close

harimau

Ragam

Selidiki Gangguan Harimau Aceh Selatan, BKSDA Pasang Kamera Pemantau

Banda Aceh – Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh menyatakan masih mencari penyebab gangguan harimau sumatra (panthera tigris sumaterae) di kawasan Ladang Rimba, Kecamatan Trumon Tengah, Kabupaten Aceh Selatan.

“Kami masih mencari apa penyebabnya harimau tersebut keluar dari kawasan hutan hingga mendekati pemukiman penduduk di Aceh Selatan,” kata Kepala BKSDA Aceh Sapto Aji Prabowo di Banda Aceh, Rabu, (18/9/2019) seperti dilansir kantor berita Antara.

Gangguan harimau sumatra di Ladang Rimba, Trumon Tengah, terjadi Kamis (12/9/2019). Seekor sapi ternak warga ditemukan mati dengan kondisi tanpa badan. Sapi tersebut diduga dimangsa harimau sumatra.

Sapto Aji Prabowo mengatakan, pihaknya sudah mengirimkan pawang dari Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat, untuk membantu masyarakat dari sisi kearifan lokal.

Selain itu, tim BKSDA juga memasang sejumlah kamera pemantau guna memonitor gerak gerik harimau Sumatra tersebut. Serta berpatroli rutin di kawasan hutan lokasi gangguan harimau tersebut.

“Kami belum bisa memastikan penyebab gangguan harimau sumatra tersebut hingga saat ini. Kami terus mencari penyebabnya, mengapa harimau tersebut berada di kebun warga,” kata Sapto Aji Prabowo.

Kepala BKSDA Aceh itu mengatakan, ada beberapa kemungkinan mengapa harimau tersebut keluar dari kawasan hutan mencari mangsa. Kemungkinan pertama, harimau itu berjenis kelamin betina sedang melatih anaknya berburu.

“Kemungkinan kedua, membawa anaknya ke pinggir hutan menghindari serangan harimau jantan. Atau mungkin ada sebab lain. Inilah yang sedang kami cari,” ujar Sapto Aji Prabowo.

Terkait usulan menangkap harimau tersebut, Sapto Aji Prabowo menegaskan menangkap harimau malah akan mendatangkan masalah baru.

“Menangkap harimau tersebut merupakan langkah terakhir setelah diketahui apa penyebab satwa dilindungi tersebut memangsa ternak warga,” ungkap Sapto Aji Prabowo.

Ia mengimbau masyarakat untuk sementara waktu tidak ke kebun sendirian dan menghindari waktu lewat dari pukul lima petang berada di kebun.

“Kami juga mengimbau masyarakat tidak melepas ternak di kawasan hutan hingga diketahui penyebab gangguan harimau tersebut. Apalagi jarak lokasi gangguan sekitar dua kilometer dari pemukiman penduduk,” kata Sapto Aji Prabowo. []

Sumber: antaranews.com

read more
Flora FaunaKebijakan Lingkungan

Lima Ribuan Jerat Harimau Disita Tim Ranger di Hutan Leuser

Kondisi hutan di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) terus dirusak pelaku pembalakan liar dan perambahan. Jika hal ini tidak dicegah, nasib Harimau Sumatera berada di ambang kepunahan.

“Untuk harimau kalau tidak diselamatkan sekarang akan sangat berpotensi punah. Dulu di Aceh terkenal kearifan lokal dengan harimau, dulu harimau jadi kawan tapi sekarang banyak masyarakat yang menganggap harimau sebagai hama,” kata Database Manajer Forum Konservasi Leuser (FKL), Ibnu Hasyim, seperti dikutip dari detikcom, Selasa (13/11/2018).

Perburuan harimau yang terjadi di beberapa tempat di Aceh menyebabkan jumlah populasi raja rimba tersebut semakin berkurang. Selain diburu untuk dijual, perambahan hutan dan pembalakan liar juga membawa dampak terhadap keberadaan harimau. Menurut Ibnu, Kawasan Ekosistem Leuser menjadi salah satu habitat terbaik Harimau Sumatera. Hal itu karena hutan Leuser masih tergolong paling bagus di Sumatera.

Salah satu koridor Harimau Sumatera saat ini yaitu di KEL yang terletak di Nagan Raya, Aceh. Sepanjang 2018, tim patroli ranger FKL menemukan 172 jejak harimau yang terdiri dari tapak, cakaran, kotoran dan bekas makanannya. Selain itu, tim ranger juga menemukan sekitar 5 ribuan jerat berbagai ukuran. Ibnu menduga, jerat tersebut dipakai untuk menangkap harimau. Di salah satu lokasi juga terlihat adanya tulang-tulang berserakan yang diduga sebagai umpan untuk menangkap harimau.

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Sapto Aji Prabowo, mengatakan, di seluruh wilayah Aceh, populasi Harimau Sumatera diperkirakan sekitar 250 ekor.

Untuk saat ini, satwa yang dilindungi berdasarkan Undang-undang No.5/1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya paling banyak ditemukan di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).

 

 

read more
Flora Fauna

TFCA Sebut Harimau Sumatera Tinggal 400 Ekor

Lebih kurang 4.000 harimau diyakini yang masih hidup bebas di luar penangkaran namun, usaha untuk melindungi harimau mengalami hambatan karena ketidakpastian jumlah subspesies yang masih ada berkeliaran di alam bebas. Upaya untuk menyelamatkan harimau dari kepunahan mengalami peningkatan setelah para ahli ekologi menyampaikan, harimau yang masih hidup di alam liar tinggal enam jenis di dunia.

Beberapa waktu lalu, sebuah hasil penelitian inovatif mengungkapkan, jumlah subspesies yang masih berkeliaran di alam liar tinggal enam jenis, yaitu, Harimau Bengal, Harimau Amur, Harimau Cina Selatan, Harimau Sumatra, Harimau Indocina, dan Harimau Malaya. Peneliti menambahkan bahwa tiga subspesies lain yang pernah ada dipastikan telah punah.

Dr Shu-Jin Luo dari Peking University di Tiongkok, mengatakan, kurangnya konsensus mengenai jumlah subspesies harimau telah menghambat upaya global dalam memulihkan spesies harimau dari petaka kepunahan.

“Hal itu terjadi karena penangkaran dan intervensi lansekap populasi liar semakin membutuhkan penggambaran eksplisit atas unit pengelolaan konservasi. Penelitian ini adalah yang kali pertama mengungkap sejarah alam harimau dari perspektif genom utuh. Hasilnya memberikan bukti yang kuat mengenai asal usul alam dan evolusi dari spesies megafauna yang kharismatik ini,” jelas Dr Luo.

Dr Luo dan rekan-rekan memulai penelitian dengan mengumpulkan tiga bukti genetik yang sebelumnya telah mereka temukan melalui riset mengenai sejarah evolusi harimau dan struktur populasi menggunakan pendekatan genom utuh untuk melihat urutan DNA harimau lengkap.

Mereka juga mengimplementasikan metode skrinning untuk mencari bukti kelompok harimau yang berbeda yang telah mengalami seleksi alam untuk beradaptasi dan berkembang biak. Mereka pun menemukan bahwa harimau telah ada di dunia semenjak dua hingga tiga juta tahun lalu.

Namun, bukti gen harimau yang mereka gunakan untuk penelitian, memperlihatkan partisipan harimau tersebut baru ada di dunia sekitar 110.000 tahun silam ketika predator mengalami kendala dalam berpopulasi.

Keragaman genetiknya yang terbatas justru mengantarkan para peneliti menemukan bukti bahwa subspesies harimau masing-masing memiliki sejarah evolusi yang unik dengan melihat pola yang sangat terstruktur di seluruh kelompok.

“Temuan ini cukup unik untuk kelompok kucing besar. Populasi harimau tidak ada campuran dengan hewan lain, seperti misalnya jaguar, yang terbukti mengalami campuran populasi di seluruh benua,” tulis Yu-Chen Liu, Peneliti Utama Studi.

Dia menambahkan, subspesies harimau memiliki fitur yang berbeda. Harimau Amur memiliki tubuh yang besar dengan bulu oranye pucat, sedangkan harimau Sumatra di Kepulauan Sunda tubuhnya cenderung lebih kecil dengan bulu yang gelap dan tebal.

Berdasarkan Tropical Forest Conversation Action (TFCA) Sumatera, Harimau Sumatra adalah subspesies terakhir dari jenis harimau yang berpopulasi di Indonesia. Dua jenis harimau lainnya di Indonesia, Harimau Bali sudah punah semenjak tahun 1940-an dan Harimau Jawa sudah tidak lagi pernah terlihat semenjak tahun 1980-an. Jumlah Harimau Sumatra diperkirakan tinggal tersisa 400 ekor saja.

Dr Luo mengatakan bahwa sinyal seleksi terkuat yang mereka temukan ada pada harimau sumatra, yakni mengandung gen ADH 7 yang berhubungan dengan ukuran tubuh di seluruh wilayah genom.

Para peneliti berpendapat, ukuran tubuh Harimau Sumatra yang lebih kecil bisa jadi karena kebutuhan energinya tidak sebesar jenis harimau lainnya. Lingkungan hidup Harimau Sumatra dan mangsa yang lebih kecil, seperti babi hutan dan anak rusa, mempengaruhi ukuran dan energi harimau sumatra.

“Harima dari Rusia secara evolusi berbeda dengan yang berasal dari India. Bahkan, harimau dari Malaysia sama sekali berbeda dengan yang berasal dari Indonesia,” jelasnya.

Jenis asal-usul spesies Harimau Cina Selatan masih belum terselesaikan oleh para peneliti. Pasalnya, hanya ada satu harimau tersebut yang ada di penangkaran karena subspesies lainnya telah punah di alam liara.

Para peneliti berencana untuk mempelajari spesimen lama dengan pengetahuan yang mereka dapat dari seluruh daratan Tiongkok untuk mengungkap sejarah evolusi harimau yang masih hidup di dunia. Mereka juga mengambil informasi dari gen specimen, termasuk yang mewakili harimau Caspian, Jawa, dan Bali yang punah.

Sumber: Journal Current Biology

 

 

 

read more
Flora Fauna

Kepala BKSDA : Harimau Sumatera Terancam Punah di Aceh

BANDA ACEH – Populasi harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) di Provinsi Aceh berada pada level sangat rentan (critically endangered) ke level punah (extinct). Kondisi ini semakin diperparah dengan makin maraknya perburuan liar dan menyempitnya habitat.

Penghancuran hutan di Serambi Mekkah, khususnya di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) Aceh semakin tinggi. Padahal harimau secara alamiah membutuhkan wilayah jelajah antara 60 hingga 100 kilometer persegi.

Wilayah jelajah harimau yang semakin sempat inilah yang kemudian semakin memperparah ancaman kelestarian harimau di Tanah Rencong. Polulasi harimau terbanyak saat ini berada di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), termasuk di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).

Mirisnya, berdasarkan data dari Yayasan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), setiap bulannya kerusakan terus terjadi akibat adanya penghancuran hutan di KEL Aceh. Hutan yang awalnya seluas 2.255.577 hektar, pada Juni 2018 tersisa sekitar 1,8 juta hektar. Periode Januari – Juni 2018, luas tutupan hutan yang hilang diperkirakan seluas 3.290 hektar.

Belum lagi jeratan berbagai jenis juga sering ditemukan di kawasan hutan. Forum Konservasi Leuser (FKL) yang memiliki 24 tim ranger telah bertugas patroli di hutan 11 kabupaten. Selama semester pertama tahun 2018 ini sudah 139 kali patroli dilakukan dengan jangkauan patroli mencapai 7.834,44 kilometer.

Sejak periode Januari-Juni 2018, tim patroli FKL menemukan 389 kasus perburuan dan menemukan 25 orang pemburu. Pihaknya juga menyita 497 jerat yang telah dipasang di beberapa titik di hutan dalam KEL Aceh untuk memburu satwa landak, rusa, kijang, beruang, harimau, dan gajah. Selain itu, mereka turut menemukan sebanyak 25 kamp pemburu.

Selama semester satu tahun 2018, FKL menemukan 187 kasus satwa dari 497 perangkap yang ditemukan. Berdasarkan jenis satwa, burung ditemukan 41 ekor dengan jumlah jerat sebanyak 59 buah.

Lalu rusa, kijang dan kambing ada 65 ekor dengan jumlah jerat 179 buah. Landak sebanyak 68 hewan dengan jumlah perangkap sebanyak 224 jerat, gajah 9 hewan dan 9 jerat dan harimau dan beruang sebanyak 4 satwa dengan jumlah 6 perangkap.

Pada periode ini juga ditemukan sebanyak 61 satwa ditemukan mati akibat perburuan maupun mati alami. Pihaknya juga menemukan seekor harimau dan gajah mati akibat perburuan di KEL Aceh.

KEL juga tempat terakhir di bumi dimana Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), Harimau (Panthera tigris sumatrae), Gajah (Elephas maximus sumatraensis) dan Orangutan (Pongo abelii) berada bersama di alam bebas. Bila laju kerusakan terus meningkat, hewan yang dilindungi ini juga semakin terancam, baik akibat perburuan maupun kehilangan habitat sehingga terjadilah konflik satwa dengan manusia.

“Ancaman yang paling besar adalah pragmentasi habitat, karena habitat semakin berkurang, sehingga dia semakin sulit untuk berkembang biak, untuk mengeksistensi dirinya,” kata Kepala Balai Konservasi Lingkungan Alam (BKSDA) Aceh, Sapto Aji Prabowo.

Sapto menyebutkan saat ini yang tersisa harimau sebanyak 150-200 individu. Baik itu dalam TNGL maupun di hutan lainnya.

Secara nasional  dan sumatera populasi harimau di Aceh terbilang paling besar. Menurut Sapto, bila penghancuran hutan terus terjadi, perburuan semakin marak tanpa ada upaya penghentian, populasi harimau di Aceh akan terancam.

Harimau sering dijumpai di hutan berdataran rendah hingga pegunungan. Wilayah penyebaran pada ketinggian 0-2.000 mdpl. Meskipun tidak tertutup kemungkinan sampai ketinggian di atas 2.400 mdpl.

Namun tingginya kerusakan hutan di dataran rendah saat ini telah memaksa harimau bermigrasi ke pegunungan atau perbukitan, bahkan bisa saja masuk dalam perkebunan warga. Kondisi ini juga kemudian konflik satwa dengan manusia tak dapat dihindari, sehingga masyarakat beranggapan harimau tersebut dianggap hama.

“Kemudian terjadi konflik dan ini bisa mendorong kematian-kematian selanjutnya, kemudian dianggap hama oleh masyarakat,” tukasnya.

Menyangkut dengan perburuan, Sapto mengakui tidak semua jerat yang dipasang oleh pemburu untuk menangkap harimau. Tetapi ada jerat rusa, babi dan sejumlah jerat lainnya yang kemudian bisa mengancam keberadaan harimau.

“Memang tidak khusus ditujukan pada harimau ya, tetapi cukup mengancam harimau dan itu akan sangat mengancam kelestarian,” imbuhnya.

Menurut Sapto, masih maraknya perburuan satwa liar di Aceh tidak terlepas masih banyaknya orang mengoleksi satwa dilindungi. Masih tingginya permintaan dengan harga yang menggiurkan, telah memantik pemburu untuk berburu dan memperdagangkannya.

“Perdagangan yang masih sangat marak. penjualan kulit harimau dan bagian-bagian yang lain masih sangat tinggi, banyak kolektor-kolektor gila yang mengkoleksi itu, sehingga orang terus mencari dan menjual,” tukasnya.

Oleh karena itu, kata Sapto, upaya yang harus dilakukan adalah penegakan hukum dan menghukum pelaku sesuai dengan regulasi yang ada. Sehingga pelaku memiliki efek jera sehingga tidak ada lagi yang memburu satwa yang dilindungi tersebut.

Bila penegakan hukum tidak ditegakkan. Sapto pesimis bisa melindungi satwa liar, terutama harimau yang semakin kritis populasinya. Penegakan hukum cukup berperan untuk melestarikan satwa dilindungi di Aceh.

Kata Sapto, perdagangan satwa liar yang dilindungi saat ini tertinggi dari Aceh. Ini butuh ada penindakan yang tegas untuk memerangi perburuannya.

“Selain itu harus ada sosialisasi kepada masyarakat pentingnya konservasi satwa liar yang dilindungi itu,” ungkapnya.

Deforestasi hutan dan perburuan yang masih marak telah menyumbang besar ancaman kepunahan harimau. Bagaimana pun hutan itu habitat utama dari harimau itu sendiri. Ketika habitat rusak karena ada konversi, otomatis akan mengancam kelestarian harimau tersebut.

read more
Hutan

Save Sumatra Tiger Save Leuser Forest

Occupying only 1.3% of the world’s land surface, Indonesia is one of the world’s wealthiest nations regarding its biodiversity. Similarly, Aceh is also one of the enriched biodiversity province not only Sumatra but also Indonesia. Aceh province still has relatively entire remaining forest areas, the bulk of which lie within the Leuser Ecosystem, a 2.6 million hectare area of forest which dominates the core inland and upland areas of Aceh. Scientists and conservationists consider the Leuser Ecosystem to be among the most critical woods left in Southeast Asia, mainly because it is the last place of sufficient size and quality to support viable populations of rare species like Sumatran tigers, orangutans, rhinos, elephants, clouded leopards and sun bears. At least 105 mammal species, 382 bird species, and 95 reptile and amphibian species, including clouded leopards, hornbills and the enormous flowers in the world, can be found in the teeming forests of the Leuser Ecosystem. Formerly known as the “Emerald Island,” Sumatra’s once lush forest landscapes are now mostly gone, destroyed by decades of industrial encroachment. The Leuser Ecosystem is genuinely the last stand for survival for many treasured and iconic wildlife species. These ecosystem services are also recognized as essential for sustaining food and water security, by regulating water flows in both the monsoon and drought seasons, to irrigate rice fields and other cash crops, such as palm oil.

However, Tiger, symbol of the beast and beauty, is a threatened species worldwide. Recent estimate shows that tigers only occupy 7% of their historic Asian range and about 4000 are left in the wild (Dinerstein et al. 2007). Tiger stands at the top of the food pyramid and thus requires large areas to support its viable populations which in turn help to protect wide array of biodiversity that shares their habitat. Loss of tiger, therefore, may reduce ecosystem integrity through disrupting food web and consequently erode ecosystems’ natural ability to adapt to changing environmental conditions. Similarly, the Sumatran tiger (Panthera tigris sumatrae) is a tiger population that lives on the Indonesian island of Sumatra. It was listed as Critically Endangered on the IUCN Red List in 2008, as the population was estimated at 441 to 679 individuals, with no subpopulation larger than 50 individuals and a declining trend.

The Sumatran tiger is the only surviving population of the Sund Island’ group of tigers that included the now extinct Bali and Javan tigers. Sequences from complete mitochondrial genes of 34 tigers support the hypothesis that Sumatran tigers are diagnostically distinct from mainland subspecies. The Sumatran tiger is one of the smallest tigers, and about the size of big leopards and jaguars. Charles Frederick Partington, a scientist, wrote that Sumatran and Javan tigers were strong enough to break legs of horses or buffaloes with their paws, even though they were not as heavy as Bengal tigers. Sumatran tiger’s skull, pelage, and striping features are distinct from the Bengal and Javan tigers. It is darker in fur color and has broader stripes than the Javan tiger. Strips tend to dissolve into spots near their ends, and on the back, flanks and hind legs are lines of small, dark, small spots between regular stripes. The frequency of strips is higher than in other subspecies. Males have a prominent ruff, which is primarily marked in the Sumatran tiger.

Tigers need large contiguous forest blocks to thrive. Sumatran tigers strongly prefer uncultivated forest and make little use of plantations of acacia and oil palm even if these are available. Within natural forest areas, they tend to use areas with higher elevation, lower annual rainfall, farther from forest edge, and closer to forest centers. They prefer forest with dense understory cover and steep slope, and they actively avoid forest areas with high human influence in the forms of encroachment and settlement. Major threats include habitat loss of tiger due to expansion of palm oil plantations and planting of acacia plantations, prey-base depletion, and illegal trade primarily for the domestic market.

Moreover, Sumatran tigers persist in isolated populations across Sumatra. They occupy a wide array of habitats, ranging from sea level in the coastal lowland forest of Bukit Barisan Selatan National Park on the southeastern tip of Lampung Province to 3,200 m (10,500 ft) in mountain forests of Gunung Leuser National Park in Aceh Province. They have repeatedly been photographed at 2,600 m (8,500 ft) in a rugged region of northern Sumatra, and are present in 27 habitat patches larger than 250 km2 (97 sq mi). In 1978, the Sumatran tiger population was estimated at 1,000 individuals based on responses to a questionnaire survey. In 1985, a total of 26 protected areas across Sumatra containing about 800 tigers were identified. In 1992, an estimated 400–500 tigers lived in five national parks and two protected areas.

The presence of tigers in the forest is an indicator of the well being of the ecosystem. The extinction of this top predator is an indication that its ecosystem is not sufficiently protected, and neither would it exist for long after that. Healthy tiger habitats help mitigate climate change, provide fresh water to animals and people, reduce the impact of natural disasters, and improve the health of local people. Therefore, Sumatra tiger not only protects our ecological balance but also it protects Leuser Ecosystem as well other Sumatra forest from illegal cutting of trees, other wildlife, and living organism. Lastly, it has been said that to preserve our biodiversity conserve tiger from all possible threats and make our earth sound. []

Writer is a Bangladesh student who join Darmasiswa program at at Syiah Kuala University

read more
Flora FaunaHutan

Dua Kali Lolos, Penjerat Harimau Sumatera Diringkus

dua-kali-lolos-penjerat-harimau-sumatera-diringkus
penjerat harimau sumatera diringkus. ©2017 merdeka.com/yan muhardiansyah

Populasi harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) di alam liar dipastikan terus berkurang dan terancam. Seekor lagi satwa dilindungi itu dijerat dan dibunuh kemudian dijual pemburunya.

Penjualan jasad harimau sumatera itu dibongkar Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC) Brigade Macan Tutul Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Sumatera dan Polisi Hutan Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BB TNGL). Mereka meringkus seorang pemburu saat menjual bangkai harimau yang berhasil dijeratnya.

“Pelaku berinisial I alias M (59), warga Desa Sei Serdang, Batang Serangan, Langkat, Sumut. Dia sehari-hari bekerja sebagai pemanen buah kelapa sawit pada salah satu perusahaan perkebunan,” kata Kepala Balai Gakkum KLHK Sumatera Halasan Tulus, Senin (28/8).

IM mengaku memasang jerat di pinggir areal TNGL. Dia mengetahui di sekitar lokasi itu ada harimau yang sering melintas karena sering menemukan jejaknya.

Setelah 7 hari memasang jerat, serkor harimau terperangkap kemudian mati. IM menghubungi seseorang berinisial S untuk menjualnya.

Ketika transaksi berlangsung, IM langsung ditangkap di Desa Sei Serdang, Minggy (27/8). “Kita menyita barang bukti satu ekor harimau berjenis kelamin betina dalam keadaan mati,” jelas Halasan.

Harimau betina yang terjerat diperkirakan berusia 13 tahun. Panjangnya 195 cm dan tinggi 85 cm.

Bangkai harimau beserta pelaku kemudian dibawa ke markas SPORC Brigade Macan Tutul Balai Gakkum KLHK Sumatera di Mariendal. IM mengaku bukan baru kali ini menjerat harimau. Sebelumnya laki-laki ini sudah dua kali berhasil menjerat satwa langka itu kemudian menjualnya. Dia baru tertangkap saat aksi ketiga.

IM dijerat dengan Pasal 40 ayat (2) jo Pasal 21 ayat (2) huruf b UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya jo PP Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Dia terancam pidana penjara maksimal 5 tahun dan denda paling banyak Rp100 juta.

Saat ini, IM telah dibawa ke kantor BBTNGL di Jalan Selamat, Medan. Dia masih menjalani pemeriksaan untuk mendalami dugaan adanya pelaku lain yang terlibat dalam perburuan dan jual beli satwa dilindungi itu.

Perburuan terhadap harimau sumatera terus mengancam keberadaan satwa itu di alam liar. Padahal populasinya saat ini dalam status kritis. Diperkirakan hanya tersisa 300-an ekor yang hidup di habitat aslinya di Sumatera. [merdeka/acl]

read more
Flora Fauna

Aktivis Aceh Serukan Hentikan Perburuan Hariman

Banda Aceh – Sekitar 50 orang dari lintas komunitas dan LSM di Banda Aceh menyerukan penyelamatan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) yang terus diburu dan diperdagangkan. Mereka mengajak masyarakat untuk berani melapor ke aparat penegak hukum jika melihat kasus perburuan dan jual beli harimau baik dalam keadaan hidup atau mati.

Aksi ini dibuat dalam rangka peringatan Hari Harimau Sedunia yang jatuh pada tanggal 29 Juli 2016. Aksi ini dibuat oleh Gerakan Earth Hour Aceh dan Forum Kolaboraksi Komunitas didukung oleh WWF Indonesia, Forum Harimau Kita, Fauna dan Flora Internasional dan Forum Konservasi Leuser.

Mereka berkumpul di depan Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Para peserta melakukan aksi berburu cap jempol dari masyarakat kota Banda Aceh untuk mendukung penghentian perburuan dan perdagangan harimau. Cap jempol dengan warna dan motif seperti kulit harimau ditempelkan di kain sepanjang 5 meter.

“Kain dengan cap jempol warga Banda Aceh ini akan dikirim ke Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya di Banda Aceh. Kita akan meminta pemerintah Indonesia serius memerangi perburuan dan perdagangan harimau dengan melakukan memberi hukuman yang berat bagi para pelaku kejahatan,” kata Cut Ervida, Koordinator Aksi dari Gerakan Earth Hour Aceh.

Menurut Cut Ervida, setiap tahun kasus-kasus perburuan dan jual beli harimau meningkat. Perlu kerjasama dari aparat dan masyarakat untuk bisa mencegah kasus-kasus serupa ke depan.

“Kita semua harus melawan upaya-upaya perburuan dan perdagangan harimau demi menyelamatkan harimau sumatera yang jumlahnya sudah sangat sedikit di alam,” kata Cut.

Cut Ervida mengatakan, dari 6 spesies harimau yang tersisa di dunia, harimau Sumatera nasibnya paling tragis karena populasinya menurun sangat cepat. Diperkirakan hanya ada 400 ekor harimau di seluruh pulau Sumatera. Setiap tahun polisi menangkap barang bukti kulit harimau dan tulang-tulang yang akan diperdagangkan.  Sementara modus jual beli harimau hidup juga terpantau di internet.

Kampanye kreatif untuk penyelamatan harimau sumatera ini bertema #ThumbsUpForTiger, dimana mereka akan memberikan dukungan berupa cap 2 jempol tangan sebagai simbol double tigers yang artinya melipatkan gandakan populasi harimau 2X lipat.  Para peserta melukis wajah seperti harimau, mengusung poster, spanduk melakukan orasi, membaca puisi dan aksi flashmob untuk menarik perhatian masyarakat. [rel]

read more
Kebijakan Lingkungan

BKSDA & Polda Aceh Teken MoU Pidana Lingkungan

Balai Konservasi Sumber Daya Alam Aceh (BKSDA) dan Polda Aceh, hari ini menandatangani nota kesepahaman bersama atau Memorandum of Understanding (MoU) di Hotel Grand Aceh Banda Aceh. Pihak BKSDA langsung dihadiri oleh kepalanya yaitu Genman Hasibuan, S.Hut, MM, sementara dari Polda Aceh diwakili oleh Direktur Reserse Kriminal Khusus, Kombes Drs. Joko Irwanto, M.Si. Isi Mou ini menyangkut Standar Operating Procedure (SOP) Penanganan Awal Terpadu Tindak Pidana terhadap Tumbuhan dan Satwa Liar yang dilindungi di Propinsi Aceh.

Ketika memberikan sambutan, Kombes Drs. Joko Irwanto, M.Si menyatakan bahwa begitu banyak spesies satwa dan tumbuhan liar yang dilindungi terdapat di Aceh. “Ada 300 fauna, belum lagi flora yang harus dilindungi, yang polisi sendiri tidak hafal semuanya,”katanya. Menurutnya, flora dan fauna tersebut merupakan amanah dari Allah SWT untuk dilestarikan dan dijaga dengan baik. “Jangan kayak harimau Jawa yang sudah punah, apa kita mau Harimau Sumatera bernasib serupa,”tambahnya.

Pada beberapa waktu lalu Polda Aceh juga telah meluncurkan SMS Centre pengaduan untuk tindak pidana perusakan lingkungan. Bagi masyarakat yang mengetahui terjadinya tindak pidana lingkungan dapat melaporkan ke nomor 0811 677 1010. Pelapor akan dirahasiakan identitasnya dan tidak diminta menjadi saksi kasus.

Kekayaan Aceh

Aceh  merupakan  satu‐satunya  provinsi  yang  masih  secara  lengkap  menyimpan  kekayaan  spesies  satwa seperti  Gajah   Sumatera   (Elephas   Maximus),   Orangutan   Sumatra   (Pongo   Abelii),   Harimau   Sumatera (Panthera tigris sumatraenus)  dan Badak Sumatra (Dicerorhinus  Sumatrensis).  Keberadaan  berbagai satwa liar yang dilindungi ini sangat penting dan esensial bagi terciptanya keanekaragaman  hayati (biodiversitas) untuk menjaga keseimbangan ekosistem, menuju kelestariannya.

Secara  umum,  Undang‐undang  Nomor  5 Tahun  1990 tentang  Konservasi  Sumber  Daya Alam Hayati  dan Ekosistemnya  (KSDAHE)  telah memandatkan  untuk melestarikan  sumber daya alam ini untuk mendukung  kesejahteraan   dan  meningkatkan   mutu  kehidupan  manusia,   melalui  perlindungan   system  penyangga  kehidupan,  pengawetan  keragaman  jenis flora dan fauna beserta ekosistemnya  dan pemanfaatan  secara lestari. Terciptanya penegakkan hukum terpadu yang konsisten adalah semata untuk melaksanakan amanat peraturan dan perundang‐undangan  ini.

Dalam kerangka upaya terciptanya penegakan hukum secara terpadu, pihak Kapolri, Kejaksaan Agung dan Menteri Negara Lingkungan  Hidup pada tahun 2011 telah menandatangani  Kesepakatan  Bersama Nomor: 11/MENLH/07/2011, Nomor  B/20/VII/2011, Nomor: KEP‐156/A/JA/07/2011 tentang Penegakan Hukum Lingkungan  Hidup Terpadu yang bertujuan  untuk meningkatkan  keterpaduan  dan optimalisasi  penegakan hukum  lingkungan  hidup antara Kementerian  Lingkungan  Hidup.  Strategi  yang disepakati  oleh Kepolisian Negara  Republik   Indonesia   dan  Kejaksaan   Republik  Indonesia  adalah   kerjasama   melalui   koordinasi, harmonisasi    pemaknaan hukum/ persamaan    persepsi   dalam  menghadapi  kasus   lingkungan    hidup, peningkatan kapasitas dan kompetensi, pertukaran data dan informasi serta pembentukan  Tim Penegakan Hukum Lingkungan Hidup Terpadu.

Di Aceh, dengan dukungan pihak LSM, telah terbentuk forum Gakkumdu yang terdiri dari pihak Polda Aceh, berbagai dinas di lingkungan Pemerintah  Daerah Aceh, Kejaksaan Tinggi dan Pengadilan Tinggi Aceh telah beberapa  kali  melakukan  pertemuan  rutin  di  Banda  Aceh.  Wadah  bersama  ini  berjalan  sebagai  sarana diskusi untuk pengkinian  dan tukar‐menukar  informasi serta pengetahuan  antar pihak, khususnya dengan pihak Kejaksaan maupun dengan dinas‐dinas terkait lainnya yang memiliki anggota dengan fungsi  sebagai PPNS. Di tahun 2015 ini, melalui skema pendanaan TFCA‐Sumatera,  LSGK melanjutkan dukungan terhadap proses penegakkan hukum terpadu yang efektif dan efisien ini, demi mendukung terciptanya keterpaduan kerjasama para pihak yang bertanggung jawab pada proses penegakan hukum di wilayah Aceh.

SOP ini  sebagai  pedoman  bagi hubungan  tata cara kerja (HTCK) yang lebih baik antar instansi  penegak  hukum  terkait  di Aceh,  khususnya  pihak  PPNS  BKSDA  Aceh  dan  Penyidik  Polri.  Panduan  tertulis  untuk  penanganan  awal Tindak Pidana terhadap Tumbuhan dan Satwa Liar (TPTSL) yang dilindungi di Provinsi Aceh diharapkan akan dapat menjadi  pedoman  bagi para penyidik  tersebut.  Penyusunan  Nota Kesepahaman  Bersama  dan SOP TPTSL dilaksanakan oleh Tim Pokja dilakukan sejak bulan Oktober tahun 2015. Tim Pokja penyusunan terdiri dari penyidik dari Ditreskrimsus Polda Aceh, Direktorat Bidang Hukum Polda Aceh, Direktorat Binmas Polda Aceh, PPNS dan tenaga ahli BKSDA Aceh, FFI Banda Aceh, LSGK, LBH Banda Aceh dan ACCI.

Pada  tanggal  18  Januari  2016,  Tim  Pokja  dimaksud  telah  menyelesaikan   draft  Naskah  Kesepahaman Bersama dan SOP TPTSL yang menghasilkan  draft final yang akan ditandatangani.  Berdasarkan  pertemuan tersebut,  BKSDA  Aceh  dan  Ditreskrimsus  Polda  Aceh  menyepakati  pelaksanaan  Penandatanganan   dan sekaligus  Sosialisasi   Nota  Kesepahaman   Bersama  dan  SOP  TPTSL  di  Provinsi  Aceh  tersebut  ke  para stakeholder pemerintahan Provinsi Aceh, penggiat lingkungan hidup dan kalangan media.[rel]

read more
1 2 3
Page 1 of 3