close

kallista alam

Tajuk Lingkungan

Peluang Kerja dari Rehabilitasi Lahan

Keputusan PN Meulaboh yang menghukum PT Kallista Alam (KA) membayar ganti rugi materil Rp.114,3 miliar dan biaya pemulihan lingkungan sebesar Rp.251,7 miliar atas kerusakan lahan gambut Rawa Tripa memiliki dampak multidimensi. KA terbukti melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), sebuah Kawasan Strategis Nasional, yang bernilai tinggi dan tak tergantikan sebagaimana dinyatakan oleh badan dunia UNESCO. Sekitar Rp.366 Miliar harus KA bayar dimana jika putusan ini dilaksanakan maka akan memberikan peluang kerja bagi masyarakat sekitar Rawa Tripa.

Pada masa persidangan, KA sering menghembuskan isu bahwa mereka telah membuka lahan pekerjaan bagi banyak orang dan jika mereka dihukum oleh pengadilan maka akan banyak orang yang kehilangan pekerjaan. Namun logika ini sepertinya bisa dibalik, dengan duit 366 miliar, akan banyak peluang kerja yang bisa diberikan kepada masyarakat. Masyarakat bisa diajak bersama-sama merehabilitasi lahan yang terbakar seluas 1000 hektar. Kegiatan rehabilitasi ini juga bermacam-macam. Salah satunya adalah pembuatan kompos.

Kompos disebut-sebut memiliki sifat karakteristik yang mirip lahan gambut. Proses pembentukannya pun nyaris serupa. Gambut adalah jenis tanah yang terbentuk dari akumulasi sisa-sisa tumbuhan yang setengah membusuk. Oleh sebab itu, kandungan bahan organiknya tinggi. Tanah yang terutama terbentuk di lahan-lahan basah ini disebut dalam bahasa Inggris sebagai peat dan lahan-lahan bergambut di berbagai belahan dunia dikenal dengan aneka nama seperti bog, moor, muskeg, pocosin, mire, dan lain-lain. Istilah gambut sendiri diserap dari bahasa daerah Banjar (wikipedia).

Sementara kompos juga terbentuk dari pembusukan biomassa seperti tumbuhan dan makhluk hidup. Bedanya gambut terbentuk selama ribuan tahun sedangkan kompos dapat dibentuk relatif lebih cepat. Namun memiliki banyak kesamaan. Itulah sebabnya tim ahli dari Kementerian Lingkungan Hidup mengajukan biaya rehabilitasi lahan dengan menggunakan kompos.

Nah, untuk membuat kompos bagi 1000 hektar lahan yang lapisan gambutnya setebal 10-15 cm telah rusak dibutuhkan ribuan ton kompos. Ini merupakan peluang kerja bagi masyarakat sekitar yaitu dengan membuat kompos. Masyarakat tentu saja dilatih terlebih dahulu agar bisa membuat kompos yang baik.

Selain pembuatan kompos ada biaya lain untuk ganti rugi materi. Jika dana ganti rugi ini dimanfaatkan dengan memberdayakan masyarakat maka bisa menampung ribuan tenaga kerja. Misalnya memperbaiki pengaturan tata air, pengendalian erosi dan sebagainya.

Jika jika KA menghembuskan isu akan banyak orang kehilang pekerjaan dari dihukumnya perusahaan maka sebaliknya yang benar adalah akan tercipta banyak lapangan kerja jika denda ini dilaksanakan. Tugas pemerintahlah untuk memastikan denda dibayarkan.[]

 

read more
Kebijakan Lingkungan

KLH Apresiasi Putusan terhadap Perusak Lingkungan

Menteri Lingkungan Hidup, Balthasar Kambuaya mengatakan keberhasilan memenangkan gugatan perkara perdata
di PN Meulaboh terhadap PT. Kallista Alam merupakan pembelajaran yang baik. Kedepan KLH menggugat PT. SPS secara perdata dan pidana terhadap kebakaran lahan gambut di Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya.

“Ini menunjukkan berlakunya prinsip. Polluter Pay Principle,” kata dia dalam konperensi Pers di Kantor Kementerian Lingkungan Hidup, Senin (13/1/2014). Pembayaran ganti rugi material dan pemulihan lingkungan sebesar lebih dari Rp300 miliar ini dapat menjadi efek jera bagi perusahaan perusak lingkungan lainnya.

Upaya penegakan hukum lingkungan ini meningkatkan kepercayaan kami bahwa pemulihan lingkungan hidup dapat diselesaikan dengan pengadilan,” kata Balthasar Kambuaya.

Menteri LH mengemukakan, gugatan itu diajukan berdasarkan pada Laporan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) pada 11 April 2012 serta tanggal 26 Juli 2012 yang menyebutkan, terdapat titik panas (hotspot) yang mengindikasikan terjadinya dugaan pembakaran lahan di wilayah perkebunan PT. Kallista Alam (Data hotspot tersebut bersumber dari MODIS yang dikeluarkan oleh NASA).

Data dan informasi tersebut lalu dijadikan sebagai dasar bagi Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), melalui Deputi Penaatan Hukum Lingkungan untuk membentuk dan menugaskan suatu tim lapangan yang beranggotakan para ahli, Jaksa Pengacara Negara dari Kejagung dan Kejati Aceh beserta staf KLH dan perwakilan Pemerintah Provinsi setempat untuk melakukan verifikasi lapangan pada 5 Mei 2012 dan 15 Juni 2012.

“Dari laporan tim disimpulkan bahwa PT. Kallista Alam telah melakukan perbuatan melanggar hukum yaitu pembakaran lahan, atau setidak-tidaknya telah membiarkan terjadinya kebakaran lahan sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan hidup dengan luas total lahan yang terbakar seluas 1.000 hektar,” papar Menteri LH.

Berdasarkan hasil kesimpulan tim lapangan dan penelitian oleh Ahli Kebakaran Hutan dan Ahli Kerusakan Lahan, lanjut Balthasar, kebakaran lahan seluas 1000 hektar tersebut telah menimbulkan kerugian lingkungan yang harus dibayarkan PT. Kallista Alam kepada Negara.

Karena itu, Menteri LH melalui Kuasa Hukum bersama Jaksa Pengacara Negara Kejagung dan Kejati Aceh mengajukan gugatan ke PN Meulaboh pada tanggal 8 November 2012.

Ditambahkan Balthasar, setelah gugatan diterima, Majelis Hakim lalu memanggil para pihak untuk melakukan proses mediasi yang pada akhirnya gagal dan persidangan pada pokok perkara dilanjutkan, setelah melewati beberapa persidangan di PN Meulaboh dan 2 (dua) kali sidang lapangan / Pemeriksaan Setempat (untuk mengetahui kondisi kebakaran dan mengukur luasan kebakaran) maka telah dijadwalkan rencana pembacaan putusan persidangan.

Pada kesempatan konperensi pers itu, Balthasar Kambuaya menyampaikan apresiasi Jaksa Pengacara Negara (JPN)
dari Kejaksaan Agung dan Kejaksaan Tinggi Aceh atas kemenangan gugatan pemerintah itu. Selain itu, penghargaan kepada Hakim sekaligus Ketua Pengadilan Negeri Meulaboh, Rachmawati, SH yang merupakan hakim bersertifikat lingkungan yang pertama kali memutus perkara lingkungan hidup.

PT. Kallista Alam merupakan perusahaan perkebunan kelapa sawit yang memiliki area lahan kurang lebih seluas 1.605 hektar yang berada dalam “Kawasan Ekosistem Leuser”, berlokasi di Desa Pulo Kruet, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh.

Menurut Menteri LH, selain kasus kebakaran lahan di Rawa Tripa, terdapat beberapa kasus yang ditangani oleh Kementerian Lingkungan Hidup yaitu Gugatan Menteri LH terhadap PT. Merbau Pelalawan Lestari (PT.MPL) di Kab. Pelalawan – Riau, Gugatan Menteri LH terhadap PT. Surya Panen Subur (PT.SPS) di Meulaboh – Aceh, dan Pengajuan Peninjauan Kembali perkara gugatan KLH terhadap PT. Selatnasik Indokwarsa di Bangka Belitung.[]

Sumber: acehterkini.com

read more
Kebijakan Lingkungan

PN Meulaboh Putuskan Kallista Alam Bersalah Bakar Rawa Tripa

PN Meulaboh memutuskan bahwa PT Kallista Alam (KA) terbukti bersalah melakukan pembakaran lahan gambut Rawa Tripa sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan. KA diminta untuk membayar ganti rugi materil sebesar Rp.114,3 miliar dan biaya pemulihan lingkungan sebesar Rp.251,7 miliar. Pihak penggugat dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mengapresiasi keputusan majelis hakim sementara pengacara tergugat kemungkinan akan melakukan banding.

Dalam sidang dengan nomor perkara No.12/PDT.G/2012/PN-MBO, gugatan pembakaran lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit, Rabu (8/1/2014), majelis hakim mengabulkan sebagian tuntutan penggugat. Majelis berpendapat berdasarkan keterangan para saksi, fakta-fakta di lapangan dalam sidang Pemeriksaan Setempat (PS) dan bukti-bukti yang diajukan kedua belah pihak maka gugatan pembakaran lahan terbukti dilakukan oleh KA. Sementara itu dikabulkannya ganti rugi materil dan biaya pemulihan lahan juga dikabulkan karena telah berdasarkan perhitungan para ahli.

Sidang dengan agenda pembacaan putusan berlangsung marathon, dimulai pada pukul 14.48 Wib  dan berakhir pada pukul 22.11 Wib dipimpin oleh Hakim Rahmawati SH, dengan anggota Rahma Novatiana SH, dan Juanda Wijaya, SH. Pengacara tergugat diwakili oleh Alfian C. Sarumaha SH dan Rebecca F. E Siahaan. Sedangkan dari KLH hadir pengacara negara Abdul Kadir SH dan Askar SH serta pengacara Syafruddin SH.

Beberapa fakta yang tak terbantahkan, yang berhasil dibuktikan penggugat adalah lahan yang terbakar di Desa Pulo Kruet Kecamatan Darul Makmur masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang juga merupakan Kawasan Strategis Nasional (KSN). KSN sangat penting secara nasional dan merupakan warisan dunia yang tak tergantikan.
Kemudian dari sidang PS, hakim menemukan fakta-fakta bahwa lahan yang terbakar seluas 1000 hektar di Desa Pulo Kruet, ada yang berbatasan langsung dengan perkebunan milik perusahaan lain dan ada juga yang tidak. Lahan ini terletak dalam kawasan Izin Usaha Budidaya KA seluas 1.605 hektar yang izinnya telah dicabut oleh PTUN dan Gubernur Aceh.

Menariknya, dalil tergugat yang mengatakan bahwa api berasal dari lahan perkebunan milik PT SPS2 tidak beralasan. Dari fakta di lapangan, hakim melihat bahwa antara dua kebun milik perusahaan yang berbeda ini dibatasi oleh kanal dan jalan yang juga gambut. Jika memang api berasal dari kebun milik PT SPS2 maka tentunya yang terbakar lebih dahulu adalah jalan tersebut. Namun hakim yang melihat langsung ke lapangan tidak menemukan fakta tersebut karena jalan pembatas tidak ikut terbakar. KA juga tidak pernah melaporkan terjadinya kebakaran di lahan PT SPS2 yang terjadi selama 6 hari padahal kebun mereka bersebelahan.

Dalam PS, hakim melihat arang sisa-sisa pembakaran di lahan-lahan tersebut yang terjadi berulang kali sejak tahun 2009. Kebakaran yang terjadi berulang kali sesuai dengan data hot spot dari satelit NASA, keterangan dari para saksi penggugat dan tergugat. Pihak perusahaan sendiri mengakui telah terjadi kebakaran di lahan mereka tapi mengakui tidak tahu siapa pembakarnya. Perusahaan mengatakan ketika terjadi kebakaran di lahan mereka selama tiga hari berturut-turut di tahun 2012, hanya 8 orang karyawan yang berusaha memadamkan api dengan memakai ember.

Saksi dalam persidangan mengatakan tidak melihat adanya peralatan pemadam kebakaran, akses jalan yang memadai ke lokasi kebakaran dan tidak ada personel khusus pemadam kebakaran. Saksi yang merupakan kontraktor perkebunan, Elvis, juga mengakui tidak adanya prosedur penanganan pemadaman kebakaran di lahan dan struktur organisasi pengendalian kebakaran milik perusahaan. Mempertimbangkan fakta-fakta ini hakim berkesimpulan bahwa KA terbukti tidak memiliki alat dan sarana penanggulangan kebakaran. Padahal kebakaran sudah berulang kali terjadi di lahan mereka. Hakim meyakini bahwa pembakaran memang diatur dan diinginkan oleh perusahaan KA.

Menurut hakim. tergugat KA membiarkan lahan mereka terbakar yang berarti tergugat ingin melakukan pembakaran lahan miliknya. Tergugat tidak bisa membuktikan dalil siapa yang membakar lahannya, sementara saksi dari PT SPS2 tidak pernah dihadirkan dalam persidangan.Tergugat melakukan pembiaran pembakaran lahan dan hal ini terjadi selama berkali-kali dalam kurun waktu 2009- 2012. Lahan terbukti dibuka dengan cara membakar.

Majelis hakim juga sepakat telah terjadi kerusakan lingkungan. Gas-gas yang dikeluarkan saat terjadi pembakaran telah melewati Nilai Ambang Batas sesuai hasil pengujian yang diajukan penggugat. Juga terjadi penurunan fungsi tanah di lahan tersebut sesuai hasil pengujian dari pihak Institut Pertanian Bogor. Terjadi kerusakan lingkungan tanah akibat kebakaran hutan dimana lapisan gambut setebal 10-15 cm lenyap. Kerusakan ini tidak bisa diperbaiki seperti sediakala lagi.

Perbuatan pembakaran lahan adalah perbuatan melanggar hukum dan tergugat wajib mengganti kerugian yang ditimbulkannya. Besaran ganti rugi yang harus dibayar tergugat mengacu pada Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Ganti Kerugian Akibat Pencemaran Dan/Atau Kerusakan Lingkungan Hidup.

Ganti rugi yang wajib dibayar oleh tergugat untuk kerusakan lahan 1000 hektar antara lain ganti rugi akibat kerusakan ekologis dan perawatannya, biaya pengaturan tata air, pengendalian erosi, pembentukan kembali tanah yang rusak, daur ulang unsur hara, penguraian limbah, kehilangan keanekaragaman hayati, hilangnya sumber daya genetika, pelepasan karbon (carbon release) dan kemerosotan karbon. Selain itu ada juga ganti rugi secara ekonomis dimana hilangnya umur pakai tanah dari yang seharusnya. Biaya ini dimulai dari hitungan biaya pemeliharaan tahunan dan total potensi hilangnya keuntungan hasil penjualan tanaman dari lahan tersebut.

Total ganti rugi materil dari kerusakan ekologis dan ekonomis yang wajib dibayarkan sejumlah Rp.114,3 miliar.
Sementara itu tergugat juga wajib membayar biaya pemulihan lingkungan di lahan seluas 1000 hektar sebesar Rp.251,7 miliar dimana biaya ini merupakan biaya pembelian kompos dan ongkos pengangkutannya. Kompos digunakan untuk pemulihan lahan karena mempunyai sifat yang mirip dengan tanah gambut. Pemulihan tidak bisa mengembalikan lahan seperti semula namun hanya mendekati saja.

Majelis hakim hakim juga menyatakan sita jaminan atas tanah seluas 5.769 hektar lahan milik PT. Kallista Alam yang terletak di hutan gambut Rawa Tripa. Lahan berada di Desa Pulo Kruet dinyatakan sah. Tanah ini tidak boleh berpindah tangan namun masih boleh diusahakan. Sita ini dilakukan untuk menjamin pemenuhan kewajiban tergugat membayar ganti rugi sebagaimana dalam perkara gugatan perdata.

Tergugat dibebankan membayar uang paksa sebesar Rp. 5 juta /hari atas keterlambatan membayar ganti rugi. Biaya perkara juga dibebankan kepada tergugat sebesar Rp.10,9 juta.

Sidang berakhir pukul 22.11 Wib atau menjelang tengah malam. Seusai sidang, pengacara KLH, Syafrudin SH mengatakan mengapresiasi keputusan majelis hakim. “Sebagin dalil kami terbukti, ini membuktikan penegakan hukum lingkungan berjalan,” katanya.

Sementara pengacara KA, Alfian C. Sarumaha SH mengatakan keputusan ini dipaksakan. “ Luas lahan 1000 hektar tidak pernah diperiksa di lapangan. Ini seolah-olah ada target. Kalau ini keputusannya sebaiknya ajukan banding,” ujarnya singkat.[]

read more
Ragam

Masyarakat Berdaya, Rawa Tripa pun Lestari

Hutan gambut Rawa Tripa, sebuah kawasan yang terletak bersilangan antara Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Daya, Provinsi Aceh. Hutan ini masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang membentang mulai dari wilayah tengah Aceh, Pantai Timur, Pantai Barat dan sebagian wilayah Sumatera Utara. Memiliki luas sekitar ± 61.803 hektar.

Rawa Tripa adalah salah satu dari 3 kawasan gambut pantai yang sangat penting yang ada di Aceh, yang dua lainnya adalah Rawa Kluet (18.000 ha), dan Rawa Singkil (100.000 ha). Ketiga lokasi hutan gambut dataran rendah ini  telah lama mengalami kerusakan karena dirambah oleh berbagai perusahaan perkebunan kelapa sawit sejak puluhan tahun lalu.

Hampir 50 persen daerah Rawa Tripa  telah mengalami deforestasi karena pembukaan perkebunan dan pembuatan kanal untuk mengeringkan rawa gambut. Kerusakan ini menyebabkan berbagai satwa langka seperti Orangutan kehilangan habitat yang paling ideal dan terancam punah. Karena pembukaan lahan rawa Tripa ini penduduk yang tinggal di sekitarnya yang sering tertimpa bencana banjir di musim hujan dan mengalami kekeringan yang parah dimusim kemarau.

Ancaman terbesar yang dihadapi oleh Kawasan Rawa Gambut Tripa adalah terjadinya penurunan permukaan gambut secara perlahan-lahan menurun dan akan semakin tenggelam dimasa mendatang. Dapat dipastikan nasib hutan gambut Rawa Tripa akan punah tanpa ada tindakan nyata oleh semua pemangku kepentingan khususnya pemerintah Aceh untuk mencegah dan membatalkan konsesi yang telah diberikan kepada perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit.

Penyelamatan hutan gambut Rawa Tripa memasuki babak baru tahun 2012. Dari segi advokasi,  kampanye penyelamatan Rawa Tripa dilakukan secara intensif oleh Tim Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa (TKPRT) yang dipimpin oleh WALHI Aceh. Kampanye ini mendapat dukungan internasional secara luas. TKPRT telah berkali-kali mendesak pemerintah, baik pusat maupun provinsi Aceh, untuk menyelesaikan permasalahan rawa gambut Tripa dan masalah lingkungan yang semakin memburuk di kawasan ini.

Salah satu pencapaian TKPRT adalah dicabutnya Izin Usaha Perkebunan Budidaya PT. Kallista Alam di  Desa Pulo Kruet Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya Provinsi Aceh dengan luas areal +1.605 Ha. Izin perkebunan yang terletak di hutan gambut Rawa Tripa ini dicabut oleh Gubernur Aceh, dr. Zaini Abdullah setelah sebelumnya TKPRT memasukan gugatan di Pengadilan Negeri Tata Usaha Negara Banda Aceh. Pencabutan izin tersebut diikuti dengan gugatan hukum perdata dan pidana oleh Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia terhadap perusahaan terkait kerusakan lingkungan yang mereka timbulkan akibat pembakaran lahan.

Pemberdayaan Masyarakat
Selain melaksanakan advokasi, pemberdayaan masyarakat sekitar Rawa Tripa dan konservasi hutan harus tetap dilaksanakan. Salah satu lembaga yaitu Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) melakukan pendampingan terhadap masyarakat di hutan gambut Rawa Tripa sejak tahun 2008 melalui program-program pemberdayaan masyarakat dan konservasi hutan. YEL yang berdiri awal tahun 2000, merupakan lembaga yang fokus pada isu-isu lingkungan dan pengembangan masyarakat, terutama mereka yang tinggal di sekitar daerah konservasi. YEL memiliki kantor utama di Medan dan kantor-kantor lapangan dimana proyek mereka sedang berjalan dewasa ini.

Aceh Communications Officer Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), T. Muhammad Zulfikar kepada Greenjournalist menyampaikan, pada tahun 2012, YEL dengan dukungan program Tropical Forest Conservation Action (TFCA) Sumatera melaksanakan program pemberdayaan masyarakat di hutan gambut Rawa Tripa.  “ Tahap awal program ini mengembangkan bibit secara partisipatif bersama masyarakat setempat untuk rehabilitasi kawasan rawa yang terdegradasi,” kata T. Muhammad Zulfikar.
**
TFCA adalah proyek pengalihan utang untuk lingkungan (debt for nature swap) Pemerintah Amerika Serikat yang ditujukan kepada negara yang memiliki hutan hujan tropis dan utang kepada Amerika Serikat. Hutan hujan tropis dipilih dikarenakan hutan ini mampu menampung bermacam-macam makhluk hidup didalamnya baik berupa tumbuhan maupun hewan serta mengurangi gas karbon dan mengatur siklus hidrologi. Penggunaan dana ini untuk rehabilitasi Rawa Gambut Tripa akan sangat menguntungkan.

Pemerintah Amerika Serikat (AS) sepakat untuk menghapus hutang luar negeri Indonesia, sebesar hampir 30 juta dolar AS selama 8 tahun. Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menyalurkan dana pembayaran hutangnya bukan ke Pemerintah Amerika Serikat namun dialihkan untuk mendukung penyediaan dana hibah bagi perlindungan dan pebaikan hutan tropis Indonesia.
**

YEL sedang mengimplementasikan kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat di kawasan Rawa Tripa, yang merupakan bagian dari program besar untuk merehabilitasi dan melindungi kawasan tersebut. Belajar dari pengalaman panjang, banyak proyek-proyek konservasi yang sangat strategis dari bantuan asing yang tidak berkelanjutan karena kurangnya koordinasi dan kerjasama dengan berbagai elemen masyarakat lokal.

Masyarakat yang merupakan aktor utama dalam pelestarian hutan harus diberdayakan agar mereka tidak melakukan kegiatan mencari nafkah yang merusak hutan, kata T. Muhammad Zulfikar. Selama ada kecenderungan lembaga-lembaga konservasi hanya fokus pada flora dan fauna saja, sehingga masyarakat sekitar hutan terabaikan, sambung alumni Pascasarjana Konservasi dan Sumber Daya Lahan Unsyiah ini.

T. Muhammad Zulfikar mengatakan rehabilitasi kembali kawasan Rawa Tripa yang rusak perlu segera dilakukan. “ Jikapun nantinya wilayah ini menjadi wilayah lindung maupun konservasi, tentunya akses masyarakat untuk mengelolanya tentunya tetap terbuka,” ujarnya. Namun kegiatan ekonomi untuk daerah tertentu yang secara ekologi sangat sensitif di kawasan Rawa Tripa sebaiknya diterapkan prinsip kehati-hatian. Itulah sebabnya studi yang lebih komprehensif sangat perlu dilakukan di kawasan ini.

Hal ini sejalan dengan niat Pemerintah untuk mengurangi dampak perubahan iklim, maka selayaknya hutan Gambut Rawa Tripa dikembalikan seperti fungsi semula. “ Untuk itu mari kita tunggu langkah konkrit Pemerintah melalui lembaga yang menangani isu perubahan iklim dan juga Pemerintah Daerah baik di Provinsi Aceh maupun di Kabupaten Nagan Raya dan Abdya, ucap T. Muhammad Zulfikar. **

Koordinator Program Pengembangan Ekonomi Masyarakat, TFCA, Rahmadani, kepada Greenjournalist bercerita banyak tentang program pemberdayaan yang dilaksanakannya bersama masyarakat.

Rahmadani yang biasa dipanggil Dani menjelaskan ada tiga program utama YEL di Rawa Tripa, sejak pertengahan April 2012. “ Tiga program itu yang pertama kampanye Lingkungan, kemudian pengembangan ekonomi masyarakat sekitar hutan gambut Rawa Tripa dan yang terakhir survey Biodiversity hutan gambut Rawa Tripa,” ujar Dani.

Penelitian tentang biodiversity hutan gambut Rawa Tripa mencakup survey kedalaman gambut, menghitung stok karbon, vegetasi tanaman, pencemaran dan sebagainya. Juga dilakukan survey populasi Orangutan yang rencananya akan dilakukan awal tahun 2014. Hasil penelitian ini akan dimasukan ke dalam jurnal internasional sehingga bisa dibaca banyak pihak terutama komunitas internasional.

Namun tantangan penelitian ini juga sangat besar. Banyak titik-titik survey yang berada dalam lahan Hak Guna Usaha (HGU) milik perusahaan perkebunan sehingga untuk masuk ke dalamnya wajib mendapatkan izin terlebih dahulu. Perusahaan-perusahaan yang lahannya menjadi lokasi penelitian biasanya enggan memberikan izin masuk kepada peneliti.

Dalam melakukan pengembangan ekonomi masyarakat, mereka membuat program pembibitan dengan mengembangkan berbagai bibit tanaman lokal, meliputi tanaman kayu dan buah buahan yang biasa dijumpai di kawasan rawa. Masyarakat tidak diberikan bibit yang sudah jadi tetapi mereka diajarkan cara melakukan pembibitan sendiri seperti cara melakukan okulasi, pencangkokan, stek dan sebagainya. Ini merupakan proses alih pengetahuan.

Pembibitan yang sudah berhasil antara lain pembibitan tanaman seperti Jabon, Sengon dan pohon-pohon lain untuk rehabilitasi hutan. Selain itu juga dilakukan pembibitan tanaman yang bernilai ekonomis seperti pohon rambutan, durian dan sebagainya. “ Lebih kurang 9000 bibit sudah disebarkan kepada masyarakat,” kata Dani.

Setelah bibit-bibit ini siap tanam maka bibit segera didistribusikan ke masyarakat. Untuk tanaman hutan seperti jabon dilakukan penanaman pada lahan kritis. Sedangkan pohon rambutan dan durian ditanam dalam kebun milik masyarakat.

Jika pohon-pohon tersebut tumbuh dengan baik maka dalam jangka waktu lima tahun diharapkan masyarakat sudah dapat memetik hasilnya. Pemberian bibit tanaman pohon dilaksanakan di daerah Kecamatan Babah Rot, Kabupaten Aceh Barat Daya.

Warga dan Pendamping dari YEL sedang memeriksa kondisi kolam pemijahan lele | Foto: YEL
Warga dan Pendamping dari YEL sedang memeriksa kondisi kolam pemijahan lele | Foto: YEL

Selain pemberian bantuan bibit, Dani mengatakan program TFCA di Rawa Tripa juga membantu masyarakat melakukan budidaya ikan lele. Pada awalnya sekitar 15 kolam yang masing-masing berukuran 3 x 6 meter dengan kedalaman 1,2 meter, diberikan kepada masyarakat yang membentuk kelompok-kelompok yang beranggotakan 8 orang. Kini jumlah kolam sudah berkembang menjadi 27 kolam setelah berhasil melaksanakan panen beberapa kali.

Setiap kolam ditaburkan 3000 benih ikan yang merupakan bantuan dari Balai Benih Ikan setempat. Masyarakat juga diajarkan cara pemijahan ikan atau membuat benih ikan. Bantuan benih ikan diberikan kepada masyarakat di Kecamatan Babah Rot Kabupaten Aceh Barat Daya dan Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya.

Demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat pinggir hutan Rawa Tripa melalui pemberdayaan ekonomi, selain dua program bantuan di atas juga dibagikan bantuan kambing, bebek petelur dan ayam potong. Warga dari dua kecamatan di atas mendapat bantuan tersebut.

Siapa yang layak menerima bantuan ini ? Dani menjawab penerima bantuan adalah masyarakat yang telah menjadi kader lingkungan dan dibina oleh YEL. Kader ini diharapkan turut menjaga kelestarian lingkungan hidup hutan gambut Rawa Tripa.  Program ini berjalan bukannya tanpa tantangan. Keterbatasan alokasi dana dan jumlah masyarakat pinggir hutan membutuhkan bantuan jauh lebih banyak dari jumlah bantuan tersedia menjadi tantangan utama pelaksanaan program. Banyak penduduk yang bertanya-tanya, “Mengapa kami tidak dapat bantuan sedangkan yang lain dapat?”, Dani menceritakan.

Menurut Dani tidak semua bantuan pemberdayaan ekonomi yang diterima masyarakat berjalan sukses. Misalnya saja ada panen ikan lele yang gagal dan ada juga sistem pengelolaan yang kurang terbuka membuat munculnya rasa tidak percaya dalam anggota kelompok. Namun Dani memperkirakan sekitar 80 persen bantuan yang mereka berikan berkembang baik.

Sementara ini YEL masih berperan  menjadi penggerak dan pemberi semangat namun realisasinya semuanya terletak di pundak masyarakat yang melanjutkan program. Program yang akan berakhir pada April 2015 ini selalu dimonitor dan dievaluasi oleh donor setiap enam bulan sekali untuk mengecek dan membandingkan antara laporan dan fakta lapangan. Namun donor berjanji akan memperpanjang program ini untuk beberapa daerah selama dua tahun jika hasilnya memuaskan.**

Salah satu peneriman bantuan yang sempat dihubungi GreenJournalist adalah Nurdin, warga kampung Blang Luah Kecamatan Darul Makmur. Saat diwawancarai, ia hendak menjual ikan lele hasil panen dari kolam bantuan. Lele yang mereka pelihara adalah lele jenis Sangkuriang. Ia juga mendapat bantuan itik yang baru berusia 1,5 bulan.

Nurdin menceritakan kelompoknya mengelola lima kolam ikan dan mendapatkan bantuan itik sebanyak 100 ekor. Selama ini mereka telah tiga kali melakukan panen ikan dan hasil yang diperoleh terus meningkat dari tahun ke tahun. Saat panen pertama, mereka meraup sekitar 97 kg ikan lele dari satu kolam. Pada panen kedua  hasilnya sedikit menurun, diperoleh 184 kg ikan lele dari satu kolam dan ketika panen ketiga diperoleh hasil yang memuaskan yaitu sekitar 150 kg/kolam.

“ Untung dari penjualan ikan kami bagai ke anggota kelompok setelah dipotong modal untuk usaha lagi,” kata Nurdin. Nurdin juga mendapat bantuan bibit pohon seperti pohon mahoni, jabon, durian dan rambutan. Semua bibit ini sudah ditanamnya di kebun dan ia pun rutin melakukan perawatan di tanamannya. Nurdin menyampaikan program bantuan yang dilakukan YEL berjalan dengan transparan. “ Tidak ada istilah balas budi atau apa-apa dibelakangnya,” ujar Nurdin. Namun ia tidak menampik bisa saja ada oknum yang membonceng program ini untuk popularitas.

Sudah dua tahun program ini berjalan dan dirasakan manfaatnya. Nurdin mengakui bantuan-bantuan pemberdayaan ekonomi yang ia dan warga desa terima telah memberikan kemajuan ekonomi walaupun belum begitu banyak. Ia berharap, YEL dapat terus membantu masyarakat ke depannya.

Rahmadani mengharapkan dampak dari program ini dapat meningkatkan kemandirian masyarakat penerima manfaat. Program ini ingin menyampaikan kepada masyarakat pinggiran hutan gambut Rawa Tripa bahwa mereka tidak perlu menanam sawit di lahan gambut karena masih banyak usaha alternatif yang sangat ekonomis untuk meningkatkan pendapatan. Percontohan kegiatan ekonomi alternatif harus terus disosialisasikan. Memang ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tapi harus terus dicoba.[]

read more
Kebijakan Lingkungan

Kebakaran terjadi Di Lahan Kallista Alam menurut Saksi

Dalam sidang lanjutan perkara pidana perusakan lingkungan dengan terdakwa SR, pemilik perusahaan PT Kallista Alam (KA) dan manajer perkebunan KA, KY, saksi dari Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), Harimuddin SH mengatakan melihat bekas kebakaran di lahan KA. Di lahan tersebut terdapat batang sawit yang daunnya masih dalam keadaan utuh atau hijau dan tidak terbakar.

Sidang yang berlangsung Senin (16/12/2013) di PN Meulaboh dengan agenda pemeriksaan saksi untuk perkara bernomor 131/Pid.B/2013/PN-MBO (terdakwa SR) dan 132/Pid.B/ 2013/PN-MBO (terdakwa KY). Sidang ini tergolong unik karena dengan dakwaan yang sama namun berkas dipecah menjadi dua.

Saksi pertama, Harimuddin SH, ditanyakan oleh majelis hakim Arman Surya Putra SH bersama hakim anggota Rahma Novatiana SH dan Dedy, SH seputar kegiatannya menyangkut pembakaran lahan di Rawa Tripa. Harimuddin menceritakan ia mendapat tugas ke Aceh untuk melihat langsung keadaan hutan Rawa Tripa yang terletak di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) di Nagan Raya. Ia mengechek apakah benar ada kejadian kebakaran sesuai dengan informasi hot spot dan laporan masyarakat yang UKP4 peroleh.

Saksi di lapangan melihat arang bekas kebakaran di lahan namun ia tidak melihat api dan asap, karena api sudah padam. Ia bersama rombongan melihat tugu penanda bahwa lahan tersebut berada dalam KEL. “ Saya mengunjungi lokasi dua kali,” katanya kepada hakim.

Berdasarkan peta yang ia pegang, titik panas terdapat di lahan garapan KA dan perusahaan lain seperti PT SPS2.
Hakim menggali informasi tentang kondisi perkebunan saat saksi datang ke lahan. Harimuddin menceritakan suasana perkebunan dan kondisi lahan gambut yang ia temui.

Sementara pengacara dari KA, Irianto SH, mencecar saksi dengan pertanyaan tentang lahan yang dikunjunginya, latar belakang lembaga tempat saksi bekerja dan tugas-tugas UKP4. Juga sempat ditanyakan keterlibatan negara Norwegia dalam UKP4. Namun saksi menjawab tidak tahu tentang keterlibatan Norwegia karena ia hanya staf saja.
KA belum punya HGU

Saksi kedua yaitu Dede Wahyudi, yang merupakan pegawai Badan Pertanahan Propinsi (BPN) Aceh saat kasus perusakan lingkungan terjadi, ditanyakan tentang sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) milik KA. Dede yang kini bekerja di BPN Bireuen mengatakan bahwa proses sertifikasi baru sampai tahap pemetaan bidang, yang dilakukan pada tahun 2010.

“Selain itu belum ada izin apa-apa. Kami mengukur seluas 900 ha sesuai dengan permohonan perusahaan selama satu minggu,” ujarnya. Ia menambahkan, mereka baru melakukan pemetaan awal, sesuai dengan permohonan izin lokasi di Desa Pulo Kruet Kabupaten Nagan Raya. Izin lokasi sendiri dikeluarkan oleh bupati, sedangkan HGU dikeluarkan oleh Kanwil BPN.

Saat ia ke lapangan bersama tim, Dede melihat bekas kebakaran di sebagian wilayah. Wilayah pengukuran sebagian termasuk dalam daerah yang terbakar.

Dede mengatakan sampai saat ini proses HGU untuk KA sudah terhenti prosesnya. Namun ia tidak tahu kenapa terhenti.[]

read more
Kebijakan Lingkungan

Saksi Sebut Perusahaan Sebagai Penghancur Rawa Tripa

Persidangan kasus pembakaran lahan dan pembukaan kebun illegal dengan terdakwa pemilik perusahaan PT Kallista Alam (KA), SR dan Manajer Perkebunan KY, berlangsung, Senin (16/12/2013) di PN Meulaboh. Seorang saksi, Elvis (34 tahun) yang juga merupakan rekanan KA diakhir pemeriksaan mengatakan sudah tidak ada hutan lagi di Rawa Tripa Nagan Raya, perusahaan-perusahaan telah menghancurkannya.

Persidangan kemarin dengan agenda pemeriksaan para saksi untuk tiga kasus yaitu Kasus pidana atas dugaan perusakan lingkungan hidup oleh PT. Kallista Alam atas nama badan perseroan yang diwakili oleh Direkturnya berinisial SR bernomor 131/Pid.B/2013/PN-MBO dan Manager Perkebunannya berinisial KY bernomor 132/Pid.B/ 2013/PN-MBO. Sedangkan satu lagi adalah kasus dengan nomor perkara 133/pid.B/2013/PN MBO adalah pembukaan perkebunan tanpa izin dengan terdakwa SR secara pribadi. Sidang ketiganya dilangsungkan secara serial dengan tempat dan hari yang sama.

Saksi Elvis adalah rekanan KA yang mendapat kontrak mengerjakan land clearing (pembersihan lahan) dalam lahan 1.605 hektar yang belum memiliki izin perkebunan.  Sekitar 200 hektar lahan sudah dibersihkannya sebelum pekerjaan diberhentikan oleh perusahaan karena bermasalah dengan perizinan.

Elvis yang ditanya hakim yang terdiri dari Arman Surya Putra SH bersama hakim anggota Rahma Novatiana dan Juanda Wijaya, mengaku tidak mengenal terdakwa SR sebelum mendapat kontrak. Ia meneken kontrak dengan manajer perkebunan, KY. Namun hakim mengkonfrontir keterangan tersebut dengan berita acara pemeriksaan (BAP) yang mengatakan bahwa Elvis mengerjakan pembersihan lahan atas perintah lisan KY.

Elvis tetap bersikukuh pada keterangan di muka sidang. Jaksa Penuntu Umum (JPU) Rahmat Nurhidayat SH menanyakan apakah saksi berada dalam tekanan ketika membuat BAP. Elvis menjawab ia tidak dalam keadaan tertekan. JPU terus mendesak keterangan bahwa Elvis tidak mengenal SR sebelumnya.

Hakim sampai mengingatkan Elvis bahwa ia sudah bersumpah di persidangan. Elvis menyatakan mencabut keterangan di BAP. Saksi bersikeras belum pernah bertemu SR, ia bekerja melalui terdakwa KY.

JPU kembali mengingatkan bahwa Elvis tidak berada dalam tekanan ketika memberikan BAP yang menyebutkan Elvis mengerjakan kontrak atas perintah lisan dari SR dan lahan tidak memiliki izin. Elvis mengatakan tidak pernah melihat izin perkebunan untuk lahan yang dikerjakannya. Ia tidak tahu izin-izin apa saja yang diperlukan untuk membuka perkebunan.  Luas lahan yang dikerjakan sebagaimana tercantum dalam kontrak adalah 500 hektar.

Namun Elvis meragukan keterangannya sendiri dalam BAP tersebut. Ia lagi-lagi mengaku tidak ingat isi BAP yang dibuatnya.

Pengacara KA, Irianto SH, menanyakan kepada Elvis apakah ia membakar lahan ketika melakukan pekerjaannya? Elvis menjawab ia tidak melakukan pembakaran lahan.

Kepada majelis Elvis menjelaskan pekerjaan apa saja yang dilakukannya di lahan yang menjadi sengketa, 1.605 hektar yang terletak di dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yaitu hutan gambut Rawa Tripa.

SR diakhir pemeriksaan mengatakan tidak tahu kebenaran cerita Elvis. Ia baru mengenalnya lebih kurang enam bulan lalu.

Ketika sidang hendak diskor, Elvis diberikan kesempatan berbicara. “ Tidak ada hutan lagi di Rawa Tripa sejak dahulu. Hutan-hutannya telah ditebang dan banyak panglong disana. Perusahaan-perusahaan telah merusak daerah itu,” katanya tegas.[]

read more
Kebijakan Lingkungan

PN Meulaboh Tolak Eksepsi PT Kallista Alam

Majelis Hakim PN Meulaboh menolak keseluruhan eksepsi (keberatan)pengacara PT Kallista Alam (KA) yang disampaikan pada minggu lalu. Hakim beralasan eksepsi tersebut tidak dapat diterima karena tidak mempunyai dasar hukum dan sebagiannya telah masuk ke dalam materi pokok gugatan. Dua terdakwa dari perusahaan tersebut yaitu SR (57 tahun) yang merupakan Dirut KA dan manajer perkebunan, KY (45 th).

Gugatan pidana terhadap KA sendiri dipecah menjadi tiga kasus yaitu nomor perkara 131/pid.B/2013/PN MBO, kemudian nomor 132/pid.B/2013/PN MBO dan nomor perkara 133/pid.B/2013/PN MBO. Kasus pertama dan kedua (dengan terdakwa SR dan KY) dengan tuduhan pembakaran ilegal lahan di hutan gambut Rawa Tripa dan kasus ketiga adalah pembukaan perkebunan tanpa izin dengan terdakwa SR.

Sidang dimulai sekitar pukul 10.20 WIB, Selasa (10/12/2013) dengan agenda mendengarkan jawaban putusan sela. Ketua Majelis Hakim, Arman Surya Putra SH, membacakan putusan sela tersebut dibantu oleh hakim anggota, Dedy SH dan Rahma Novatiana, SH. Hakim membacakan poin-poin penting putusan sela saja.

Poin-poin tersebut antara lain bahwa pengacara keberatan atas gugatan yang mereka anggap telah terjadi double jeopardy atau gugatan ganda atas terdakwa dan kasus yang sama. Sebagai informasi, saat ini gugatan perdata terhadap KA atas tuduhan pembakaran lahan juga sedang berjalan dan tinggal menunggu keputusan akhir.

Pengacara terdakwa juga keberatan atas berkas terdakwa yang dipisah-pisah. Menurut mereka ini melanggar asas persidangan yang sederhana dan melanggar asas praduga tidak bersalah.

Terakhir pengacara dalam eksepsinya menyatakan gugatan yang disusun oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), Rahmat Nurhidayat SH dari Kejari Nagan Raya, tidak cermat dan teliti karena tidak memuat lokasi dan waktu terjadinya peristiwa dengan jelas. Pengacara berharap agar majelis hakim menolak kasus ini atau paling tidak kasus tidak bisa diterima (NO).

Hakim dalam putusan selanya menetapkan keberatan pengacara tidak dapat diterima atau ditolak seluruhnya. Eksepsi pengacara tidak sesuai aturan perundangan dan telah masuk ke dalam materi pokok perkara. ” Eksepsi ditolak dan sidang dilanjutkan,” kata Arman Surya Putra SH.

Hakim tidak hanya mempertimbangkan normal justice tetapi juga menemukan keadilan sejati sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan bagi masyarakat.  Hakim memakai landasan hukum UU no.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup untuk memeriksa perkara-perkara ini.

Arman mengatakan tidak terjadi double jeopardy karena tidak ada keputusan tetap (incrach) atas kasus ini atau dengan kata lain tidak ada tuntutan yang berulang atas terdakwa yang sama untuk kasus yang sama.

Mengenai pemisahan berkas terdakwa, hal ini lazim dilakukan dan merupakan kewenangan JPU. Terdakwa yang menjadi saksi bagi terdakwa lain (saksi mahkota) akan diuji kebenarannya dalam pemeriksaan pengadilan dalam sidang-sidang lanjutan.

Hakim memutuskan surat dakwaan JPU telah sah menurut hukum dan pemeriksaan akan dilanjutkan.Pengacara kedua terdakwa, Elfian SH dan Rebecca SH, menyatakan pikir-pikir atas putusan sela tersebut.

Sidang ditunda hingga tanggal 16 Desember 2013 dengan agenda pemeriksaan saksi-saksi. JPU berencana menghadirkan empat orang saksi namun belum bisa memberikan nama secara pasti siapa saja saksi tersebut.

Kasus pidana atas dugaan perusakan lingkungan hidup oleh PT. Kalista Alam atas nama badan perseroan yang diwakili oleh Direkturnya berinisial SR bernomor 131/Pid.B/2013/PN-MBO dan tindak pidana kasus yang sama juga ditujukan kepada Manager Perkebunannya berinisial KY bernomor 33/Pid.B/ 2013/PN-MBO.

Perkara dimulai atas penyelidikan PPNS Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) yang diteruskan kepada Jaksa Peneliti di Kejaksaan Agung di Jakarta.

Kemudian satu perkara pidana lagi terkait pembukaan perkebunan tanpa izin dengan terdakwa berinisial SR sebagai pribadi bernomor 132/Pid.B/2013/PN-MBO. Perkara pidana terkait perizinan ini berawal dari Surat Pemberitahuan Polda Aceh pada 22 Juni 2012 yang diteruskan kepada Jaksa Peneliti Kejaksaan Tinggi di Aceh.[]

read more
Kebijakan Lingkungan

PN Meulaboh Tunda Sidang Putusan Gugatan Kallista

Majelis Hakim PN Meulaboh menunda sidang pembacaan putusan kasus perdata gugatan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) melawan PT Kallista Alam (KA), Kamis (5/12/2013). Ketua Majelis Hakim, Rahmawati SH, tidak hadir dipersidangan karena sakit sehingga sidang ditunda menjadi tanggal 30 Desember 2013.  KLH menggugat ganti rugi sebesar Rp.300 miliar karena KA dianggap melakukan pembakaran ilegal yang merusak hutan Rawa Tripa.

Dalam sidang yang dimulai sekitar pukul 10.30 WIB tersebut, pihak KLH diwakili oleh pengacara Fauzul Ahmad, SH dan Abdul Kadir SH yang mewakili kejaksaan. Sedangkan dari pengacara KA hadir Alfian C. Sarumaha SH, Rebecca F. E Siahaan dan Irianto Subiakto SH. yang merupakan pengacara dari kantor Luhut B Pangaribuan. Anggota majelis hakim hanya dihadiri oleh Rahma Novatiana SH, yang membuka sidang dan memberitahukan sidang ditunda lantaran ketua Majelis hakim, Rahmawati SH dalam keadaan sakit. Sidang dengan agenda pembacaan keputusan akhir disepakati dilanjutkan tanggal 30 Desember 2013.

Usai sidang, pengacara Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) Fauzul Akbar, SH, kepada wartawan mengatakan pihaknya menyerahkan sepenuhnya kepada majelis soal penundaan sidang. ” Kalau soal kesehatan kami tidak bisa bilang apa-apa. Kerugian KLH jika sidang diundur, kerugian dari segi waktu, kami harus menyiapkan waktu lebih panjang. Kami berharap putusan perkara ini lebih baik, perkara ini sudah lebih setahun (sidangnya-red),” kata Fauzul.

Menurut Fauzul, dilihat dari segi waktu, masa persidang ini lebih panjang dari biasanya enam bulan. ” Tetapi ini lebih setahun, ini memang perkara komplek. Ini gugatan perdata pertama kali di Indonesia yang dilaksanakan di Meulaboh. PN Meulaboh mendapat kehormatan menyelesaikan perkara seperti ini,’ ujarnya.

Pihak KLH berharap putusan majelis merupakan putusan terbaik yang mempertimbangkan semua aspek, terutama aspek lingkungan.

Ketika ditanya apa pengunduran sidang tidak berpengaruh pada kualitas putusan, Fauzul menolak berkomentar lebih jauh. ” Kualitas putusan kami tidak bisa berkomentar. Kami memang berharap majelis mempertimbangkan betul-betul semua aspek pembuktian, semua kewenangan, fakta-fakta di lapangan. Kita selama berbulan-bulan mencari fakta kebenaran. Bagi kami ini sudah cukup untuk bisa diputuskan,” jelasnya.  Fauzul berharap putusan yang keluar adalah keputusan yang berkualitas.

Sementara itu pengacara Kallista Alam, Elfian, SH ketika diminta komentarnya mengatakan pihaknya mengikuti saja keputusan hakim. ” Ini udah sakit mau gimana lagi. Semoga tanggal 30 udah lebih sehat lah. Padahal kita berharap putusan perdata dulu, baru putusan sela pidana. Kami tidak dirugikan, cuma rugi ongkos dan tenaga. Hal-hal lain tidak,” katanya. Sebagai informasi, beberapa pimpinan KA juga dijerat secara pidana  untuk kasus pembakaran lahan di daerah yang sama.

Menurut Elfian, setidak-tidaknya putusan majelis hakim harusnya NO (gugatan tidak dapat diterima-red) karena dari pemeriksaan lapangan tidak seperti gugatan. ” Keadaan normal-normal aja. Setidak-tidaknya gugatan yang tidak jelas tidak diterima. Memang ada bekas terbakar, tapi bukan pembakaran sengaja. Kami akan melakukan upaya hukum banding jika gugatan KLH diterima,” jelasnya.

Gugatan perdata dengan nomor perkara No.12/PDT.G/2012/PN-MBO, adalah gugatan pembakaran lahan untuk pembukaan perkebunan kelapa sawit. Negara menggugat KA atas adalah timbulnya kerugian-kerugian akibat pembakaran lahan hutan gambut yang terletak di Rawa Tripa, sebuah daerah yang masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser.

Gugatan perdata ini meminta ganti rugi dari kerusakan yang timbul sesuai dengan perhitungan ahli dan perundangan yang berlaku. Pemerintah meminta dana recovery lahan karena pada akhirnya kerusakan lingkungan menjadi beban pemerintah. Jumlah ganti rugi sekitar Rp.300 miliar yang berupa ganti rugi uang tunai dan ganti rugi dalam bentuk tindakan tertentu seperti tindakan pemulihan hutan.

Sebelumnya majelis hakim persidangan ini telah menyita lahan seluas 5.769 hektar lahan milik PT. Kallista Alam yang terletak di hutan gambut Rawa Tripa. Lahan berada di Desa Pulo Kruet Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya. Hakim mengabulkan permintaan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) pada Kamis (7/11/2013) di PN Meulaboh, Aceh Barat.[m.nizar abdurrani]

read more
1 2 3
Page 2 of 3