close

ikan

Flora Fauna

Perlindungan Ikan Kerling di KEL, Perlukah?

Penulis Fahmi Rizal, Pernah bergiat di berbagai LSM dan Program Lingkungan

Para pakar lingkungan hidup di seluruh dunia bersepakat bahwa untuk menyelamatkan spesies tertentu diperlukan upaya melindungi area dimana spesies tersebut mencari makan, berkembang biak dan membesarkan anak-anak mereka. Apapun spesies-nya, upaya demikian “pasti” berhasil untuk menyelamatkan spesies dimaksud.

Sebagai contoh, ada daerah yang telah puluhan tahun diterapkan di Indonesia untuk melestarikan spesies Tor spp. atau Tambra (Mahseer). Penyelamatan beberapa spesies dari genus Tor (mahseer) ini dilakukan dengan pendekatan tradisional di Sumatera, Jawa dan Kalimantan yakni dengan menempatkan genus ini ke dalam status pantangan untuk tidak boleh ditangkap suka-suka. Di Sumatera Barat misalnya, seringkali penduduk tidak lagi mengingat lagi nama lokal untuk ikan ini saking masifnya pewarisan kultural yang mengenalkan ikan ini dengan sebutan Ikan Larangan. Penulis menduga Ikan Larangan adalah spesies Tor Tambroides.

Sekedar informasi, Tor adalah genus ikan yang hidup di perairan tawar yang berarus (lotic water) dengan wilayah persebaran cukup luas, di zona iklim tropis dan sub-tropis dan di aliran sungai di pegunungan. Saking luas persebarannya, di Indonesia saja ikan ini memiliki banyak nama seperti Ikan Jurung, Ikan Kerling, Ikan Garing, Ikan Dewa, Ikan Empura, Ihan Batak, Ikan Kelah, Ikan Semah atau Ikan Kancra. Tor memainkan peran penting dalam ekologi karena makanan utama mereka berupa buah-buahan dari tanaman liar yang hanyut di permukaan sungai. Hal itu menempatkan status mereka sebagai konsumen utama dalam jaring makanan yang kompleks di sistem sungai.

Selain itu, Tor sering diidentikkan dengan riam dan sungai beraliran deras karena jenis ikan ini lebih memilih perairan sungai yang jernih dan deras yang mengalir diantara bebatuan atau pada riam beralas kerikil atau berbatu. Posisi tersebut menempatkan Tor menjadi salah satu bioindikator hulu sungai yang tidak tercemar (Lee K.S., 2014). Sayangnya, sebagian besar spesies dari genus ini masuk dalam status konservasi IUCN Red List dengan kode Data Deficient, ada pula yang diberi kode Extinct (punah) dan Endangered (terancam).

Ikan Larangan di Sumatera Barat dan Jawa Barat masih sangat bermakna dalam kehidupan sosial masyarakat. Larangan menangkap atau membunuh ikan ini masih berlaku efektif, terutama dengan adanya rumor datangnya malapetaka bagi siapa saja yang melanggar larangan tersebut. Padahal ikan ini memiliki rasa yang lezat serta harganya yang mahal: mencapai ratusan ribu rupiah per kilogram! Asumsi bahwa suplai yang terbatas mendorong tingginya harga bisa jadi benar meskipun pada beberapa daerah lain yang suplai ikan jenis ini cukup banyak pun harga tetap tinggi.

Rasa dan harga yang luar biasa ini pula yang menempatkan ikan ini sebagai makanan para raja dan menu utama acara adat di berbagai daerah di bagian barat Indonesia. Kepatuhan masyarakat terhadap larangan juga didukung oleh dua benefit langsung yang mereka terima. Benefit pertama bersifat individual berupa kunjungan wisatawan sementara benefit kedua bersifat komunal berupa hasil pelelangan ikan yang dilakukan sedikitnya sekali setahun.

Implikasi dari larangan tersebut adalah populasi ikan yang melimpah. Kelimpahan Tor dapat digunakan sebagai petunjuk rendahnya kekeruhan hulu sungai akibat endapan lumpur erosi sungai sekaligus menunjukkan peresapan air di wilayah berhutan di hulu sungai masih sangat baik.

Bagaimana dengan di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL)? Ikan Jurung semakin sedikit jumlahnya di sungai-sungai di KEL. Dewasa ini tidak lagi didapatkan Ikan Jurung dengan panjang mencapai 1 meter. Penangkapan yang masif karena dorongan harga jual yang tinggi telah mendegradasi populasi ikan ini di wilayah hutan hujan tropis tersebut. Tidak berlakunya pembatasan kultural maupun legal terhadap jenis ikan yang rentan punah ini ikut memperburuk perlindungannya.

Penangkapan Ikan Jurung di sungai Alas, sebagai contoh, masih sering dilakukan oleh oknum masyarakat dengan cara penyetruman atau pengeboman. Beberapa desa di sepanjnag sungai Alas telah membuat aturan tingkat desa yang melarang penangkapan ikan di sungai (semua ikan, termasuk Ikan Jurung) dengan cara yang destruktif namun masih membolehkan penggunaan pancing dan jala. Penerapan regulasi tingkat desa ini dibiayai dengan anggaran desa.

Alih-alih membiarkan desa yang mati-matian mencoba melindungi Ikan Jurung dan membatasi penangkapannya, bukankah lebih baik jika perlindungan terhadap satwa ini ditetapkan melalui Qanun? Dalam bulan-bulan terakhir ini, Pemerintah Aceh telah membahas dan mendiskusikan rancangan Qanun untuk perlindungan satwa liar yang dominan didorong oleh konflik antara satwa dan manusia dalam konteks melindungi satwa liar agar tidak terbunuh atau cedera akibat berkonflik dengan manusia sekaligus melindungi manusia agar tidak terbunuh atau mendapat musibah dari satwa liar tertentu.

Selain itu, Qanun tersebut juga dimaksudkan untuk menyelamatkan satwa dari kepunahan akibat hilangnya habitat, putusnya koridor, serta perburuan dan perdagangan ilegal. Begitupun, penulis tidak yakin bahwa perlindungan terhadap Ikan Jurung masuk secara spesifik dalam pengaturan yang dimuat oleh Qanun tersebut. Apalagi belum pernah terdengar adanya konflik yang terjadi antara Ikan Jurung dengan manusia.

Pengaturan perlindungan Ikan Jurung dengan instrumen hukum berbentuk Qanun tentu dapat memperkuat upaya-upaya perlindungan yang coba diterapkan oleh masyarakat desa melalui peraturan desa mereka. Adanya beberapa desa yang menetapkan upaya perlindungan lokal patut dianggap sebagai kebutuhan yang bukan lagi lokalistik tetapi regional.

Oleh karena itu, menggunakan momentum pembahasan Rancangan Qanun tersebut untuk memperkuat perlindungan dan pelestarian Ikan Jurung, an sich, sebagai jaminan kebersihan sungai adalah langkah yang perlu dilakukan. Jika pelestarian dan perlindungan dimaksud sampai pada “tingkat” ikan larangan tentu sangat baik.

Tetapi, boleh jadi, Pemerintah Aceh telah memikirkannya dan memasukkan perlindungan ikan ke dalam perlindungan satwa liar di Aceh. Semoga.

read more
Ragam

Awig-awig, Kearifan Warga Lombok Menjaga Perikanan

Penerapan awig-awig di Lombok Barat dan Lombok Timur dalam pengelolaan perikanan dapat melindungi nelayan tradisional dan menjaga budaya lokal yang terkait dengan perikanan. Penerapan awig-awig didasari oleh kesadaran masyarakat terhadap praktek penangkapan ikan yang merusak terjadi dan berdampak pada kehidupan mereka. Awig-awig juga telah menjadi aturan tertulis dalam pengelolaan perikanan di wilayah tersebut untuk menjaga laut mereka. Awig-awig merupakan aturan yang dibuat berdasarkan kesepakatan masyarakat untuk mengatur masalah tertentu untuk memelihara ketertiban dan keamanan dalam kehidupan bermasyarakat.

Demikian hasil kunjungan lapangan peserta Kegiatan Regional ICCA Knowledge Sharing and Capacity Building Event pada Rabu, 19 Agustus 2015 kemarin ke Jerowaru, Telok Jor, Lombok Timur. Pertemuan ICCA (Indigenoues People’s Community Conserved Area and Territories/ Wilayah dan Perbatasan Komunitas Terkonservasi milik Masyarakat Adat ). South East Asia Knowledge Sharing and Capacity Building sendiri dilaksanakan di Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat dari tanggal 17 Agustus hingga 22 Agustus 2015.

“Kearifan lokal masyarakat penting untuk dihargai. Mempelajari sejarah menjadi penting bagi masuarakat adat dalam menentukan kearifan local. Menghargai sejarah menjadi penting untuk menentukan masa depan masyarakat adat,” ungkap Grazia Borrini-Feyerabend, Global Coordinator ICCA dalam Workshop ICCA South East Asia Knowledge Sharing and Capacity Building Event di hari kedua (19/8).

“Sebelum kita mempelajari ICCA’s, kita harus mengerti sejarah mereka. Disana kita bisa mempelajari kearifan lokal mereka, dan menghargai pengertian kolektif mereka seperti ada peraturan dan denda adat yang bertujuan untuk konservasi wilayah mereka,” sambung Grazia.

Sementara itu, Temenggung Grip dari Suku Rimba, yang tinggal di hutan Taman Bukit Dua Belas, Jambi menyampaikan bahwa Suku Rimba sangat bergantung dengan alam, terutama hutan. Suku Rimba harus menjaga hutan dan lingkungan tempat mereka tinggal dengan beberapa peraturan yang harus ditaati oleh seluruh masyarakat Suku Rimba dan pendatang di hutan Bukit Dua Belas. Jika ada yang melanggar, seperti menebang pohon yang sudah dikeramatkan, maka dia harus membayar dendan dengan kain adat. “Larangan dan denda ini dibuat semata-mata untuk menjaga ekosistem kita,” sambung Temenggung Grip.

Sutej Hugu, peserta dari Taiwan memaparkan bahwa di Taiwan ada peraturan-peraturan tertentu untuk konservasi alam mereka. Ada peraturan tentang beberapa ikan tertentu saja yang harus dimakan oleh laki-laki atau perempuan. “Hal ini diberlakukan untuk menjaga ekosistem laut menjadi terjaga, karena tidak semua ikan yang kami miliki di laut dikonsumsi,” kata Sutej.

Konservasi masyarakat adat merupakan bentuk keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungan di ICCA Consortium. “ICCA bisa disebutkan sebagai model pengelolaan kawasan sumber daya alam berbasis kearifan lokal,” kata Catharina Dwihastarini, Koordinator Nasional Global Environment Facility, Small Grant Programme (GEF SGP) Indonesia.

Sejalan dengan kegiatan ICCA ini, GEF SGP Indonesia telah berkomitmen mendukung kegiatan komunitas adat yang dapat megelola sumber daya alamnya dan kearifan lokal menjadi berdaya. Karena komunitas adat itu bisa berdaya dan berkembang jika mereka juga sudah bisa menghasilkan suatu produk-produk dengan memanfatkan hasil alam yang mereka punya. “Menjadi penting jika kita bicara masyarakat adat, kita harus menjunjung dan melindungi keanekaragamanhayati yang ada di sekitar mereka. Sehingga mereka dapat hidup tenang di wilayah mereka, dan bisa memanfaatkan kearifan lokal untuk penghidupan mereka,” sambung Catharina. [rel]

read more
Kebijakan Lingkungan

Soal Wisata Bahari, Indonesia Bisa Belajar dari Malaysia

Konservasi pesisir dan sumber daya perairan bukan cuma bertujuan untuk menjaga keanekaragaman hayati laut namun juga mendukung perikanan berkelanjutan dan meningkatan perekonomian masyarakat dan negara secara lestari.

Demikian terungkap dalam diskusi ‘Sea Conservation & Safety Diving’ yang diselenggrakan Ecodiver Journalist di Jakarta, Sabtu (7/3/2015). Hadir dalam kesempatan tersebut Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan Kementerian Kelautan dan Perikanan Agus Darmawan, perwakilan Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu Yohanes Budoyo dan Runner up Miss Scuba International 2012 Yovita Ayu.

Menurut Agus, saat ini sekitar 55% dari hasil perikanan tangkap nasional berasal dari wilayah pesisir.

“Itu artinya kerusakan ekosistem di suatu wilayah pesisir akan berdampak penting terhadap masyarakat yang selama ini tergantung pada sumberdaya pesisir dan laut,” katanya.

Dia melanjutkan, perlindungan habitat dan ikan mampu menjaga keindahan dan kelestarian ekosistem bawah laut. Hal bisa menjadi daya tarik wisatawan, termasuk penyelam. Dalam perkembangannya kawasan tersebut bisa menjadi objek wisata pilihan yang berdampak pada perekonomian masyarakat sekitar.

Agus mengungkapkan, untuk mendorong pengelolaan ekeosistem pesisir dan laut berkelanjutan pemerintah mengembangkan model pengelolaan kawasan konservasi perairan terintegrasi. Sejak diinisiasi tahun 1980-an, kawasan konservasi perairan telah mencapai  16,5 Juta hektare atau sekitar 5% dari luas Perairan Laut Teritorial Indonesia

Sementara itu Yohanes menuturkan, pada kawasan konservasi laut dikembangkan sejumlah zona yang bertujuan untuk pengelolaan berkelanjutan. Diantaranya adalah zona inti yang ketat soal pemanfaatan dan zona pemanfaatan dimana peluang usaha masih terbuka.

Yohanes menuturkan, untuk kegiatan wisata yang dilaksanakan secara ramah lingkungan, seperti menyelam, relatif bisa dilakukan pada semua zona. Dia mengajak para penikmat wisata bahari agar turut berperan dalam konservasi laut demi kelestariannya.

Soal wisata bahari berkelanjutan, Indonesia bisa belajar banyak dari negeri jiran Malaysia. Menurut Yovita Ayu, demi mengonservasi terumbu karang dan ikan yang menjadi buruan para penyelam, Malaysia berani mengambil tindakan untuk  menutup total aktivitas yang merusak seperti yang dilakukan di Pulau Sipadan.

Pulau yang dulunya sempat menjadi objek sengketa dengan Indonesia itu kini berkembang menjadi salah satu tujuan utama penyelam dari seluruh dunia. “Malaysia menutup resor dan merubuhkan bangunan yang ada di sana. Pengunjung pun dibatasi dengan tiket masuk yang sangat mahal,” katanya.

Meski fasilitas terbatas, lanjut Yovita, minat pengunjung justru sangat tinggi. Mereka rela antre hingga setahun lamanya. “Sebab yang dicari penyelam bukan fasilitas resor yang mewah. Namun terumbu karang indah dan ikan-ikan yang beraneka ragam,” katanya. [rel]

read more
Ragam

Merkuri Diduga Cemari Sungai di Pidie dan Aceh Jaya

Inilah kondisi ikan yang mati akibat dugaan keracunan. Dagingnya lembek, mata bengkak, dan insang pecah. Dok: SulaimanInilah kondisi ikan yang mati akibat dugaan keracunan. Dagingnya lembek, mata bengkak, dan insang pecah.
Banda Aceh – Ribuan ikan mati dari aliran sungai di Pidie hingga Aceh Jaya, Aceh. Diduga, karena kebocoran penampungan rendaman pasir yang mengandung emas di Geumpang.

Kejadian itu berlangsung sejak 26 Juli, di Geumpang, Pidie. Aliran sungai yang terhubung ke Krueng Teunom, Aceh Jaya,  membuat ikan di sana mati. Warga yang juga keracunan setelah mengkonsumsi ikan tersebut dilarikan ke rumah sakit.

Kuddi, panglima krueng (pawang sungai) Sarah Raya, mengatakan, jarak antara Geumpang hingga ke Krueng Teunom sekitar 57 kilometer. “Dari hari raya ke tiga sampai ke mari, ikan mati,” kata Kuddi, yang dihubungi Sabtu (2/8/2014).

Adi Saputra, warga Teunom mengatakan, ikan-ikan itu mengapung terbawa arus sungai. Warnanya putih pucat. “Insang pecah. Dagingnya lembek,” kata Adi. Sementara Kuddi menambahkan, sisik ikan yang mati memerah, mata bengkak, dan kelamin di perut terburai.

Dua malam sebelum kejadian, Kuddi bersama warga menelusuri sungai mencari ikan kerling. Tak seperti biasa, ikan yang didapat sangat banyak. Ia belum tahu, jika di Geumpang banyak ikan yang mati. “Malam hari raya ke tiga, mulai banyak yang mati,” katanya lagi.

Di hari pertama kejadian, aktivitas masyarakat seperti biasa; mandi, mencuci dan buang air di sungai. Warga bahkan mengambil ikan yang mati untuk dikonsumsi. Namun, beberapa warga mengeluhkan pusing dan badan sakit. Empat orang dilarikan ke rumah sakit, di Teunom. Sejak itu, warga tidak lagi mengkonsumsi apapun yang berasal dari sungai.

Jufri Abdurrahman, Kepala Desa Padang Kleng, Kecamatan Teunom, mengatakan, kejadian itu belum pernah terjadi di daerahnya. Masyarakat telah dihimbau untuk tidak mengkonsumsi ikan sungai. Pasalnya, keracunan telah terjadi atas beberapa warga di tiga desa: Sarah Raya, Alu Meuraksa, dan Bintah.

Imum Mukim Leutung, Kemukiman Mane, Pidie, Tengku Sulaiman, menyebutkan, dugaan keracunan dari pertambangan tradisional semakin kuat. Pasalnya, pertambangan di sana, diduga tidak hanya menggunakan merkuri. Karbon, soda, obat tetes, hingga cairan berbahaya lainnya juga digunakan.

“Saat emas sudah dipisahkan, pasirnya dibawa turun ke bawah dan dibakar. Kandungan emas lebih banyak,” kata Sulaiman. Karbon yang terkadung dalam cairan itulah yang kemudian dibawa air hujan ke Krueng Geumpang hingga Krueng Teunom. Jika memang terbukti ikan itu mati karena keracunan pertambangan, kata Sulaiman, maka warga bakal menutup pertambangan emas itu.

Di Geumpang, kematian ikan terjadi setelah hujan turun, 26 Juli lalu. “Selama ini di Kemukiman Mane, diterapkan aturan tidak boleh membuka tambang di aliran sungai Krueng Mane. “Jika saluran pembuangan terhubung ke sungai harus tutup,” jelas Sulaiman.

Sehari setelah kejadian di Krueng Geumpang, ikan mati di Krueng Mane. Seminggu setelahnya sampai ke Krueng Teunom, aliran sungai yang langsung terhubung ke laut.

Di wilayah Kemukiman Mane, Sulaiman bersama tokoh masyarakat juga telah membuat pengumuman untuk tidak mengkonsumsi ikan dan air yang  bersumber dari sungai. “Padahal dari dulu, Krueng Mane sumber perekonomian masyarakat sekitar,” kata Sulaiman.

Sulaiman menjelaskan, petugas pemerintahan telah mengambil sampel ikan, untuk uji laboratorium. Senin, hasilnya keluar. “Saya sudah lapor bupati. Ini harus segera diatasi,” tandasnya. [005-mongabay-greenradio]

Sumber: TGJ

read more
Flora Fauna

Ribuan Nelayan Jaga Lumbung Ikan

Masyarakat nelayan di Teluk Kolono, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, menunjukkan kebanggaan akan potensi lautnya melalui Festival Teluk Kolono di desa Lambangi, 12–14 Maret 2014.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Konawe Selatan, Ir. Abdul Rahman K. menuturkan, “Perairan Teluk Kolono kaya akan berbagai ikan karang bernilai ekonomi tinggi seperti Kerapu, Kakap, Kuwe, Baronang, Tenggiri, Pari, Awu-awu dan Layang Juga biota laut yang dikonsumsi oleh masyarakat seperti Lobster, Gurita, Cumi-cumi, dan Sotong.

Potensi laut yang tinggi ini menyadarkan masyarakat untuk melestarikan lumbung ikan di perairannya. Untuk pertama kalinya, masyarakat nelayan Teluk Kolono terlibat aktif, duduk bersama merumuskan Peraturan Desa mengenai pengelolaan Daerah Perlindungan Laut (DPL) Teluk Kolono sebagai sumber perikanan berkelanjutan.”

Staf DKP Konawe Selatan sekaligus Manajer Kampanye Program Pride di DPL Teluk Kolono, Musriyadi, S.Pi. menginformasikan, ”Festival Teluk Kolono merupakan bagian Program Pride bagi Perikanan Berkelanjutan di DPL Teluk Kolono, kerja sama antara DKP Konawe Selatan dan Rare sejak Juni 2012. Program Pride mendorong masyarakat nelayan di desa Lambangi, Tumbu-Tumbu jaya, Ngapawali, Batu Putih dan Rumba-Rumba untuk terlibat aktif dalam pembentukan Peraturan Desa mengenai pengelolaan DPL Teluk Kolono serta menjadi anggota Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) untuk mengawasi pemanfaatan sumber daya perikanan di DPL Teluk Kolono. Kini telah terbentuk dua DPL di perairan desa Ngapawali dan desa Tumbu-tumbu Jaya dengan luas total lebih dari 50 hektar.

Nelayan didorong untuk menangkap ikan di luar batas DPL. Di akhir Program Pride pada Juni 2014, diharapkan tercapai dampak konservasi berupa stabilnya tutupan terumbu karang hidup dan sehat di DPL Teluk Kolono yang pada akhirnya akan menjamin ketersediaan sumber daya perikanan bagi masyarakat Teluk Kolono.”

“Dulu hasil tangkapan banyak. Biar pakai obor, turun memancing bisa dapat ikan banyak. Tapi sekarang hasil mulai berkurang. Biar pakai lampu yang terang, kadang nda ada hasil sama sekali. Lima tahun yang lalu, terumbu karang masih bagus. Sekarang sudah banyak yang rusak karena banyak yang tangkap ikan pakai bom.” M. Yamin, nelayan dari desa Tumbu-tumbu Jaya menceritakan kondisi perikanan saat ini.

“Penelitian kualitatif oleh DKP Konawe Selatan dan Rare pada Oktober 2012 di desa Lambangi, Tumbu-Tumbu Jaya, Ngapawali, Batu Putih dan Rumba-Rumba, menyebutkan bahwa rata-rata nelayan mengalami penurunan hasil tangkapan dibandingkan dengan sepuluh tahun yang lalu, ukuran ikan yang tertangkap semakin kecil serta lokasi tempat mencari ikan semakin jauh. Salah satu penyebab kondisi ini ialah penggunaan bahan peledak dan racun potas untuk menangkap ikan oleh sejumlah oknum nelayan yang tidak bertanggung jawab sehingga mengakibatkan rusaknya ekosistem terumbu karang sebagai rumah ikan.

Monitoring bawah laut oleh DKP Konawe Selatan dan Rare di DPL desa Ngapawali dan desa Tumbu-tumbu Jaya pada Januari 2013 menunjukan persentase luas tutupan karang keras hidup dan sehat di kedua DPL tersebut berada pada kategori ‘rusak sedang’ sebesar 31% dan 35% sesuai Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang, Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.04 tahun 2001. Oleh karena itu, pembentukan kawasan perlindungan laut guna pelestarian ekosistem terumbu karang menjadi salah satu solusi yang digagas dan dikembangkan bersama masyarakat nelayan Teluk Kolono.

“Kecamatan Kolono merupakan salah satu dari sedikit kawasan di Kabupaten Konawe Selatan yang bebas dari pertambangan. Masyarakat nelayan sadar bahwa pertambangan akan merusak ekosistem terumbu karang dan sumber daya laut Teluk Kolono. Masyarakat tergugah hatinya untuk berpartisipasi menjaga DPL supaya ikan senantiasa ada untuk kita dan anak cucu kelak,” jelas Camat Kolono, Drs. Muh. Yusuf.

“Program Pride ini menggugah rasa bangga masyarakat nelayan Teluk Kolono akan kekayaan sumber daya laut karunia Allah SWT. Mari kita bersama-sama mengelola DPL untuk melestarikan terumbu karang sebagai rumah ikan, supaya ikan selalu ada dan bertambah banyak. Jaga rumahnya agar melimpah. Ini sesuai dengan visi pembangunan Kabupaten Konawe Selatan sebagai ‘Kabupaten Minapolitan’ yang dijabarkan melalui misi yakni ‘Mewujudkan Masyarakat Konawe Selatan Sejahtera Berbasis Pedesaan’. Untuk mewujudkannya, mari kita bekerja keras bersama-sama bagi kesejahteraan nelayan di masa kini dan masa mendatang,” tegas Bupati Konawe Selatan, Drs. H. Imran, M.Si saat membuka Festival Teluk Kolono.

Bupati Konawe Selatan juga berdiskusi dengan nelayan dan mencanangkan Gerakan Pelestarian Teluk Kolono. Pembukaan festival ini disaksikan oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Konawe Selatan, Ketua Badan Pengendali Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Konawe Selatan, Kepala DKP Konawe Selatan, Camat Kolono dan 31 orang Kepala Desa di wilayah Kecamatan Kolono.

Lebih dari 3.000 orang masyarakat nelayan teluk Kolono memadati festival ini. Festival ini dimeriahkan dengan berbagai lomba bagi masyarakat nelayan seperti lomba perahu hias, lomba dayung, lomba balap katinting, lomba masak olahan tradisional hasil laut, lomba foto lingkungan perairan, lomba cipta lagu konservasi, lomba tarik tambang perahu, stand desa dengan makanan tradisionalnya, tarian tradisional dan lainnya.

“Festival Teluk Kolono yang baru pertama kali dilaksanakan ini merupakan kegiatan positif dalam melestarikan lingkungan perairan pesisir Teluk Kolono. Juga melestarikan budaya-budaya lokal yang keberadaanya mulai terkikis oleh perubahan zaman. Oleh karena itu, Festival Teluk Kolono akan dijadikan sebagai kegiatan tahunan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Konawe Selatan,” tambah Bupati Konawe Selatan, Drs. H. Imran, M.Si.

Sumber: hijauku.com

read more
Ragam

Pengelolaan Kekayaan Laut Aceh Masih Rendah

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) membantu nelayan Aceh sebesar Rp 75 miliar untuk pengembangan sektor kelautan dan perikanan. Dana yang bersumber dari Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara diserahkan secara simbolis oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, Sharif Cici Sutardjo di Lampulo, Banda Aceh, Sabtu 8 Maret 2014.

Menurut menteri Sharif, bantuan itu untuk meningkatkan produksi, mutu hasil tangkapan, dan produktivitas nelayan dengan  menerapkan teknologi penangkapan yang ramah lingkungan. “Juga meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan nelayan dan daya saing nelayan Aceh,” ujarnya.

Bantuan yang diberikan untuk nelayan berupa 27 unit kapal Inkamina, bantuan program Perikanan Tangkap untuk 130 kelompok usaha bersama dan juga pembangunan Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Lampulo Banda Aceh.

Gubernur Aceh Zaini Abdullah mengatakan, meski Aceh dikelilingi kawasan perairan laut seluas 295 ribu kilometer persegi, namun pengelolaan sumber daya alam ini belum optimal. Potensi  perikanan laut Aceh yang diperkirakan mencapai 1,8 juta ton per tahun, baru bisa diproduksi 10 persen saja.

“Tidak heran jika kehidupan nelayan Aceh banyak yang berada di bawah garis kemiskinan,” kata Gubernur. Pemerintah Aceh dengan dukungan pusat juga terus mendorong produktivitas nelayan Aceh yang perkiraan jumlahnya mencapai 65.000 orang.

Kawasan perikanan Lampulo termasuk lokasi bisnis sangat strategis di Aceh. Selama dua bulan terakhir, produksi ikan yang didaratkan di Lampulo mencapai 70 ton pe hari dengan perputaran uang mencapai Rp 1,5 miliar per hari dan melibatkan 5.000 tenaga kerja.

“Kami berencana meningkatkan peran pelabuhan ini menjadi Internasional Fishing Port yang mampu menampung kapal perikanan berukuran diatas 100 Gross Ton,” ujar  Zaini.

Sumber: TGJ/tempo

read more
Ragam

Aceh Punya Aturan Adat Pengelolaan Laut

DR. Dedi Supridi Adhuri selaku pembicara dalam Diskusi Panel mengatakan sejak berabad-abad yang lalu, orang Aceh mengenal tradisi dan hukum adat laut yang disebut “Panglima Laot”. Pada intinya, tradisi ini terkait dengan kelompok adat yang disebut Mukim (federasi gampong desa) dengan unit wilayah kelola yang disebut Ihok (teluk).

“Pengelolaan masing-masing Ihok dipegang oleh lembaga ‘Panglina Laot’. Memang berbeda dengan tradisi petuanan di Maluku. Orang Aceh tidak mengklaim hak milik terhadap wilayah adat lautnya. Mereka menganggap bahwa laut adalah milik semua orang (umum), tetapi mereka mengklaim hak pengelolaan,” papar Dedi dalam diskusi panel.yang bertemakan “Interdependensi Masyarakat Maritim Dengan Lingkungan”, bersama Sony Keraf dan DR. Alan F.Koropitan, Ph.D sebagai pembicara di Asean Room Hotel Sultan, Jakarta, Sabtu (11/1/2013).

Dedi mengungkapkan, menurut adat warga Aceh, setiap orang yang menangkap ikan atau sumberdaya laut lain di wilayah adat laut mereka harus tunduk pada aturan-aturan adat dan Panglima Laot dari lhok yang bersangkutan. Aturan-aturan adat laot bervariasi di tiap Ihok. “Aturan itu bisa dilihat dengan contoh dari praktik hak ulayat dan pengelolaan di dua Ihok, yaitu Lhok Kruet di Aceh Jaya dan Lhok Je Meule di Sabang,” tuturnya.[]

Sumber: pikiranrakyat.com

read more
Flora Fauna

Dunia Internasional Gagal Sepakati Konservasi Ikan Tuna

Pertemuan puncak ke-10 lembaga perikanan regional pasifik barat-tengah (WCPFC10) yang berlangsung tanggal 2 sampai 6 Desember 2013 lalu di Cairns, Australia, telah gagal menghasilkan kesepakatan konservasi dan pengelolaan yang kuat untuk melindungi masa depan sumberdaya tuna dari kondisi penangkapan berlebih.

Sejumlah aktivis Greenpeace, dan perwakilan organisasi non-pemerintah lainnya menjadi saksi langsung atas lemahnya komitmen banyak negara dalam pertemuan WCPFC10 untuk melakukan tindakan nyata menyelamatkan tuna dari eksploitasi berlebih.

Lagi-lagi kompetisi dan ekspansi bisnis perikanan antar anggota WCPFC telah mengesampingkan pentingnya instrumen yang kuat dan mengikat dalam pemulihan stok perikanan.  Konsensus WCPFC10 tersebut juga berarti tidak memberikan ruang, kesempatan dan keadilan bagi nelayan skala kecil untuk memanfaatkan sumberdaya ikan secara berkelanjutan.

Upaya pengetatan aturan dan batasan jumlah armada (longline dan purse seines), pengaturan dan penggunaan rumpon (FADs) serta kuota tangkap, terutama untuk tuna mata besar (bigeye) dan jenis-jenis tuna tropis lainnya termasuk cakalang (skipjack) dan sirip kuning (yellowfin) berdasarkan anjuran komite ilmiah WCPFC, berujung pada ketidakjelasan upaya pengurangan kapasitas tangkap.

Sebagian besar negara-negara WCPFC, jelas masih enggan menjalankan sistem perikanan yang bertanggungjawab dan berkelanjutan. Sejumlah pemangku kepentingan, seperti Amerika Serikat, Uni Eropa dan Cina, bahkan ragu menurunkan kapasitas tangkap dan cenderung memilih agar mendiskusikan kembali sejumlah proposal pengaturan sampai dengan pertemuan puncak tahun depan (WCPC11) di Samoa.

Jepang, pada pertemuan WCPFC10 sempat dielukan sebagai reformis karena turut mengusung upaya pembaharuan pengaturan agar setiap negara dapat mengambil langkah nyata mengatasi kondisi penangkapan berlebih di kawasan Pasifik barat. Namun tetap saja tidak dapat disembunyikan, pada momentum yang sama, Jepang bersama Cina, Taiwan, Korea Selatan bahkan Filipina turut memainkan peran ‘pengamanan kepentingan’ antar sesama negara Asia, terutama terhadap Indonesia, mengingat  Jepang dan negara-negara tersebut memiliki kepentingan ekspansi bisnis perikanan yang besar di Indonesia.

Sekalipun demikian, Pertemuan Cairns juga patut diapresiasi dan dirayakan. Sambutan hangat terhadap bergabungnya Indonesia sebagai salah satu anggota WCPFC di Cairns merupakan signal kuat bahwa upaya pengelolaan perikanan regional Pasifik barat menjadi semakin penting dan kita masih punya harapan bahwa Indonesia dapat menjadi pelopor dan pendorong terwujudnya keteladanan perikanan di kawasan tersebut.

Untuk itu, Indonesia perlu segera berbenah! Langkah awal, yang perlu ditempuh pemerintah melalui  Kementerian Kelautan dan Perikanan  adalah mengevaluasi kriteria dan membenahi sistem perizinan kapal ikan di Indonesia.  Kedua, pada saat yang bersamaan, segera menyusun pembaharuan sistem dan menyelenggarakan pengkajian stok ikan nasional dengan mendukung dan mengoptimalkan kewenangan dan kerja-kerja dari Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas Kajiskan).

Sebagai tuan rumah pertemuan WCPFC12 di tahun 2015 mendatang, Indonesia perlu berbenah lebih serius serta mempersiapkan diri lebih baik sejak sekarang agar keadilan perikanan dapat diwujudkan dan pengelolaan sumber daya ikan yang bertanggungjawab dan mengarusutamakan pemenuhan kriteria lingkungan dan sosial dampaknya benar-benar dapat dinikmati oleh nelayan dan rakyat Indonesia.[]

Sumber: greenpeace.or.id

read more
1 2
Page 1 of 2