelolaan Limbah sejalan dengan pertumbuhan penduduk, bangunan, aktivitas perdagangan, hotel, restoran, pasar, hunian, dan perkantoran.

6. Dalam mendukung Masterplan Percepatan Perencanaan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Aceh menjadi salah satu komitmen Pemerintah Pusat dan Aceh untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berbasis lingkungan, sehingga dalam kegiatan perencanaan pembangunan yang diimplementasikan dalam mekanisme penganggaran harus berbasis pada konsep lingkungan dengan memperhatikan upaya pembatasan, serta reduksi terhadap emisi gas rumah kaca;

6. Target capaian penurunan emisi yang tertuang didalam Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Aceh harus/wajib diinetgrasikan dengan Kebijakan Perencanaan Pembangunan Aceh yang dalam hal ini, meliputi Rencana Pembangunan Aceh (RPJMA), Rencana Strategis dan Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Aceh, Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh, Rencana Energi Aceh, Tataran Transportasi Wilayah / Lokal. serta Rencana/Kebijakan sektoral lainnya. []

read more
Perubahan Iklim

Gas Rumah Kaca Ini Lebih Berbahaya dari CO2

Tim peneliti dari University of Toronto berhasil menemukan gas rumah kaca baru yang lebih berbahaya bagi iklim dan berumur panjang di atmosfer. Nama gas rumah kaca tersebut adalah perfluorotributylamine (PFTBA). Menurut tim peneliti, bahan kimia ini lebih berbahaya dari gas rumah kaca lain yang selama ini telah kita kenal, salah satunya CO2.

Namun, berbeda dengan emisi CO2 yang telah mengelami peningkatan produksi sejak masa Revolusi Industri pada abad 18, PFTBA ini baru digunakan sejak pertengahan abad 20.

Bahan kimia PFTBA ini dipakai dalam berbagai peralatan elektronik, sebagai cairan penguji dan materi penyalur panas. Bahan kimia ini tidak tersedia di alam dan hanya bisa diproduksi oleh manusia.

Menurut tim peneliti, hingga saat ini belum ada cara untuk menghancurkan atau menghilangkan bahan kimia ini dari atmosfer bumi. Masa edar PFTBA bisa mencapai ratusan tahun dan merusak lapisan atmosfer bagian atas.

Untuk menggambarkan betapa berbahayanya gas rumah kaca baru ini, Angela C. Hong, peneliti dari Jurusan Kimia, University of Toronto menyatakan: “Satu molekul PFTBA memiliki dampak bagi iklim yang setara dengan 7100 molekul CO2.”

Temuan ini menurut Hong menunjukkan betapa PFTBA sangat radiatif bagi iklim dalam jangka panjang.

Sumber: Hijauku.com

read more
Tajuk Lingkungan

Penipu Emisi Karbon

Pemerintah Aceh telah melacurkan diri dengan menjual stok carbon hutan Ulu Masen seluas + 750.000 Ha yang terletak di Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya, Aceh Barat, Aceh Jaya dan Aceh Tengah ke pasar Internasional dengan memakai jasa perusahaan Carbon Conservation Pty Ltd yang berkedudukan di Lismore, New South Wales, 2480, Australia.

“Penjualan” ini dilakukan dimasa Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, yang memberikan persetujuan kepada Carbon Conservation melakukan investasi dalam jumlah besar untuk membangun kepercayaan investor dan masyarakat  Internasional terhadap Ulu Masen Credit. Perjanjian penjualan dan pemasaran proyek ekosistem Ulu Masen untuk investasi ekonomi Hijau di Aceh dilakukan pada Tanggal 2 Juni 2008. Perjanjian ini membuat, mengatur dan menjalankan kampaye publisitas dan membangun hubungan baik dengan penanam modal, institusi keuangan dan perantara, menciptakan pasar  yang sehat dan menguntungkan bagi Ulu Masen Credit.

Setelah mendapat kepercayaan dari Irwandi Yusuf, Carbon Conservation menjual stok carbon Ulu Masen dengan melakukan joint dan bekerjasama dengan  Merril Lynch Commodities (Eropa) Limited (ML). Tujuannya  untuk masuk dan terikat dalam Verified Emissiens Reductions Purchase Agreement atau Perjanjian Pembelian Pengurangan Emisi yang Terverifikasi (VERPA) di tingkat Internasional.

Point-point yang disetujui oleh Carbon Conservation dan ML yang mengatur (a) untuk setiap periode verifikasi antara tahun 2008-2011, ML akan membeli semua Ulu Masen Credit yang dihasilkan Proyek, hingga maksimum 500.000 Ulu Masen Credit dalam setiap periode verifikasi, ada akan diberi opsi berjumlah 700.000, di setiap periode-periode verifikasi tersebut, dengan harga 4 Dolar Amerika per Ulu Masen Credit;

(b) untuk setiap periode verifikasi antara tahun 2012 dan 2013, ML akan diberi opsi untuk membeli/mendapatkan semua Ulu Masen Credit yang dihasilkan Proyek, hingga jumlah maksimum 700.000 Ulu Masen Credits dalam setiap periode-periode verifikasi tersebut, dengan harga 7 Dolar Amerika Serikat per Ulu Masen Credit;

(c) Pada kondisi ML menjual Ulu Masen Credit pada harga melebihi 7 Dolar Amerika Serikat per Ulu Masen Credit, pembagian keuntungan akan dibayar oleh ML;

(d) ML akan membayar, bergantung pada hasil uji kelayakan, 1 juta Dolar Amerika Serikat untuk opsi yang dijelaskan pada paragraf (a) dan (b) diatas.

Berdasarkan perjanjian ini, Carbon Conservatioan sebagai perpanjangan tangan pemerintah Aceh yang akan memasarkan dan menjual Ulu Masen Credits di dunia global. Penjualan dimaksud demi keuntungan masyarakat Aceh, pendapatan dari Ulu Masen Credit dari Proyek dibagi dua ; (a) 30% pertama dari Ulu Masen Credit yang dihasilkan pada setiap periode Verifikasi akan dialokasikan menjadi penyangga Risiko Manajemen (RMB/Risk Manajement Buffer).

(b) Sisanya sebesar 70% dari Ulu masen Credit yang dihasilkan akan dijual dan pendapatan yang dihasilkan dari penjualan dibagi lagi untuk biaya/jasa Agen Penagih/Pengumpul, Pembayaran jasa pemasaran, rekening proyek.
Jumlah penjualan yang dibayarkan ke Agen Pengumpul (Rekening Pengumpul) di transfer uang/dibayarkan/dibagikan untuk biaya/jasa Agen Penagih/Pengumpul, Pembayaran jasa pemasaran, rekening proyek. Rekening proyek dipegang oleh pihak ketiga (Escrow) dibagikan/dibayarkan untuk biaya proyek dan dana bantuan.

Sampai akhir tahun 2011 uang yang dijanjikan oleh pihak ketiga; dalam hal ini adalah Carbon Conservatioan dan Merril Lynch Commodities; belum ada kepastian berapa harga karbon Ulu Mesen. Nilai uang yang dibayar berdasarkan besar serapan carbon dari hutan Ulu Masen seluas + 750.000 Ha.

Perhitungan kasar berapa produksi karbon Ulu Masen dalam satu hektar adalah sebesar 132 ton/ha. Luas hutan 750.000 Ha bisa memproduksi carbon sebanyak 100.500.000 ton/hektar. Nilai karbon dikalikan dengan US$ 4 Dolar Amerika. Betapa besarnya uang didapatkan dari stok karbon Ulu Masen sebesar US$ 3.680.000.000.000 dolar Amerika.

Sangat fantastis, diatas kertas Ulu Masen akan menjadi petro dollar penganti Lhokseumawe. Tapi sekarang, uang dolar sebanyak itu tidak ada.  Perhitungan nilai uang karbonnya sangat besar, ironisnya tidak ada hasil apa-apa. Seperti kata pepatah tong kosong nyaring bunyinya, akhirnya pemerintah Aceh sampai dengan akhir tahun 2011 tidak mendapatkan apa-apa. Perjanjian dengan Carbon Conservation sampai dengan tahun 2013.

Sepertinya pembayaran konpensasi stock karbon telah diganti dengan keikutsertakan Gubernur Aceh pada sejumlah event internasional di luar negeri. Aceh bakal kena tipu lagi dan ditipu uang emisi karbon oleh pihak ketiga. Buruk sekali, uang karbon Aceh hanya dihargai dengan menjadi peserta konferensi internasional. Atau kemungkinan dana stok karbon Aceh telah dikorupsi  oleh pihak ketiga dalam perjanjian tersebut.  []

Catatan redaksi: Tulisan ini pernah dimuat dalam Majalah Tanah Rencong, Edisi November – Desember 2011. Tulisan ini dimunculkan kembali karena masih relevan dengan keadaan sekarang.

read more
Perubahan Iklim

Indonesia Rangking 2 Penyumbang Emisi Gas Rumah Kaca

Di negara berkembang – yang menyumbang 48% emisi gas rumah kaca pada periode 1850-2010 – China menempati rangking pertama dengan kontribusi emisi gas rumah kaca sebesar 11,6%. Indonesia menempati rangking ke-2 di bawah China sebagai negara berkembang penghasil emisi gas rumah kaca terbesar dengan kontribusi 4,8%. India berada di posisi ketiga dengan kontribusi 4,1%.

Negara industri menyumbang 52% emisi gas rumah kaca penyebab pemanasan global dan krisis iklim. Sementara negara berkembang – termasuk Indonesia – menyumbang 48% sisanya. Hal ini terungkap dari laporan terbaru lembaga penelitian lingkungan, alam dan angkasa Belanda, PBL, yang dirilis Kamis (31/10).

Kesimpulan ini diperoleh dari penghitungan emisi gas rumah kaca pada periode 1850 hingga 2010. Kalkulasi PBL (PBL), Ecofys dan Joint Research Centre (JRC), lembaga milik Uni Eropa menunjukkan, sumbangan negara berkembang terhadap perubahan iklim diperkirakan akan terus meningkat menjadi 51% pada 2020, sehingga kontribusi negara maju turun menjadi 49%.

Artikel PBL yang telah diterbitkan dalam jurnal “Climatic Change” ini menyatakan, di kelompok negara-negara industri – yang menyumbang 52% emisi gas rumah kaca global – Amerika Serikat tetap menjadi penghasil emisi gas rumah kaca terbesar dengan kontribusi sebesar 18,6%.

Negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa (sebanyak 27 negara) menduduki posisi kedua dengan porsi sumbangan 17,1%. Posisi ketiga diduduki oleh Federasi Rusia dengan sumbangan 7,2%. Sementara Jepang, Kanada, Australia dan Selandia baru, Ukraina serta negara-negara Eropa lain beturut-turut menyumbang 2,8%, 1,9%, 1,7%, 1,5% dan 1,1%.

Seluruh negara Asia Tenggara (terkecuali Indonesia) menyumbang 5,7%. Sementara Brazil, Meksiko, Afrika Selatan, Turki, Korea Selatan, Nigeria berturut-turut 3,9%, 1,3%, 0,8%, 0,7%, 0,6% dan 0,6%. Negara-negara Afrika di luar yang telah disebutkan menyumbang 5,7% sementara negara Amerika Latin yang lain menyumbang 4,6%. Wilayah Timur Tengah menyumbang 2,6%, Saudi Arabia 0,4% dan negara Asia di luar yang telah disebutkan menyumbang 0,6%.

Khusus Indonesia, sebanyak 60-70% emisi gas rumah kaca di Tanah Air dihasilkan dari deforestasi dan alih guna lahan yang dipicu oleh eksploitasi hasil tambang dan sumber daya alam. Tata kelola hutan di Indonesia juga masih dinilai rendah oleh Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP).

Namun peluang untuk mengurangi emisi dari sektor lain terbuka lebar, seperti energi, transportasi, pertanian, industri dan limbah. Jika Indonesia bisa melakukannya, Indonesia berpotensi kembali menjadi paru-paru dunia bukan menjadi negara berkembang penyumbang perubahan iklim terbesar kedua setelah China.

Sumber: hijauku.com

read more