close

kebakaran

Hutan

Bencana Kebakaran di Aceh Meningkat Awal Tahun 2019

Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) menyebutkan bencana kebakaran pemukiman masih menduduk peringkat pertama dalam hal frekuensi kejadian. BPBA menghimbau semua pihak agar meningkatkan upaya mitigasi dan pencegahan bencana kebakaran. Kepada BPBD kabupaten/kota agar meningkatkan upaya pencegahan terhadap kebakaran rumah.

BPBA kepada Greenjournalist, Senin (1/03/2019) menyebutkan kebakaran hutan dan lahan terjadi sebanyak 23 kali selama kurun waktu Januari-Maret 2019. Sementara kebakaran pemukiman masih mendominasi yakni terjadi sebanyak 69 kali, terjadi kenaikan atau peningkatan dibandingkan tahun 2018 yang hanya 24 kali di periode bulan yang sama. Kerugian yang diakibatkan oleh bencana ini sebanyak Rp.16.035.000.000,-

BPBA terus meningkatkan kesiapsiagaan personilnya dalam mengatasi bencana kebakaran. Salah satunya dengan melaksanakan Workshop Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (KARHUTLA) Aceh sebanyak tiga tahap yakni di Banda Aceh, Meulaboh dan Takengon yang direncanakan sepanjang tahun 2019.

Kalak BPBA, Teuku Dadek menyebutkan bahwa pemateri yang dihadirkan pada Workshop tersebut terdiri dari BPBA, BNPB, BMKG, KODAM IM, POLDA ACEH dan DLHK Aceh. Diharapkan pada akhir kegiatan ini nantinya peserta workshop dapat lebih memahami kebijakan nasional tentang Karhutla, potensi kebakaran hutan dan lahan tahun 2019, partisipasi TNI dan masyarakat dalam Karhutla, penegakan hukum dalam kebakaran hutan dan lahan serta kebijakan pemerintah Aceh dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan.

“Betapa pentingnya upaya-upaya pencegahan dan pengendalian Karhutla karena telah menjadi isu nasional bahkan internasional akibat kerugian yang ditimbulkan oleh bencana,” ungkap Teuku Dadek didampingi oleh Kabid Kedaruratan dan Logistik BPBA, Ir. M. Syahril, MM.

BPBA sangat concern untuk melakukan upaya-upaya penguatan organisasi/instansi terkait pencegahan dan pengendalian karhutla di aceh dengan pengalokasian pada tahun anggaran 2019 untuk pengadaan sarana dan prasarana penanganan Karhutla melalui pelaksanaan workshop dan bimbingan teknis bagi petugas guna peningkatan kapasitas sumber daya manusianya. (rel)

read more
Kebijakan Lingkungan

Antisipasi Kebakaran, Menteri LH Sidak Kebun Sawit

Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia, Prof Balthasar Kambuaya, Senin (21/4/2014), secara mendadak turun mengecek kesiapan Masyarakat Peduli Api (MPA), BPBD-Damkar dan Regu Pemadam Kebakaran (RPK) PT Sinar Mas Forestry, terkait musim kemarau panjang yang diprediksi terjadi Mei hingga Juni mendatang. Sidak ini sebagai bentuk tanggung jawab Menteri Lingkungan Hidup untuk mengecek kesiapan di lapangan guna menghindari terjadinya kebakaran hebat seperti yang terjadi awal tahun ini.

Dipaparkan Menteri, MPA yang sudah dilatih dan dipersiapkan oleh Sinar Mas Forestry, merupakan regu pemadam yang pertama kali turun di lapangan saat terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Untuk itu MPA harus melakukan sosialisasi kepada masyarakat saat musim kemarau panjang datang sehingga masyarakat tidak melakukan pembakaran.

“MPA juga berfungsi sebagai pencegahan dini terjadinya karhutla. MPA harus berkoordinasi dengan BPBD-Damkar dan RPK perusahaan yang beroperasi di areal mereka, untuk dapat melakukan pemadaman api di titik-titik yang terjangkau. Kita dari Kementerian Lingkungan Hidup akan mendukung kegiatan MPA dengan pemberian fasilitas pendukung. Namun fasilitas pendukung tersebut akan kita bahas terlebih dahulu di pusat,” ujar Menteri.

Sekda Bengkalis H Burhanuddin dan Kepala BPBD-Damkar Kabupaten Bengkals Moch Jalal serta Camat Bukit Batu Muhammad Fadlul Wajdi menyambut kunjungan Menteri ke Sepahat dan Bukitbatu. Dengan adanya kunjungan Menteri Lingkungan Hidup ini diharapkan bisa membawa dampak positif dari Pemerintah Pusat untuk Pemerintah Daerah. []

Sumber: goriau.com

read more
Kebijakan Lingkungan

Kebakaran Hutan di Indonesia Capai Level Tertinggi

Di awal Maret 2014, kebakaran hutan dan lahan gambut di provinsi Riau, Sumatera, Indonesia, melonjak hingga titik yang tidak pernah ditemukan sejak krisis kabut asap Asia Tenggara pada Juni 2013. Hampir 50.000 orang mengalami masalah pernapasan akibat kabut asap tersebut, menurut Badan Penanggulangan Bencana Indonesia. Citra-citra satelit dengan cukup dramatis menggambarkan banyaknya asap polutan yang dilepaskan ke atmosfer, yang juga berkontribusi kepada perubahan iklim.

Minggu lalu Global Forest Watch, sebuah sistem online baru yang mencatat perubahan tutupan hutan serta kebakaran hutan secara online melaporkan bahwa pembukaan lahan untuk agrikultur menjadi pendorong utama terjadinya kebakaran ini. Seperti yang terjadi sebelumnya, sekitar setengah dari kebakaran tersebut berlangsung di lahan yang dikelola oleh perusahaan tanaman industri, kelapa sawit, serta kayu. Global Forest Watch menunjukkan bahwa sebagian dari kebakaran yang paling besar berada pada lahan yang telah sepenuhnya ditanami, terlepas dari fakta bahwa banyak dari perusahaan ini yang berkomitmen untuk menghentikan penggunaan api dalam praktik pengelolaan mereka.

Berulang kembalinya peristiwa kebakaran ini—serta intensitasnya—memunculkan beberapa pertanyaan penting. Di bawah ini, kami menggunakan data Global Forest Watch untuk lebih jauh menelusuri pertanyaan-pertanyaan tersebut.

1. Berapa Banyak Kebakaran yang Terjadi Dibandingkan Juni 2013?
Sejak 20 Februari hingga 11 Maret, Global Forest Watch mendeteksi 3.101 peringatan titik api dengan tingkat keyakinan tinggi di Pulau Sumatera dengan menggunakan Data Titik Api Aktif NASA. Angka tersebut melebihi 2.643 total jumlah peringatan titik api yang terdeteksi pada 13-30 Juni 2013, yaitu puncak krisis kebakaran dan kabut asap sebelumnya.

Fakta bahwa jumlah kebakaran kini terjadi lebih sering dibandingkan dengan Juni 2013 sangatlah mengkhawatirkan, terutama melihat usaha-usaha yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia serta negara lainnya untuk mengatasi masalah kebakaran sejak saat itu. Krisis terakhir ini jelas berhubungan dengan kekeringan ekstrim yang sekarang melanda kawasan, yang juga membuat pembakaran semakin mudah serta meningkatkan kemungkinan api menyebar dengan tidak terkendali.

Menariknya, liputan media terhadap kebakaran yang baru terjadi tidak sebesar Juni 2013 karena fakta bahwa pola angin telah meniup asap dan kabut menjauh dari kota-kota besar seperti Singapura, menuju wilayah pedesaan di Sumatra.

2.Dimanakah Kebakaran Terjadi?
Selama bulan Juni 2013, mayoritas kebakaran yang terjadi terpusat di Provinsi Riau, Pulau Sumatera, Indonesia. Angka yang cukup mengejutkan, yaitu sebanyak 87 persen dari peringatan titik api di sepanjang Sumatera pada 4-11 Maret berada di Provinsi Riau. Lihat animasi di bawah yang menunjukkan wilayah dimana kerapatan titik api paling banyak terjadi di Riau selama 12 hari terakhir.

Terlebih lagi, sekitar setengah dari peringatan titik api di Sumatera terletak di lahan yang dikelola oleh konsesi kelapa sawit, HTI, serta HPH, menurut data dari Kementrian Kehutanan Republik Indonesia. Selain itu, beberapa dari area kebakaran yang paling besar tampak terjadi di konsesi yang dimiliki perusahaan-perusahaan besar.

Investigasi lebih lanjut perlu dilakukan oleh pemerintah Indonesia sebelum membuat kesimpulan definitif mengenai ada tidaknya perusahaan yang melakukan pelanggaran terhadap hukum yang membatasi penggunaan pembakaran.

3. Kenapa Masalah Ini Tetap Terjadi?
Krisis minggu ini menjadi yang terakhir dari daftar panjang mengenai episode kebakaran yang mempengaruhi Indonesia dan negara-negara tetangga. Meskipun kita sudah dapat menentukan ukuran kebakaran dan dimana lokasinya, masih banyak hal yang belum kita ketahui. Salah satunya, mengapa pemerintah Indonesia gagal untuk menerbitkan informasi dimana perusahaan sawit, kertas, dan kayu beroperasi. Meskipun Global Forest Watch memasukkan data konsesi terakhir yang tersedia, masih banyak kesenjangan informasi serta masalah seputar akurasi.

Tersedianya peta batas konsesi serta kepemilikan lahan terbaru dapat memperbaiki koordinasi di antara institusi pemerintah yang berusaha menghentikan api, peningkatan penegakkan hukum di sekitar kawasan, serta tentu saja, akuntabilitas yang lebih baik untuk perusahaan maupun institutsi pemerintah terkait.

Kedua, investigasi lebih lanjut di lapangan menjadi prioritas yang mendesak, termasuk penelitian dan survei mendalam untuk dapat mengerti proporsi pembakaran yang dilakukan oleh perusahaan besar dibandingkan dengan operasi ukuran menengah maupun kecil. Tentu saja, petani miskin tidak memiliki alternatif selain menggunakan api ketika melakukan pembersihan lahan. Mereka juga dapat menggunakan api untuk merusak ataupun melakukan klaim atas lahan yang berada di bawah manajemen perusahaan besar.

Konflik lahan seperti ini sangat umum di seluruh Indonesia. Pemerintah maupun organisasi peneliti independen, perlu secara cepat melakukan investasi lebih untuk mengerti akar masalah dari kebakaran ini serta menyusun program yang lebih baik untuk mencegah kebakaran.

Terkait dengan hal ini, beberapa progres telah dibuat. Pemerintah Indonesia dan Singapura, serta kelompok ASEAN yang lebih besar, sedang melakukan usaha-usaha untuk menurunkan risiko kebakaran. Deteksi api dan usaha pemadaman telah ditingkatkan, serta penegakkan hukum Indonesia telah melakukan beberapapenangkapan yang signifikan. Singapura bahkan mengajukan undang-undang mendobrak baru yang memungkinkan pemerintah untuk menjatuhkan sanksi kepada perusahaan—domestik maupun asing—yang menyebabkan kabut asap lintas-negara yang merugikan pemerintah negara tersebut.

Pada Bulan Oktober, pemerintah negara-negara ASEAN telah sepakat untuk bekerja sama dan membagi data mengenai titik api dan penggunaan lahan, meskipun data ini tidak tersedia untuk publik. Lebih lanjut, banyak perusahaan yang telah, sejak saat itu, mengumumkan secara public kebijakan tidak menggunakan pembakaran, serta melakukan investasi terhadap system pengawasan dan pengendalian api mereka.

Akan tetapi, seperti yang ditunjukkan oleh angka yang belum pernah terjadi sebelumnya ini, usaha-usaha tersebut belum menjawab pertanyaan apa yang diperlukan untuk menghentikan krisis ini. Nasib hutan, kualitas air, serta kesehatan masyarakat Indonesia—serta orang-orang dan hewan liar yang hidup dari pada hutan ini—bergantung pada penegakkan hukum, informasi yang transparan, koordinasi yang lebih baik antara institusi pemerintah, serta tanggung jawab perusahaan yang lebih baik lagi.[]

Sumber: NASA FIRMS FAQ Morton, D., R. DeFries, J. T. Randerson, L. Giglio, W. Schroeder, and G. van der Werf. 2008. Agricultural intensification increases deforestation fire activity in Amazonia. Global Change Biology 14:2262-2276.

read more
Hutan

Kebakaran Hutan Melanda Hutan Aceh

Kemarau panjang menyebabkan sejumlah titik api muncul di kawasan pegunungan, Kecamatan Tangse, Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh. Sumber api diduga akibat warga membakar sampah sembarangan. Kebakaran terus meluas namun sejauh ini belum terlihat adanya upaya pemadaman.

Kebakaran hutan lindung di wilayah Tangse telah terjadi sejak tiga hari lalu. Belum diketahui penyebab kebakaran puluhan hektare hutan lindung di kawasan Cot Kuala, Tangse, diduga akibat warga yang membakar sampah di sekitar hutan.

Hingga Kamis pagi masih terdapat puluhan titik api terus menjalar dan meluas. Sejauh ini tidak terlihat ada upaya pemadaman api dari warga maupun pemerintah kabupaten setempat. Api terlihat terus menjalar menyusuri hutan sekitar. Diperkirakan jika tidak ada hujan maka dalam jangka waktu dua hari api akan menghanguskan ratusan hekatare lahan lainnya.

Tidak adanya jalur menuju titik api diduga menjadi alasan utama tidak ada warga dan pihak dinas terkait yang berusaha memadamkan api tersebut.

Kebakaran hutan juga terjadi di kabupaten Aceh Jaya dan Aceh Barat. Hingaa kini wilayah Aceh masih dilanda kemarau panjang. Dampak lain juga menyebabkan sejumlah tanaman padi warga mati karena kekeringan. []

Sumber: TGJ/metronews

read more
Ragam

Kabut di Riau Diperkirakan Berlangsung hingga Maret

Kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan masih menyelimuti Kota Pekanbaru, Riau. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pekanbaru memeerkirakan selama Februari dan Maret, cuaca panas terjadi di Pulau Sumatera dan sekitarnya sehingga memicu kebakaran hutan.

Kabut asap terlihat pekat di jalan-jalan utama Kota Pekanbaru, antara lain di Jalan Sudirman, Tianku Tambusai, Arifin Achmad, dan Diponegoro. Kabut asap menutupi langit pekanbaru seminggu terakhir.

Aktivitas warga terganggu akibat bencana asap. sebagian warga terserang penyakit pernafasan, iritasi mata dan kulit. Udara tercemar mengandung partikel debu ini berasal dari kebakaran areal gambut di sejumlah kabupaten dan kota di Provinsi Riau.

BMKG Pekanbaru melaporkan jumlah titik api di Riau terdeteksi 26 titik, tersebar di Kabupaten Bengkalis, Siak, Pelalawan, dan Indragiri Hilir.

Akibat kabut asap, suhu panas mencapai 35 derajat celcius melanda Pekanbaru dan sekitarnya. BMKG Pekanbaru menyatakan kabut asap belum akan melintasi batas negara karena arah angin bertiup ke barat dan selatan. []

Sumber: TGJ

read more
Ragam

51 Titik Panas Terpantau di Kaltim dan Kaltara

Sebanyak 51 “hotspot” atau titik panas terpantau di sembilan kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) dan Kalimantan Utara (Kaltara). Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kaltim, Wahyu Widhi Heranata di Samarinda, Kamis, mengatakan, titik panas tersebut terpantau selama periode 1 hingga 31 November 2013.

“Melalui data Pusat Pengendalian Operasi (Pusdalops) BPBD Provinsi Kaltim, selama periode 1 hingga 31 November 2013 terpantau 51 titik panas di sembilan kabupatan/kota baik di Kaltim maupun Kaltara,” ujarnya.

Ia mengatakan, titik panas yang terpantau terbanyak di wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara dengan 12 “hotspot” diantaranya berada di Kecamatan Samboja, Sungai Seluang, Kecamatan Marangkayu, Kecamatan Badak dan kawasan Bukit Soeharto.

Di Kabupaten Kutai Barat, juga terpantau 12 titk panas diantaranya di wilayah Long Apari, Long Iram, Long Hubung, Muara Lawa dan Muara Pahu.

Sebanyak 12 “hostspot” juga terpantau di Kabupaten Paser yang berada di kawasan Kecamatan Batu Sopang, Pasir Balengkong, Tanjung Aru, Bekoso, Tunes Keladen serta Labuang Kallo.

Di Kabupaten Kutai Timur terpantau lima titik panas diantaranya, Muara Wahau, Muara Bengkal, Muara Ancalong, Kelinjau Ilir dan Senambah. Sementara di Kabupaten Berau terpantau tiga “hotspot” yakni di Gunung Tabur dan bekas UPT Labanan Makmur serta di Kota Bontang terpantau satu titik panas.

Di wilayah Provinsi Kaltara, yakni di Kabupaten Nunukan terpantau tiga titik panas yakni di kawasan Buduk Kinangan, Lumbis dan Karyan, di Kabupaten Malinau terpantau satu titik panas yakni di kawasan Langap serta di Kabupaten Bulungan dengan dua titik panas yakni di kawasan Tanjung Palas dan Tanah Kuning.

“Ke-51 titik panas yang terpantau itu belum tentu semuanya akibat pembakaran lahan atau kebakaran hutan sebab bisa saja titik panas tersebut disebabkan atap rumah masyarakat yang terkena sinar matahari kemudian terdeteksi oleh satelit NOAAH sebagai titik panas,” katanya.

“Namun kami akan terus melakukan pemantauan baik secara langsung maupun titik panas yang terdeksi melalui satelit NOAAH untuk memastikan apakah ‘hptspot’ itu merupakan lahan yang terbakar,” ungkap Wahyu Widhi Heranata.

read more
Hutan

Ilmuwan Kembangkan Teknik Baru Prediksi Kebakaran Hutan

Tahun lalu lebih dari 9 juta hektar hutan terbakar di AS, dengan berbagai sebab. Hutan sering terbakar menjadi tak terkendali bahkan petugas pemadam kebakaran tidak mampu menjinakkannya. Namun saat ini sejumlah ilmuwan telah menemukan cara untuk memprediksi merambatnya api melalui durasi nyala api.

Para ilmuwan di National Center for Atmospheric Research ( NCAR ) di Boulder, Colorado , dan University of Maryland, telah mengembangkan teknik yang menggabungkan simulasi mutakhir dari interaksi cuaca dan api dengan pengamatan satelit baru yang menyediakan gambar kebakaran hutan. Ini pertama kalinya model komputer menawarkan prediksi kebakaran, yang sepanjang hari terus diperbarui.

Diperbarui dengan pengamatan baru setiap 12 jam, model komputer memperkirakan rincian penting seperti tingkat kobaran api dan perubahan karakternya.

” Dengan teknik ini, kita mungkin terus mengeluarkan perkiraan yang tepat sepanjang api menyala, bahkan jika hutan terbakar selama beberapa minggu atau bulan,” kata ilmuwan NCAR Janice Coen, peneliti utama dan pengembang Model ini.

” Model ini, yang menggabungkan prediksi cuaca interaktif dan perilaku api, sangat meningkatkan peramalan – terutama untuk peristiwa kebakaran hutan besar dan intens di mana alat prediksi saat ini lemah. ”

Selama dekade terakhir, Coen telah mengembangkan alat yang dikenal sebagai the Coupled Atmosphere-Wildland Fire Environment (CAWFE) model komputer, menghubungkan bagaimana cuaca pemicu kebakaran dan pada gilirannya bagaimana kebakaran membuat cuaca mereka sendiri.

Dengan CAWFE , peneliti berhasil mensimulasikan rincian tentang bagaimana kebakaran besar berkembang.

Namun simulasi membutuhkan data terbaru karena ada begitu banyak faktor yang dapat mengubah ukuran dan jalur dari api. Di sinilah instrumen satelit ikut bermain.

Wilfrid Schroeder dari University of Maryland mengatakan data deteksi kebakaran resolusi tinggi dari instrumen satelit baru, Visible Infrared Radiometer Pencitraan Suite ( VIIRS ), dioperasikan oleh NASA dan National Oceanic and Atmospheric Administration.

Alat baru menyediakan cakupan seluruh dunia pada interval 12 jam atau kurang, dengan piksel sekitar 1.200 kaki. Resolusi yang lebih tinggi memungkinkan dua peneliti untuk menguraikan perimeter api aktif yang lebih detail.

Para peneliti mengatakan bahwa perkiraan menggunakan teknik baru bisa sangat berguna dalam mengantisipasi berkembangnya api mendadak dan pergeseran arah api.

Selain itu, mereka memungkinkan pengambil keputusan untuk melihat kemungkinan beberapa lokasi kebakaran baru dan menentukan ancaman yang muncul.

Terobosan ini dijelaskan dalam sebuah makalah yang diterbitkan minggu ini dalam edisi online dari American Geophysical Union jurnal Geophysical Research Letters .

Sumber: enn.com

read more