close

kebakaran hutan

Perubahan Iklim

Kemarau Sebabkan Hutan Aceh Jaya Terbakar

Kemarau yang melanda kawasan Aceh Jaya dalam tiga pekan terakhir menyebabkan sedikitnya 20 hektare hutan di Gunung Keumala Desa Lhok Kruet, Kecamatan Sampoiniet, terbakar hebat, Sabtu (12/3/2016) sore. Meski berlanjut hingga Minggu kemarin, namun menjelang siang lidah api di kawasan itu berhasil dipadamkan.

“Supaya tidak membahayakan rumah penduduk, maka pada Sabtu sore itu juga langsung kita kerahkan empat unit armada pemadam kebakaran ke lokasi untuk memadamkan titik api yang berdekatan dengan rumah penduduk,” kata Kepala Badan Penanggulangan Bencana Kabupaten (BPBK) Aceh Jaya, Amren Sayuna, kepada media, Minggu (12/3/2016).

Ratusan warga Lhok Kruet sempat gundah dan ketakutan saat melihat berhektare-hektare hutan di Gunung Keumala yang satu kawasan dengan desa mereka terbakar hebat. Apalagi lidah api mengarah ke pinggir hutan, lalu merembet ke dekat rumah-rumah penduduk.

Tapi, berkat kegesitan tim armada damkar BPBK setempat, sejumlah titik api yang berdekatan dengan rumah penduduk berhasil dipadamkan langsung pada sore itu juga. Namun, bara api di kawasan hutan gambut itu tidak seluruhnya berhasil dipadamkan.

Seiring dengan itu, BPBK Aceh Jaya langsung membagi-bagikan masker kepada warga Lhok Kruet untuk mengantisipasi pengaruh buruk dari kepulan asap tebal di sekitar mereka.

Pada Minggu kemarin, menjelas siang, sudah tak terlihat lagi kobaran api, demikian pula kepulan asap yang membakar rumput pohon atau rumput kering, sebagaimana terjadi pada hari sebelumnya.

“Hutan yang terbakar di kawasan Gunung Keumala Lhok Kruet mencapai 20 hektare lebih. Kondisi ini sempat memicu kekawatiran karena lokasi kebakarannya berdekatan dengan rumah penduduk,” kata Danramil Lhok Kruet, Kapten Mulyadi.

Menurutnya, kebakaran di wilayah Aceh Jaya kini rentan terjadi karena sudah tiga minggu berlangsung musim kemarau dan kondisi hutan dalam keadaan kering. “Kebakaran di sini sangat mudah terjadi, sebab banyak rumput yang sudah kering, sehingga api terus menjalar, seperti di dalam sekam,” kata Kapten Mulyadi.

Sejauh ini, penyebab kebakaran itu belum diketahui. Apakah karena ada orang yang iseng membuang puntung rokok ke pinggir hutan atau justru karena ada warga yang sengaja membakar lahan untuk membuka kebun atau bersawah.

Sementara itu, Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan Bencana pada BPBK Aceh Jaya, Fajar Diharta, mengharapkan warga setempat agar tidak melakukan pembakaran lahan karena dapat menyebabkan kebakaran hutan dan lahan lainnya.

Saat ini, menurutnya, Aceh sedang musim kemarau, sehingga perlu kehati-hatian dalam membakar lahan. “Kita berharap dalam situasi kemarau ini untuk saling menjaga, sehingga tak ada pihak yang dirugikan jika terjadi kebakaran lahan dan hutan nantinya,” harap Fajar Diharta. []

Sumber: serambinews.com

read more
Kebijakan Lingkungan

Tak Ada Asap Kalau Ada Air

Beberapa minggu lalu, udara di langit kota Banda Aceh diselimuti kabut berwarna putih. Setelah diamati perlahan-lahan menjadi jelas bahwa ini bukanlah kabut sebagaimana yang biasa muncul di pagi hari atau saat udara sejuk. Ini adalah kumpulan asap yang berjumlah sangat banyak. Bisa diduga ini adalah asap kiriman dari kebakaran hutan yang sudah sejak tiga bulan lalu melanda sebagian kawasan hutan di Sumatera. Bukan hanya hutan Sumatera saja yang terbakar, sebagian hutan Kalimantan dan sejumlah kecil hutan di Jawa pun terbakar.

Saya bergumam dalam hati, akhirnya kabut asap ini sampai juga di kota paling ujung utara Pulau Sumatera. Jarak titik kebakaran dengan Aceh ratusan kilometer tapi ternyata asap ini mampu juga mendatangi Aceh. Sebenarnya beberapa kota di Aceh seperti Lhokseumawe, Langsa, Singkil, daerah-daerah yang lebih dekat dengan titik kebakaran sudah dilanda kabut asap terlebih dahulu. Banda Aceh sendiri juga sudah diselimuti kabut asap, namun kepekatannya masih ringan. Hanya beberapa hari ini saja kepekatannya semakin bertambah. Jarak pandang semakin terbatas, bernafas sedikit terganggu. Saya membayangkan, di Aceh ini saja segini dahsyatnya asap bagaimana pula di asalnya. Tingkat kepekatan asap dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Lihat saja, jarak pandang hanya mencapai 200 meter, ini sangat berbahaya bagi penerbangan. Beberapa pesawat terpaksa mendarat di Bandara Sultan Iskandar Muda karena tidak bisa mendarat di Bandara tujuan awalnya. Akibatnya ribuan orang menjadi terlantar tidak bisa mengikuti jadwalnya.

Banyak sekali kerugian yang ditimbulkan akibat bencana kebakaran hutan. Kerugian kesehatan, sudah ada beberapa orang yang meninggal akibat kerusakan organ yang menghirup asap. Belum lagi kerugian materi akibat lahan terbakar dan terganggunya arus transportasi, baik udara, laut, bahkan darat sekalipun. Apa penyebab kebakaran hutan ini? Tentu saja api. Tapi siapa pula yang menyalakan api sehingga memanggang ribuan hektar hutan? Apa tujuan dari mereka yang membakar hutan tersebut? Kenapa kebakaran bukannya semakin surut, tetapi malah semakin menjadi-jadi?

Kebijakan Membakar
Ternyata kebijakan juga mendorong terjadinya pembakaran hutan secara besar-besaran. Membakar hutan diperbolehkan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dalam penjelasan untuk pasal 69 ayat 2 yang berbunyi “Ayat (2) Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya”.

Kemudian lagi beberapa pemerintah lokal membuat aturan setingkat Pergub yang mengatur pemberian izin untuk membakar hutan. Misalnya saja Pergub Kalimantan Tengah Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Perubahan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 52 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pembukaan Lahan dan Pekarangan Bagi Masyarakat di Kalimantan Tengah yang membolehkan pembakaran hutan. Pergub ini diteken Gubernur Kalteng yang saat itu menjabat yaitu politikus PDIP Agustin Teras Narang.

Selain itu Propinsi Riau juga memiliki aturan Pergub yang nyaris senada, membolehkan pembakaran hutan yaitu Pergub Riau Nomor 11 Tahun 2014 tentanag Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Provinsi Riau yang menyebutkan bahwa kepala desa atau lurah saja dapat memberikan izin pembukaan hutan dengan pembakaran. Lurah memberikan izin pembakar untuk lahan dengan luas dibawah dua hektare. Sedangkan pembukaan lahan dan pembakaran hutan lebih dari 50 hektare harus mendapatkan izin dari Gubernur Riau.

Kebijakan ini tentu saja memicu masyarakat membakar hutan dengan dalih untuk membuka lahan. Selain masyarakat, dalam skala besar perusahaan ikut membakar hutan dengan pertimbangan biaya yang lebih murah membakar hutan untuk membuka lahan ketimbang membuka hutan dengan cara konvensional. Lihat saja dampak raksasa yang ditimbulkan terutama pada hutan gambut.

Pembakaran Hutan Gambut
Kebijakan pemerintah mengizinkan pembukaan perkebunan di hutan gambut malah lebih memperparah kebakaran hutan. Hutan gambut dibabat, kemudian dibikin kanal-kanal seperti sungai kecil untuk mengeringkan hutan gambut tersebut. Pengeringan dilakukan agar mempermudah penanaman gambut. Tapi lihatlah akibatnya, lahan gambut menjadi kering, sangat mudah terbakar bagaikan sekam yang terpercik api.

Gambut yang terbakar bisa berlangsung berhari-hari karena bukan saja gambut dipermukaan tanah yang terbakar. Lapisan gambut yang kedalamannya bisa mencapai 4 meter lebih juga ikut terbakar secara perlahan. Ini bagaikan bagian dalam kasur kapas yang terbakar, dari permukaan tak nampak namun perlahan tapi pasti menghanguskan seluruh isinya. Tak ada kandungan air membuat kelembaban gambut berkurang drastis, permukaan gambut pun mengalami penurunan.

Peristiwa kebakaran hutan gambut bukanlah peristiwa pertama yang terjadi tahun ini saja di Indonesia. Sudah beberapa kali ganti pemerintahan kebakaran hutan tetap saja terjadi. Penanggulangannya pun persis seperti cara kerja pemadam kebakaran yang datang ketika api sudah mulai membakar objeknya. Ketika api padam, pulanglah pula pemadam kebakaran tersebut. Tidak ada kebijakan sistematis untuk menghentikan kebakaran hutan. Padahal hal ini sangat penting mengingat hutan yang terbakar ribuan hektar dan mengancam nyawa jutaan orang di beberapa propinsi.

Air Solusinya
Kebakaran hutan semakin sulit diatasi karena terjadi dimusim kering dan pengaruh cuaca ekstrem yang disebut La Nina. Beberapa daerah kebakaran sedang mengalami musim kering yang parah. Lahan-lahan gambut pun sudah semakin kering. Hutan sudah tak bisa lagi menyimpan air karena tak punya lagi pepohonan. Padahal sejauh ini hanya air lah yang paling efektif memadamkan api. Memang ada bahan kimia atau biasa disebut racun api yang bisa memadamkan api tetapi sangat mahal dan tidak efektif. Walaupun kini memadamkan api di hutan dengan air pun sudah mahal karena harus memborbardir hutan dengan jutaan liter air dari pesawat. Sungguh sebuah ironi, karena kita terpaksa “membuang” uang untuk menumpahkan air. Padahal banyak sekali rakyat sekitar hutan yang masih hidup miskin.

Kini duit yang idealnya bisa untuk mensejahterakan mereka dipakai untuk memadamkan hutan. Padahal jika pencegahan hutan dibuat sebuah program dengan melibatkan masyarakat, dengan dana yang sama pasti hasilnya akan berbeda. Hutan terjaga dan masyarakat bisa sejahtera. Makanya tak ada asap kalau ada air.[]

read more
Ragam

Ajakan Blusukan Asap dari Sungai Tohor

Kapal penumpang yang akan mengantar kami ke Sungai Tohor siang itu lumayan dipenuhi penumpang. Kami sengaja memilih tempat duduk paling belakang yang langsung berbatasan dengan dek bagian luar kapal, demi mengejar sejuknya tiupan angin di siang yang terik itu. Matahari di atas langit Riau  menambah pengap udara dalam ruang penumpang.  Setelah menunggu beberapa saat, kapal akhirnya bergerak, mula-mula pelan lalu raungannya terdengar kencang membelah perairan Selat Air Hitam.

Sudah hampir satu bulan ini nama Pak Abdul Manan hilir mudik di media online karena petisi yang digagasnya dan tak tanggung-tanggung, petisi ini ditujukan langsung ke Presiden Indonesia, Bapak Joko Widodo. Sebagai seorang warga negara Indonesia yang sejak lahir tinggal di desa Sungai Tohor, Kepulauan Meranti, Pak Abdul Manan menyampaikan kegelisahannya tentang asap yang berasal dari kebakaran hutan. 17 tahun seperti warga Riau lainnya, Pak Manan dipaksa hidup bersama asap setiap tahunnya. Asap dari kebakaran hutan seperti sudah menjadi rutinitas yang harus diakrabi masyarakat Riau. Di bulan-bulan saat musim kemarau datang, biasanya asap juga akan tiba bersama teriknya sinar matahari.

Akhirnya setelah hampir dua jam menyeberang dari Buton, dan sepuluh menit naik ojek dari dermaga, kami tiba juga. Rumah bercat coklat dengan pohon sagu di halaman itu terlihat teduh. Walaupun sibuk, Pak Manan menyempatkan menyambut kami dengan senyumannya yang khas. Ada yang berbeda hari itu, Pak Manan menjelaskan kesibukannya bertambah. “Mempersiapkan kedatangan Bapak Jokowi”, katanya dengan wajah berseri.

Rupanya, petisi yang telah menghasilkan lebih dari 25.000 dukungan mendapatkan perhatian khusus Presiden Indonesia. Dengan bahasa sederhana, dalam petisi itu Pak Manan mengundang Pak Jokowi untuk langsung merasakan dampak kebakaran hutan yang mereka derita bertahun-tahun, Pak Manan mengajak Pak Jokowi blusukan asap ke desanya. “Saya buat petisi ini atas nama warga Riau, kami sudah lelah diasapi setiap tahunnya.”, kata Pak Manan.

Khusus untuk desanya, menurut Pak Manan kebakaran berasal dari  pembangunan kanal. Kanal-kanal yang dibangun perusahaan membuat lahan gambut  mengering. Saat musim kemarau datang, gambut yang kering akan dengan mudah terbakar.  Desa Kepo Baru adalah salah satu desa dengan kerugian terbesar. Awal tahun 2014 ini, api melahap hampir 2.000 hektar lahan di desa tersebut. “Banyak kebun sagu warga ikut terbakar saat itu”, tutur Pak Manan.  Sagu sudah ditanam warga di Kepulauan Meranti sejak tahun 1940an. “Dari sebelum Indonesia merdeka, kami sudah budi daya sagu di sini.”, Pak Manan menambahkan.

Seperti halnya warga desa lain, Pak Manan sangat menantikan kunjungan blusukan asap Presiden Jokowi minggu ini. “Saya berharap Pak Jokowi bisa memberikan solusi kebakaran hutan dan lahan gambut yang sudah berkepanjangan di Riau dan Sumatera.” kata Pak Manan.

Tak perlu malaikat yang cemerlang dan rupawan untuk menjawab harapan Pak Abdul Manan, cukup sebuah kunjungan blusukan dari Presiden Indonesia dilanjutkan dengan kemauan dan langkah nyata pemerintah untuk menguatkan perlindungan hutan dan lahan gambut di Indonesia.  Perwujudan harapan Pak Manan dan warga Riau tinggal beberapa langkah lagi, tinggal beberapa hari menuju blusukan asap Presiden Jokowi.

Sambil kembali ke aktifitas persiapan bersama warga lainnya, Pak Abdul Manan menyempatkan berterima kasih kepada 28.000 penandatangan petisi #blusukanasap. Minggu ini kita akan melihat hasil kekuatan bersuara bersama bagi penyelamatan hutan Indonesia.

Sumber:greenpeace.org

read more
Hutan

IPB Miliki Pusat Kajian Pengendalian Kebakaran Hutan

Institut Pertanian Bogor memiliki Pusat Kajian Pengendalian Kebakaran Hutan guna membantu menyelesaikan permasalahan kebakaran hutan dan lahan, yang akan segera diresmikan keberadaannya.

Tiga pakar kehutanan dan lahan yang juga Dewan Guru Besar IPB, yakni Prof Yanto Santosa dan Prof Bambang Hero Saharjo dari Fakultas Kehutanan, dan Prof Budi Indra Setiawan dari Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan mengemukakan itu di Kampus Baranangsiang, Kota Bogor, Jawa Barat, Kamis.

Menurut Yanto Santosa IPB telah mempunyai konsep dan strategi untuk pengendalian kebakaran hutan dan lahan (karhutla), dan apa yang dimiliki itu dilembagakan dalam bentuk pusat kajian dimaksud.

“Dalam waktu dekat pusat kajian lintas disiplin ilmu itu akan diresmikan sebagai sumbangsih IPB untuk membantu memberi solusi bagi persoalan kebakaran hutan dan lahan,” katanya.

Tujuan utama pusat kajian itu, menurut Guru Besar Ekologi dan Manajemen Satwa Liar Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata Fahutan IPB itu, adalah menemukan, mengembangkan, serta menyebarluaskan konsep, strategi dan pedoman pengendalian karhutla.

Cakupannya, kata dia, meliputi aspek pencegahan, penanggulangan dan pemulihan biofisik pasca-karhutla.

Sedangkan Hero Saharjo menambahkan bahwa prioritas kegiatan pusat kajian itu adalah berpartisipasi aktif dalam upaya penyelesaian masalah kebakaran hutan dan lahan dengan berbagai sumber penyebab.

Di samping itu, kata dia, secara intensif memantau dan mengevaluasi sistem peringatan dini dan deteksi dini.

Prioritas lainnya, menurut Guru Besar Perlindungan Hutan dan juga Kepala Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan Bagian Perlindungan Hutan Departemen Silviklutur Fahutan IPB itu, juga memberikan konsultasi kepada pelaku usaha dan masyarakat pengelola hutan dan lahan.

“Kami juga menyeru dan mengajak anggota Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) untuk bersama-sama mencari solusi, misalnya dengan memberikan akses lahan hutan untuk demplot percontohan bagaimana menangani masalah kebakaran hutan dan lahan itu,” katanya.

Sementara itu, Budi Indra Setiawan yang juga Guru Besar Hidrologi dan Fisika Tanah, sekaligus Kepala Bagian Teknik Sumber Daya Air dan Ketua Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan IPB menyatakan pusat kajian itu juga memberikan masukan kepada pemerintah yang berkaitan dengan kebijakan dan regulasi.

Di samping itu, mengkaji metode, teknologi dan manajemen pengelolaan hutan dan lahan untuk mendapatkan sistem produksi biomassa yang optimal, lestari, berwawasan lingkungan, yang dapat diterapkan oleh pelaku usaha dan masyarakat umum.

“Juga menghasilkan sumber daya manusia yang kompeten dalam pengelolaan hutan dan lahan untuk produksi biomassa yang optimal, lestari dan berwawasan lingkungan,” katanya.

Dalam kesempatan itu, juga hadir Direktur Direktorat Kajian Strategis dan Kebijakan Pertanian IPB Dr Dodik Ridho Nurrochmat, yang mengulas bahwa pihaknya sedang melakukan penelitian sejauh mana aspek liputan media massa dalam kasus-kasus kebakaran hutan.

“Bisa jadi, apa yang disampaikan melalui laporan-laporan belum pas, sehingga mempengaruhi kebijakan yang diambil dalam menangani kasus kebakaran hutan dan lahan,” katanya.

Ia merujuk pada laporan mengenai penggunaan semacam “water bombing” dalam memadamkan kebakaran hutan dan lahan, yang belum tentu cocok untuk kasus di Indonesia.

“Itu (water bombing) barangkali cocok di negara lain, namun belum tentu bisa efektif untuk kasus di Indonesia, karena percikan air yang ke udara bisa memicu kebakaran baru,” katanya. Itu sebabnya, kata dia, laporan media bisa saja berpengaruh pada kebijakan yang diambil, sehingga dibutuhkan pemberian pemahaman yang lebih paripurna kepada media massa.

Sumber: antaranews.com

read more
Ragam

Satgas Asap Riau Tangkap Pelaku Pembakaran Lahan

Satuan Tugas Darurat Asap Riau menangkap seorang pelaku pembakar lahan yang juga berusaha menyuap petugas di lapangan agar tidak ditangkap, di Kabupaten Siak, Riau.

“Pelaku berusaha menyuap petugas dengan uang Rp2 juta supaya tidak ditangkap. Enak saja, kami tidak ada ampun. Sudah susah payah kita memadamkan kebakaran dia mau lari begitu saja pakai menyuap segala,” kata Juru Bicara Satgas Darurat Asap Riau, Kolonel Infantri Bernardus Robert, di Pekanbaru, Jumat.

Ia menjelaskan, penangkapan itu terjadi di Kabupaten Siak dan petugas mengamankan tiga orang tersangka. Satu tersangka merupakan pemilik lahan berinisial Ai yang juga mencoba menyuap petugas. Sedangkan, dua pelaku lainnya merupakan orang bayaran Ai yang bertugas menjaga kebun saat dilakukan pembakaran.

Menurut dia, pelaku Ai membakar lahan miliknya seluas sekitar satu hektare di Kilometer 6 Jalan Dayun Kecamatan Menpura, Siak. Satgas Pasukan Darat mendapat informasi adanya pembakaran lahan Ai dari pemadam kebakaran Manggala Agni Kemenhut yang bertugas di Siak.

Petugas langsung melakukan pengecekan dan langsung mengamankan dua orang pekerja tersebut. Dari keterangan dua pekerja itulah, petugas akhirnya mengetahui Ai ada dibelakang pembakaran itu.

“Kita menyerahkan proses hukum selanjutnya kepada Polres Siak,” katanya.

Berdasarkan data Satgas, sejauh ini sudah ada 102 tersangka terkait kasus pembakaran lahan dan hutan di Riau.

Kolonel Robert mengatakan operasi untuk memburu pelaku perambahan dan pembakaran lahan diintensifkan. Bahkan, Satgas juga melakukan operasi pada malam hari.

“Kami mendapat indikasi bahwa pembakaran kini dilakukan di malam hari. Jadi Satgas kini juga melakukan operasi pada malam hari, dan kalau ada pelaku yang berusaha kabur, langsung dilumpuhkan,” tegasnya.

Sumber: antaranews.com

read more
Kebijakan Lingkungan

Kebakaran Hutan di Indonesia Capai Level Tertinggi

Di awal Maret 2014, kebakaran hutan dan lahan gambut di provinsi Riau, Sumatera, Indonesia, melonjak hingga titik yang tidak pernah ditemukan sejak krisis kabut asap Asia Tenggara pada Juni 2013. Hampir 50.000 orang mengalami masalah pernapasan akibat kabut asap tersebut, menurut Badan Penanggulangan Bencana Indonesia. Citra-citra satelit dengan cukup dramatis menggambarkan banyaknya asap polutan yang dilepaskan ke atmosfer, yang juga berkontribusi kepada perubahan iklim.

Minggu lalu Global Forest Watch, sebuah sistem online baru yang mencatat perubahan tutupan hutan serta kebakaran hutan secara online melaporkan bahwa pembukaan lahan untuk agrikultur menjadi pendorong utama terjadinya kebakaran ini. Seperti yang terjadi sebelumnya, sekitar setengah dari kebakaran tersebut berlangsung di lahan yang dikelola oleh perusahaan tanaman industri, kelapa sawit, serta kayu. Global Forest Watch menunjukkan bahwa sebagian dari kebakaran yang paling besar berada pada lahan yang telah sepenuhnya ditanami, terlepas dari fakta bahwa banyak dari perusahaan ini yang berkomitmen untuk menghentikan penggunaan api dalam praktik pengelolaan mereka.

Berulang kembalinya peristiwa kebakaran ini—serta intensitasnya—memunculkan beberapa pertanyaan penting. Di bawah ini, kami menggunakan data Global Forest Watch untuk lebih jauh menelusuri pertanyaan-pertanyaan tersebut.

1. Berapa Banyak Kebakaran yang Terjadi Dibandingkan Juni 2013?
Sejak 20 Februari hingga 11 Maret, Global Forest Watch mendeteksi 3.101 peringatan titik api dengan tingkat keyakinan tinggi di Pulau Sumatera dengan menggunakan Data Titik Api Aktif NASA. Angka tersebut melebihi 2.643 total jumlah peringatan titik api yang terdeteksi pada 13-30 Juni 2013, yaitu puncak krisis kebakaran dan kabut asap sebelumnya.

Fakta bahwa jumlah kebakaran kini terjadi lebih sering dibandingkan dengan Juni 2013 sangatlah mengkhawatirkan, terutama melihat usaha-usaha yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia serta negara lainnya untuk mengatasi masalah kebakaran sejak saat itu. Krisis terakhir ini jelas berhubungan dengan kekeringan ekstrim yang sekarang melanda kawasan, yang juga membuat pembakaran semakin mudah serta meningkatkan kemungkinan api menyebar dengan tidak terkendali.

Menariknya, liputan media terhadap kebakaran yang baru terjadi tidak sebesar Juni 2013 karena fakta bahwa pola angin telah meniup asap dan kabut menjauh dari kota-kota besar seperti Singapura, menuju wilayah pedesaan di Sumatra.

2.Dimanakah Kebakaran Terjadi?
Selama bulan Juni 2013, mayoritas kebakaran yang terjadi terpusat di Provinsi Riau, Pulau Sumatera, Indonesia. Angka yang cukup mengejutkan, yaitu sebanyak 87 persen dari peringatan titik api di sepanjang Sumatera pada 4-11 Maret berada di Provinsi Riau. Lihat animasi di bawah yang menunjukkan wilayah dimana kerapatan titik api paling banyak terjadi di Riau selama 12 hari terakhir.

Terlebih lagi, sekitar setengah dari peringatan titik api di Sumatera terletak di lahan yang dikelola oleh konsesi kelapa sawit, HTI, serta HPH, menurut data dari Kementrian Kehutanan Republik Indonesia. Selain itu, beberapa dari area kebakaran yang paling besar tampak terjadi di konsesi yang dimiliki perusahaan-perusahaan besar.

Investigasi lebih lanjut perlu dilakukan oleh pemerintah Indonesia sebelum membuat kesimpulan definitif mengenai ada tidaknya perusahaan yang melakukan pelanggaran terhadap hukum yang membatasi penggunaan pembakaran.

3. Kenapa Masalah Ini Tetap Terjadi?
Krisis minggu ini menjadi yang terakhir dari daftar panjang mengenai episode kebakaran yang mempengaruhi Indonesia dan negara-negara tetangga. Meskipun kita sudah dapat menentukan ukuran kebakaran dan dimana lokasinya, masih banyak hal yang belum kita ketahui. Salah satunya, mengapa pemerintah Indonesia gagal untuk menerbitkan informasi dimana perusahaan sawit, kertas, dan kayu beroperasi. Meskipun Global Forest Watch memasukkan data konsesi terakhir yang tersedia, masih banyak kesenjangan informasi serta masalah seputar akurasi.

Tersedianya peta batas konsesi serta kepemilikan lahan terbaru dapat memperbaiki koordinasi di antara institusi pemerintah yang berusaha menghentikan api, peningkatan penegakkan hukum di sekitar kawasan, serta tentu saja, akuntabilitas yang lebih baik untuk perusahaan maupun institutsi pemerintah terkait.

Kedua, investigasi lebih lanjut di lapangan menjadi prioritas yang mendesak, termasuk penelitian dan survei mendalam untuk dapat mengerti proporsi pembakaran yang dilakukan oleh perusahaan besar dibandingkan dengan operasi ukuran menengah maupun kecil. Tentu saja, petani miskin tidak memiliki alternatif selain menggunakan api ketika melakukan pembersihan lahan. Mereka juga dapat menggunakan api untuk merusak ataupun melakukan klaim atas lahan yang berada di bawah manajemen perusahaan besar.

Konflik lahan seperti ini sangat umum di seluruh Indonesia. Pemerintah maupun organisasi peneliti independen, perlu secara cepat melakukan investasi lebih untuk mengerti akar masalah dari kebakaran ini serta menyusun program yang lebih baik untuk mencegah kebakaran.

Terkait dengan hal ini, beberapa progres telah dibuat. Pemerintah Indonesia dan Singapura, serta kelompok ASEAN yang lebih besar, sedang melakukan usaha-usaha untuk menurunkan risiko kebakaran. Deteksi api dan usaha pemadaman telah ditingkatkan, serta penegakkan hukum Indonesia telah melakukan beberapapenangkapan yang signifikan. Singapura bahkan mengajukan undang-undang mendobrak baru yang memungkinkan pemerintah untuk menjatuhkan sanksi kepada perusahaan—domestik maupun asing—yang menyebabkan kabut asap lintas-negara yang merugikan pemerintah negara tersebut.

Pada Bulan Oktober, pemerintah negara-negara ASEAN telah sepakat untuk bekerja sama dan membagi data mengenai titik api dan penggunaan lahan, meskipun data ini tidak tersedia untuk publik. Lebih lanjut, banyak perusahaan yang telah, sejak saat itu, mengumumkan secara public kebijakan tidak menggunakan pembakaran, serta melakukan investasi terhadap system pengawasan dan pengendalian api mereka.

Akan tetapi, seperti yang ditunjukkan oleh angka yang belum pernah terjadi sebelumnya ini, usaha-usaha tersebut belum menjawab pertanyaan apa yang diperlukan untuk menghentikan krisis ini. Nasib hutan, kualitas air, serta kesehatan masyarakat Indonesia—serta orang-orang dan hewan liar yang hidup dari pada hutan ini—bergantung pada penegakkan hukum, informasi yang transparan, koordinasi yang lebih baik antara institusi pemerintah, serta tanggung jawab perusahaan yang lebih baik lagi.[]

Sumber: NASA FIRMS FAQ Morton, D., R. DeFries, J. T. Randerson, L. Giglio, W. Schroeder, and G. van der Werf. 2008. Agricultural intensification increases deforestation fire activity in Amazonia. Global Change Biology 14:2262-2276.

read more
Hutan

TKPRT Minta Pemerintah Tindak Pembakar Tripa

Terhitung sejak 1 – 14 Maret 2014, sepanjang pantai barat khususnya dikawasan Rawa Tripa terdapat 69 titik Api yang  berada dalam wilayah Izin Usaha Perkebunan, 51 titik api terdapat di areal konsesi PT. GSM, sementara PT. Kallista Alam (KA) menjadi HGU penyumbang terbanyak kedua, yaitu 14 titik. Selanjutnya ada PT. SPS 2 dan PT. CA yang menduduki peringkat 3 bersama dengan masing-masingnya menyumbang 2 titik api.

Sampai saat ini belum ada upaya nyata yang dilakukan oleh para pemegang HGU untuk memadamkan api. ” Jika terus dibiarkan maka akan semakin menambah parah kerusakan ekosistem Rawa Tripa, ” ujar juru bicara Tim Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa (TKPRT), Fadila Ibra kepada media hari ini.

Rawa Tripa masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), terletak di Kabupaten Aceh Barat Daya dan Kabupaten Nagan Raya, dengan luas mencapai + 61.803 Ha. Rawa Tripa merupakan 1 dari 3 (Tripa, Kluet dan Singkil) kawasan rawa gambut di pantai barat Provinsi Aceh.

Setiap pemegang ijin dapat dipastikan telah menanda-tangani surat pernyataan kesanggupan untuk menyediakan sarana, prasarana dan sistem tanggap darurat yang memadai untuk menanggulangi terjadinya kebakaran dalam pembukaan dan/atau pengelolaan lahan.

” Coba cek ke lapangan, direalisasikan ngak ? Fakta lapangan ini harus menjadi rujukan bagi tim evaluasi HGU yang telah di-SK-kan oleh Gubernur Aceh, hasil kerjanya kita nantikan, ” kata Fadila.

Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota wajib melakukan upaya pembinaan dan pengawasan usaha perkebunan dengan tujuan untuk meningkatkan kinerja dan kualitas usaha perkebunan. Jika kewajiban ini tidak dilaksanakan, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten telah melakukan tindak pidana korupsi, sanksi pidana menanti, ujar Kepala Rumoh Transparansi Atjeh (RUTAN Atjeh) Ilham Sinambela, S.Hut, MT.

Sudah saatnya Pemerintah Aceh dan Kabupaten meminta pertangung jawaban dari para pemegang ijin, wajib hukumnya bagi mereka untuk memastikan tidak terjadi pembakaran lahan di areal konsesi mereka. Jika mereka tidak memenuhi kewajiban, cabut izinnya, ujar Ilham lebih lanjut.

Sejak akhir 80-an kawasan rawa gambut Tripa menjadi areal konsesi perkebunan kelapa sawit. Di kawasan Tripa terdapat 5 perkebunan besar swasta, yaitu PT. Kallista Alam, PT Surya Panen Subur 2 (eks PT Agra Para Citra), PT Gelora Sawita Makmur, PT Dua Perkasa Lestari dan PT Cemerlang Abadi dengan total luas areal konsesi keseluruhan mencapai 35.000 ha. Operasi perkebunan pernah terhenti karena konflik di Aceh.

“Informasi terakhir yang kita terima dari masyarakat, kabut asap yang tebal, abu sisa-sisa pembakaran lahan berterbangan di wilayah pemukiman penduduk Alue Bilie,” ujar Fadila. [rel]

read more
Ragam

Asap Riau Ancam Keselamatan Manusia

Dua alat deteksi di Pekanbaru menunjukkan angka 305 dan 402 Psi. Artinya, pencemaran sangat berbahaya bagi manusia, hewan, dan tumbuhan

Sembilan dari 10 alat pemantau indeks pencemaran udara di sejumlah wilayah di Riau menunjukkan, polusi akibat kabut asap Riau capai level “Berbahaya”. Laura Pulina, Kepala Sub-Bidang Informasi Pusat Pengelolaan Ekologi Regional Sumatera Kementerian Lingkungan Hidup mengatakan, dalam level itu, kualitas udara bisa disebut buruk atau tidak sehat.

“Kalau sesuai standar Kementerian Lingkungan Hidup, semestinya warga yang berada pada daerah kualitas udara buruk itu sudah harus dievakuasi. Ini yang harus menjadi perhatian dari Satgas dan pemerintah daerah,” ujar Laura Paulina, Kamis (13/3/2014).

Dua alat deteksi di Kota Pekanbaru tersebut menunjukkan angka 305 dan 402 Psi (Pollutant Standar Index). Angka indeks lebih dari 300 berarti pencemaran sudah sangat berbahaya bagi manusia, hewan, dan tumbuhan.

Kondisi yang sama juga terdeteksi di Kabupaten Siak. Tiga alat menunjukkan angka 347, 500, dan 464 Psi. Di Kabupaten Bengkalis, polusi asap juga berada di level berbahaya. Indeks pencemaran di dua alat milik PT Chevron Pacific Indonesia di daerah Duri menunjukkan angka 450 dan 500. Sementara itu, indeks pencemaran di Kota Dumai menunjukkan angka 183 atau dalam ambang batas level “Sangat Tidak Sehat”.

Sejumlah kasus kematian pun terjadi di lokasi yang diduga akibat banyak menghirup asap di lokasi pembakaran hutan.

Misalnya, yang terjadi pada Muhammad Adli (63), petani asal Kelurahan Kampung Baru, Kecamatan Tanjung Pinang Barat, Kabupaten Meranti, Riau. Ia ditemukan tak bernyawa di dekat kebunnya yang dipenuhi asap sangat pekat di dekat lokasi pembakaran hutan.

Begitu juga Nasib Asli (41), warga Desa Rantau Baru, Kecamatan Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan, Riau. Penyakit paru-paru kronis petani berputra dua itu semakin parah karena fungsi pernapasannya tak mampu lagi menahan ”gempuran” asap yang membahayakan kesehatan manusia.

Nayaka (2), putri pasangan Muhammad Said (31) dan Rika (27), pekan lalu, menderita demam berkepanjangan. Awalnya Said menganggap putrinya demam biasa. Namun, setelah dibawa ke dokter, Nayaka didiagnosis terkena ISPA. Penyakit tersebut sudah menyebar jauh ke seluruh penjuru Riau. Ribuan “Nayaka” lain kini menderita penyakit yang sama akibat paparan asap.

Menurut Azizman Saad, dokter spesialis paru di Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad, Pekanbaru, akibat terpapar asap, dalam 10 tahun mendatang terjadi ledakan penyakit paru-paru di Riau. Data Satgas Tanggap Darurat Asap Riau sendiri menunjukkan bahwa selama Februari hingga pertengahan Maret ini lebih dari 51.600 warga sakit akibat kabut asap Riau.

Ibu hamil, bayi, dan orang sakit
Sementara itu, Manager Communications PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) Tiva Permata mengatakan, manajemen perusahaan minyak itu sudah merencanakan untuk melakukan evakuasi selektif bagi setiap orang yang rentan saat polusi asap. Ia mengatakan, area kerja perusahaan di daerah Duri Kabupaten Bengkalis sudah sangat memprihatinkan dan menjadi perhatian serius.

Ia mengatakan, tindakan relokasi khususnya untuk mereka yang memiliki risiko kesehatan tinggi, seperti bayi yang baru lahir, ibu hamil, balita, dan orang-orang dengan riwayat penyakit paru dan jantung sesuai dengan rekomendasi tim medis perusahaan.

“Kebijakan ini berlaku untuk semua pegawai, termasuk juga ekspatriat,” katanya.

Menurut dia, perusahaan menyediakan wisma-wisma untuk tempat tinggal sementara di Camp Rumbai atau tinggal bersama keluarga mereka di lokasi lain yang kualitas udaranya lebih baik. Sedangkan para pegawai dan keluarganya yang tidak masuk dalam daftar rekomendasi tim medis bisa mengambil cuti sesuai peraturan perusahaan.

Sumber: NGI/intisari-online.com

read more
1 2 3
Page 2 of 3