close

ian singleton

Flora Fauna

Minyak Sawit Ancam Keberadaan Orangutan Sumatra

Banda Aceh – Hutan hujan Leuser di Indonesia adalah rumah bagi beberapa spesies paling terancam di dunia. Ini adalah area hutan hujan terbesar ketiga di dunia, dan rumah bagi Harimau Sumatra, Badak Jawa, gajah Sumatra dan orangutan Sumatra, hewan-hewan yang terancam punah.

Tetapi penggundulan hutan menyebabkan habitat orangutan Sumatra menyusut dengan cepat – menjadikan spesies ini berada dalam ancaman yang paling besar.

Dalam 20 tahun terakhir, lebih dari 110.000 hektar hutan hujan Leuser telah dihancurkan – kira-kira setara dengan 4,2 juta lapangan tenis, BBC melaporkan.

Industri minyak kelapa sawit yang sedang tumbuh di Indonesia, proyek pertanian dan penebangan hutan lainnya, sebagian besar berada di belakang laju deforestasi yang cepat di daerah tersebut.

Namun, di Indonesia, orangutan juga terancam ditembak atau dijual sebagai hewan peliharaan. Para petani lokal melihat mereka sebagai hama dan menembak mereka dengan senapan angin. BBC pernah melaporkan dalam seri-nya yang berjudul “Leuser: Perjuangan Untuk Hutan Hujan”.

Ada kasus dimana seekor orangutan jantan ditembak 62 kali dengan senapan angin – sebelah matanya terkena pukulan sekali dan sebelah lagi dipukul dua kali.

“Jadi dia benar-benar buta. Dan kita tidak akan pernah bisa melepaskannya ke alam liar lagi. Dia tidak akan pernah bebas,”kata Direktur Program Konservasi Orangutan Sumatra, Dr Ian Singleton kepada BBC.

“Perkebunan akan mengatakan ‘orangutan keluar dari hutan memakan bibit kelapa sawit kami, tetapi mereka sebenarnya orangutan memakan bibit kelapa sawit dengan cara yang sama seperti pelaut yang terdampar kapal akan memakan sepatu atau ikat pinggangnya.

“Ini bukan makanan, ini hanya satu-satunya yang bisa mereka coba dan bertahan hidup di sana.”

Tujuan Program Konservasi Orangutan Sumatra adalah mencoba dan memperlambat penurunan jumlah orangutan Sumatra “sebanyak yang kita bisa” sehingga ketika Indonesia berada di tempat di mana ia dapat lebih melindungi hutan yang tersisa, masih akan ada beberapa orangutan dan spesies langka lainnya yang tersisa, kata Singleton kepada BBC.

Sumber: www.stuff.co.nz

read more
Flora Fauna

Peneliti IPB: Peneliti Belanda Ikut Terlibat Riset Orangutan Tapanuli

Jakarta – Peneliti genetika dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Puji Rianti, dalam sebuah acara diskusi mengatakan bukan hanya tim mereka yang terlibat dalam penelitian genetika orangutan Sumatera, tetapi juga melibatkan peneliti Belanda. Puji mengatakan hal tersebut di Jakarta, Kamis (4/4/2019).

“Memang berdasarkan penelitian di bidang genetik, bukan hanya saya tapi juga tim besar dari beberapa negara. Kita bergabung dari Indonesia, mencoba untuk memetakan awalnya bagaimana sih genetika si orangutan Sumatera itu,” kata Puji. Namun Puji tidak menjelaskan secara rinci bagaimana keterlibatan peneliti asing tersebut.

Namun, hasil penelusuran media diketahui bahwa spesies orangutan Tapanuli dari hutan Batang Toru ini diteliti oleh peneliti asal Amsterdam, Belanda, Gabriella Fredriksson. Wanita yang akrab disapa Gaby itu menjadi koordinator Program Konservasi Orangutan Sumatera (SOCP) yang berasal dari organisasi PanEco dan Yayasan Ekosistem Lestari (YEL).

Dalam sesi tanya jawab, salah satu panelis sempat menyinggung sosok Gaby dalam penelitian orangutan Tapanuli. Mantan pegawai Bappeda Tapanuli Selatan, Saulian, mengaku sejak 2007 sudah melakukan diskusi intensif dengan Gaby dari YEL.

“Hasil akhir yang (jadi) puncaknya, barangkali pada 2012. Saat itu kami (sempat) usulkanlah kawasan ini (Batang Toru) (berubah) dari hutan produksi menjadi hutan lindung,” ujarnya.

Puji mengatakan bahwa orangutan dari Batang Toru ini merupakan hewan yang hanya ada di Indonesia saja. “Ini berbeda dengan yang ada di Kalimantan karena di sana masih share dengan Malaysia,” ujarnya.

Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK, Wiratno, menegaskan bahwa orangutan di Batang Toru beinteraksi dengan masyarakat sekitar. “Mereka (orangutan) berinteraksi dengan masyarakat di Tapanuli Selatan. Mereka semua berhubungan dengan orangutan secara baik,” jelasnya.

Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) menuding bahwa pembangunan PLTA di daerah Batangtoru telah mengancam kehidupan orangutan akibat fragmentasi hutan.

Sumber: www.industry.co.id

read more
Pejuang Lingkungan

Aktivis Penyelamat Satwa Itu Bernama Ratno Sugito

Banda Aceh – Sapanya selalu hangat, sering membuat orang tertawa dengan sikap humornya yang kental. Itulah sisi keramahan Ratno Sugito, seorang aktivis yang telah lama berkecimpung dengan isu lingkungan sejak duduk di bangku kuliah Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Muhammadiyah Banda Aceh. Walaupun latar belakang pendidikannya berbeda dengan aktivitasnya, hal ini tidak menyurutkan niatnya menjadi aktivis lingkungan sejak semester awal kuliah.

Ratno atau Mas No, begitu ia biasa dipanggil, pria berkulit sawo matang pecinta lingkungan, lahir di Langsa 10 Juni 1981, adalah anak bungsu dari 9 bersaudara. Saat ini ia menetap di Kota Banda Aceh bersama keluarga kecilnya.

Bagi Ratno permasalahan lingkungan menjadi menarik karena kompleks dan menjadi perhatian dunia. Dalam kerja-kerja lapanganya Ratno selalu berhubungan langsung dengan konsekwensi hukum serta memiliki tingkat resiko yang lebih tinggi.

Misalnya advokasi perburuan satwa liar, advokasi yang dilakukan bersama pihak lain dan sangat menjunjung tinggi nilai asas praduga tak bersalah, “Intinya itu, kegiatan tersebut merupakan bagian yang tingkat resikonya paling tinggi. Dimana jika kita salah menjawab, salah mengklarifikasi dan mengidentifikasi maka kaitannya langsung ke ranah hukum,” kata Ratno kepada Greenjournalist di Banda Aceh, Kamis (22/03/2019).

“ (Saya) Jatuh cinta terhadap kegiatan lingkungan itu dari saya masih kuliah, dan saya melakukan kegiatan kolaborasi aksi mahasiswa, kampanye terbuka melibatkan massa yang banyak,” ujarnya.

Kecintaannya pada lingkungan terlihat dari eksistensinya dalam berbagai kegiatan-kegiatan. Seperti bekerja di lembaga yang menaungi khusus perlindungan satwa liar (animal trading). Ratno lebih fokus kepada perlindungan satwa liar serta upaya penyelamatan satwa dari lokasi rawan bencana. Seperti upaya penyelamatan satwa domestik dan satwa peliharaan warga yang terancam bencana sebagaimana yang pernah dia lakukan pada bencana alam gunung Sinabung Sumatera Utara beberapa tahun lalu.

“Ada beberapa kasus kami bergerak langsung bersama tim dan berhasil mengungkap kasus tersebut. Tak hanya sampai disitu kami juga telah membawa tersangka sampai ke meja hijau,” jelas Ratno.

Dirinya dengan Koalisi Advokasi Laut Aceh (KuALA) dalam divisi kampanye bersama relawan Sahabat Laut mengajak masyarakat untuk mengkampanyekan perlindungan satwa laut yang terancam punah yaitu Penyu.

Mereka juga mendorong masyarakat agar lebih peduli dan mampu mengawal isu penyelamatan Penyu secara mandiri termasuk dalam hal mencari dana. Saat ini perlindungan satwa laut Penyu sudah menjadi bola panas yang berdampak positif untuk perlindungan satwa liar di Aceh.

Pencapaian yang Ratno lakukan, menurutnya merupakan hasil dari proses yang panjang. Tapi apa yang sudah ia lakukan dulu menurutnya jelas sudah terlihat hasilnya kini.

“Walaupun kita tidak bisa mengklaim secara langsung itu merupakan hasil kerja kita. Akan tetapi, saya berkeyakinan apa yang kami lakukan dulu sudah ada hasil,” jelasnya.

Ratno beberapa tahun belakangan ini mencoba peruntungan baru menjadi pegawai Non PNS pada Pemerintahan Kota Banda Aceh. Namun hal ini tak lantas membuatnya meninggalkan aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan isu lingkungan.

Sambil beraktivitas sebagai pegawai Non PNS, saat ini ia juga dipercaya menjadi sekretaris Forum Jurnalis Lingkungan (FJL). Ratno memfasilitasi para jurnalis untuk mengawal isu lingkungan. Ia berharap dengan merangsang sensitivitas para jurnalis lingkungan akan lebih terjaga lewat pemberitaan di media massa.

Ratno banyak membuka cakrawala berpikirnya tentang isu lingkungan dalam perbincangan dengan Greenjournalist. Ia mempunyai segudang obsesi dan optimisme semua orang agar lebih sadar dan peduli terhadap lingkungan. Ratno juga terus menuangkan ide-ide kreatifnya pada isu lingkungan.

Perjalanan Ratno sebagai aktivis lingkungan telah membuktikan naluri kecintaannya terhadap isu lingkungan. (Fat)

read more
Flora FaunaKebijakan Lingkungan

“M. Salah”, Diselamatkan di Rawa Tripa, Dilepasliarkan di Jantho

Satu individu orangutan Sumatera (Pongo abelii) berjenis kelamin Jantan berhasil diselamatkan oleh tim dari Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Aceh – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia dalam program Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP). Orangutan tersebut terisolir sebuah fragmen hutan kecil dan sempit yang dikelilingi oleh kelapa sawit di Kawasan Rawa Gambut Tripa, yang merupakan sebagian dari Kawasan Ekosistem Leuser, Aceh, Indonesia.

Tim YEL-SOCP yang terdiri dari dokter hewan drh. Pandu Wibisono dan Manajer Operasional SOCP Asril Abdullah, S.Si serta petugas Balai KSDA Aceh berhasil menyelamatkan orangutan dari lokasi tepatnya di Desa Blang Mee (Kecamatan Kuala Batee, Kabupaten Aceh Barat Daya, dan kemudian dibawa ke Pusat Reintroduksi Orangutan SOCP, di kawasan Cagar Alam Jantho, Aceh Besar, dan telah dilepasliarkan kembali ke hutan alam Kamis pagi  (31/08/2018).

Orangutan jantan dewasa ini diberi nama “M. (Mawas) Salah” oleh tim penyelamat di lokasi, karena sambil melaksanakan tugasnya, tim membahas piala dunia sepakbola dan pemain terkenal tim Liverpool di Inggris, Mohamed Salah.

Dari hasil pemerikasaan kesehatan awal, Orangutan “M Salah” diperkirakan berumur antara 30-35 tahun, dan berat badannya sekitar 65 kilogram. Informasi oleh drh. Pandu juga mengatakan bahwa kondisi fisiknya cukup sehat, apalagi untuk orangutan yang sudah cukup lama hidup di habitat yang sumber makanan alaminya sangat terbatas.

Drh. Pandu Wibisono, menjelaskan, “Hasil cek kesehatan awal, orangutan “M Salah” ini terlihat sehat, hanya saja dia terlihat sedikit stress. Hal tersebut dapat disebabkan karena dia telah terisolasi di daerah seperti ini”.

Manajer Operasional SOCP, Asril, S.Si menyampaikan, “Jika kita tidak melakukan penyelamatan, besar kemungkinan orangutan akan mati disana akibat kelaparan ataupun dibunuh oleh masyarakat. Orangutan Jantan ini dikabarkan sudah mengganggu lahan pertanian masyarakat, termasuk memakan bibit kelapa sawit muda dalam upayanya untuk bertahan hidup.”

Sebenarnya bibit sawit bukan diet alami atau yang sehat untuk orangutan, akan tetapi jika tidak ada sumber makanan lain orangutan ini terpaksa turun dan mencobanya”.

Direktur SOCP, Dr. Ian Singleton dari PanEco Foundation yang juga ikut dalam kegiatan penyelamatan menjelaskan, “Sebenarnya kami merasa sedih jika harus menangkap orangutan liar dan bebas dari habitat aslinya. Tetapi dalam kasus seperti ini dimana habitat aslinya sudah dimusnahkan, tidak ada pilihan lain selain menyelamatkan ke tempat yang lebih aman di Jantho.”

Orangutan “M Salah” ini akan memiliki kesempatan bertahan hidup dan tetap berkontribusi terhadap generasi orangutan Sumatera, sekaligus untuk pelestarian spesiesnya. Kemungkinan besar dia akan dibunuh jika tidak diselamatkan, maka tidak punya pilihan selain mencoba membantu mentranslokasinya. Dengan begitu, setelah ditranslokasi ke hutan yang lebih aman, “M Salah” akan bergabung dengan lebih dari 100 individu orangutan lain yang telah dilepasliaarkan, sebagai upaya untuk membangun populasi baru spesies sangat terancam punah ini di alam liar”.

Sementara itu, Kepala Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (KSDA) Aceh, Sapto Aji Prabowo, M. Si mengatakan, “Dengan jumlah orangutan Sumatera yang tersisa diperkirakan hanya sekitar 13.000-an, orangutan Sumatera terdaftar oleh IUCN (Badan Konservasi Alam Dunia) sebagai jenis satwa yang ‘Sangat Terancam Punah’. Selain itu, Orangutan juga dilindungi secara tegas dibawah hukum Indonesia, dengan potensi denda sebesar Rp 100,000,000 dan hukuman kurungan selama 5 (lima) tahun jika membunuh, menangkap, memelihara atau menjualnya”.

“Kami telah dan akan terus melakukan penegakan hukum terhadap kasus-kasus pembunuhan, penangkapan, dan pemeliharaan orangutan secara illegal, dengan tujuan bahwa kasus-kasus ini akan menjadi efek jera kepada siapa saja yang akan menangkap atau membunuh orangutan, dan juga kepada orang yang membeli atau menerima orangutan dari orangutan lain secara illegal”, tegasnya.

Lokasi penyelamatan orangutan “M Salah” berada di Kawasan Rawa Gambut Tripa, di Kawasan Ekosistem Leuser, yang menjadi fokus masyarakat dunia tahun 2012 ketika terdapat banyak titik api dan kebakaran berskala besar di perkebunan kelapa sawit, yang memusnahkan ribuan hektar hutan rawa gambut dan keanekaragaman hayatinya, dan melepaskan sejumlah besar karbon dioksida ke atmosfir. Kejadian ini mengakibatkan beberapa kasus hukum berupa tuntutan yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terhadap pengusaha-pengusaha perkebunan kelapa sawit.

Beberapa tuntutan tersebut berhasil memberikan denda dalam jumlah besar dan hukuman penjara terhadap pengusaha dan pihak-pihak yang terbukti melanggar hukum.

“Kami telah dan akan terus melakukan penegakan hukum terhadap kasus-kasus pembunuhan, penangkapan, dan pemeliharaan orangutan secara illegal, dengan tujuan bahwa kasus-kasus ini akan menjadi efek jera kepada siapa saja yang akan menangkap atau membunuh orangutan, dan juga kepada orang yang membeli atau menerima orangutan dari orangutan lain secara illegal,”tegasnya.

Sejak tahun 2001, SOCP telah menerima lebih dari 370 orangutan di pusat karantina dan rehabilitasi orangutan yang berada di Kecamatan Sibolangit, Deli Serdang, Sumatera Utara. Lebih dari 280 diantaranya telah dilepasliarkan di kedua pusat reintroduksi yang dikelola YEL-SOCP di Provinsi Jambi dan di Jantho, Aceh. Sebanyak 105 orangutan lainnya telah dilepaskan ke hutan Jantho, Provinsi Aceh sejak 2011.[rel]

 

 

read more
Pejuang Lingkungan

Ian Singleton, Penjaga Orangutan Aceh

Bagi anda yang terlibat dalam dunia konservasi Orangutan, mungkin nama ini sudah tidak asing lagi di Indonesia. Pria asal Inggris yang lahir pada tahun 1966 sejak usia muda sudah mendedikasikan dirinya melestarikan Orangutan. Ian Singleton namanya, awal berkenalan dengan Orangutan ketika ia bekerja di Kebun Binatang Jersey pada tahun 1989 sebagai penjaga Orangutan. Penyandang gelar BSc (hons) Ilmu Lingkungan ini memang menyukai bekerja bersama hewan liar.

Awal ia “terdampar” di Indonesia adalah saat Ian mengambil liburan ke Indonesia untuk belajar tentang orangutan di alam liar dan akhirnya mengembangkan rencana PhD. Ia memulai risetnya pada tahun 1996 di Aceh Selatan dan menyelesaikan studinya akhir tahun 2000. “Saya kemudian mendekati Regina Frey dan PanEco karena saya tahu mereka baru memulai proyek konservasi Orangutan di sini dan saya dipekerjakan untuk membantu mengaturnya”ujar Ian. Disertasi PhD nya tentang perilaku Orangutan Sumatera dan pergerakan musiman di hutan rawa.

Pria ini sekarang menjabat Direktur Konservasi di lembaga konservasi internasional Yayasan PanEco. Pekerjaan utamanya adalah mengawasi dan mengarahkan semua aspek Program Konservasi Orangutan Sumatra (SOCP). ” Ini melibatkan banyak pekerjaan kantor dan pertemuan tetapi saya juga masih sering pergi ke hutan dan melakukan langsung sejumlah pekerjaan dengan tangan saya sendiri. Namun, semakin banyak pekerjaan manajemen seperti membuat proposal, penggalangan dana, laporan, masalah staf, melobi, rapat, mengembangkan proyek baru, dll.

Ian Singletan cukup bebas untuk memutuskan apa yang ingin dia lakukan dan masih bisa pergi ke hutan setiap saat dan mengembalikan Orangutan ke alam liar. Ian juga senang merawat Orangutan yang sakit agar kembali sehat dan dapat dilepasliarkan ke alam bebas.

Sumber: www.orangutan.org.au

read more