close

hutan

Hutan

Bank Dunia Sebut Kebakaran Hutan Sebabkan Penurunan Ekonomi

Jakarta – Kebakaran hutan yang melanda seluruh Indonesia membuat ekonomi Indonesia terpuruk. Indonesia disebut merugi hingga 5,2 miliar dolar Amerika Serikat (AS) atau sekitar Rp 72,95 triliun (nilai tukar rupiah 14 ribu per dolar AS).

Hal itu dikatakan dalam laporan terbaru Bank Dunia yang dirilis Rabu (11/12/2019). Laporan terbaru belum termasuk dampak kesehatan dari kabut asap yang menyebabkan kualitas udara menurun drastis.

Kebakaran tersebut menimbulkan asap tebal di delapan provinsi di antaranya, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Riau, Kalimantan Barat, Jambi, Kalimantan Timur, dan Papua.

Bank Dunia mengatakan, perekonomian Indonesia tercatat merugi mencapai sekitar 5,2 miliar dolar AS setara dengan sekitar 0,5 persen dari produk domestik bruto (PDB). Angka itu termasuk 157 juta dalam kerusakan langsung, dan lima miliar dolar AS dari kerugian di sektor pertanian, industri, perdagangan, pariwisata, transportasi, dan lingkungan.

“Sektor pertanian dan lingkungan membuat lebih dari setengah dari perkiraan kerugian, karena kebakaran merusak tanaman perkebunan yang berharga dan melepaskan emisi gas rumah kaca yang signifikan ke atmosfer,” kata Bank Dunia dalam laporan Triwulanan Perekonomian Indonesia dilansir Channel News Agency, Rabu (11/12/2019).

Banyak kebakaran terjadi di lahan gambut yang berawa dan kaya karbon yang mudah terbakar ketika kurang air. Kebakaran tahun 2019 di Indonesia diperkirakan telah menghasilkan hampir dua kali lipat emisi yang disebabkan oleh nyala api di Amazon Brasil tahun ini.

“Perkiraan biaya Bank Dunia tidak termasuk efek jangka panjang dari paparan asap berulang, penyakit pernapasan akut, atau kehilangan waktu sekolah setelah siswa dan guru disarankan untuk tinggal di rumah, tambah pernyataan Bang Dunia.

Kebakaran tidak hanya melalap hutan dan lahan namun juga membuat masyarakat menderita penyakit pernafasan. Setidaknya, terdapat 900 ribu penduduk yang mengalami masalah kesehatan pernapasan, 12 bandara nasional mengalami gangguan operasional.

PBB telah memperingatkan bahwa kebakaran hutan Indonesia menempatkan hampir 10 juta anak dalam bahaya. Pasalnya, mereka melepaskan sejumlah besar gas rumah kaca yang berkontribusi terhadap pemanasan global.

Sumber: republika

read more
Tajuk Lingkungan

Kebakaran Hutan dan Ancaman Masa Depan Generasi

Indonesia kini berada dalam keadaan darurat lingkungan. Ribuan hektare hutan yang terbakar telah melepaskan asap beracun ke atmosfer. Hal ini terlihat dari langit merah gelap, jalanan sepi, dan banyak orang menutupi hidung dengan masker.

Kebakaran hutan dan lahan melepaskan karbon ke atmosfer dalam jumlah besar. Ketika kebakaran besar juga terjadi pada tahun 2015, gas rumah kaca yang dihasilkan oleh Indonesia saat itu lebih daripada yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat (AS). Tidak hanya itu, keberadaan orangutan dan satwa liar lainnya juga terancam.

Lalu, apa dampaknya bagi manusia? Siapa saja yang berisiko terkena dampak, dan bagaimana mereka terkena dampak?

Kebakaran liar dan kabut asap sering terjadi di Indonesia. Petani kecil yang menggunakan cara tradisional menggunakan api kecil dan terkontrol untuk membuka lahan dan menanam tanaman. Namun, api-api itu kian membesar dan makin tidak terkendalikan.

Hal ini sebagian dikarenakan areal lahan untuk produksi komersial terus meningkat. Penebangan terus terjadi di areal lahan gambut yang kaya karbon di Pulau Sumatra dan Kalimantan untuk perkebunan baru, terutama kelapa sawit.

Persoalan kepemilikan lahan juga menimbulkan konflik antara komunitas lokal dengan perusahaan perkebunan; di sini kebakaran lahan dijadikan senjata untuk memberikan tekanan. Kondisi ini diperparah oleh fenomena cuaca El Nino yang dalam beberapa tahun telah menyebabkan kondisi yang sangat kering. Apa risikonya?

Sejauh ini, lebih dari 35.000 kebakaran telah terdeteksi pada tahun 2019 di Indonesia. Menurut Indeks Kualitas Udara (AQI), tingkat polusi udara sudah mencapai level “berbahaya”.

Kebakaran tahun ini memang merupakan yang terburuk sejak 2015. Kala itu, lebih dari 2,5 juta hektare lahan terbakar dan Indonesia mengalami kerugian 16 miliar dolar AS. Angka ini jauh lebih besar daripada biaya rekonstruksi akibat tsunami di Aceh tahun 2004.

Paparan dari kebakaran hutan dan asap beracun secara berkala juga bisa menyebabkan dampak jangka pendek dan panjang bagi manusia.

Asap yang dihasilkan dari membakar kayu dan vegetasi mengandung banyak partikel yang sangat halus, terlalu kecil untuk dilihat oleh mata manusia. Partikel-partikel ini dapat dengan mudah masuk ke paru-paru dan organ lain atau aliran darah.

Untuk melihat dampak paparan polusi jangka panjang, kita bisa melihat efek dari kebakaran hutan dan lahan pada akhir tahun 1997, yang membakar lebih dari 5 juta hektare lahan dan mengirimkan awan polusi besar ke seluruh Asia Tenggara.

Sebelum 2015, ini adalah kebakaran terbesar di Indonesia.

Berbagai peneliti telah menganalisis data dari survei populasi yang dilakukan selama dan setelah kebakaran dan menemukan bahwa asap yang dihasilkan oleh kebakaran tersebut membahayakan kesehatan orang dewasa dan tingkat kelangsungan hidup anak pada saat itu.

Hasil penelitian menunjukkan penurunan kesehatan dan pencapaian pendidikan dalam jangka panjang bagi anak-anak.

Sebagai contoh, satu penelitian menemukan bahwa paparan asap beracun mengakibatkan memburuknya fungsi fisik tubuh secara signifikan. Efek ini terutama berdampak jangka panjang bagi perempuan berusia 30-55 tahun dan manula.

Penelitian lainnya menemukan bahwa udara, tanah, dan makanan yang terkontaminasi asap berakibat buruk bagi kesehatan sebelum dan sesudah kelahiran.

Racun yang terhisap oleh ibu hamil akan menganggu kesehatan, nutrisi dan aliran oksigen ke janin.

Satu studi menemukan bahwa paparan terhadap kebakaran hutan Indonesia akhir 1997 menyebabkan lebih dari 15.600 kematian anak, bayi, dan janin atau penurunan 1,2 poin persentase dalam kelangsungan hidup kelompok yang terpapar. Masyarakat berpenghasilan rendah terkena dampak terburuk.

Nutrisi dan kesehatan anak juga secara langsung terganggu akibat menghirup kandungan beracun atau saat menelan makanan mentah yang terkontaminasi.

Dan, kurangnya perawatan dari anggota keluarga dewasa yang juga tidak sehat berpengaruh terhadap kondisi anak.

Penelitian saya yang dipublikasikan pada 2019 relevan untuk isu ini.

Saya mengamati perkembangan anak berusia 12-36 bulan yang tinggal di pulau Sumatra dan Kalimantan yang terkena dampak selama kebakaran tahun 1997.

Kemudian, saya membandingkan dengan kelompok anak dengan usia sama yang tinggal di daerah-daerah yang tidak terkena kebakaran.

Saya menemukan bahwa paparan terhadap kebakaran memperlambat tingkat pertumbuhan hingga satu milimeter per bulan dalam periode tiga bulan antara paparan pertama hingga kebakaran hutan dan lahan pada September 1997, dan pengukuran terakhir pada bulan Desember.

Terdengar sepele? Perlu diingat bahwa pertumbuhan anak seharusnya mencapai satu sentimeter per bulan. Berdasarkan studi yang saya lakukan, anak-anak tersebut kehilangan sepersepuluh tingkat perkembangan.

Kabut asap tahun 1997 berlangsung hanya beberapa bulan. Tetapi, beberapa bulan adalah waktu yang panjang bagi balita.

Dan, untuk kelompok umur yang saya pelajari, kebakaran terjadi pada periode kritis di mana perkembangan otak sangat sensitif terhadap asupan gizi.

Kondisi ini berdampak penting saat anak-anak tersebut mencapai usia sekolah.

Rata-rata mereka akan tertunda masuk sekolah dasar hingga enam bulan dan mendapatkan pendidikan satu tahun lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok yang tidak terkena kebakaran.

Belum jelas apakah kebakaran hutan dan lahan tahun 2019 akan mencapai skala bencana yang terlihat pada tahun 1997 atau 2015.

Tetapi, semua studi ini menyiratkan bahwa paparan terhadap kebakaran hutan menimbulkan risiko nyata bagi kesejahteraan manusia.

Generasi anak-anak Indonesia sebelumnya membayar telah membayar mahal – jika kita ingin memastikan bahwa anak-anak masa kini tidak mengalami masalah yang sama, maka tindakan perlu diambil untuk melindungi mereka yang paling rentan.

Fahri Nur Muharom menerjemahkan artikel ini dari Bahasa Inggris.

Sumber: http://theconversation.com

read more
Hutan

Mencari Solusi Hutan Adat Aceh

Ilyas, Imum Mukim Beungga di Kabupaten Pidie, Aceh, merasa bingung dengan nasib hutan adat di wilayah kemukimannya yang tak kunjung ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) atau pemerintah pusat. Dirinya mengaku tidak tahu apa yang menjadi kendala sehingga hutan di wilayah adatnya tak kunjung ditetapkan.

“Karena sesuai prosedural sudah kita ikuti. Semua regulasinya telah kita serahkan. Bahkan tim dari KLHK sudah turun melakukan verifikasi awal hutan adat Mukim Beungga pada 8 Maret 2017 lalu,” ujar Ilyas pada Focus Group Discussion (FGD) bertema “Mengapa belum ada penetapan hutan adat di Aceh”, Banda Aceh, Rabu (11/9/2019) sebagaimana dilansir Acehkini.com.

Di hadapan peserta FGD, Ilyas mengungkap kronologi terkait rencana penetapan hutan adat di wilayah komunitas adatnya. “Berawal dari sebuah pertemuan pada 2007 lalu. Setelah itu kami semakin serius membahas penyelamat wilayah adat dari bencana ekologis,” sebutnya.

Dirinya punya keyakinan kuat untuk memperjuangkan nasib hutan adat di wilayahnya seiring adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa hutan adat berada di wilayah adat dan bukan di kawasan hutan negara.

“Apapun yang kami lakukan demi masyarakat. Kami tidak akan merubah fungsi hutan, bahkan akan melakukan penjagaan hutan secara lebih ketat lagi. Dengan ada penetapan hutan adat mudah-mudahan kami dari perangkat adat bisa mencegah dan melarang pembalakan hutan secara aturan adat demi menyelamatkan hutan termasuk menyelamatkan sumber air dan mencegah erosi,” ungkap Kepala Pemerintahan Adat di Kemukiman Beungga itu.

Selama tiga tahun terakhir, Ilyas mengaku sudah beberapa kali menghadiri pertemuan dengan tim KLHK di Jakarta. “Di Beungga telah 3 tahun lamanya kami mengurus hutan adat, tapi sampai sekarang belum ada penetapan dari Kementerian LHK atau dari pemerintah Republik Indonesia,” sebutnya.

Di Mukim Beungga sendiri, ada sekitar 19.988 hektare yang diajukan untuk ditetapkan sebagai hutan adat. Pihak KLHK disebutkan berdalih hutan adat di Aceh umum tumpang tindih dengan konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI).

“Jadi mereka bilang hutan adat di Kabupaten Pidie atau di Aceh umumnya tumpang tindih dengan konsesi HTI. Tapi setelah kami verifikasi ulang, ternyata di Beungga tidak semuanya kena klaim masuk HTI,” kata Ilyas.
Usai dinyatakan karena tumpang tindih dengan konsesi HTI, pihaknya kembali mendatangi KLHK. Mereka meminta untuk ditetapkan saja terlebih dahulu yang diluar klaim HTI seluas 5.390 hektare kalau memang tidak boleh ditetapkan seluruh area yang telah diusulkan.

“Kalau tidak boleh ditetapkan semuanya, ya tetapkanlah dulu yang non-HTI-nya. Itu yang kami tunggu sampai sekarang,” tutur Ilyas.

Bahkan pada 27 Juni 2019 beberapa Imum Mukim di Aceh langsung datang ke KLHK untuk mempertanyakan kembali. “Kata mereka (KLHK) Pidie sudah masuk peta indikatif, cuma disuruh lengkapi peta penambahan untuk 3 mukim di Kabupaten Pidie. Tapi sampai hari ini peta ini belum kami terima dari Pemda Pidie. Itu kendala,” ujarnya.

Ilyas menceritakan saat menghadiri pertemuan dengan tim KLHK di Jakarta, seakan mereka akan segera mendapat penetapan terhadap hutan adat yang diusulkan. “Hari ini kita bicarakan, jawabannya seolah-olah besok atau lusa sudah turun penetapannya. Tapi sampai sekarang belum ada apa-apanya,” ucapnya.

Menurutnya, kalau memang tidak boleh ditetapkan, sudah seharusnya tidak dilakukan penetapan. Sehingga pihaknya pun tidak harus bolak-balik ke Jakarta. “Tapi ini diberikan harapan-harapan yang serius. Sehingga kita menggantungkan harapan,” ketus Ilyas.

Karena dirinya mengaku tidak tahu harus memberi jawaban kepada masyarakat di mukimnya saat pulang dari pertemuan demi pertemuan di Jakarta. Dimana masyarakat selalu ingin mendapat perkembangan dari setiap tahapannya. “Paling saya bisa jawab, tunggulah beberapa hari lagi. Tapi nyatanya sampai sekarang belum ada penetapannya, entah dimana tertahan,” sebut Ilyas.

Sementara itu, Sekretaris Pelaksana Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh, Zulfikar Arma menyampaikan bahwa pada Rapat Koordinasi Nasional Hutan Aceh tahun 2018 lalu, Pemerintah Aceh mengusulkan 13 mukim di Aceh untuk mendapatkan status hutan adat.

Ia menyebutkan, hutan adat Aceh yang diusulkan kepada Menteri LHK dengan total luas 145.250,24 hektare yang tersebar di empat kabupaten, meliputi Pidie, Aceh Besar, Aceh Jaya, dan Aceh Barat. Terdiri atas 144.497,27 hektare berada dalam kawasan hutan dan 752,95 hektare di luar kawasan hutan.

“Usulan hutan adat untuk mukim Beungga, Kunyet dan Paloh mulai dari 2006. Kemudian di tiap tahunnya ada beberapa kali pertemuan kita lakukan dengan pemerintah kabupaten dan pemerintah pusat berada di Direktorat PKTHA,” ujar Zulfikar.

Zulfikar menambahkan, kemudian di tahun 2017 sempat ada surat perintah dari KLHK kepada Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) wilayah Sumatera juga sempat melakukan verifikasi. “Sebenarnya jauh sebelumnya sudah dilakukan verifikasi. Bahwa ini punya persyaratan yang lengkap, tapi sampai sekarang belum ada tanda-tanda niat baik dari pemerintah pusat untuk melakukan penetapan soal hutan adatnya sendiri,” sebutnya.

Kepala Bidang Planologi Kehutanan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh, Win Rima Putra, menyebutkan dalam regulasi penetapan hutan adat ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi. “Pemerintah sebenarnya konsen terhadap hutan adat. Cuma mungkin selama ini formula belum kita temukan,” ujarnya.

Menurutnya, perlu duduk bersama semua komponen untuk membuat formulanya supaya apa yang diperjuangkan bisa berhasil. “Bagaimana kita mendorong apa yang kita usul ini, bisa beberapa waktu ke depan ini dengan segala hierarki kita tempuh, bisa kita tetapkan sebagai hutan adat,” tutur Win.[]

Sumber: acehkini.com

read more
Flora Fauna

PT Mopoli Raya Serahkan 1.400 hektar untuk Lahan Konservasi

Sebuah perusahaan perkebunan sawit di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) telah membuat komitmen positif untuk mengalokasikan hutan yang masih utuh dari lahan yang dimilikinya untuk konservasi. Perusahaan sawit ini sebelumnya telah dikeluarkan dari rantai pasok global terkait aktivitasnya yang kontroversial dalam perusakan habitat satwa liar di KEL. Hutan hujan di kawasan ini sangat penting bagi habitat orangutan Sumatra dan rute migrasi untuk kawanan 220 ekor gajah Sumatra, keduanya merupakan spesies yang terancam punah.

PT Mopoli Raya selama bertahun-tahun menjadi fokus tekanan kampanye oleh Rainforest Action Network dan LSM konservasi lainnya yang berupaya mengungkap hubungan antara produsen minyak sawit dengan deforestasi di provinsi Aceh dan Sumatera Utara. Keputusan untuk melindungi hutan dari bank lahan mereka terjadi setelah publik menuntut agar perusahaan dimasukkan ke dalam daftar ‘No Buy‘ oleh sejumlah merek makanan ringan dunia dan perusahaan raksasa pedagang minyak sawit Musim Mas dan Wilmar karena terungkap melalui media global dan LeuserWatch.org terus melakukan aktifitas deforestasi.

Mopoli Raya kemudian berkomitmen melindungi hampir 1.400 hektar hutan dan menerbitkan serangkaian kebijakan minyak sawit yang cukup kuat untuk menunjukkan kepada pembeli minyak sawit mereka sebelumnya, Musim Mas, Wilmar serta merek-merek besar seperti Unilever dan Nestlé akan komitmennya dalam memproduksi minyak sawit yang bertanggung jawab di enam perkebunan dan dua pabriknya. Perusahaan sawit memiliki tanggung jawab untuk mengelola lahan yang diberikan kepada mereka, dengan adanya komitmen maka hutan yang rencananya akan dikonversi menjadi perkebunan sawit akan dikelola untuk tujuan menjadi hutan konservasi yang menyediakan jasa lingkungan untuk masyarakat.

Direktur Kebijakan Hutan untuk Rainforest Action Network (RAN), Gemma Tillack, terkait inisiatif tersebut mengatakan, “Komitmen Mopoli Raya memberikan harapan yang sangat dibutuhkan di tengah krisis deforestasi di Indonesia dan menunjukkan peran penting yang harus dimainkan oleh merek-merek global untuk mendorong perubahan sektor kehutanan Indonesia di lapangan.”

“Kami juga berharap agar perusahaan lain seperti PT Nia Yulided, PT Indo Alam dan PT Tualang Raya, menghentikan buldoser yang mendorong orangutan dan gajah menuju kepunahan serta meminta merek global agar menyediakan investasi yang dibutuhkan untuk mengamankan dan meningkatkan praktik keberlanjutan perusahaan dan petani kelapa sawit kecil di Aceh dan Sumatera Utara,”tegasnya.

“Selama satu dekade terakhir, kampanye internasional telah bergeser dari menyerukan boikot menjadi menuntut perusahaan untuk lebih mendukung peningkatan cara menjalankan bisnis dari para pemasok minyak sawit. Komitmen yang dibuat oleh Mopoli Raya ini menunjukkan bahwa perubahan nyata dapat dicapai dalam melindungi hutan ketika merek dan perusahaan raksasa agribisnis mengambil tindakan terhadap rantai pasoknya dan tidak hanya sekedar mengidentifikasi serta menanggapi pelanggaran kebijakan, namun juga ikut berinvestasi dalam memberikan solusi yang diperlukan untuk menghindari krisis yang berulang.”

Ekosistem Leuser yang subur seluas 2,6 juta hektar secara internasional telah diakui sebagai salah satu kawasan hutan hujan utuh paling penting yang tersisa di Asia Tenggara. Kawasan ini merupakan satu-satunya tempat di bumi dimana badak, gajah, harimau, dan orangutan Sumatra yang terancam punah masih hidup bersama di alam liar. Pentingnya Ekosistem Leuser bagi dunia telah menjadikan kawasan ini sebagai lanskap uji coba untuk implementasi komitmen No-Deforestasi yang dibuat oleh ratusan merek-merek dunia dan perusahaan global selama beberapa tahun terakhir. Dengan semakin kuatnya profil Ekosistem Leuser dan meningkatnya pengawasan dengan menggunakan teknologi satelit dan drone, maka akan sangat memungkinkan bagi KEL untuk menjadi ajang pembuktian bagi solusi win-win yang inovatif seperti ini, dimana pertumbuhan ekonomi serta konservasi hutan dan satwa liar bisa harmonis, bahkan saling melengkapi.[rel]

read more
Hutan

Gempur Galang Uang Receh untuk Selamatkan Hutan Aceh

Lhokseumawe – Sejumlah mahasiswa yang menamakan diri Gerakan Masyarakat Pasee Peduli Air (Gempur) melakukan aksi di depan Taman Riyadah Kota Lhokseumawe, Kamis (15/8/2019). Peserta aksi menentang hadirnya PT Rencong Pulp and Paper Industry (RPPI) yang memiliki Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Tanaman Industri di Aceh Utara.

Dalam aksi yang mendapatkan pengawalan dari pihak kepolisian, mereka juga melakukan pengumpulan uang receh dari pengguna jalan. Mahasiswa yang mengumpulkan uang receh, menggunakan sebuah kardus. Di bagian depan kardus tertulis “Koin Solidaritas, Membeli Kembali Hutan Aceh”.

Saat lampu merah di Simpang Taman Riyadah menyala, yang membawa kardus berkeliling untuk meminta sumbangan uang receh pada pengguna jalan. Beberapa masyarakat terlihat ikut menyumbang uang.

Koordinator Aksi, Musliadi Salidan, menyebutkan, pengumpulan koin tersebut merupakan sebuah aksi sindiran terhadap pihak berkompeten yang telah memberikan izin kepada PT RPPI beroperasi di Aceh Utara.

Karena menurut mereka, dengan beroperasinya PT PRRI di Aceh Utara, hutan akan rusak sehingga terhadap lingkungan.

Selain pengumpulan koin, pendemo pun membentang sebuah spanduk sehingga para pendemo dan sejumlah masyarakat terlihat meneken di atas spanduk. Tanda tangan di spanduk tersebut merupakan dukungan penolakan beroperasinya PT RPPI di Aceh Utara.

Sumber: serambinews.com

read more
Tajuk Lingkungan

Benarkah Sawit Merusak Lingkungan?

Opini oleh Muhammad Nizar, S.T,M.T

Jagad media dihebohkan oleh pernyataan Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, yang menyatakan bahwa sawit di Aceh tidak merusak lingkungan, sebagaimana dilansir oleh AJNN.net tanggal 15 Juli 2019. Pernyataan Nova ini kemudian banyak dimuat kembali di media massa lokal dan langsung saja mendapat kecaman dari sejumlah aktivis lingkungan. Sudah menjadi pendapat umum dikalangan sebagian masyarakat dan pegiat lingkungan bahwa sawit sangat-sangat merusak lingkungan, tak terkecuali di Aceh. Nah ini kok tiba-tiba ada pemimpin propinsi menyatakan sebaliknya. Apa tidak meradang mereka yang selama ini getol mengkampanyekan tolak sawit.

Sebelum menyatakan apakah pendapat Nova tersebut benar atau pendapat aktivis lingkungan yang benar, maka harus ditelusuri kembali data-data yang valid terkait sawit. Bisa saja data-data ini nanti tidak menyenangkan satu pihak karena data juga sangat banyak sekali. Tergantung apa yang hendak ditulis, pasti ada data pendukungnya. Tapi paling tidak mari kita lihat data statistiknya terlebih dahulu.

Nova dalam wawancaranya dengan AJNN menyatakan dari total luas lahan kebun kelapa sawit di Aceh mencapai lebih dari 140 ribu hektare lebih, sebanyak 51 persen kebun kelapa sawit adalah milik rakyat atau petani. Sedangkan sisanya sebanyak 49 persen, merupakan lahan perkebunan milik perusahaan atau pengusaha. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Joko Supriyono pernah menyebutkan, penggunaan lahan untuk sawit hanya sebesar 17 juta hektare, sedangkan penggunaan lahan di dunia untuk minyak nabati mencapai 278 juta hektare.

Indonesia sejak tahun 1911 (104 tahun silam) sudah mengembangkan perkebunan sawit yakni di Pulu Raja (Asahan, Sumatera Utara), Tanah Itam Ulu (Kab. Batubara, Sumatera Utara) dan Sei Liput (Aceh), daerah-daerah yang sampai sekarang masih tetap banyak terdapat kebun sawit. Perkebunan sawit juga merambah ke daerah Kalimantan dan tempat-tempat lain yang dianggap cocok dengan tanaman ini. Perekonomian daerah-daerah ini sangat bergantung pada sawit, baik perekonomian pemerintah maupun perekonomian masyarakat.

Tanaman sawit itu sendiri bukanlah tanaman yang bersifat merusak lingkungan sekitarnya. Sederhananya pohon sawit tidak merusak tanah dimana dia tumbuh, sawit tidak mengeluarkan zat-zat berbahaya seperti racun yang membahayakan makhluk lain. Sawit tidak membunuh tanaman lain sekitarnya, tidak seperti hewan predator yang memangsa binatang lain. Tidak ada bagian sawit, apakah daunnya, tandannya, batangnya, pelepahnya atau apalah yang berbahaya bagi manusia. Malah kalau mau jujur, semua bagian pohon sawit bisa dimanfaatkan dan bernilai ekonomi. Memang banyak mitos buruk tentang sawit tetapi sejauh ini mitos tetap mitos saja, tidak ada bukti ilmiah yang mendukungnya.

Negara-negara eropa yang membeli minyak dari sawit yaitu crude palm oil (CPO) malah menggunakan minyak ini sebagai campuran bahan bakar. Pencampuran dengan bahan bakar konvensional ini dimaksudkan untuk mengurangi emisi karbon dari penggunaan BBM konvensional. Sebutannya biofuel, merupakan energi terbarukan yang sangat berpotensi mengurangi pemanasan global. Jadi lagi-lagi, sawit itu sendiri tidak lah berbahaya. Artinya eropa sendiri percaya bahwa sawit tanaman ramah lingkungan.

Terus apanya yang “merusak lingkungan” kalau demikian? Yang merusak lingkungan bukanlah tanaman sawit itu sendiri. Yang merusak lingkungan adalah proses-proses pembukaan perkebunan sawit secara massive. Ini pun sebenarnya berlaku bagi tanaman apa saja yang dikembangkan secara massal. Berikut beberapa hal yang menjadi dampak negatif dari pembukaan kebun sawit, namun tidak terbatas pada yang dituliskan ini saja.

Pembukaan Kebun merusak habitat hutan
Kebun sawit membutuhkan lahan ribuan bahkan jutaan hektar lahan agar perusahaan atau masyarakat mendapat keuntungan yang maksimal. Lahan yang bisa diambil sebesar ini apalagi kalau bukan hutan, yang seolah-olah menjadi hadiah dari Tuhan gratis. Jutaan hektar hutan ini adalah habitat, tempat tinggal bagi berbagai satwa dan tanaman liar. Bahkan sejumlah satwa liar tersebut adalah endemik, artinya cuma bisa hidup di habitat tertentu saja, tidak bisa dibawa pindah tempat tinggal dengan seenaknya. Sebut saja orangutan, harimau, gajah, badak, beruang dan sebagainya merupakan contoh satwa kunci yang terancam kehilangan tempat tinggal. Hutan Leuser yang menjadi rumah mereka selama ribuan tahun terancam lenyap, sekaligus melenyapkan kehidupan damai mereka.

Bahkan sekarang pun Uni Eropa (UE) sudah sadar bahwa walaupun minyak sawit merupakan sumber energi terbarukan tetapi pembukaan kebun sawit merusak hutan. Komisi Eropa pada 13 Maret 2019 meloloskan aturan pelaksanaan (delegated act) dari kebijakan Arahan Energi Terbarukan II (Renewable Energy Directive/RED II). Dalam dokumen itu, Komisi Eropa menyimpulkan perkebunan kelapa sawit telah mengakibatkan deforestasi besar-besaran secara global oleh karena itu, UE berencana menghapus secara bertahap pemakaian biofuel berbasis minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) hingga mencapai 0% pada 2030.

Pembukaan Kebun mengubah fungsi lahan
Hutan yang berfungsi sebagai tempat penampung jutaan kilo liter air (water catchment) lenyap sehingga air tersebut dengan bebas membanjiri tempat tinggal manusia di musim hujan dan air lenyap dengan cepat di musim kemarau. Yang dibicarakan disini bukanlah manusia yang sedikit tapi jutaan manusia bergantung pada air yang disimpan di hutan. Kalau hutan sudah lenyap, maka tunggulah bencana dahsyat yang bakal menghantam.

Selain menampung air, hutan juga merupakan tempat menyimpan karbon (carbon storage) jutaan ton yang berasal dari pembakaran atau aktivitas makhluk hidup. Karbon yang dilepaskan begitu saja ke atsmosifr akan memicu pemanasan global yang menyebabkan perubahan iklim. Hutan yang lenyap berarti karbon yang lepas ke udara, karbon tidak bisa disimpan lagi di akar, daun, batang dan tempat-tempat lain dalam ekosistem. Ini merupakan dampak lingkungan yang sangat mengerikan.

Pembukaan kebun menimbulkan konflik lahan
Sangat sering pembukaan kebun besar-besaran mengambil lahan yang ternyata milik orang lain. Pengambilan lahan ini bisa secara sukarela ataupun secara paksa bahkan dengan kekerasan. Banyak konflik sosial yang muncul antara masyarakat terutama masyarakat adat dengan perusahaan besar terkait kepemilikian lahan. Masalah hak milik bukanla hal sepele, ini menyangkut hak asasi manusia. Ribuan orang menjadi korban konflik, masuk penjara atau nyawa melayang. Pemerintah belum mampu mengatasi masalah lahan secara optimal. Pemerintah cenderung berpihak kepada korporat-korporat dengan alasan mencari pendapatan daerah dan sebagainya.

Jadi jelaslah sekarang bahwa yang dimaksud sawit merusak lingkungan adalah proses-proses pembukaan kebun sawit secara besar-besaran. Kalau sekedar buka kebun sawit 1-2 hektar di lahan milik sendiri tentu tak masalah seperti banyak yang dilakukan masyarakat. Coba anda bayangkan, rumah anda yang sangat nyaman anda tinggali selama bertahun-tahun tiba-tiba digusur dan anda disuruh pindah atau anda bahkan dibunuh.

read more
Kebijakan Lingkungan

Mungkinkah Menerapkan Forest Amnesty?

Oleh: Pungky Widiaryanto, Pemerhati kehutanan

Apa itu? Kita punya pengalaman dalam tax amnesty. Forest amnesty bisa menjadi solusi konflik tenurial.

Keterlanjuran pemanfaatan kawasan hutan di Indonesia telah menjadi isu serius pembangunan nasional. Luas kawasan hutan tak berhutan ini mencapai kurang lebih 28 juta hektare. Meski ada upaya penyelesaian, tapi kurang efektif. Perlu terobosan, antara lain, melalui peninjauan kembali Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), dan forest amnesty, amnesti bagi keterlanjuran penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan.

Dari segi hukum, kegiatan menduduki, membuka, dan mengolah kawasan hutan tanpa izin masuk kategori perambah atau ilegal. Tapi, satu hal yang perlu diingat, status merambah hutan ini bukan hanya perkebunan atau pertambangan saja. Pembangunan bandar udara, pelabuhan, jalan, fasilitas umum dan sosial lainnya, hingga fasilitas pemerintahan, juga masuk perambahan. Sampai saat ini, kawasan permukiman, perdesaan, dan perkotaan tersebut masih berada di dalam kawasan hutan.

Banyak yang mengklaim perambahan kawasan hutan ini merupakan resultante berbagai faktor. Contohnya, tidak jelasnya batas kawasan hutan, tidak adanya pengelola hutan di lapangan, ketidaktahuan pejabat yang memberi izin, atau bisa jadi memang pelanggaran itu sendiri. Faktor lain yang tidak kalah penting adalah tumpang tindih rencana tata ruang dengan kawasan hutan.

Kita sepakat bahwa masalah konflik tenurial ini harus diselesaikan agar tidak berlarut-larut dan semakin kompleks. Kepastian hukum di lapangan atas aset dan akses juga menjadi prasyarat mencapai target-target pembangunan. Upaya penyelesaian konflik sebenarnya telah dilakukan, walau hasilnya kurang maksimal.

Perlu digarisbawahi penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan oleh masyarakat secara riil berada pada kawasan hutan tak berhutan, alias sudah dalam penguasaan masyarakat. Jadi, kurang benar jika ada anggapan bahwa reforma agaria kawasan hutan dan perhutanan sosial akan merusak hutan.

Pada sisi lain, terdapat juga pandangan yang beranggapan bahwa konflik tenurial kawasan hutan harus dikembalikan ke negara. Terlebih lagi, ada kelompok dengan argumen yang mungkin kurang rasional, bahwa kawasan hutan yang berupa pemukiman, kawasan pedesaan dan perkotaan tersebut akan direhabilitasi lagi menjadi hutan.

Pertanyaannya: apakah negara akan menggusur keterlanjuran ini? Apakah mungkin memindahkan masyarakat dari tempat tinggalnya? Jika mungin, perlu berapa lama dan biaya berapa besar?

Kombinasi Reforma Agraria dan RTRW

Melihat permasalahan di atas, permasalahan status kawasan hutan perlu dipertimbangan menjadi salah satu isu strategis pembangunan nasional. Negara harus hadir dalam memberikan kepastian legalitas status lahan yang disebut kawasan hutan ini. Utamanya untuk melindungi kepentingan, dan memberikan kepastian kepemilikan kepada rakyat.

Dalam beberapa kali kesempatan, Presiden Joko Widodo memerintahkan anak buahnya menyelesaikan berbagai isu pemanfaatan kawasan hutan. Amanah Presiden sangat jelas. Kepentingan masyarakat harus didahulukan jika terdapat konflik dalam penggunaan kawasan hutan. Instrumen kebijakan sudah diterbitkan, di antaranya Peraturan Presiden Nomor 88/2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan.

Setelah berjalan lebih dari dua tahun, hasil kebijakan ini, yaitu pelepasan kawasan hutan untuk masyarakat, masih jauh dari target yang dicanangkan – seluas 4,1 juta hektare. Proses yang rumit hingga kurang siapnya sumber daya manusia menjadi penyebab.

Dalam Perpres terdapat keterbatasan. Pertama, pendataan kawasan hutan yang dikuasai masyarakat hanya dilakukan sekali saja untuk setiap kabupaten. Kedua, pendataan awal pun hanya berdasarkan arahan dari peta indikatif. Pertanyaan yang kemudian muncul: bagaimana nasib masyarakat yang tidak masuk dalam peta indikatif dan tidak termasuk dalam pendataan inventarisasi lapangan?

Selain itu, Perpres mengamanahkan penyelesaian hanya diperuntukkan bagi provinsi dengan jumlah kawasan hutan di atas 30%. Masalahnya, beberapa provinsi memiliki luas kawasan hutan di bawah 30%. Walaupun bisa dilakukan tukar menukar kawasan hutan, ketersediaan areal pengganti menjadi isu lain yang baru.

Di sisi lain, terdapat kebijakan lain memberikan kepastian penguasaan kawasan hutan oleh masyarakat, yaitu perhutanan sosial. Bedanya, skema ini untuk kawasan hutan tak berhutan yang telah dikuasai masyarakat kurang dari 20 tahun. Seiring program reforma agraria, hasil dari skema ini juga masih lamban. Bahkan, skema ini tidak bisa diaplikasikan bagi masyarakat dengan usaha kebun kelapa sawit. Padahal kebun kepala sawit menjadi mayoritas penguasaan kawasan hutan oleh masyarakat.

Langkah sangat diperlukan. Mekanisme revisi atau peninjauan kembali RTRW terhadap perubahan peruntukan kawasan hutan dapat menjadi salah satu solusi yang diangggap cepat, murah, dan bisa dikerjakan secara bersamaan di seluruh Indonesia.

Tentu saja sebelum mengajukan usulan revisi RTRW Provinsi (RTRWP) perlu inventarisasi di lapangan secara partisipatif. Kegiatannya dimulai dari tingkat pemerintah desa dengan supervisi dari berbagai kementerian/lembaga terkait. Kompilasi klaim masyarakat atau desa ini kemudian menjadi basis dalam pengajuan perubahan peruntukan kawasan hutan melalui RTRWP.

Usulan perubahan kawasan hutan ini akan dibahas oleh Tim Terpadu. Setelah itu berdasarkan hasil kajian Tim, instansi berwenang memutuskan usulan RTRWP tersebut. Lalu, penataan batas lapangan.

Melalui proses peninjauan kembali RTRW partisipatif ini, peran desa menjadi sangat penting. Utamanya dalam penentuan tata batas maupun tata ruang. Pola partisipatif ini juga mendorong paradigma pembangunan kehutanan untuk pembangunan perdesaan.

Forest Amnesty untuk Tambang, Kebun, dan Fasum/Fasos

Isu lain, yang mungkin dapat dijadikan agenda pembangunan pada pemerintahan berikutnya, adalah penyelesaian ketelanjuran penggunaan kawasan hutan oleh perusahaan besar/korporasi. Obyeknya bisa tambang, pabrik, kebun, sawit masyarakat dan fasum/fasos dalam kawasan hutan. Penyelesaian melalui mekanisme Perpres 88/2017 tidak berlaku untuk obyek usaha produktif ini, terutama kebun kelapa sawit masyarakat.

Berdasarkan data yang diolah KPK akhir-akhir ini, luas kebun sawit dalam kawasan hutan mencapai sekitar 3,4 juta hektare. Seluas 1,8 juta hektare dikuasai oleh pengusaha besar, yang memiliki izin usaha perkebunan (IUP). Bahkan, di antara mereka berada di atas izin usaha kehutanan. Sisanya sekitar 1,6 juta hektare dikelola oleh masyarakat.

Para pengolah lahan berupa kebun sawit ini, seringkali disalahkan sebagai penyebab utama perusak hutan. Jika dibandingkan dengan kawasan hutan tak berhutan seluas 28 juta hektare, persentase luas perkebunan kelapa sawit hanya 12% saja. Oleh karena itu, kurang tepat bila ada anggapan bahwa perkembangan perkebunan sawit menjadi penyebab utama hilangnya hutan atau deforestasi.

Sebaliknya, seperti kita ketahui, kelapa sawit memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Usaha kebun sawit juga mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat. Hasil turunan dari sawit juga mampu mendukung untuk ketahanan pangan dan energi. Baru-baru ini, IUCN menyebutkan bahwa kebun sawit juga memiliki peran dalam menjaga keanekaragaman hayati. Apalagi jika pembuatan kebun sawit dilakukan di kawasan hutan tak berhutan lainnya. Lebih baik ada tanamannya meski sawit dibandingkan lahan dibiarkan tak berhutan.

Perlu dipertimbangkan solusi memberikan ampunan dan menerapkan kewajiban, yang dinamakan forest amnesty. Terobosan ini sejalan dengan pengalaman bangsa ini dalam melakukan tax amnesty. Tujuan forest amnesty untuk meningkatkan penerimaan negara dan pertumbuhan perekonomian, mengembangkan kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan. Selain itu, manfaat lainnya meliputi adanya kepastian kepemilikan dan investasi, peningkatan produktivitas dan daya saing, dan yang paling utama menjaga agar tidak merambah hutan lagi.

Langkah Nyata Forest Amnesty

Solusi atas problem di atas perlu kerjasama dan kesungguhan berbagai pihak. Langkah pertama menyusun peta indikatif tipologi pemanfaatan, pendudukan, penggunaan kawasan hutan di luar perizinan berdasarkan peta penutupan lahan. Selanjutnya, berbagai pihak melakukan inventarisasi, verifikasi, dan audit pemilik lahan, beserta jenis usaha dan komoditasnya. Kemudian, para pemilik lahan bisa mengklaim dan mengakui lahan dan usaha mereka. Terhadap pihak-pihak yang enggan melaporkan diri secara sukarela, penegakan hukum harus dilakukan.

Setelah verifikasi dan terdaftar, ampunan dan legalitas diberikan. Pemerintah bisa membebankan kewajiban lainnya seperti pengenaan tarif, pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sewa lahan, dan kewajiban rehabilitasi hutan. Dalam melaksanakan forest amnesty ini perlu didasari regulasi. Berkaca dari Perpres No 88/2017, sebaiknya peraturan lanjutan ini dibuat lebih aplikatif dan tidak rigid.

Sumber: www.forestdigest.com

read more
Hutan

175 Ha Hutan Aceh Hilang, Polhut Diminta Kerja Lebih Serius

Banda Aceh – Menurut LSM Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, akibat praktik kejahatan kehutanan lingkungan ini, Aceh telah kehilangan 175 hektare (Ha) luas hutan.

“Untuk itu kita meminta Polhut yang telah direkrut oleh Pemerintah Aceh untuk bekerja lebih serius menjaga dan mengamankan hutan Aceh, jika tidak maka patut dipertanyakan kembali kinerjanya,” ujarnya. Walhi Aceh meminta polisi hutan (polhut) untuk serius mengamankan hutan Aceh dari aksi pembalakan liar.

Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nur SH, Sabtu (15/6/2019) mengatakan, praktik illegal logging di Aceh tersebar di 17 kabupaten/kota dan meliputi 35 kecamatan. Kejahatan ini masih marak terjadi karena lemahnya penegakan hukum oleh aparat yang berwenang.

Semestinya, lanjut Muhammad Nur, dengan jumlah Polhut yang telah ada sekarang ini, kawasan hutan di Aceh bisa terproteksi dengan baik dari kehancuran yang masif.

Apalagi Aceh sudah memiliki aturan tersendiri dalam menggelola hutan yaitu Qanun Nomor 7 tahun 2016 tentang Kehutanan Aceh.

Dalam Pasal 68 ayat 1 huruf a, menyebutkan bahwa setiap orang atau korporasi dilarang melakukan perambahan kawasan hutan dalam bentuk melakukan dan atau memfasilitasi dan atau turut memfasilitasi pencaplokan (aneksasi) Kawasan Hutan dan atau mengerjakan dan atau menggarap dan atau menduduki (okupasi) dan atau menguasai Kawasan Hutan secara tidak sah.

Selain itu, dalam Undang-undang Nomor 18 tahun 2013 juga mengatur sanksi yang dikenakan bagi perambah hutan. Dalam Pasal 82 disebutkan, setiap orang yang dengan tanpa izin dan sengaja melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda maksimal 2,5 miliar rupiah.

Korporasi yang dengan sengaja melakukan perambahan hutan tanpa izin diancam dengan kurungan maksimal 15 tahun penjara, dan denda Rp 15 miliar. Karena itu, agar hutan Aceh terpelihara dengan baik, menurutnya, dibutuhkan peran masyarakat mengingat selama ini hutan adalah sumber ekonomi bagi masyarakat yang hidup di sekitar kawasan.

“Tidak ada masyarakat yang ingin sumber ekonominya diganggu oleh para pelaku praktik ilegal logging. Sayangnya sampai saat ini tidak dipungkiri, bahwa ada sebagian kecil masyarakat di sekitar kawasan juga terlibat dalam praktik illegal logging atau penebangan liar,” tegasnya.

Di samping itu, Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nur, juga meminta kepada pemerintah untuk segera memperbaiki kinerja Polhut dan memberi alat kerja yang memadai dan anggaran yang besar. Langkah ini patut diambil agar tata kelola hutan di Aceh sesuai dengan tujuannya, yakni untuk keadilan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.

Lebih lanjut, dia juga mendorong Polda Aceh untuk bahu membahu bersama Polhut dalam meminimalisir praktik ilegal logging yang marak terjadi selama ini. “Langkah konkritnya seperti merazia usaha panglong kayu, setidaknya langkah ini bisa sedikit memutus mata rantai ilegal logging. Selama ini cenderung hanya warga pengangkut kayu yang mampu di proses secara hukum akan tetapi si pemodal bersama penampung belum ada yang dihukum secara maksimal,” demikian Muhammad Nur.

Sumber: serambinews.com

read more
1 2 3 18
Page 1 of 18