close

hutan

Hutan

Mengapa Hutan Rusak?

Oleh: Saminoudin B Tou (Ahli Kehutanan, tinggal di Banda Aceh)

Saya sering mendapat pertanyaan begini, kenapa hutan terus rusak? Apa tugasnya orang kehutanan? Bukankah presiden itu alumni ilmu kehutanan?

Pertanyaan itu merupakan ungkapan kekecewaan melihat kondisi hutan yang terus memburuk. Saya sering bercanda menjawabnya, kita belum tahu kapan itu bisa dihentikan. Karena para pejabatnya semua masih sibuk rapat ke sana ke mari.

Pastinya belum ada harapan membaik. Tekanan terhadap hutan datang dari segala arah. Ibarat perang, kita semakin jelas melihat tanda-tanda kekalahan dan mungkin hanya bisa memperlambat lajunya saja.

Kalau orang belajar ilmu kehutanan, doktrin pertama pengelolaan hutan adalah prinsip kelestarian. Secara teknis, kelestarian itu diwujudkan dalam sistem pengaturan hasil yang berkelanjutan. Salah satu variabel yang menentukan kelestarian itu adalah luas.

Luas kawasan hutan yang dikelola harus bersifat permanen. Karena harus diawali dengan perencanaan.

Kondisi kawasan hutan yang berkurang baik luasan maupun kualitas tutupannya, mengindikasikan hutan itu tidak lestari. Kalau dikelola dengan benar seharusnya luasnya tetap dan volumenya akan meningkat.

Siapa pun yang diberi kewenangan mengelola hutan, baik swasta, BUMN, atau yang lain, tidak akan berhasil selama areal yang dikelola tidak berkepastian hukum.

Beberapa perguruan tinggi kehutanan yang pernah diberi konsesi, juga gagal mengelola konsesinya. Padehal dari segi ilmu merekalah yang paling kredibel.

Kawasan hutan yang diberikan konsesinya tidak bisa dikuasai sepenuhnya karena harus berebut dengan masyarakat dan kepentingan-kepentingan lain. Itulah yang membuat rencana sistem pengaturan hasil tidak bisa dijalankan.

Kawasan hutan adalah wilayah yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Wilayah itu tidak bisa dialihkan fungsinya untuk keperluan lain selain kepentingan kehutanan. Kecuali yang tidak ditetapkan sebagai hutan tetap.

Sekarang secara statistik, kawasan hutan tidak banyak berubah. Tapi fakta di lapangan kawasan hutan itu sudah banyak yang diduduki atau dikuasai masyarakat. Bentuk tutupannya pun bukan lagi berupa hutan.

Ada pendapat, kita tidak perlu kawasan hutan yang penting hutannya. Lepaskan saja kawasan yang sudah bukan hutan lagi itu. Pertahankan saja yang ada hutannya.

Kalau ditelaah sejarahnya, dulu kawasan yang sudah tidak berhutan itu juga bertutupan hutan lebat. Kemudian mengalami degradasi dan deforestasi.

Sekarang UU Penataan Ruang hendak dijadikan alat untuk melakukan pemutihan terhadap pelanggaran terhadap pendudukan kawasan hutan. Karena ada klausul yang memungkinkan rencana tata ruang wilayah bisa direvisi.

Kalaupun kawasan yang tidak berhutan lagi itu dikeluarkan, tidak ada yang bisa menjamin perambahan atau penguasaan kawasan hutan tidak akan terjadi lagi. Sejarah sudah membuktikan itu.

Ketika menangani planologi kehutanan saya sering didesak agar dilakukan tata batas. Orang mengira kalau sudah ditata batas masalahnya selesai, hutannya akan aman. Kenyataanya, tidak sama sekali!

Jangankan hutan, kebun saja yang dipagar keliling, lengah sedikit saja diloncati orang pagarnya. Ada orang beranggapan semua yang ada di bumi ini milik Tuhan, bebas diambil. Begitulah parahnya kondisi sosial kita.

Mungkin sudah sangat sering orang mendengar visi ini: “Hutan Lestari Rakyat Sejahtera”. Bagi saya ini bukan visi, tapi jargon. Kalau visi harus jelas dan terukur.

Tidak ada hubungan kelestarian hutan dengan kesejahteraan rakyat. Justru rakyat yang sejahtera bisa jadi lebih merusak hutan, karena kebutuhannya akan hasil hutan yang lebih besar.

Hutan tidak akan lestari manakala tidak ada kepastian dan ketaatan kepada hukum. Hutan lestari karena hukum ditaati. Hukum tidak ditaati karena penegakannya yang lemah.

Memang ada orang yang suka kalau negeri ini penegakan hukumnya lemah. Termasuk juga negara asing, yang berpura-pura baik, tapi sebetulnya juga hendak melemahkan…![]

read more
Hutan

Presiden Terpilih Harus Pertahankan Agenda Hutan untuk Rakyat

Jakarta – Presiden dan Wakil Presiden terpilih haruslah konsisten meningkatkan akses hutan untuk masyarakat demi kuatnya perlindungan hutan dan mengangkat kesejahteraan rakyat dalam pencapaian komitmen iklim Indonesia. Perhutanan sosial dan komitmen iklim nasional Indonesia atau Nationally Determined Contribution (NDC) adalah dua agenda penting yang harus dijaga oleh pemimpin Indonesia dikarenakan berkaitan langsung dengan keselamatan dan kesejahteraan rakyat Indonesia, serta pertumbuhan ekonomi masa depan.

Di bawah Perjanjian Paris, Indonesia memiliki kewajiban hukum untuk mengurangi emisi sebesar 29 hingga 41 persen pada 2030 serta meningkatkan ketahanan terhadap berbagai dampak negatif perubahan iklim. Dari target ini, sektor kehutanan menyumbang target penurunan emisi terbesar. Di sisi lain, pemerintah telah mengalokasikan 12,7 juta hektare kawasan hutan untuk masyarakat melalui program perhutanan sosial dengan capaian distribusi sebesar 2.613.408 hektare per 1 April 2019.

Target distribusi perhutanan sosial yang harus dicapai hingga akhir tahun 2019 masih cukup besar, yakni 1,77 juta hektare sementara sisanya bergantung pada kepemimpinan politik Presiden terpilih mendatang beserta jajarannya.

“Perhutanan sosial yang dikelola secara lestari oleh masyarakat akan membantu pencapaian komitmen iklim Indonesia, baik mitigasi maupun adaptasi perubahan iklim,” ujar Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Muhammad Teguh Surya. “ Oleh karena itu, di tengah keriuhan politik saat ini, sangat penting menjaga konsistensi agenda pencapaian komitmen iklim Indonesia dan penguatan perhutanan sosial.”

Kedua kandidat Presiden memberi penekanan pada peningkatan akses masyarakat kepada hutan dan/atau lahan. Joko Widodo – Ma’ruf Amin menjanjikan akan mempercepat pelaksanaan reforma agraria dan perhutanan sosial guna memberikan peluang bagi rakyat yang selama ini tidak memiliki lahan atau aset untuk terlibat dalam kegiatan ekonomi serta melanjutkan pendampingan masyarakat dalam penggunaan, pemanfaatan dan produksi atas tanah objek reforma agraria dan perhutanan sosial sehingga lebih produktif.

Sementara itu Prabowo Subianto – Sandiaga Uno berjanji akan menjalankan agenda reforma agraria untuk memperbaiki kesejahteraan petani sekaligus mendukung peningkatan produksi di sektor pertanian, perkebunan, dan kehutanan. Kedua kandidat pun mencantumkan upaya mengatasi perubahan iklim dalam dokumen visi-misi mereka meski tidak rinci.

“Sayangnya, belum ada benang merah yang dapat ditarik secara tegas di antara kedua agenda tersebut,” ujar Manajer Pengelolaan Pengetahuan Yayasan Madani Berkelanjutan, Anggalia Putri.” Penting untuk memperjelas bagaimana dan seberapa besar perhutanan sosial dapat berkontribusi pada pencapaian komitmen iklim Indonesia agar masyarakat pengelola hutan juga dapat menikmati insentif dari berbagai skema pendanaan iklim, misalnya REDD+.”

Saat ini, telah banyak pembelajaran dari pengelolaan hutan oleh masyarakat yang sangat berharga untuk memperkuat kontribusi perhutanan sosial terhadap pencapaian komitmen iklim Indonesia. Melalui Pertemuan Strategis Pemangku Kepentingan: Memperkuat Kontribusi Perhutanan Sosial untuk Mendukung Pencapaian Target NDC Indonesia yang mengumpulkan pegiat perhutanan sosial di tingkat nasional dan daerah, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Bappenas, dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Yayasan Madani Berkelanjutan berupaya memfasilitasi proses pembelajaran dari pengembangan aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di wilayah perhutanan sosial dan menginisiasi komunikasi untuk menumbuhkan benih-benih kolaborasi di antara para pemangku kepentingan.

Beberapa isu yang dikupas dalam kaitannya dengan perhutanan sosial di acara ini antara lain perencanaan pembangunan rendah karbon, Program Kampung Iklim, REDD+, rehabilitasi hutan dan lahan, restorasi gambut, pendanaan iklim, dan pemberdayaan masyarakat desa.

“Sudah waktunya kita tidak lagi memisahkan antara peningkatan kesejahteraan dan pelestarian lingkungan maupun adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dalam perhutanan sosial karena di tingkat tapak dan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat keduanya saling bertautan dan tidak bisa dipisahkan,” tutup Teguh.[rel]

read more
Hutan

Mengelola Lingkungan Hidup Dan Hutan

Oleh: Saminoudin B Tou (Ahli Kehutanan, tinggal di Banda Aceh)

Pikiran dan pemahaman seseorang bisa dilihat dari tulisannya. Berapa kali aku menerima pertanyaan di messenger, kenapa tidak lagi menulis tentang lingkungan hidup atau hutan?

Terakhir aku menanggapinya serius dengan balik bertanya, “Akan kutulis dalam berapa hari ini. Kenapa, apa di tempat kerjamu tidak ada lagi yang mau memikirkannya?” Ia kemudian mengirimkan tawanya,” wkwkwkw…”

Dulu, di zaman kejayaan peradaban Islam, orang sangat gandrung dengan ilmu pengetahuan. Para pemikir tidak hanya menguasai satu dua ilmu pengetahuan. Seorang ahli filsafat misalnya, ia juga ahli matematika, ahli kimia, ahli fisika, ahli geografi, ahli kedokteran, ahli farmasi, dsb. Mereka juga penulis yang handal.

Jadi terlalu sedikit kalau sekarang kita hanya tahu satu ilmu pengetahuan saja. Orang di abad pertengahan jauh lebih hebat.

Memang passion-ku adalah lingkungan hidup dan hutan. Ketika masih di SMA aku sudah tertarik dengan ilmu lingkungan. Aku sangat giat membaca isu-isu lingkungan hidup. Waktu itu ilmu lingkungan baru mulai mau berkembang.

Selepas dari SMA, karena tidak menemukan jurusan lingkungan yang kuinginkan, lalu mengambil kehutanan. Kupikir itulah yang paling dekat kaitannya dengan lingkungan hidup.

Dua kali dalam seminggu aku mengunjungi pusat studi lingkungan hidup universitas. Membaca dan memfotokopi tulisan-tulisan tentang lingkungan hidup. Saat itu salah satu tokoh dan lokomotif lingkungan hidup Indonesia adalah Prof. Otto Soemarwoto. Buku-buku dan tulisannya sampai sekarang masih kusimpan mengisi rak pustaka.

Pernah kusarankan kepada teman yang baru belajar menggeluti isu lingkungan hidup, agar mempelajari laporan Kelompok Roma (Club of Rome) yang berjudul Limits to Growth. Laporan ilmiah yang seolah menjadi lonceng kematian itu, memproyeksikan masa depan bumi jika sumber daya alam terus dieksploitasi.

Itulah tonggak awal yang membawa isu lingkungan ke tingkat global. Pesimisme itu kemudian mendorong PBB mengadakan konferensi tentang lingkungan hidup tahun 1972.

Banyak konferensi dan pertemuan dengan berbagai variannya setelah itu hingga sekarang. Kalau dipelajari kronologisnya secara cermat, akan terlihat bagaimana trend inkonsistensi yang terjadi dari waktu ke waktu.

Dari situ juga bisa dipahami bahwa globalisasi isu lingkungan hidup adalah proyek negara-negara maju. Proyek kejahatan globalisasi, tapi kita ‘memakan’ saja apa yang diberikan.

Untuk negara berkembang, proyek itu hampir tidak ada manfaatnya. Kehadiran utusan negara berkembang di forum-forum internasional hanya seperti orang meramaikan pasar malam. Setelah sekian lama lihatlah, kalau ada, apa hasilnya bagi kesejahteraan rakyat? Tak ada! Cuma menjadi pertunjukan dan pemborosan di tengah kehidupan rakyat yang miskin.

Bagaimana dengan hutan? Baik kualitas maupun kuantitasnya terus merosot. Masa depan hutan sangat runyam. Tapi orang tidak melihat ada sesuatu yang salah. Inilah yang menjadi pokok persoalannya.

Hutan seperti barang bagus yang diletakkan di tempat yang keliru. Atau seperti benda seni di tangan orang yang tidak mengerti. Jadinya barang itu tidak memberi nilai apa-apa.

Celakanya lagi, sekarang hutan seolah menjadi penghambat pembangunan. Inilah akibat hutan di tangan pekerja salon. Waktu habis di salon citra hanya untuk berhias diri.

Belum lama berselang, untuk kesekian kalinya, ada yang tanya, apakah tepat kelembagaan lingkungan hidup digabung dengan kehutanan? Dari dulu aku sudah mengatakan, tidak tepat. Karena masing-masing beban tugasnya sangat berat. Bukan hanya asal bisa membuka atau menghadiri rapat dan menuliskan tanda tangan.

Tapi pusat menggabungkannya dalam satu kementerian. Begitulah maunya orang-orang yang hanya berpikiran politik. Seperti biasa, daerah pun mengikutinya, karena mengira mereka itu telah berada di jalan yang benar.

Apa sebenarnya yang terjadi selama ini adalah tidak dipahaminya akar permasalahan. Banyak program yang seolah merupakan obat, ternyata hanya mengulang kesalahan lama. Boro-boro mengobati, yang terjadi justru menciptakan masalah baru di masa depan.

Sebagaimana dikemukakan Prof. Hariadi Kartodihardjo, ada banyak persoalan mendasar yang tidak disadari. Ada masalah kecakapan SDM, soal kelembagaan dan kebijakan yang akut. Perubahan harus dimulai dari cara berpikir. Cara berpikir ala salon jelas merupakan kesalahan metodologis.

Hiduplah di habitatmu di hutan. Supaya tahu persis apa sesungguhnya yang terjadi, paham bagaimana proses kegagalan demi kegagalan itu terjadi. Bukan pergi bertanya kepada orang asing, mereka tidak tahu apa-apa juga.

Kalau kondisi lingkungan dan hutan bertahun-tahun menjadi makin buruk, itu pasti karena ada penanganan yang salah. Berat untuk mengakuinya, tapi fakta tak pernah akan bohong..![]

read more
Ragam

Ekowisata Berbasis Masyarakat Sebagai Pengendali Lingkungan

Oleh: Ir. Teuku Muhammad Zulfikar, MP
Sekretaris Umum Yayasan Beudoh Gampong/ Penasehat Khusus Gubernur Aceh Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Kegiatan ekowisata di Indonesia diatur Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 33 Tahun 2009. Secara umum objek kegiatan ekowisata tidak jauh berbeda dari kegiatan wisata alam biasa, namun memiliki nilai-nilai moral dan tanggung jawab yang tinggi terhadap objek wisatanya. Beberapa objek wisata yang dapat dikembangkan antara lain: 1) Wisata pemandangan; seperti; objek-objek alam (mangrove, pantai, air terjun, terumbu karang), Flora (hutan, tumbuhan langka, tumbuhan obat-obatan), Fauna (hewan langka dan endemik), Perkebunan (teh, kopi). 2) Wisata petualangan; seperti kegiatan alam bebas (lintas alam, berselancar), ekstrem (mendaki gunung, paralayang), berburu (babi hutan). 3) Wisata kebudayaan dan sejarah; seperti suku terasing (orang Rimba, orang Kanekes), kerajinan tangan (batik, ukiran), peninggalan bersejarah (candi, batu bertulis, benteng kolonial). 4) Wisata penelitian; seperti pendataan spesies (orangutan, kera, serangga, mamalia dan seterusnya), pendataan kerusakan alam (lahan gundul, pencemaran tanah), konservasi (reboisasi, lokalisasi pencemaran). 5) Wisata sosial; seperti konservasi dan pendidikan, pembangunan fasilitas umum di dekat objek ekowisata (pembuatan sarana komunikasi, kesehatan), reboisasi lahan-lahan gundul dan pengembang biakan hewan langka, pendidikan dan pengembangan sumber daya masyarakat di dekat objek ekowisata (pendidikan bahasa asing, sikap, dll).

Istilah “ekowisata” dapat diartikan sebagai perjalanan oleh seorang turis ke daerah terpencil dengan tujuan menikmati dan mempelajari mengenai alam, sejarah dan budaya di suatu daerah, di mana pola wisatanya membantu ekonomi masyarakat lokal dan mendukung pelestarian alam. Para pelaku dan pakar di bidang ekowisata sepakat untuk menekankan bahwa pola ekowisata sebaiknya meminimalkan dampak yang negatif terhadap linkungan dan budaya setempat dan mampu meningkatk an pendapatan ekonomi bagi masyarakat setempat dan nilai konservasi. Pola ekowisata berbasis masyarakat adalah pola pengembangan ekowisata yang mendukung dan memungkinkan keterlibatan penuh oleh masyarakat setempat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengelolaan usaha ekowisata dan segala keuntungan yang diperoleh.

Ekowisata berbasis masyarakat merupakan usaha ekowisata yang menitikberatkan peran aktif komunitas. Pola ekowisata berbasis masyarakat mengakui hak masyarakat lokal dalam mengelola kegiatan wisata di kawasan yang mereka miliki secara adat ataupun sebagai pengelola. Ekowisata berbasis masyarakat dapat menciptakan kesempatan kerja bagi masyarakat setempat, dan mengurangi kemiskinan, di mana penghasilan ekowisata adalah dari jasa-jasa wisata untuk turis: fee pemandu; ongkos transportasi; homestay ; menjual kerajinan, dll.

Ekowisata membawa dampak positif terhadap pelestarian lingkungan dan budaya asli setempat yang pada akhirnya diharapkan akan mampu menumbuhkan jati diri dan rasa bangga antar penduduk setempat yang tumbuh akibat peningkatan kegiatan ekowisata. Masyarakat membentuk panitia atau lembaga untuk pengelolaan kegiatan ekowisata di daerahnya, dengan dukungan dari pemerintah dan organisasi masyarakat nilai partisipasi masyarakat dan edukasi Prinsip local ownership (pengelolaan dan kepemilikan oleh masyarakat setempat).

Pendekatan yang harus dilaksanakan adalah tetap menjaga area tersebut tetap lestari sebagai areal alam. Pendekatan lain bahwa ekowisata harus dapat menjamin kelestarian lingkungan. Maksud dari menjamin kelestarian ini seperti halnya tujuan konservasi (UNEP, 1980) sebagai berikut: 1. Menjaga tetap berlangsungnya proses ekologis yang tetap mendukung sistem kehidupan. 2. Melindungi keanekaragaman hayati. 3. Menjamin kelestarian dan pemanfaatan spesies dan ekosistemnya. Di dalam pemanfaatan areal alam untuk ekowisata mempergunakan pendekatan pelestarian dan pemanfaatan. Kedua pendekatan ini dilaksanakan dengan menitikberatkan pelestarian dibanding pemanfaatan. Pendekatan ini jangan justru dibalik.

Kemudian pendekatan lainnya adalah pendekatan pada keberpihakan kepada masyarakat setempat agar mampu mempertahankan budaya lokal dan sekaligus meningkatkan kesejah-teraannya. Bahkan Eplerwood (1999) memberikan konsep dalam hal ini: Urgent need to generate funding and human resonrces for the management of protected areas in ways that meet the needs of local rural populations. Salah satu yang dapat dilakukan adalah dengan mengatur conservation tax untuk membiayai secara langsung kebutuhan kawasan dan masyarakat lokal.

Konsep Pengembangan Ekowisata Untuk mengembangkan ekowisata dilaksanakan dengan cara pengembangan pariwisata pada umumnya. Ada dua aspek yang perlu dipikirkan. Pertama, aspek destinasi, kemudian kedua adalah aspek market. Untuk pengembangan ekowisata dilaksanakan dengan konsep product driven. Meskipun aspek market perlu dipertimbangkan namun macam, sifat dan perilaku obyek dan daya tarik wisata alam dan budaya diusahakan untuk menjaga kelestarian dan keberadaannya. Pada hakekatnya ekowisata yang melestarikan dan memanfaatkan alam dan budaya masyarakat, jauh lebih ketat dibanding dengan hanya keberlanjutan.

Pembangunan ekowisata berwawasan lingkungan jauh lebih terjamin hasilnya dalam melestarikan alam dibanding dengan keberlanjutan pembangunan. Sebab ekowisata tidak melakukan eksploitasi alam, tetapi hanya menggunakan jasa alam dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan, fisik/ dan psikologis wisatawan. Bahkan dalam berbagai aspek ekowisata merupakan bentuk wisata yang mengarah ke metatourism. Ekowisata bukan menjual destinasi tetapi menjual filosofi. Dari aspek inilah ekowisata tidak akan mengenal kejenuhan pasar.

Prinsip Ekowisata

Pengembangan ekowisata di dalam kawasan hutan dapat menjamin keutuhan dan kelestarian ekosistem hutan. Ecotraveler menghendaki persyaratan kualitas dan keutuhan ekosistem. Oleh karenanya terdapat beberapa butir prinsip pengembangan ekowisata yang harus dipenuhi. Apabila seluruh prinsip ini dilaksanakan maka ekowisata menjamin pembangunan yang ecological friendly dari pembangunan berbasis kerakyatan (community based).

The Ecotourism Society (Eplerwood/1999) menyebutkan ada delapan prinsip, yaitu: Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap alam dan budaya, pencegahan dan penanggulangan disesuaikan dengan sifat dan karakter alam dan budaya setempat. Pendidikan konservasi lingkungan. Mendidik wisatawan dan masyarakat setempat akan pentingnya arti konservasi.

Proses pendidikan ini dapat dilakukan langsung di alam. Pendapatan langsung untuk kawasan. Mengatur agar kawasan yang digunakan untuk ekowisata dan manajemen pengelola kawasan pelestarian dapat menerima langsung penghasilan atau pendapatan. Retribusi dan conservation tax dapat dipergunakan secara langsung untuk membina, melestarikan dan meningkatkan kualitas kawasan pelestarian alam. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan. Masyarakat diajak dalam merencanakan pengembangan ekowisata.

Demikian pula di dalam pengawasan, peran masyarakat diharapkan ikut secara aktif. Penghasilan masyarakat. Keuntungan secara nyata terhadap ekonomi masyarakat dari kegiatan ekowisata mendorong masyarakat menjaga kelestarian kawasan alam. Menjaga keharmonisan dengan alam. Semua upaya pengembangan termasuk pengembangan fasilitas dan utilitas harus tetap menjaga keharmonisan dengan alam. Apabila ada upaya disharmonize dengan alam akan merusak produk wisata ekologis ini. Hindarkan sejauh mungkin penggunaan minyak, mengkonservasi flora dan fauna serta menjaga keaslian budaya masyarakat.

Daya dukung lingkungan
Pada umumnya lingkungan alam mempunyai daya dukung yang lebih rendah dengan daya dukung kawasan buatan. Meskipun mungkin permintaan sangat banyak, tetapi daya dukunglah yang membatasi. Peluang penghasilan pada porsi yang besar terhadap negara. Apabila suatu kawasan pelestarian dikembangkan untuk ekowisata, maka devisa dan belanja wisatawan didorong sebesar-besarnya dinikmati oleh negara atau negara bagian atau pemerintah daerah setempat.

Ekowisata mempunyai pengertian suatu perjalanan wisata ke daerah yang masih alami. Meskipun perjalanan ini bersifat berpetualang, namun wisatawan dapat menikmatmya. Ekowisata selalu menjaga kualitas, keutuhan dan kelestarian alam serta budaya dengan rnenjamin keberpihakan kepada masyarakat. Peranan masyarakat lokal sangat besar dalam upaya menjaga keutuhan alam. Peranan ini dilaksanakan mulai saat perencanaan, saat pelaksanaan pengembangan dan pengawasan dalam pemanfaatan.

Melihat peluang tersebut kita bisa memanfaatkan kondisi tahun politik sekarang sebagai ajang peningkatan jumlah wisatawan. Dengan melihat situasi yang strategis maka harus giat lagi mempromosikan objek wisata guna untuk memperkenalkan dan menarik perhatian wisatawan. Ekowisata kita menjanjikan sekali, bisa digunakan sebagai instrumen pertumbuhan ekonomi dan mengurangi pengangguran. Sebagai negara yang besar dan luas, memiliki pesona wisata yang luar biasa dan negara yang kaya akan sumber daya alam akan menjadikan Indonesia lebih sejahtera apabila kita memanfaatkan secara berkelanjutan. (tmzoel)

read more
Ragam

Ekowisata Sebagai Pengendali Kerusakan Lingkungan

Oleh: Ir. Teuku Muhammad Zulfikar, MP
Sekretaris Umum Yayasan Beudoh Gampong/ Penasehat Khusus Gubernur Aceh Bidang Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Indonesia sebagai negara megabiodiversity nomor dua di dunia, telah dikenal memiliki kekayaan alam, flora dan fauna yang sangat tinggi. Para eksplorer dari dunia barat maupun timur jauh telah mengunjungi Indonesia pada abad ke lima belas vang lalu. Perjalanan eksplorasi yang ingin mengetahui keadaan di bagian benua lain telah dilakukan oleh Marcopollo, Washington, Wallacea, Weber, Junghuhn dan Van Steines dan masih banyak yang lain merupakan awal perjalanan antar pulau dan antar benua yang penuh dengan tantangan. Para adventnrer ini melakukan perjalanan ke alam yang merupakan awal dari perjalanan ekowisata.

Sebagian perjalanan ini tidak memberikan keuntungan konservasi daerah alami, kebudayaan asli dan atau spesies langka (Lascurain, 1993). Pada saat ini, ekowisata telah berkembang. Wisata ini tidak hanya sekedar untuk melakukan pengamatan burung, mengendarai kuda, penelusuran jejak di hutan belantara, tetapi telah terkait dengan konsep pelestarian hutan dan penduduk lokal. Ekowisata ini kemudian merupakan suatu perpaduan dari berbagai minat yang tumbuh dari keprihatinan terhadap lingkungan, ekonomi dan sosial. Ekowisata tidak dapat dipisahkan dengan konservasi.

Oleh karenanya, ekowisata disebut sebagai bentuk perjalanan wisata bertanggungjawab. Belantara tropika basah di seluruh kepulauan Indonesia merupakan suatu destinasi. Destinasi untuk wisata ekologis dapat dimungkinkan mendapatkan manfaat sebesarbesarnya aspek ekologis, sosial budaya dan ekonomi bagi masyarakat, pengelola dan pemerintah.

“Destination areas elect to become involved in tourism primarily for economic reasons: to provide employment opportunities, to increase standard of leaving and, in the case of international tourism to generate foreign exchange. Tourism is viewed as a development tool and as a means of diversifying economics” (Wall, 1995: 57).

Ekowisata sebagai Pengendali Kerusakan Lingkungan
Kegiatan pengendalian kerusakan lingkungan yang salah satunya yaitu melakukan konservasi dan perlindungan sumber daya alam, salah satunya adalah untuk mengendalikan alih fungsi lahan serta kerusakan lingkungan yang terjadi akibat pembangunan fisik perkotaan. Salah satu kegiatan inovatif yang berisi kajian serta program aksi yang ingin dikembangkan untuk mengendalikan kerusakan lingkungan di Indonesia adalah pengembangan ekowisata dan jasa lingkungan. Ekowisata merupakan bentuk pariwisata yang memanfaatkan potensi sumberdaya alam, lingkungan serta keunikan alam dan budaya yang dapat menjadi salah satu sektor unggulan daerah yang belum dikembangkan secara optimal.

Di samping itu Ekowisata adalah kegiatan wisata alam dengan memperhatikan unsur pendidikan, pemahaman dan dukungan terhadap usaha-usaha konservasi sumber daya alam, serta peningkatan pendapatan masyarakat lokal. Mengembangkan ekowisata memerlukan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian ekowisata. Pelaku ekowisata adalah pemerintah, pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat. Pengembangan ekowisata mesti memperhatikan aspek –aspek konservasi, yaitu melindungi, mengawetkan dan memanfaatkan secara lestari sumberdaya alam yang digunakan untuk ekowisata. Dalam kaitan dengan aspek ekonomis ekowisata diharapkan memberikan manfaat untuk masyarakat setempat dan menjadi penggerak pembangunan ekonomi di wilayahnya serta memastikan usaha ekowisata dapat berkelanjutan.

Dalam kaitan dengan edukasi, ekowisata mengandung unsur pendidikan untuk mengubah persepsi seseorang agar memiliki kepedulian tanggungjawab dan komitmen terhadap pelestarian lingkungan dan budaya. Ekowisata diharapkan memberikan kepuasan dan pengalaman kepada pengunjung, serta mendorong partisipasi masyarakat yaitu peran serta masyarakat dalam kegiatan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian ekowisata dengan menghormati nilai-nilai sosial budaya dan keagamaan masyarakat disekitar kawasan serta sesuai dengan kearifan lokal.

Perencanaan dan pengembangan ekowisata menyangkut jenis ekowisata, data dan informasi, potensi pangsa pasar, hambatan-hambatan, lokasi, luas, batas, alokasi biaya, target waktu pelaksanaan dan desain teknisnya. Untuk data dan informasi yang dimaksud adalah daya tarik dan keunikan alam; kondisi ekologis / lingkungan, kondisi sosial, budaya dan ekonomi, peruntukan kawasan, sarana dan prasarana serta sumber pendanaan. Mengembangkan kawasan ekowisata wajib memberdayakan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat diselenggarakan melalui kegiatan peningkatan pendidikan dan ketrampilan masyarakat. Untuk partisipasi masyarakat melibatkan warga masyarakat setempat, unsur Badan Permusyawaratan Desa/Gampong, Kader PKK setempat, Tokoh Masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Sejarah Ekowisata
Menurut informasi yang berkembang, kegiatan ekowisata yang pertama adalah kegiatan safari (berburu hewan di alam bebas) yang dilakukan oleh para petualang dan pemburu di Afrika pada awal tahun 1900. Dan pemerintahan Kenya mengambil kesempatan dan membuka peluang bisnis dari kegiatan safari padang safana dan mamalia Afrika yang liar dan eksotis. Pemerintah Kenya menjual satu ekor singa sebagai buruan seharga US$27.000 pada tahun 1970. Namun akhirnya disadari bahwa perburuan yang tidak terkendali dapat mengakibatkan kepunahan spesies flora atau fauna dan mengganggu keseimbangan ekosistem yang ada.

Belajar dari pengalaman ini, pemerintah Kenya akhirnya melakukan banyak perubahan di dalam pelaksanaan kegiatan safari dan mulai menerapkan konsep-konsep ekowisata modern di dalam industri pariwisata. Pada akhir dekade 1970 gagasan ekowisata mulai diperbincangkan dan dianggap sebagai suatu alternatif kegiatan wisata tradisional. Selama masa 1980-an beberapa badan dunia, merumuskan

“Ekowisata adalah perjalanan ketempat-tempat yang masih alami dan relatif belum terganggu atau tercemari dengan tujuan untuk mempelajari, mengagumi dan menikmati pemandangan, flora dan fauna, serta bentuk-bentuk manifestasi budaya masyarakat yang ada, baik dari masa lampau maupun masa kini”. Rumusan ini kemudian disempurnakan oleh The International Ecotourism Society (TIES) pada awal tahun 1990, sebagai berikut: “Ekowisata adalah kegiatan wisata alam yang bertanggung jawab dengan menjaga keaslian dan kelestarian lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat”.

Ekowisata merupakan upaya untuk memaksimalkan dan sekaligus melestarikan potensi sumber daya alam dan budaya masyarakat setempat untuk dijadikan sebagai sumber pendapatan yang berkesinambungan. Perkembangan ekowisata di dunia secara umum terasa cukup cepat dan mendapat prioritas dan perhatian dari pemerintahan masing-masing negara yang melaksanakannya. Walaupun dimulai dari Afrika, ekowisata berkembang pesat dan berevolusi secara menakjubkan justru di Amerika Latin.

Di beberapa negara Amerika Latin (terutama yang dialiri oleh sungai Amazon), kegiatan mengunjungi objek wisata alam berkembang menjadi kegiatan penyelamatan lingkungan hidup (konserfasi). Seiring dengan berjalannya waktu, ternyata banyak peserta ekowisata yang tertarik dan ingin berkontribusi di dalam penyelamatan alam dari kerusakan yang semakin parah.

Beberapa lembaga atau organisasi yang bergerak dibidang lingkungan hidup menangkap peluang ini dan mulai mengadakan kegiatan reboisasi beserta dengan masyarakat luas termasuk peserta ekowisata, hingga kepada penggalangan dana dan penanaman pohon yang dapat diikuti melalui media internet. Belajar dari kesalahan-kesalahan terdahulu yang menyebabkan dampak rusaknya lingkungan, pemerintah Costa Rica memobilisasi masyarakatnya untuk berperan aktif dalam kegiatan ekowosata. Tidak ada hotel berbintang dan bandara international yang dibangun di dekat objek wisata alam. Yang ada adalah rumah-rumah masyarakat yang terbuka untuk ditinggali sementara oleh para wisatawan (sekarang disebut home stay atau rumah singgah). Masyarakatpun tidak menyediakan menu masakan international kepada para wisatawan, mereka menyuguhkan masakan tradisional dengan standar kebersihan yang tinggi.

Pemerintah Costarica yakin bahwa peserta ekowisata bukan hanya tertarik kepada eksotisme alam dari negaranya, tetapi juga tertarik kepada eksotisme kebudayaan dan cara hidup masyarakatnya. Di Afrika, evolusi kegiatan ekowisata menarik untuk dicermati. Kegiatan perburuan binatang (singa, kerbau, gajah, badak dan lain sebagainya) yang sebelumnya dianggap dapat mengganggu kelestarian suatu spesies ternyata kalau dilakukan secara selektif justru dapat meningkatkan populasi spesies tersebut atau spesies yang lainnya. Membunuh singa jantan yang tua ternyata membuka peluang bagi singa jantan yang muda, sehat dan produktif untuk meminpin kelompok tersebut dan kembali meneruskan garis keturunannya. Semenjak itulah kegiatan perburuan singa dan beberapa spesies lainnya mulai diadakan kembali di Kenya, tentunya dengan spesfikasi dan pengawasan yang ketat dari petugas taman nasional.

Ekowisata di Indonesia
Di Indonesia kegiatan ekowisata mulai dirasakan pada pertengahan 1980an, dimulai dan dilaksanakan oleh orang atau biro wisata asing, salah satu yang terkenal adalah Mountain Travel Sobek – sebuah biro wisata petualangan tertua dan terbesar. Beberapa objek wisata terkenal yang dijual oleh Sobek antara lain adalah pendakian gunung api aktif tertinggi di garis khatulistiwa – Gunung Kerinci (3884 m), pendakian danau vulkanik tertinggi kedua di dunia – Danau Gunung Tujuh dan kunjungan ke danau vulkanik terbesar didunia. Beberapa biro wisata lain maupun perorangan yang dijalankan oleh orang asing juga melaksanakan kegiatan kunjungan dan hidup bersama suku-suku terasing di Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi dan Papua. Salah satu dari proyek ekowisata yang terkenal yang dikelola pemerintah bersama dengan lembaga asing adalah ekowisata orang hutan di Tanjung Puting, Kalimantan. (bersambung..)

read more
Pejuang Lingkungan

Makam Syuhada di Zona Tambang Emas Beutong

Nagan Raya – Pria paruh baya itu tampak semangat mengikuti pelatihan jurnalisme warga di Beutong Ateuh, Nagan Raya. Meskipun usia di ujung senja, minat untuk belajar menggebu.

Dia itu Tgk Diwa Laksana, usianya 60 tahun menjadi peserta pertama hadir dalam ruangan beberapa waktu lalu. Rambutnya yang beruban, jenggot terburai. Dialah sosok garda terdepan menolak perusahaan tambang emas PT Emas Mineral Murni (PT EMM) di tanah kelahirannya.

Pelatihan menulis berita ini digagas oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh, Forum Jurnalis Lingkungan (FJL), dan Generasi Beutong Ateuh Banggalang (GBAB). Ini dilakukan agar kampanye penolakan PT EMM bisa lebih masif dengan ada kemampuan menulis.

 “Dengan bisa menulis, saya bisa kampanyekan melawan PT EMM. Terimakasih FJL,” kata Tgk Diwa beberapa waktu lalu.

Kecamatan Beutong Ateuh Benggalang memiliki empat desa, yaitu Babah Suak, Blang Meurandeh, Blang Puuk dan Kuta Teungoh. Keempat gampong ini berada di lembah yang dibatasi sungai. Geografisnya berbukit-bukit, pepohonan yang lebat, cukup subur untuk perkebunan dan pertanian dengan suhu pada malam hari mencapai 17 derajat.

Jarak tempuh sekitar 2,5 jam perjalanan darat dari pusat kota Kabupaten Nagan Raya. Untuk menuju ke Beutong Ateuh Beunggalang, harus terlebih dahulu melintasi jalan yang berlika-liku, karena harus melintasi pegunungan.

Jalan semua sudah beraspal. Namun tetap harus waspada. Karena jalur yang berliku  dan tikungan patah yang menanjak dan turunan tajam. Cuaca pun sering sekali diselimuti kabut tebal, sehingga jarak pandang terbatas.

Suasana Beutong Ateuh tampak masih asri. Suhu yang sejuk, pepohonan yang masih rimbun. Hamparan perkampungan itu dikelilingi oleh pegunungan dengan pohon yang masih padat.

Tgk Diwa diam sejenak. Mata menatap kosong sembari berucap. “Saya tak ingin generasi kedepan hanya bisa mendengar cerita, sebuah desa dulunya yang padat dengan hutan, terdapat banyak makam syuhada.”

Harapannya generasi kedepan terus bisa menikmati lebatnya hutan dan kekayaan alam di sana. Suhu udara sejuk, tanah subur, tongkat kayu ditanam tumbuh. Air sungai mengalir deras  memiliki ikan khas di sana yaitu Keureulieng.

Jiwa Tgk Diwa yang sudah di ujung senja terus bergolak. Dia khawatir keberadaan PT EMM menghancurkan hutan belantara yang ada di Beutong Ateuh Benggalang.

Semakin dia gelisah, hilangnya kuburan-kuburan para syuhada di dalam hutan belantara Beutong Ateuh Benggalang. Bila perusahaan tambang itu beroperasi, semua kuburan itu dipastikan harus dipindahkan.

Menurutnya, ada 10 kuburan keramat yang dipercaya oleh warga berada di kawasan PT EMM. Salah satunya kuburan Tgk Bantaqiah yang menjadi korban pembantaian aparat keamanan pada masa konflik Aceh dulu.

Ada sejumlah kuburan keramat lainnya yang cukup dihormati oleh warga setempat. Yaitu kuburan Tgk Kali Alue, Tgk Laueh Panah, Tgk Alue Hee, Tgk Trieng Beutong, Tgk Lhok Pawoh, Tgk Diriwat, Tgk Di Tungkop dan Tgk Pakeh.

Beutong Ateuh juga memiliki sejarah perjuangan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Beutong Ateuh titik terakhir perjuangan pahlawan nasional Cut Nyak Dhien. Belanda berhasil menangkap istri Tgk Umar ini di Beutong Ateuh.

Bahkan saat ini ada tapak tilas Cut Nyak Dhien di Beutong Ateuh Benggalang. Monumen tempat ditangkapnya Cut Nyak Dhien berada di pinggir sungai, hanya selemparan batu dari lokasi ditangkap pahlawan nasional ini saat Belanda menjajah Indonesia.

“Banyak kuburan para syuhada di sini. Jadi tak boleh PT EMM itu buka tambang emas di sini,” kata Tgk Diwa.

Kecamatan Beutong Ateuh Beunggalang memiliki empat desa dan penduduk 1.800 jiwa. Sumber ekonomi mayoritas berkebun dan pertanian. Keseharian, warga menanam kopi, palawija dan padi di sawah. Tanah yang subur, menjadikan warga di Beutong bisa memenuhi ekonomi mereka keseharian.

“Kami sudah sejahtera, kesejahteraan bagiamana yang hendak mereka (PT EMM) berikan kepada kami,” tukasnya.

Pembukaan tambang di Beutong Ateuh Benggalang sudah direncanakan sejak tahun 2006 lalu. Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi diterbitkan tahun 2006 berdasarkan SK Bupati Nagan Raya Nomor 545/68/KP-EKSPLORASI/2006 tentang Pemberian Kuasa Pertambangan Eksplorasi, diberikan selama 3 (tiga) tahun.

Lalu diperkuat oleh Gubernur Aceh Nomor 545/12161 tanggal 8 Juni 2006 perihal Rekomendasi Kuasa Pertambangan Eksplorasi kepada PT. Emas Mineral Murni.

Pada tahun 2010 dilakukan pembaharuan berdasarkan SK Bupati Nagan Raya Nomor 545/22/SK/IUP-Ekspl/2010 tentang Persetujuan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi Kepada PT. Emas Mineral Murni, tertanggal 11 Januari 2010.

Surat gubernur 8 Juni 2006 dan Surat Direktorat Jenderal Minerba, Batubara dan Panas Bumi Nomor 1053/30/DJB/2009 tertanggal 23 maret 2009 perihal Izin Usaha Pertambangan. Lokasi pertambangan di desa Blang Puuk, Kecamatan Beutong, Kabupaten Nagan Raya.

Berdasarkan laporan dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, pada tahapan ini PT. EMM belum berstatus Penanaman Modal Asing (PMA). Saat itu komposisi saham PT. Indoenergi Platinum sebanyak 248 lembar, dan Toh Seng Hee (Komisaris) sebanyak 2 lembar saham. SK ini berlaku surut mulai tanggal 16 Juni 2006 serta diberikan untuk jangka waktu 7 (tujuh) tahun.

Mulanya pengumuman AMDAL PT EMM tanggal 3 Desember 2012 dengan luas lahan 3.620 hektare berlokasi di Beutong Ateuh Benggalang, Kabupaten Nagan Raya diberikan waktu selama 8 tahun.

Lalu PT. EMM mendapatkan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi melalui SK Kepala BKPM Nomor 66/1/IUP/PMA/2017 pada tanggal 19 Desember 2017, untuk komoditas emas dengan luas areal 10.000 hektar.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, pada 9 Juli 2018 mengumumkan rencana pemasangan Tanda Batas pada Wilayah Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi PT. EMM di Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Tengah.

Saat itulah, reaksi penolakan PT EMM kian menggelinding dari masyarakat Beutong Ateuh Benggalang. Tanggal 8 September 2018 seluruh masyarakat menggelar aksi di jembatan Beutong Ateuh Benggalang, Kabupaten Nagan Raya yang difasilitasi oleh Walhi Aceh.

Mereka membentang spanduk menolak kehadiran PT EMM dan tandatangan bersama pada kain putih sebagai bukti penolakan. Setelah itu perjuangan masyarakat Beutong mendapat dukungan dari banyak pihak, termasuk Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).

Meskipun aksi penolakan ini sudah pernah dilakukan oleh warga tanggal 28 Maret 2013 lalu. Masyarakat kemudian menyurati Bupati Nagan Raya dan Gubernur Aceh untuk menyatakan sikap menolak PT EMM. Surat itu ditandatangani Geuchik (kepala desa) dan tokoh masyarakat empat desa tersebut.

“Sudah sepakat dan sudah membuat sebuah peraturan yang bahwa kami menolak (PT EMM),” ungkap Tgk Diwa.

Hal senada juga diakui oleh Tarmizi, warga Beutong Ateuh Benggalang yang terlibat aktif di GBAB. Organisasi yang dipimpin Zakaria sebagai wadah memperjuangkan penolakan PT EMM.

“Tidak ada warga yang setuju masuk PT EMM ke sini, dengan tegas kami sampaikan bahwa kami menolak,” tukas Tarmizi.

Tarmizi mengaku sudah berusaha berjuang untuk menolak kehadiran PT EMM. Bila pemerintah tak mengubrisnya, dirinya bersama warga lainnya bisa saja terancam terusir dari tanah sendiri.

“Seandainya PT EMM itu jalan, kami gak tau apa yang terjadi. Kami sudah berusaha untuk menolak, itu kami tidak tau apa terjadi nanti,” imbuhnya.

Malik Radin, warga lainnya juga mengkhawatirkan bila PT EMM beroperasi di Beutong Ateuh Benggalang, kualitas air akan berubah. Yang paling dikhawatirkan mengalami kekurangan air untuk kebutuhan konsumsi dan persawahan.

Atas alasan itu pula, Malik Radin mengaku tetap bersikeras untuk menolak keberadaan PT EMM. Selain terancam kekurangan dan tercemar air sungai untuk dikonsumsi warga dan kebutuhan persawahan. Ada juga kuburan yang dipercaya masyarakat keramat, jangan sampai tidak ada lagi jejak setelah perusahaan itu beroperasi.

“Ini yang kami khawatirkan,” jelasnya.

Penolakan proyek tambang disebut-sebut “Freeport Kedua” bakal berdampak negatif. Sebab, sebagian besar lahan yang dipergunakan memakai Hutan Lindung (HL) dan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Kedua fungsi hutan ini sangat penting untuk keberlangsungan kehidupan masyarakat setempat.

Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nur, ikut juga berdampak terhadap kualitas air dan fisik sungai Krueng Mereubo yang berada sekitar 9 kilometer dari lokasi tambang.

Tak hanya berdampak bagi masyarakat di Beutong Ateuh, tetapi juga beberapa wilayah penyangga lainnya di Kabupaten Nagan Raya, Aceh Barat dan Aceh Tengah. Karena sungai tersebut tersambung dalam beberapa daerah di tiga kabupaten tersebut.

Selain berdampak pada sungai Krueng Meureubo, terdapat juga tiga sub sungai lainnya yang berada dalam area tambang. Ketiga anak sungai itu mengalir air ke sungai Krueng Meureubo.

Sungai Krueng Meureubo menjadi sumber air bagi masyarakat. Selain untuk kebutuhan rumah tangga, juga dipergunakan untuk keperluan air lahan pertanian serta sumber kehidupan lainnya.

Kata M Nur, saap akrap Muhammad Nur, area tambang berdampak terhadap lahan pertanian sawah dan perkebunan masyarakat. Hasil overlay peta Walhi Aceh, terdapat seluas 204,15 ha lahan pertanian sawah yang masuk dalam area izin.

Persoalan lainnya, sesuai dengan RTRW Aceh dan RTRW Kabupaten Nagan Raya, area pertambangan PT EMM merupakan kawasan rawan bencana. Ini diperkuat lagi adanya program Kementerian Sosial RI menetapkan Beutong Ateuh Banggalang sebagai Kampung Siaga Bencana pada tahun 2018.

Akibat adanya PT EMM berdampak besar semakin sempitnya ruang kelola rakyat atas sumber daya hutan yang ada di Beutong Ateuh Benggalang. Bisa saja wilayah perkebunan warga yang dikelola secara mandiri terancam tak lagi bisa dipergunakan setelah tambang emas beroperasi.

“Berdampak terjadinya bencana ekologis seperti banjir dan longsor,” kata M Nur.

Kawasan hutan Beutong Ateuh Benggalang juga merupakan koridor satwa kunci di Aceh. Seperti Gajah, Harimau, Badak dan burung Rangkong. Bila PT EMM beropasi, konflik sawat dengan manusia bakal terjadi. Padahal selama ini warga setempat bisa hidup berdampingan dengan satwa dilindungi ini, tanpa terjadi konflik.

M Nur mengaku, hal paling dikhawatirkan terjadi perubahan fungsi kawasan hutan lindung, perubahan iklim dan hilangnya fungsi paru-paru dunia yang ada di KEL.

Berdasarkan hasil overlay peta oleh Walhi Aceh, area IUP Operasi Produksi 10.000 ha berada di Kecamatan Beutong 21,71 ha, Beutong Ateuh Banggalang 6.259,93, Kabupaten Nagan Raya. Lalu di Kecamatan Peugasing 2.084,81 hektare, Kecamatan Cilala 1.259,74 ha, Kabupaten Aceh Tengah.

Dengan rincian, Hutan Lindung 5.981,87 ha (HL dalam KEL 918,25 ha), APL 3.914,33 ha (APL dalam KEL 343,22 ha). Overlay ini berdasarkan data koordinat yang tersedia pada AMDAL PT. EMM.

Sedangkan Dampak sosial juga bakal terjadi di Beutong Ateuh Benggalang, sebut M Nur. Ia mencontohkan, makam  Raja Beutong di desa Babah Suak, makam Tgk Lhok Pawoh dan makam Tgk Alue Panah (kedua makam ini merupakan makan keramat), hanya 800 meter dari basecamp PT EMM.

Selama ini upaya penolakan PT EMM kurang mendapat respon dari Pemerintah Aceh. Berulang kali mahasiswa bersama warga Beutong Ateuh Benggalang menggelar aksi di kantor Gubernur Aceh. Tak pernah sama sekali Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah menemui mereka.

Bahkan sangking kecewanya. Pada aksi Senin (10/12) depan kantor Gubernur Aceh, peserta aksi sempat salatkan jenazah pocong boneka yang dipasangi foto Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah. Hingga sekarang Nova Iriansyah belum memberikan sinyal positif menolak PT EMM.

Aksi serupa juga dilakukan Kamis (28/3) lalu di kantor Gubernur Aceh. Ratusan mahasiswa menggeruduk kantor itu. lagi-lagi mahasiswa dibikin kecewa oleh Nova Iriansyah, selalu Plt Gubernur Aceh.

Setelah ditunggu-tunggu oleh peserta aksi. Plt Gubernur Aceh tak mau hadir langsung di depan peserta aksi. Hanya Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh, Mahdi Nur yang hadir.

Saat itu Mahdi Nur juga tidak memberikan respon positif. Dia mengungkapkan perizinan PT EMM sudah sesuai aturan yang berlaku. Semua keputusan berada di tingkat kementerian. Gubernur Aceh tidak bisa mencabut izin perusahaan tersebut.

“Kita gak bisa mencabut izin, kalau kita cabut bisa saja mereka menggugat kita lagi. Karena mereka sudah sesuai dengan aturan yang berlaku,” ungkapnya.

Proyek tambang disebut-sebut “Freeport Kedua” di Indonesia ini masih berada di Beutong Ateuh Benggalang. Arus penolakan dari warga masih terus menggelinding. [Acal]

read more
Hutan

Pemerintah Diminta Bantu Masyarakat KEL untuk Cegah Pembalakan Liar

Akhir-akhir ini, marak terjadi penebangan hutan illegal di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Berdasarkan data dari Yayasan Hutan Alam & Lingkungan Aceh (HakA) tercatat sejak tahun 2015-2017 kerusakan KEL seluas 30.926 hektar.

Menurut Ketua Jurusan Teknik Lingkungan Universitas Serambi Mekkah (USM) yang juga pemerhati lingkungan Aceh, Muhammad Nizar Pemerintah harus memberikan pencerahan dan dukungan kepada masyarakat agar peduli dengan hutan, tidak melakukan penebangan hutan, memberikan lahan pertanian, bibit atau soff skill yang bermanfaat tanpa menebang pohon yang berlebihan. Saat ini kebanyakan masyarakat mencari penghasilan dengan menebang pohon. “Contohnya dengan memperluas lapangan pekerjaan seperti bercocok tanam,”ujarnya, Sabtu (23/2/2019). (more…)

read more
1 2 3 4 18
Page 2 of 18