close

iklim

Perubahan Iklim

Musim Kemarau 2020 Lebih Singkat, Karhutla Bisa Ditekan?

Jakarta – Kemarau tahun 2020 diperkirakan akan berlangsung lebih singkat dibandingkan 2019. Berbagai langkah pencegahan dinilai akan mengurangi potensi kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.

Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Dwikorita Karnawati mengatakan, tahun ini kemarau panjang bukan terjadi karena fenomena el nino. Melainkan perbedaan suhu muka air laut.

Pada 2019, kondisi iklim sangat dipengaruhi oleh suhu muka air laut di Samudera Pasifik tengah dan Samudera Hindia, di barat daya Sumatra.

“Kemarau panjang bukan karena el nino. Namun yang terjadi adalah perbedaan signifikan antara suhu muka air laut Samudera Hindia di sebelah timur Afrika dengan sebelah barat daya Sumatra di mana yang ada di barat daya Sumatra lebih dingin,” katanya di BNPB, Senin (30/12/2019).

Kondisi tersebut kata dia membentuk muka air sehingga curah hujan menjadi terbatas. Sejak Juli-September 2019, kondisi langit menjadi tidak berawan sehingga mengalami musim kemarau berkepanjangan.

Akan tetapi tahun depan, kemarau diperkirakan berlangsung lebih singkat. Dia menyebut berdasarkan analisis BMKG dan juga NOA, el nino tahun depan cenderung netral sehingga fenomena itu tidak terjadi hingga Juni 2020.

“Kemudian juga tidak terdapat indikasi terjadi fenomena perbedaan suhu muka air laut sehingga suku muka air laut di perairan Indonesia normal sampai hangat hingga Juni 2020. Artinya tidak terjadi kemarau berkepanjangan dibanding 2019.

Kendati demikian dirinya mengingatkan wilayah Aceh dan Riau diprediksi mengalami kemarau dimulai pada Februari-Maret 2020, sehingga harus waspada kekeringan dan kebakahan lahan.

Sementara itu, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Letjen Doni Monardo mengatakan bawah kunci penanganan kebakaran hutan dan lahan mutlak harus dilakukan.

BNPB bersama kementerian lembaga akan mengembalikan fungsi gambut menjadi basah, berair dan rawa. Serta meminta masyarakat tidak membakar hutan dan lahan.

Imbauan tersebut diiringi dengan pemberian bantuan alat pertanian dan jenis tanaman yang bisa memberikan nilai ekonpmi bagi warga seperti Lidah Buaya, Nenas, Kopi Liberika, Aren serta Sagu sehingga warga tidak bergantung pada satu jenis komoditas.

“Soal kebakaran hutan lahan umumnya karena dibakar. Sebagian besar jadi perkebunan. Gambut itu fosil batu bara muda. Maka ketika kering, statusnya sama seperti batubara muda. Selama ini 99 persen [hutan] dibakar. 1 persen saja [karena faktor] alam,” terangnya.

Sumber: kabar24.bisnis.com

read more
EnergiGreen StyleKebijakan LingkunganPerubahan Iklim

Gubernur Aceh Berkomitmen Kurangi Emisi

gubernur-aceh-berkomitmen-kurangi-emisi
Irwandi Yusuf diperiksa KPK. ©2016 merdeka.com/muhammad luthfi rahman

BANDA ACEH – Gubernur Aceh Irwandi Yusuf menyatakan serius dalam menjaga lingkungan untuk mengantisipasi panas bumi. Karena mengeksplorasi energi fosil tersebut tanpa disadari telah menyebabkan meningkatnya gas rumah kaca.

Aceh yang masih memiliki hutan yang cukup luas menjadi tumpuan Indonesia untuk mengurangi panas bumi. Oleh karena itu, Irwandi memasukkan program pelestarian lingkungan sebagai salah satu program prioritas pemerintah Aceh.

Irwandi mengatakan, antisipasi panas bumi yang tinggi dengan cara instan telah membuat kondisi bumi semakin memburuk. Aceh yang masih banyak hutan diharapkan mendukung pengurangan emisi sebesar minimal 7 persen dari 29 persen sesuai dengan komitmen Presiden Joko Widodo.

“Ada tiga program yang menyentuh masalah ini, yaitu: Aceh Green, Aceh Energi dan Aceh Seumeugot (Aceh memperbaiki),” katanya di Banda Aceh, Selasa (22/8).

Dia meminta kepada warga untuk mengurangi penggunaan pengatur suhu, AC. Karena AC dapat membuat cuaca bumi semakin panas. Selain itu, untuk mengaktifkan AC, diperlukan energi fosil yang telah diubah menjadi listrik.

“Untuk mengatasi kondisi ini, dunia harus bergerak bersama-sama menjaga ekosistem bumi agar tetap stabil,” tegas Irwandi.

Irwandi mengajak masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam melakukan pelestarian ekosistem bumi dan melindungi kawasan hutan. Sebab hutan merupakan sarana paling efektif menyerap gas emisi yang menjadi penyebab tingginya suhu bumi.

Sementara itu Kepala Dinas Kehutanan Aceh, Saminuddin mengaku, telah melakukan moratorium hutan pada periode semenjak periode lalu. Usia moratorium itu kini telah berjalan 10 tahun. Dua tahun lalu, pemerintah bahkan melakukan moratorium tambang.

“Langkah strategis ini menjadi bukti kita komit untuk mengurangi emisi. Dia bahkan merekrut 2000 tenaga kontrak untuk menjaga hutan. Saya yakin apa yang dilakukan bapak gubernur tidak berani dilakukan daerah lain,” tutupnya.[merdeka]

read more
Perubahan Iklim

Permukaan Samudera Pasifik Semakin Tinggi

Permukaan air laut terus naik di Samudra Pasifik di lepas pantai Filipina dan Australia Timurlaut karena manusia terus mengubah iklim, demikian  studi baru yang diungkapkan pada Rabu (23/7/2014).

Para peneliti menggabungkan data permukaan air laut belakangan ini yang dikumpulkan dari satelit dan tradisional untuk mengetahui seberapa banyak fenomena iklim yang terjadi secara alamiah dan disebut Pacific Decadal Oscillation (PDO) mempengaruhi pola kenaikan permukaan air laut di Pasifik.

PDO adalah pola temperatur di Samudra Pasifik, yang berlangsung rata-rata 20 sampai 30 tahun dan memberi pengaruh penting pada kecenderungan permukaan air laut.

Tim penelitian itu mereka ulang  permukaan air laut sejak tahun 1950.

Lalu, mereka menyisihkan dampak PDO sehingga bisa lebih memahami pengaruhnya pada peningkatan permukaan air laut di Pasifik saat ini.

“Anggapan selama ini ialah jika PDO dihilangkan dari persamaan, maka tidak ada kenaikan air laut ini di beberapa bagian Pasifik,” kata peneliti utama studi itu Asisten Profesor Benjamin Hamlington dari Colorado University di jejaring universitas tersebut.

“Tapi, kami mendapati bahwa kenaikan permukaan air laut di lepas pantai Filipina dan Australia Timurlaut tampaknya anthropoganic (disebabkan oleh manusia) dan akan terus berlangsung tanpa osilasi ini,” katanya.

Tim tersebut memperkirakan daerah samudra di dekat Filipina dan Australia Timurlaut naik sekitar satu sentimeter per tahun akibat pemanasan yang disebabkan oleh manusia.

Walaupun pola permukaan air laut tidak secara geografis seragam –kenaikan permukaan air laut di beberapa daerah berkaitan dengan turunya permukaan air laut di daerah lain– rata-rata kenaikan permukaan air laut global ialah tiga militer meter per tahun.

Beberapa ilmuwan memperkirakan permukaan air laut global mungkin naik sekitar satu mata atau lebih hingga akhir abad ini sebagai akibat dari pemanasan rumah kaca, kata para peneliti tersebut.

Studi baru itu memperlihatkan para ilmuwan mungkin bisa meneliti samudra lainnya guna mengukur dampak akibat ulah manusia, kata Hamlington.

“Jenis penelitian ini mungkin mulai mengungkapkan pola yang mungkin tidak kita duga,” katanya.[]

Sumber: antaranews.com

read more
Perubahan Iklim

PBB: Skenario Terburuk Iklim Bisa Dihindari

Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menunjukkan negara-negara dunia masih bisa menghindari konsekuensi serius perubahan iklim. Asalkan, mereka bertindak cepat dan agresif guna memangkas laju percepatan emisi gas rumah kaca.

Berdasarkan laporan, emisi gas rumah kaca menguat cepat antara tahun 2000 dan 2010. Laju penguatan lebih kencang dibanding dalam tiga dekade sebelumnya. Krisis ekonomi global pada 2007 dan 2008 secara temporer mengurangi emisi. Namun, kondisi itu tidak mengubah tren keseluruhan, sebut laporan.

Laporan terbaru PBB menjadi perhatian utama para perancang kebijakan di seluruh dunia. Sebab, laporan berfokus pada berbagai skenario guna memangkas pemanasan global. Dipresentasikan hari Minggu di Berlin, laporan merupakan episode ketiga dalam catatan komprehensif empat bagian yang disusun Panel Antar-Pemerintah PBB tentang Perubahan Iklim (IPCC).

Panel mendesak koordinasi internasional untuk mengatasi tantangan perubahan iklim. Banyak cara bisa dilakukan, misalnya mendirikan institusi penetapan harga karbon, mempromosikan pajak karbon dioksida (CO2), serta menambah investasi untuk energi terbarukan.

Penundaan aksi hanya akan memperdalam risiko dan ongkos yang harus dibayar di kemudian hari. Ottmar Edenhofer, wakil ketua kelompok kerja III IPCC, mengingatkan bahwa mitigasi perubahan iklim tak akan tercapai, jika perusahaan dan pemerintah “memajukan kepentingan mereka secara mandiri.”

Menurut Edenhofer, tindakan bukan berarti “masyarakat dunia mesti mengorbankan pertumbuhan [ekonomi]. … Kebijakan iklim memang bukan makan siang gratis, tetapi makan siang ini layak dibeli.”

Dengan laporan ini, “pembuat kebijakan diberi pelbagai opsi. Mereka bisa memutuskan apapun yang mereka inginkan,” kata Ed Hawkins, ilmuwan iklim di University of Reading, Inggris. Ia merupakan salah satu penulis laporan IPCC sebelumnya.

Pesan kunci dalam laporan terbaru IPCC adalah skenario mengkhawatirkan masih dapat dihindari. “Hanya dengan perubahan besar-besaran dari sisi teknologi dan kelembagaan, kita bisa mencapai peluang lebih baik untuk mencegah pemanasan global melampaui ambang batas,” demikian kesimpulan sementara panel PBB.

Pada 2010, sekitar 200 negara sepakat mengurangi emisi untuk mencegah kenaikan suhu dunia mencapai ambang batas tertentu. Batas kenaikan itu adalah dua derajat Celsius di atas level sebelum era industri.

Untuk sampai ke titik itu, kata IPCC, pada pertengahan abad ini emisi gas rumah kaca mesti bisa dipangkas sebesar 40% sampai 70% dibanding level tahun 2010. Emisi mesti dipangkas hampir nol pada akhir abad.

Bagaimanapun, perubahan skala besar—khususnya yang melibatkan pemerintah serta pelaku industri pembangkit listrik serta transportasi—akan membutuhkan pengeluaran besar. Kenyataan itu sudah menjadi subjek kontroversi dan pertentangan besar di banyak tempat.

Dalam konferensi pers di Berlin, ketua IPCC Rajendra Pachauri menyatakan analisis biaya dan manfaat mitigasi merupakan “pertanyaan yang kompleks.” Namun, ia mengajak semua untuk tak lagi memperhitungkan nilai dolar, jika berkaitan dengan hilangnya nyawa manusia serta rusaknya ekosistem darat dan laut yang dipicu perubahan iklim.

“Kita harus memikirkan kembali tentang apa yang mungkin terjadi, jika kita tidak mengambil tindakan yang diperlukan,” katanya.

Sumber: WSJ Indonesia

read more
Sains

Benarkah Cuaca Buruk, Baik Untuk Iklim?

Cuaca buruk banyak terjadi akhir-akhir ini. Apakah hal ini berkaitan dengan perubahan iklim?

Bahkan di negara seperti Inggris yang terkenal akan perubahan cuaca dengan tingkat hujan dan jumlah angin yang tinggi, orang-orang pun bertanya-tanya apa yang terjadi dengan cuaca saat ini. Beberapa bulan terakhir penduduk negara Inggris dilanda banjir dan badai yang memecahkan semua rekor. Hal ini memicu penerbitan sebuah studi “Perspektif global terhadap badai dan banjir di Inggris” oleh badan meteorologi Inggris, Met Office.

Para penulis studi tersebut menggambarkan rangkaian badai yang terjadi saat musim dingin sebagai sesuatu yang luar biasa, baik dari segi frekuensi maupun durasi. Dalam studi tersebut, mereka menyebut bulan Desember-Januari sebagai masa terbasah di Inggris sejak awal adanya pencatatan cuaca .

Kombinasi antara curah hujan dan badai yang kuat serta gelombang tinggi telah memicu terjadinya banjir di sebagian besar Inggris, serta menjadi penyebab terjadinya kerusakan-kerusakan di pesisir pantai dan menjadi sumber permasalahan besar bagi manusia, ekonomi dan Infrastruktur.

Akibat pemanasan global
Dalam waktu bersamaan Kanada dan Amerika mengalami suatu periode yang tak biasa. Para ahli meteorologi di Inggris menghubungkan kejadian cuaca ekstrim di kedua belah sisi samudra Atlantik tersebut dengan gejolak terus menerus yang terjadi pada arus udara yang bergerak melewati Pasifik dan Amerika Utara. Inilah yang pada gilirannya membuat Met office juga para ilmuwan lain mengaitkan kejadian cuaca ekstrim tersebut dengan curah hujan di Indonesia dan di bagian barat pasifik. Cuaca adalah sebuah fenomena kompleks- sehingga tak heran jika hal ini berkaitan dengan udara dan arus laut di seluruh dunia.

Cuaca dipengaruhi oleh udara dan temperatur, sehingga sangatlah mungkin jika kenaikan suhu bumi ikut bertanggung jawab atas perubahan-perubahan yang terjadi. Para penulis studi tersebut menulis tentang adanya peningkatan jumlah data-data yang membuktikan adanya intensifikasi jumlah curah hujan yang terjadi setiap hari. Mereka berpendapat, hal tersebut sesuai dengan ilmu fisika yang telah kita pelajari bahwa penghangatan suhu bumi bisa menyebabkan kenaikan intensivitas curah hujan.

Laporan Stern
Di sebuah artikel yang dimuat oleh koran Inggris, The Guardian– Nicholas Stern mantan kepala eknomi bank dunia menyatakan cuaca ekstrim merupakan pertanda jelas bahwa kita telah merasakan akibat dari perubahan cuaca. Sejak tahun 2000 Inggris telah mengalami empat dari lima kali musim dingin dengan curah hujan paling tinggi dan tujuh kali tahun terpanas sejak dimulainya pengukuran cuaca.

Stern menulis, Atmosfir yang lebih hangat yang mengandung kelembaban lebih serta kenaikan permukaan laut yang menyebabkan terjadinya badai kuat adalah faktor-faktor yang mempertinggi bahaya banjir di Inggris. Dalam tulisannya, Stern juga menyebutkan rekor gelombang panas di Australia dan Argentina, juga banjir di Brazil dan Taifun Haiyan di Filipina adalah bagian dari pemanasan global yang seharusnya tak boleh dilupakan.

Atas nama pemerintah Inggris, Stern, yang saat ini menjadi profesor di sekolah ekonomi London menulis sebuah laporan tahun 2006 yang disebut dengan “Stern Report“. Laporan tersebut untuk pertama kalinya memuat akibat-akibat dari perubahan cuaca terhadap ekonomi dalam bentuk angka. Sejak saat itu resiko perubahan cuaca menjadi makin besar, tulis Stern. Hal tersebut diakibatkan oleh peningkatan emisi CO2 yang kuat dan juga beberapa akibat perubahan cuaca sperti pengurangan laut es di kutub utara yang terjadi lebih cepat dari yang diramalkan.

Cuaca ekstrim juga telah menginspirasi beberapa politisi untuk menempatkan perubahan cuaca pada daftar prioritas yang lebih tinggi. Presiden Amerika, Barack Obama dan presiden Perancis, Francois Hollande, menuntut agar dalam konferensi perubahan cuaca tahun 2015 yang akan diselenggarakan di Paris bisa dicapai kesepakatan bersama terkait iklim global dan mulai bisa diberlakukan tahun 2020.

Kepala sekertariat PPB untuk iklim, Christiana Figueres dalam sebuah wawancara meyampaikan keprihatinan bahwa peningkatan perhatian yang ada terkait tema iklim merupakan dampak dari meningkatnya bencana dan peristiwa alam.

Sumber: dw.de

read more
Perubahan Iklim

Tahun 2013, Salah Satu Suhu Terpanas Sejak 1850

Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) milik PBB merilis fakta mengenai kondisi perubahan cuaca yang terjadi sepanjang 2013. Tercatat tahun 2013 merupakan tahun terpanas keenam sejak tahun 1850.

Rata-rata suhu permukaan bumi adalah 0,9 derajat fahrenheit atau sekitar 0,5 celcius. Angka ini jauh lebih tinggi dibanding tahun 1961 sampai 1990.

Selain itu, 2013 juga menjadi tahun terpanas setelah 2005 dan 2010. Sementara, menurut ilmuwan Amerika Serikat 2013 tercatat sebagai tahun terpanas keempat sejak 1880.

Dilansir AFP, WMO di Genewa, Swiss, Rabu (5/2/2014) juga menemukan permukaan air laut rata-rata global mencapai rekor tertinggi baru. Terjadi kenaikan sebesar 3,2 milimeter (0,12 inci) per tahun. Ini dua kali lipat lebih tinggi selama abad ke-20. Sehingga, daerah di sekitar pesisir dianggap sebagai zona rentan.

Tak ayal, sejumlah peristiwa ekstrim melanda sejumlah belahan bumi. Sebut saja Topan Haiyan yang ‘mematikan’ Filipina, kekeringan di Botswana, Nambia dan Angola serta gelombang panas di China Selatan pada Juli-Agustus 2013.

Menurut laporan, beberapa wilayah yang mengalami peningkatan suhu panas antara lain, Australia, Asia Tengah, Ethiopia, Tanzania, Samudera Arktik, kawasan barat daya serta antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia.[]

Sumber: detiknews

read more
Ragam

Mengapa Hujan Tetap Turun Meski Cuaca Dimodifikasi?

Sejak Selasa (14/1/2014), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah memulai langkah teknologi modifikasi cuaca untuk mengurangi curah hujan dan mencegah banjir di Jakarta.

Hingga Jumat (17/1/2014), sudah empat hari sejak upaya modifikasi cuaca itu mulai dilakukan. Namun, hujan rupanya tetap turun. Bukan hanya sekadar turun, melainkan juga deras, dan dampak banjir tetap tak terelakkan.

Warga Jakarta lalu bertanya-tanya, dan tecermin di media sosial seperti Twitter. “Katanya modifikasi cuaca tapi kok tetap hujan :P,” begitu kicauan Maharani, salah satu pengguna Twitter. Nah, mengapa? Ada dua kemungkinan, belum optimal atau memang kurang efektif.

Belum optimal
F Heru Widodo, Kepala Unit Pelayanan Teknis Hujan Buatan BPPT, mengatakan, ada dua penjelasan terkait pertanyaan tersebut. Menurut Heru, saat ini memang sedang musim hujan sehingga mau tak mau, hujan memang turun di Jakarta.

Kedua, terkait konsep modifikasi cuaca, Heru mengatakan bahwa prinsip “menghalau hujan” bukanlah menghilangkan hujan sama sekali. “Jakarta tetap akan hujan, tetapi intensitas dan durasinya berkurang. Kalau tidak hujan, nanti kemarau, Jakarta bisa kekeringan,” katanya.

Dengan dua teknologi, yaitu teknologi powder yang dilakukan dengan menebar garam serta teknologi flare atau ground based generator (GBG), teknik modifikasi cuaca diperkirakan bisa mengurangi hujan hingga 35 persen.

Ketiga, terkait dengan keterbatasan. Salah satu kendala yang dialami tim modifikasi cuaca saat ini adalah minimnya jumlah pesawat untuk operasional. “Saat ini kita cuma punya satu pesawat,” kata Heru.

Dengan hanya satu pesawat, frekuensi penebaran awan masih terbatas. Padahal, saat ini wilayah Indonesia diliputi oleh massa uap air yang banyak serta terus bergerak dari wilayah barat menuju Jakarta.

“Dengan tiga pesawat kita bisa terbang lima sampai enam kali sehari ke berbagai lokasi. Bahkan, jika diperlukan, kita bisa gunakan dua pesawat sekaligus di satu lokasi,” ungkap Heru saat dihubungi, hari ini.

Memang kurang efektif
Zadrach, pakar meteorologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), punya pendapat berbeda tentang hujan yang masih turun di Jakarta setelah modifikasi cuaca. Menurutnya, keberhasilan dari teknik modifikasi cuaca memang sulit dipastikan.

“Modifikasi itu kan intinya mencegah awan jatuh ke tempat kita. Kita tebar garam agar awan cepat jadi hujan. Tapi kenyataannya kita tidak bisa mengontrol pergerakan awan,” terangnya.

Zadrach menambahkan, penebaran garam memang mempercepat awan menjadi hujan, tetapi di sisi lain juga memperlama durasi hujan.

“Jadi misalnya, yang harusnya hujan satu jam, karena kita cloud seeding, jadi satu setengah jam. Akhirnya ketika sampai Jakarta masih hujan,” urai Zadrach.

Zadrach sendiri menilai bahwa, selain mahal, efektivitas upaya modifikasi cuaca juga sulit diukur. Di sisi lain, saat ini juga tidak pernah ada studi serius yang benar-benar mengukur efektivitas modifikasi cuaca.

Menurut Zadrach, satu-satunya solusi penanganan banjir adalah mengukur jumlah air yang jatuh ke permukaan dan berupaya mengaturnya. Modifikasi cuaca bukan solusi.

Zadrach juga mengkritik upaya modifikasi cuaca. “Tujuannya apa? Apakah hanya sekadar agar hujan tidak di Jakarta? Bagaimana kalau hujan memang tidak turun di Jakarta, tetapi turun di tempat lain dan mengakibatkan banjir di sana?” tanyanya.

Sumber: NGI/Kompas.com

read more
Perubahan Iklim

Riset Mutan Padi untuk Antisipasi Dampak Iklim

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia diketahui sedang mengembangkan riset untuk menghasilkan sekitar 5.000 mutan padi. Riset tanaman pangan pokok padi itu dimaksudkan untuk mengantisipasi dampak ketidakpastian iklim yang dapat berdampak langsung pada ketahanan pangan.

Riset tanaman padi tersebut menggunakan dua pendekatan, yaitu transformasi gen dan marka molekuler.

“Ini ada kaitannya dengan dampak perubahan iklim, seperti lahan kekeringan atau terkena dampak banjir dan ledakan hama seperti hama penggerek batang,” kata Amy Estiaty, peneliti Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, di Cibinong Science Center, Jawa Barat, bulan Desember 2013 lalu.

Pengembangan varietas padi tertentu yang disesuaikan kebutuhan sangat memungkinkan dari sebanyak 5.000 benih mutan padi hasil rekayasa genetika tersebut. Menurut Amy, hasil riset padi yang intensif ditempuh sekarang ini untuk menghasilkan padi tahan hama penggerek batang.

“Sampai sekarang belum ada jenis padi yang tahan hama penggerek batang,” katanya. Di sejumlah daerah, hama penggerek batang masih menjadi momok petani.

Tahan kekeringan
Salah satu jenis padi yang dihasilkan LIPI adalah yang tahan cengkeraman kekeringan. Untuk padi jenis itu, menurut Amy, LIPI melalui surat keputusan Menteri Pertanian sudah merilis jenis Lipigo 1 dan Lipigo 2 pada April 2012.

Dari hasil uji lapangan di 20 lokasi, rata-rata jenis padi gogo tersebut mampu menghasilkan 4,45 ton per hektar gabah kering giling. Potensi hasil tertinggi dicapai 8,18 ton per hektar gabah kering giling.

Lipigo 2 memiliki rata-rata hasil produksi 5,17 ton per hektar dengan potensi tertinggi mencapai 8,15 ton per hektar gabah kering giling. Padi jenis Lipigo 1 dan Lipigo 2 ini menggunakan pendekatan marka molekuler, melalui penyilangan jenis padi gogo vandana yang tahan kekeringan dengan jenis padi gogo way rarem yang memiliki daya hasil tinggi.

Sementara itu, riset padi tahan hama penggerek batang menggunakan pendekatan transformasi genetika berupa gen cry dari bakteri tanah (Bachillus thuringiensis). Riset padi dengan transformasi gen cry tersebut sedang diuji coba keamanannya bagi kelangsungan keanekaragaman hayati lainnya.

Di luar riset yang dilakukan LIPI, sejumlah petani mencoba memuliakan benih padi varietas lokal dengan produktivitas tinggi. Salah satu semangatnya, mandiri dari ketergantungan benih, pupuk, dan pestisida perusahaan yang memotong penghasilan petani.

Pangan alternatif
Deputi Kepala LIPI Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati Siti Nuramaliati Prijono mengatakan, di wilayah Asia, padi merupakan bahan pangan pokok. Sehingga riset ini pun dinantikan untuk menghasilkan jenis-jenis padi yang tahan terhadap dampak perubahan iklim. Akan tetapi, dibutuhkan pula kegiatan riset terhadap bahan pangan yang selama ini belum lazim dimanfaatkan.

“Berbagai bahan yang mengandung karbohidrat masih banyak yang tidak populer untuk dikonsumsi. Ini membutuhkan riset untuk menjadikannya sebagai bahan pangan alternatif,” kata Siti.

Sumber: NGI/wartakota.tribunnews.com

read more
1 2
Page 1 of 2