close

gubernur aceh

Green StyleRagam

Aktivis Minta Informasi SDA Dibuka Seluas-luasnya

Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah mengeluarkan kebijakan berupa Keputusan Gubernur Aceh No. 065/962/2018 tentang Penetapan Informasi Publik Yang Dikecualikan Di Lingkungan Pemerintah Aceh, bertanggal 27 Agustus 2018. Keluarnya keputusan ini menimbulkan polemik ditengah masyarakat karena sebagian menganggap ini merupakan bentuk pengekangan hak publik untuk mendapatkan informasi. Apalagi didalamnya mencantumkan jenis informasi apa saja yang tertutup bagi publik salahsatunya informasi yang berkaitan dengan sumber daya alam.

Aktivis lingkungan, T.Muhammad Zulfikar, kepada Greenjournalist, mengatakan Keputusan Gubernur Aceh No. 065/962/2018 ini ternyata belum banyak berubah dari Keputusan sebelumnya yakni KepGub Aceh No. 065/802/2016. “Kesannya masih copy paste dari Kepgub sebelumnya. Padahal, hal ini pernah disuarakan oleh beberapa LSM agar ditinjau kembali karena belum mampu mendorong perbaikan transparansi badan publik dalam mengelola informasi kepada masyarakat secara luas,”.

Zulfikar menambahkan jika mengacu pada UU Keterbukaan Informasi Publik justru sudah sangat jelas bahwa tidak semua informasi dalam pemerintahan tertutup. “Bahkan seharusnya jika kita mau menjaga lingkungan lebih baik, informasi terkait pengelolaan sektor sumber daya alam harusnya dibuka seluas-luasnya agar bisa kita pantau dan kita jaga bersama,”katanya.

Zulfikar memberikan contoh berbagai rencana pembangunan di Aceh, yang tiba-tiba sudah ada izin pemberian IUP Pertambangan di Nagan Raya, di Aceh Tengah, serta tiba-tiba sudah ada izin lingkungan untuk PLTA di Gayo Lues, Izin HGU perkebunan di Nagan Raya, dan berbagai kegiatan dadakan lainnya yang mengejutkan publik.

“Sudah tidak zamannya lagi informasi ditutup-tutupi. Justru demi kemaslahatan ummat mari kita buka selebar-lebarnya dan seluas-luasnya. Boleh saja informasi dikecualikan apabila jika diketahui publik akan menambah besarnya konflik sosial, terganggunya kedamaian dan keamanan di Aceh. Tapi saya rasa tidak usah terlalu banyaklah informasi yang bersifat rahasia di Aceh,”terangnya.

Dalam Keputusan Gubernur Aceh No. 065/962/2018 tentang Penetapan Informasi Publik Yang Dikecualikan Di Lingkungan Pemerintah Aceh, salah satu data yang dikecualikan tertutup bagi publik adalah data milik perusahaan pemegang izin Usaha Pertambangan dan sejumlah bidang yang terkait sumber daya alam.

 

 

read more
Ragam

Ini Sebab Hutan Leuser Tak Masuk Dalam Tata Ruang Aceh

Persoalan Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh (RTRWA) sampai hari ini masih saja menimbulkan polemik walaupun RTRWA tersebut telah ditetapkan sebagai Qanun No. 19 tahun 2013. Salah satu polemik yang paling mengemuka adalah hilangnya nama “Leuser” dalam qanun tersebut. Pada   pertemuan antara aktivis lingkungan Aceh yang tergabung dalam Tim Koalisi Peduli Rawa Tripa (TKPRT) dengan Gubernur Aceh, Dr. Zaini Abdullah, Rabu pagi (20/8/2014) kontroversi ini dijawab oleh pemerintah Aceh.

Pertemuan antara TKPRT dan Gubernur Aceh ini membicarakan tentang masa depan hutan gambut Rawa Tripa, Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh dan isu penambangan liar (ilegal mining). Sebanyak 15 aktivis dari TKPRT memenuhi ruang pertemuan namun dikarenakan waktu yang singkat hanya beberapa orang saja mendapat kesempatan berbicara.

Sejumlah Kepala Dinas memberikan respon atas berbagai kritik yang disampaikan oleh pihak LSM lingkungan (baca: Gubernur Aceh Sebut Perlu Aksi Nyata Lindungi Rawa Tripa). Menurut hasil penelitian yang dilakukan Tim dari Universitas Syiah Kuala, sekitar 11.395 hektar hutan gambut Rawa Tripa masih bisa diselamatkan.

Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Aceh, Husaini Syamaun mengatakan bahwa apa yang disampaikan oleh aktivis lingkungan pada prinsipnya sudah sejalan dengan Pemerintah Aceh. Hanya saja menurutnya, perlu waktu untuk merealisasikannya.

“Kita komit menjadikan Rawa Tripa sebagai kawasan hutan gambut,” tegasnya. Walaupun sebenarnya Rawa Tripa terletak diluar kawasan hutan, sambungnya lagi.

Husaini mengusulkan memberikan Hutan Kemasyarakatan (HKm) pada hutan Rawa Tripa yang hendak direstorasi tersebut. Ia meminta LSM dapat membantu dan Pemerintah bersedia memfasilitasi terealisasinya HKm.

Bila pengelolaan hutan diberikan kepada masyarakat, maka nantinya hutan ini dengan sendirinya akan menjadi hutan adat, kata Husaini. Masyarakat dapat mengelola HKm selama 35 tahun sehingga generasi berikutnya akan mengetahui hutan tersebut telah dikelola oleh nenek moyangnya.

“Apa masyarakat bersedia mengelola hutan kemasyarakatan atau hutan desa,” ujarnya. Pemerintah menyambut baik siapa saja yang hendak membantu skema hutan ini. Sebab sejak dulu belum ada rumus pengelolaan hutan oleh masyarakat di Aceh.

Pernyataan ini sempat diklarifikasi oleh Juru Bicara Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA), Efendi Isma, yang mengutip keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa hutan Adat bukanlah milik negara. “Jika HKm atau hutan desa itu berarti masih milik negara, tidak ada pengakuan hutan adat,” tegasnya.

Kepala Bappeda Aceh, Prof. Abubakar Karim, dalam pertemuan itu menyatakan bahwa  penyusunan tata ruang Aceh sudah sangat panjang prosesnya, dimulai sejak tahun 2000 dimana sudah dilakukan kegiatan padu serasi. Tim tata ruang menerima masukan dari berbagai pihak.

Abubakar mengingatkan jangan sampai Qanun RTRWA ini dibatalkan hanya karena ada beberapa masukan untuk perbaikan.

“Aceh sudah terlalu lama tidak punya tata ruang, lebih baik kita berjalan dalam remang-remang daripada berjalan dalam kegelapan. Disana-sini masih ada kelemahan tetapi masih ada peluang untuk melakukan review di masa mendatang,” katanya.

Prof. Abubakar juga menceritakan sedikit kilas balik ditetapkan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) pada tahun 1993. Sebelum KEL ditetapkan, di daerah tersebut ada berdiri sekolah, fasilitas pemerintah yang dibangun melalui program Inpres dan kebun penduduk sehingga ketika KEL ditetapkan sebagai kawasan lindung maka fasilitas-fasilitas tersebut harus dikeluarkan. Dalam Qanun RTRWA sekarang, fasilitas-fasilitas tersebut di keluarkan dari KEL sehingga wilayah lindung menjadi berkurang.

Abubakar menambahkan bahwa tata ruang bukanlah semata-mata narasi (qanun) saja melainkan juga spasial (peta wilayah) yang jelas pengelolaannya. “Tata ruang masih dilanjutkan dengan tata ruang kawasan, kemudian dilanjutkan lagi dengan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Masih banyak aturan-aturan turunan yang perlu didorong terus,” jelasnya.

Asisten I Pemerintahan Aceh, Iskandar A Gani, yang mendapat kesempatan terakhir berbicara mengemukakan alasan mengapa KEL tidak dimasukan kedalam Qanun RTRWA.

“KEL akan diatur dalam aturan tersendiri oleh Pemerintahan Aceh, ini sesuai dengan UU Pemerintahan Aceh. Tapi kita masih menunggu turunnya RPP kewenangan,” katanya. Jika RPP kewenangan ini tidak dikeluarkan maka konflik regulasi akan terjadi terus di Aceh.

Aktivis lingkungan, T. Muhammad Zulfikar kepada Gubernur Aceh, dr. Zaini Abdullah, mengatakan sangat berharap pemerintah segera mengeluarkan rekomendasi atau surat izin agar pihak pihak LSM dan daerah siap melaksanakan restorasi kawasan Rawa Tripa.[]

read more
Kebijakan Lingkungan

Gubernur Aceh Sebut Perlu Aksi Nyata Lindungi Rawa Tripa

Pertemuan antara aktivis lingkungan Aceh yang tergabung dalam Tim Koalisi Peduli Rawa Tripa (TKPRT) dengan Gubernur Aceh, Dr. Zaini Abdullah, berlangsung Rabu pagi (20/8/2014) di Pendapa Gubernur, Banda Aceh. Gubernur Aceh yang didampingi oleh kepala dinas dan sejumlah stafnya menyatakan komitmennya untuk menjaga hutan Rawa Tripa dan meminta jajaran terkait di bawahnya segera merealisasikan rencana menjadikan Rawa Tripa sebagai hutan konservasi.

Pertemuan antara TKPRT dan Gubernur Aceh ini membicarakan tentang masa depan hutan gambut Rawa Tripa, Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh dan isu penambangan liar (ilegal mining). Sebanyak 15 aktivis dari TKPRT memenuhi ruang pertemuan namun dikarenakan waktu yang singkat hanya beberapa orang saja mendapat kesempatan berbicara.

Dalam kesempatan pertama, anggota TKPRT, T. Muhammad Zulfikar menjelaskan tentang kondisi hutan gambut Rawa Tripa terkini secara umum. Mantan Direktur Walhi Aceh periode 2009-2013 menceritakan kondisi Rawa Tripa sejak dikeluarkannya izin perkebunan untuk perusahaan dimasa Gubernur Aceh Irwandi Yusuf (2007-2012) hingga kasus bergulir ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN) di Banda Aceh. Kasus ini sendiri telah dimenangkan oleh aktivis lingkungan dimana MA telah mengeluarkan putusan hukum tetap mencabut izin perkebunan yang diberikan kepada PT Kallista Alam.

Pasca pengembalian hutan Rawa Tripa seluas 1.605 hektar maka menurut TKPRT hutan tersebut perlu direstorasi kembali hingga kembali seperti sediakala. Hutan gambut yang sebagian besar memiliki kedalaman lebih dari tiga meter tersebut banyak dikonversi menjadi sawit sehingga merusak ekosistem dan menghilangkan habitat satwa liar.

“Perlu ada peta yang jelas tentang hutan gambut, (sehingga tahu) berapa hutan Tripa yang perlu diselamatkan dengan cepat. Kami pihak LSM bersedia membantu melakukan restorasi di Tripa yang telah rusak,” kata T. Muhammad Zulfikar.

Selanjutnya Efendi Isma dari Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA) lebih menyoroti tentang Qanun RTRW Aceh yang menurut kajian pihaknya masih mengandung banyak kekeliruan. Ia mengatakan penyusunan RTRW Aceh tidak aspiratif dan tidak melibatkan masyarakat luas. Qanun RTRW Aceh tidak memasukan Kawasan Ekosistem Leuser dan tidak memasukan permintaan masyarakat tentang pengakuan hutan adat.

“Kami beberapa waktu lalu menjumpai Kemendagri di Jakarta, mereka mengatakan bisa saja membatalkan dikarenakan substansinya banyak bertentangan. Menurut kami bila rumusnya saja sudah salah maka hasilnya bisa babak belur,” kata Efendi Isma.

Menanggapi pernyataan oleh dua aktivis lingkungan tersebut, Dr. Zaini Abdullah memberikan respon dengan mengatakan bahwa masalah kehutanan merupakan problem yang luar biasa yang dihadapinya sejak menjabat Gubernur Aceh. “Ada pihak-pihak yang tidak senang sehingga membawa kasus ini ke PTUN. Namun Alhamdulillah kita menang,”ujarnya.

Zaini berharap masyarakat sipil yang diwakili oleh LSM lingkungan dapat memberikan kritik yang membangun, bukan kritik yang meminta semuanya dibongkar.

“Tentang Rawa Tripa sendiri sudah bagus, kami akan buat telaahan staf. Aksinya yang perlu sekarang. Banyak (lahan) yang diserobot sekarang, sayang sekali. Padahal kita hanya bekerja untuk rakyat,”ucapnya.

Zaini Abdullah berharap pertemuan antara aktivis lingkungan dan Pemerintah Aceh bukan hanya berlangsung hari ini saja tapi juga perlu bertemu lagi lain hari. “Jika perlu duduk lagi, silahkan beritahu kami,” kata Gubernur Aceh yang terpilih dari Partai Aceh tersebut.[]

read more
Kebijakan Lingkungan

Gubernur Aceh akan Berlakukan Moratorium Tambang

Gubernur Aceh Zaini Abdullah mengatakan akan memberlakukan moratorium pertambangan terutama bidang galian emas dan bijih besi yang merupakan komitmen pemerintah menjaga kelestarian lingkungan hidup.

“Untuk sementara kita akan melakukan moratorium tambang emas dan bijih besi,” kata gubernur seusai pertemuan dengan Dubes China untuk Indonesia Liu Jianchao di Banda Aceh, Kamis (9/1/2014).

Dubes China di Jakarta berkunjung ke Aceh untuk menjajaki informasi peluang investasi yang memungkinkan dilakukan para investor di negeri “tirai bambu” itu.

Zaini Abdullah mengatakan komitmen pemerintah menjaga lingkungan hidup dengan memberlakukan moratorium tambang bijih besi dan emas tersebut bertujuan agar bisa dimanfaatkan oleh generasi Aceh dimasa mendatang.

“Kita akan menyekolahkan anak-anak ke luar negeri untuk mendapatkan pendidikan yang baik dengan harapan ke depan mereka dapat mengolah hasil alam dengan baik saat kembali ke Aceh,” kata gubernur menambahkan.

Terkait dengan pertambangan emas yang dilakukan masyarakat, Zaini juga mengatakan prihatin disebabkan warga tidak melihat dampak negatif dari aksi itu seperti penggunaan bahan kimia berbahaya yakni merkuri.

“Kita juga akan meninjau dan mengatur kembali masalah itu, sebab masyarakat juga harus memahami dampak kerusakan lingkungan akibat menggunakan merkuri di penambangan emas tradisional,” kata dia menambahakan.

Saat ini, katanya Pemerintah Aceh sangat fokus melayani investor bidang pertanian, perikanan, peternakan, perkebunan serta geothermal (energi panas bumi) yang sangat kaya di antaranya terdapat di Seulawah, Aceh Besar, dan Aceh Tengah.

“Untuk membuktikan bahwa Aceh masih berpotensi di sektor-sektor tersebut maka sebaiknya saya berharap Dubes tinggal beberapa hari di Aceh, berkunjung ke Sabang, Aceh Tengah dan daerah lainnya untuk melihat investasi yang cocok untuk Aceh,” kata gubernur mengajak Dubes China itu.

Apalagi, Zaini menjelaskan keadaan di Aceh kini sangat kondusif bagi para investor untuk berinvestasi. Semua pihak di Aceh telah berkomitmen untuk merawat perdamaian itu dan bersama-sama membangun daerah dengan baik.

sumber: republika.co.id

read more