close

hutan aceh

Flora Fauna

Melestarikan Satwa dengan Kemah Jurnalistik

Pipit setengah berteriak di hadapan puluhan jurnalis, mahasiswa, dan aktivis lingkungan yang duduk melingkar di Aula Conservation Respons Unit (CRU) Sampoiniet, Kabupaten Aceh Jaya, Aceh. Perempuan dengan nama asli Fitria itu adalah manager program CRU Aceh, berhadapan dengan para jurnalis.

Malam itu, Kamis (16/8/2018) jarum jam baru saja menunjukkan pukul 20.30 WIB saat puluhan peserta Kemah Jurnalistik berkumpul di Aula CRU Sampoiniet. Bangunan basecamp yang didirikan untuk merespons konflik gajah liar itu terletak di pinggiran hutan Ulu Masen, sekitar 24 kilometer dari Jalan Banda Aceh – Meulaboh.

Genset sumber energi untuk menghidupkan beberapa lampu penerangan di CRU. Bangunan itu jauh dari pemukiman, tanpa akses listrik, dan sinyal telepon.

Pipit menjadi narasumber menyampaikan pengetahuan tentang Gajah Sumatera dalam diskusi yang digagas oleh Forum Jurnalis Lingkungan (FJL). Ia berharap, jurnalis punya andil besar dalam mengampanyekan keberadaan satwa Gajah Sumatera yang kini keberadaannya semakin terancam.

“Kita berharap jurnalisnya smart. Jurnalis harus memberitakan fakta, kalaupun ada bumbu, bumbunya harus edukatif, bukan provokatif,” kata perempuan itu dengan suara yang lumayan keras.

Pipit menerangkan bahwa kehidupan satwa gajah kini semakin terancam karena hutan habitatnya sudah menipis akibat pembalakan liar. Dalam beberapa bulan ini saja, dalam setiap bulannya terdapat seekor gajah ditemukan mati. Pada 9 Juni, gajah jinak bernama Bunta dibunuh untuk diambil gadingnya di CRU Serbajadi, Aceh Timur.

Sebulan berselang, pada 12 Juli, seekor gajah liar ditemukan tewas di HGU milik PT. Bumi Flora di Desa Jambo Reuhat, Kecamatan Banda Alam, Aceh Timur. Baru-baru ini, pada tanggal 13 Agustus 2018, gajah jinak bernama Retno juga ditemukan tak bernyawa di CRU Lala, Pidie.

Kematian gajah belakangan ini merupakan dampak setelah meluasnya pembalakan liar dan hutan sebagai habitat gajah yang menyempit. Pipit menyebut, akibat habitat yang berkurang, gajah liar terpaksa turun ke perkebunan warga di beberapa kabupaten di Aceh. Sehingga terjadi konflik satwa liar dan manusia.

Konflik satwa dan seringnya turun gajah ke perkebunan dan perkampungan warga tidak terlepas tingginya penghancuran hutan di Aceh. terutama di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) Aceh.

KEL Aceh juga tempat terakhir di bumi dimana Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), Harimau (Panthera tigris sumatrae), Gajah (Elephas maximus sumatraensis) dan Orangutan (Pongo abelii) berada bersama di alam bebas. Bila laju kerusakan terus meningkat, hewan yang dilindungi ini juga semakin terancam, baik akibat pemburuan maupun kehilangan habitat sehingga terjadilah konflik satwa dengan manusia.

Berdasarkan data dari Yayasan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), laju kerusakan hutan di KEL Aceh semakin tinggi. Setiap bulannya kerusakan terus terjadi akibat adanya perambahan hutan. Hutan yang awalnya seluas 2.255.577 hektar, pada Juni 2018 tersisa sekitar 1,8 juta hektar. Periode Januari – Juni 2018, luas tutupan hutan yang hilang diperkirakan seluas 3.290 hektar.

Angka ini memang relatif menurun dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2017 seluas 3.780 hektare, dan meningkat dibanding periode Juli – Desember 2017 seluas 3.095 hektare. Namun Hutan Lingsung tertinggi terjadi deforestasi saat ini.

Kawasan Hutan Lindung (HL) di KEL Aceh menjadi kawasan hutan yang mengalami penghancuran dan pengurangan areal tutupan hutan paling tinggi seluas 615 hektar. Selanjutnya yaitu Hutan Produksi (HP) dengan deforestasi seluas 525 hektare, dan Taman Nasional seluas 368 hektar Hutan Produksi Terbatas 263 hektar, Suaka Margasatwa 96 hakter dan Taman Baru 24 hektar.

Sementara kawasan fungsi hutan yang mengalami kerusakan paling parah terjadi di Kabupaten Gayo Lues, seluas 433 hektar. Disusul Aceh Timur 290 hektar, dan Aceh Tenggara 222 hektar. Total kerusakan hutan di kawasan hutan mencapai 1.891 hektare

Kerusakan areal tutupan hutan KEL Aceh seluas 3.290 hektare pada periode Januari – Juni 2018 diakibatkan oleh berbagai kegiatan ilegal. Forum Konservasi Leuser (FKL) Aceh menilai ada tiga faktor utama menjadi penyebab laju deforestasi di KEL, yaitu pembalakan liar, perambahan, dan pembukaan akses jalan.

Tentunya keberadaan CRU, khususnya di  Sampoiniet, Kabupaten Aceh tak terlepas dari merespon konflik gajah liar yang terus terjadi di Aceh. Setelah perdamaian antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka pada 15 Agustus 2005, perambahan hutan pun semakin gencar dilakukan.

Apalagi untuk pemenuhan pasokan kayu untuk rekonstruksi pembangunan pascatsunami menerjang Aceh pada 26 Desember 2004. Dampaknya, gajah liar semakin rutin turun dan mengobrak-abrik areal perkebunan warga di Kabupaten Aceh Jaya.

Merespons konflik satwa ini, kemudian pada Juli 2008, CRU Sampoiniet resmi didirikan di Desa Ie Jeureungeh, Kecamatan Sampoiniet, Aceh Jaya. Sebanyak empat ekor gajah jinak dari Pusat Latihan Gajah (PLG) Saree, Aceh Besar, ditempatkan ke sana. Mereka adalah Olu, Johana, Isabela, dan Azis.

Meski sudah ada CRU, gajah liar masih enggan pindah dari kawasan hutan yang sekarang menjadi perkebunan warga. Namun, keberadaan CRU menjadi benteng besar agar tidak terjadi konflik langsung antara gajah liar dan warga di Sampoiniet.

Tidak cukup hanya CRU, dalam waktu dekat ini, kata Pipit, CRU Aceh ingin membangun barier penghalang gajah liar di tengah hutan Ulu Masen untuk meredam konflik satwa. Barier itu nantinya akan menarik batas Kawasan Pengelolaan dan Pengawasan Habitat Gajah Aceh Jaya.

Hingga kini, pihak CRU Aceh masih merencanakan pemasangan barier jenis seperti apa yang cocok digunakan di kawasan hutan Ulu Masen. Menurut Pipit, ada dua jenis barier untuk gajah liar, yaitu berbentuk parit dan pagar listrik.

“Barier salah satu strategi untuk meredam konflik gajah liar, selain GPS Collar (pendeteksi posisi gajah liar). Apakah akan efektif, nanti akan kita lihat kalau sudah selesai,” kata Pipit.

Untuk pamasangan barier gajah, kata Pipit, lokasi pembangunannya harus terdapat barier alami. Misalnya, berupa dinding terjal, bukit terjal, dan lain sebagainya yang bisa menjadi penghalang lintasan gajah. “Barier dipasang di tengah hutan, di mana ada barier alaminya,” katanya.

Gajah Sumatera, kata Pipit, merupakan satu di antara empat spesies kunci yang hidup di hutan Aceh dan saat ini terancam keberadaannya. Keempat spesies itu adalah gajah, harimau, badak, dan orangutan.

“Sebenarnya, satwa yang terancam itu milik mereka,” kata Pipit sembari menunjuk tiga anak kecil berlarian di tengah forum diskusi. Usia mereka di bawah lima tahun. “Makanya, kita harus menjaganya. Ini hutang ke generasi yang akan datang.”

FJL Bentuk Keresahan Jurnalis

Ketua Divisi Organisasi dan Pendidikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Banda Aceh, Zulkarnain Masry mengatakan,  FJL pada dasarnya dibentuk sebagai respon dari keresahan jurnalis terhadap pembalakan hutan dan perburuan satwa liar yang gencar terjadi.

Dengan menggelar Kemah Jurnalistik pada setiap bulannya, kata Zul, sehingga semakin terbuka wawasan terhadap satwa, terutama gajah Sumatera.

“Kegiatan ini akan dilakukan dengan rutin dengan tema berbeda, sebulan sekali atau dua bulan sekali. Meskipun bukan wartawan, tapi berkonsentrasi dalam isu lingkungan, untuk menyelamatkan hutan, satwa, dan lingkungan kita,” kata dia.

Sementara itu Koordinator FJL Aceh, Ratno Sugito mengatakan, peserta Kemah Jurnalistik  dari kalangan jurnalis profesional, pers kampus dan blogger. Selama Kemah Jurnalistik digelar mereka diberikan pemahaman tentang pentingnya memberitakan isu-isu lingkungan.

Katanya, mengambil momen 17 Agusutus pada hari peringatan proklamasi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). FJL Aceh ingin mengkampanyekan perlindungan satwa yang dilindungi dan terancam punah di Aceh.

“Setidaknya ada 40 orang jurnalis, pers kampus, baik tulis, foto dan video berkumpul bersama. Diharapkan nantinya bisa memantik untuk menulis tentang isu-isu lingkungan,” ungkapnya.

FJL Aceh dalam melaksanakan Kemah Jurnalistik juga selalu didukung oleh beberapa elemen sipil yang peduli terhadap lingkungan. Seperti CRU Aceh, Yayasan Ekosistem Leuser (YEL), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh, Pewarta Foto Indonesia (PFI) Aceh, Ikatan Jurnalis Telivisi Indonesia (IJTI), Aceh, Walhi Aceh dan Aceh Chilimate Change Inisitive (ACCI).

Upacara Bendera Libatkan Gajah

Jumat (17/8) pagi, CRU Sampoiniet menggelar upacara bendera Hari Kemerdekaan Ke-73 Republik Indonesia. Uniknya, tiga gajah jinak di CRU bernama Olu, Johana, dan Isabela dilibatkan sebagai pembawa bendera sebelum dinaikkan oleh pengibar bendera merah putih.

Bendera diikatkan di sebatang bambu. Kemudian, gajah Olu merangkul bambu itu dengan belalai dan menyerahkannya kepada seorang mahout yang bertugas sebagai pengibar bendera. Setelah diserahkan, tiga gajah itu hormat bendera dengan menundukkan kepala.

Seusai upacara, gajah turut menyusuri sungai. Sang mahout yang duduk di pundak masing-masing gajah memegang bendera merah putih.

Leader CRU Sampoiniet, Samsul Rizal mengatakan upacara bendera pada HUT Kemerdekaan Ke-73 RI yang melibatkan gajah Sumatera baru pertama kali dilakukan. Dengan melibatkan gajah, dia ingin mengampanyekan bahwa manusia bisa hidup berdampingan dengan gajah.

“Untuk mengampanyekan bahwa kita bisa hidup dengan gajah. Kita di Indonesia hari ini merasakan kemerdekaan, termasuk gajah,” kata Samsul Rizal.[]

Penulis : Habil Razali

read more
Hutan

KEL Masih Terus Dirusak Oleh Perusahaan Sawit

BANDA ACEH – Perusahaan kepala sawit di Aceh secara umum masih saja menjadi penyebab utama kebakaran hutan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Meskipun telah dikeluarkannya instruksi dari Presiden Indonesia, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta surat dari Gubernur Aceh tentang moratorium, namun laju deforestasi tetap terjadi.

Berdasarkan penelitian lapangan yang dilakukan oleh Rainforest Action Network (RAN) menemukan fakta di wilayah Singkil-Bengkung yang masuk KEL masih saja terjadi pembukaan lahan baru. Padahal Presiden sudah mengeluarkan moratorium ekspansi sawit dan review izin untuk menghentikan pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit di KEL.

Lokasi tersebut merupakan kawasan rawa gambut hutan padat yang menjadi hot spot keanekaragaman hayati dunia atau sebuah kawasan yang dikenal sebagai ‘ibukota orangutan dunia’, karena berfungsi sebagai rumah bagi spesies kera besar yang terancam punah.

Hutan dataran rendah yang subur ini juga diakui oleh para ilmuwan iklim sebagai salah satu lanskap paling kaya karbon di bumi, yang ketika dikeringkan dan dibakar akan menghasilkan polusi dalam skala besar pada lapisan atmosfer, seperti catatan kebakaran lahan gambut yang terjadi di provinsi Aceh pada bulan Februari tahun ini.

Direktur Kebijakan Hutan,  Rainforest Action Network RAN), Gemma Tillack, mengatakan, aktifitas perusakan hutan ini terbukti terjadi dalam kawasan konsesi perkebunan kelapa sawit PT. Laot Bangko, saat ini juga masih sedang berkonflik dengan masyarakat terkait lahan.

Periode 25 Mei hingga Desember 2017 ada 13 hektar lahan dalam konsesi dibuka, meskipun sempat terhenti beberapa bulan. Namun aktivitas tersebut kembali dilanjutkan pada Januari 2018 lalu dengan membuka 4 hekar lahan baru.

“Pada Februari 2018, titik api juga ditemukan dalam lokasi tersebut menunjukkan bahwa kondisi hutan tetap terancam,” kata Gemma Tillack.

Sementara itu PT. Indo Sawit Perkasa (PT. ISP) pada awal tahun 2017 sempat diprofilkan sebagai salah satu pelaku perusakan hutan di wilayah Singkil-Bengkung. Hingga Maret 2018 masih melakukan aktivitas pembukaan lahan dengan menghancurkan hutan hujan dataran rendah dalam KEL.

“Bukti satelit menunjukkan bahwa PT. ISP telah menghancurkan lebih dari 67 hektar hutan,” jelasnya.

Menurutnya, hingga sekarang kelapa sawit masih diterima di pasar global dengan cara mengorbankan hutan dan melanggar hak asasi manusia. Maka solusi jangka panjang akan sulit ditemukan dalam menyelesaikan konflik lahan dan mengamankan perlindungan KEL.

Untuk mengintervensi jangka panjang agar tidak merusak hutan. Dibutuhkan intervensi oleh para pembeli dan distributor kelapa sawit, agar perusahaan penyuplai seperti PT. Indomas Mitra Teknik, PT. Samudra Sawit Nabati, PT. Bangun Sempurna Lestari, PT. Global Sawit Semesta, PT. Runding Putra Persada, PT. Nafasindo dan PT. Ensem Lestari tidak merusak hutan.

“Pabrik-pabrik ini perlu mengadopsi dan menegakkan kebijakan agar tidak memasok kelapa sawit dari perkebunan yang menghancurkan hutan di dalam Ekosistem Leuser dan gagal menyelesaikan konflik lahan,” tegasnya.

Gemma Tillack menilai butuh komitmen semua pihak untuk menghentikan semua pembukaan lahan untuk kelapa sawit, serta komitmen yang dibuat oleh Golden Agri Resources (GAR), Wilmar dan Musim Mas untuk memprioritaskan upaya perlindungan Ekosistem Leuser dan menghentikan pembukaan hutan hujan dataran rendah dan lahan gambut di wilayah Singkil-Bengkung.

Gemma menghimbau agar perusahaan pemasok kelapa sawit seperti Wilmar, Musim Mas dan Golden Agri Resources (GAR) untuk segera menghentikan merusak  KEL. Termasuk segera menyelesaikan konflik lahan serta mendorong perlindungan hutan berbasis masyarakat dan mendukung usaha pemulihan hutan hujan di dataran rendah Aceh.[]

read more
HutanKebijakan Lingkungan

UNESCO Sebut TNGL Dalam Bahaya

BANDA ACEH – Reactive Monitoring Mission (RMM) International Union for Conservation of Nature and Natural Resource (IUCN) Unesco, Peter Howard menyebutkan Tropical Reinforest Heritage Sumatera (TRHS) merupakan 1 dari 240 warisan dunia yang ditetapkan oleh Unesco.

Sejak ditetapkan sebagai TRHS, kawasan ini terus mengalami kemunduran, sehingga Unesco menetapkannya dalam bahaya. Hal ini berimbas pada keharusan pemerintah RI melakukan kegiatan yang berkaitan dengan perbaikan kerusakan tersebut.

“Lima tahun lalu RMM juga sudah datang untuk mengidentifikasi masalah dan mencari pemecahan terhadap masalah tersebut. Sekarang setelah 5 tahun berjalan kita akan melihat, bagaimana proses perbaikan dari rekomendasi tersebut dilakukan,” kata Peter Howard dalam pertemuan dengan Wakil Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, Jumat (6/4/2018).

Peter menjelaskan, pihaknya akan melihat apakah target-target yang telah ditetapkan 5 tahun lalu masih realistis untuk dicapai atau harus diubah. Tim siap membantu jika target tersebut belum tercapai.

“Kita siap meminta bantuan komunitas internasional untuk datang dan turut membantu,” ucap Peter.

Untuk memastikan perkembangan TNGL dan khususnya KEL,  Asisten Deputi Warisan Budaya Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Pamuji Lestari menjelaskan, tim akan beraktivitas di beberapa taman nasional di Sumatera selama 12 hari. Ini dilakukan agar warisan dunia yang ada di Indonesia dapat dijadikan sebagai potensi.

“Benar ada dana yang dikeluarkan untuk pemeliharaan, tetapi taman nasional harus pula didorong menjadi potensi ekonomi bagi masyarakat sekitar, terutama menggerakkan sektor pariwisata,” tukasnya.

Untuk diketahui, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 190/KPTS-II/2000, luas KEL mencapai 2.255.577 hektar, yang terbagi atas lokasi TNGL seluas 26,72 persen, Kawasan Taman Buru seluas 1,29 persen, Suaka Marga Satwa seluas 4,54 persen, Hutan Lindung 41,75 persen, Hutan Produksi 11,24 persen, dan Areal Penggunaan Lain (APL) seluas 14,46 persen.

KEL merupakan kawasan hutan tropis yang memiliki peran besar sebagai penyimpan cadangan air, pengendali iklim mikro, dan penyerap karbon. Sedikitnya terdapat 105 spesies mamalia, 382 spesies burung, dan 95 spesies reptil dan amfibi hidup di kawasan itu.

“KEL merupakan tempat terakhir di Asia Tenggara yang memiliki ukuran dan kualitas untuk mempertahankan populasi spesies langka. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menegaskan, pengelolaan KEL merupakan tanggungjawab Pemerintah Aceh. Namun, otoritas Aceh hanya sebatas pada kawasan hutan lindung dan hutan produksi,” kata Wakil Gubernur Aceh, Nova Iriansyah.

Sedangkan TNGL, pengelolaannya berada di bawah koordinasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser. TNGL harus bersih dari segala aktivitas yang mengganggu kegiatan konservasi.

“Jika ada isu mengatakan akan ada pembangunan jalan dan pembangkit listrik di wilayah TNGL, itu sama sekali tidak benar. Melalui program Aceh Green, Pemerintahan Aceh periode 2017-2022 kembali menjadikan pelestarian KEL sebagai salah satu prioritas, sebagai bagian dari pembangunan Aceh berwawasan lingkungan dan sensitif bencana,” tegas Nova.

Sebagaimana diketahui, dalam rangka mencegah terjadinya deforestasi dan degradasi hutan, Pemerintah Aceh telah menetapkan beberapa kebijakan strategis, di antaranya merekrut tenaga kontrak untuk pengamanan hutan (Pamhut) sebanyak 2.000 orang, yang bertugas untuk menjaga kelestarian KEL.

“Saat ini jumlah Pamhut yang direkrut Pemerintah Aceh pada tahun 2007/2008 hanya tersisa sebanyak 1.800 orang. Sebagian yang lain telah mengundurkan diri setelah mendapat pekerjaan lain,” ungkap Nova.

Tidak hanya merekrut Pamhut, melalui Instruksi Gubernur Nomor 5 tahun 2007 tentang Moratorium Logging, Pemerintah Aceh melarang semua aktivitas penebangan di kawasan hutan negara, disusul keluarnya kebijakan moratorium izin tambang dan mineral di tahun 2015, dan moratorium perkebunan kelapa sawit pada tahun 2016.

Selain itu, ada pula Qanun Nomor 19 tahun 2013 tentang RTRW Aceh 2013-2033, yang semakin menegaskan pentingnya pencegahan dan perlindungan hutan di wilayah ini.

Kebijakan ini diperkuat pula dengan hadirnya Qanun Aceh Nomor 7 tahun 2016 tentang Kehutanan Aceh.

Ada pula Peraturan Gubernur Aceh Nomor 20 tahun 2016 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Aceh, serta Peraturan Gubernur Aceh Nomor 10 tahun 2017 tentang Penanganan Konflik Terunial dalam Kawasan Hutan.

Sedangkan dalam hal perlindungan satwa, telah ada Keputusan Gubernur Aceh tentang Pembentukan Satuan Tugas Penanggulangan Konflik Manusia dan Satwa. Saat ini, Keputusan Gubernur tersebut sedang dalam proses peningkatan menjadi qanun.

“Dengan berbagai kebijakan yang telah dilakukan Pemerintah Aceh itu, bukan berarti semuanya dapat menjamin kalau perlindungan dan pengawasan KEL berjalan dengan sempurna. Dengan wilayah yang begitu luas, Pemerintah Aceh tentu tidak mampu melakukan pengawasaan secara menyeluruh. Tidak heran jika aksi-aksi illegal logging masih terjadi di kawasan itu,” kata Wagub.

Pada tahun 2011, Unesco menempatkan TNGL dalam status World Heritage in Dangered. Status ini merupakan peringatan untuk memberi perhatian lebih pada upaya pelestarian dan pengawasan di KEL dan TNGL.

“Semoga proses monitoring dan evaluasi yang akan berlangsung sukses. Harapan saya, melalui pertemuan ini kita dapat membahas langkah-langkah pelestarian ekosistem TNGL yang lebih komprehensif, sehingga peran KEL sebagai paru-paru dunia tetap berjalan dengan baik,” tutupnya.[acl]

read more