close

kehati

Kebijakan Lingkungan

Kehati Minta Pemerintah Intensifikasi Sawit tanpa Rusak Hutan

Jakarta – Direktur Supporting Palm Oil Sustainability (SPOS)-Kehati Irfan Bakhtiar meminta pemerintah melakukan intensifikasi kelapa sawit untuk meningkatkan produksi tanpa membuka hutan lagi.

“Secara yuridis masih ada dispute, ayo kita selesaikan. Intinya pesan yang ingin kami sampaikan sebagai organisasi nonpemerintah, ya sudahlah, sawit kita sudah cukup besar, kalau sudah ditanami semua bisa 16,8 juta hektare,” katanya dalam diskusi Pojok Iklim bertema Penanganan Sawit dalam Kawasan Hutan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Manggala Wanabakti Jakarta, Rabu.

Ia mengajak semua mengintensifikasi perkebunan kelapa sawit yang ada dengan tidak lagi menebang hutan alam dan mengorbankan hutan untuk meningkatkan produksi minyak kelapa sawit.

Irfan mengatakan masalah sektor perkebunan kelapa sawit lainnya ada di petani skala kecil, baik dari sisi rendahnya produktivitas maupun bibit yang tidak baik.

“Harusnya konsentrasinya di situ yang dibenahi. Bukan perluasan lahan,” ujar dia.

Persoalan berikutnya, kata Irfan, kalau memang itu dikerjakan di kawasan hutan yang dialihfungsikan maka jangan monokultur.

Hasil penelitian di Jambi, katanya, sudah menunjukkan lahan yang digarap tidak luas, sebagian besar komoditas campur, maka fungsi ekosistemnya lebih berjalan.

Selain itu, kata dia, menjadi alat bertahan hidup ketika harga tandan buah segar (TBS) jatuh.

“Ada cara bertahan petani ketika tidak semua lahan dibuka untuk sawit. Itu pernah terjadi di karet dan kakao, karenanya jangan sampai jatuh juga,” katanya.

Berdasarkan angka yang di-“review” oleh KPK, luas total area perkebunan sawit di Indonesia mencapai 16.829.282 hektare dan yang berada di kawasan hutan mencapai 3.474.448 ha.

Direktur Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan KLHK Herban Heryandana mengatakan luasan tutupan tanaman sawit di kawasan hutan yang belum mendapatkan pelepasan dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan berdasarkan telaah KLHK totalnya mencapai 3.177.014 ha.

Lahan terbesar di Hutan Produksi Terbatas (HPT) mencapai 1.318.001 ha, urutan kedua di Hutan Produksi yang dapat dikonversi mencapai 1.65.114 ha, lalu Hutan Produksi Tetap mencapai 521.431 ha, Hutan Lindung 152.932 ha, serta Hutan Konservasi mencapai 119.537 ha.

Sumber : acehantaranews.com

read more
Green Style

Pengelolaan Hutan Gambut Hak Milik ‘Jumpun Pambelom’

Dalam sejarah kebakaran hutan di Indonesia, peristiwa di tahun 1997 – 1998 termasuk yang terbesar. Kebakaran yang melanda berbagai wilayah, termasuk pulau Kalimantan tersebut telah menghancurkan berhektar-hektar hutan gambut. Di Palangkaraya, kebakaran tersebut merusak hutan gambut di sisi Jalan Lintas Kalimantan (jalan yang menghubungkan Palangkaraya dan Banjarmasin). Kerusakan tidak hanya menghancurkan secara fisik hutannya saja, tetapi juga perekonomian masyarakat sekitar.

Kejadian memilukan inilah yang kemudian mendorong Ir. Januminro, seorang pegawai negeri sipil untuk menumbuhkan kembali hutan di lahan gambut. Berawal dari beberapa hektar saja, hutan di Jl. Lintas Kalimantan antara Palangkaraya – Banjarmasin Km. 30.5 Desa Tumbang Nusa, Kec. Jabiren Raya, Kab. Pulau Pisau, Prop. Kalimantan Tengah mulai dibentuk. Saat ini, hutan gambut yang dibuat oleh lulusan Manajemen Hutan, Universitas Lambung Mangkurat itu sudah seluas 10 hektar. “Penambahan luas lahan itu adalah hasil dari membeli lahan masyarakat sekitar ataupun dari hibah,” ujarnya.

Agar berbeda dengan hutan gambut lainnya, penulis buku Rotan Indonesia itu memberinya nama Jumpun Pambelom. Selayaknya seorang bayi, nama hutan gambut itu juga mengandung doa dan harapan. Jumpun diambil dari bahasa Dayak Ma’anyan yang berarti hutan dan Pambelom berasal dari bahasa Dayak Ngaju yang berarti kehidupan. Jika disatukan maka Jumpun Pambelom berarti hutan yang memberikan kehidupan atau sebagai sumber kehidupan. Sebuah harapan besar yang ingin diwujudkan oleh Januminro.

Keunikan lain dari hutan gambut yang dikelola Januminro tidak hanya dari namanya saja, akan tetapi statusnya juga.  “Hutan ini statusnya hak milik,” katanya. Sebanyak 10 hektar luasan hutan itu telah memiliki sertifikat hak milik. Hal ini memudahkannya untuk mengelola hutan yang telah menjadi sumber kehidupan masyarakat sekitar dengan pembibitannya. Karena statusnya inilah, Jumpun Pambelom menjadi pelopor pengelolaan hutan gambut berstatus hak milik di Indonesia.

Bukan hal yang mudah untuk membangun sebuah hutan dari lahan gambut yang sempat terbakar. Namun, berbekal pengetahuan dan semangat, Kepala Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat Kota Palangkaraya itu sedikit demi sedikit merawat pohon-pohon yang diantaranya termasuk langka dan endemis. Ketekuannya mengelola hutan semakin berkembang sejak pria kelahiran
Buntok, 13 Juli 1962 ini menduduki posisi sebagai Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan di Kabupaten Pulang Pisau di tahun 2000 dan di Kota Palangkaraya pada tahun 2009. Posisinya itu membuatnya semakin serius menciptkan model pengelolaan hutan gambut yang memberikan manfaat pada masyarakat.

Sejak berdiri pada tahun 1998, Jumpun Pambelom tidak melupakan kontribusi masyarakat sekitar. Oleh Januminro, masyarakat diajak untuk menanam pohon-pohon langka dan memiliki manfaat ekonomi seperti Pasak Bumi (Eurycoma longifolia), Ramin (Gonystylus bancanus), Ulin (Euderoxylon zwagery), Balangeran (Shorea balangeran), Galam (Malaleuca leucadendron), Gaharu (Aquilaria malacencis), Tanggaring, tangkuhis, dan jenis lainnya. Tidak berhenti disitu, dia juga membuat ladang-ladang pembibitan yang melibatkan warga sekitar. Para warga, baik ibu-ibu maupun bapak-bapaknya diajarkan melakukan pembibitan.

Hasilnya, bibit tersebut dapat dijual. Kebun bibit tersebut setidaknya dapat menjual 3000 bibit setiap tahunnya. Bahkan pada Hari Menanam Pohon Indonesia (HMPI) dan Bulan Menanam Pohon (BMP) Tahun 2014, telah dibagikan sebanyak lebih dari 10.000 bibit tanaman berbagai jenis. Masyarakat juga di dorong untuk membentuk kelompok-kelompok tani agar dapat mengelola atau mengembangkan lahan gambut di wilayahnya masing-masing.

Keterlibatan masyarakat, tidak hanya dalam pembibitan saja, Januminro juga membentuk satuan pemadam kebakaran hutan yang anggotanya adalah masyarakat. Bahkan Jumpun Pambelom menjadi lokasi Pos Siaga kebakaran Hutan dan lahan untuk mengatasi titik api di sepanjang tepi jalan lintas Kalimantan, terutama yang terletak di Desa Tumbang Nusa dan Desa Taruna, Kecamatan Jabiren
Raya, Kabupaten Pulang Pisau. Satuan ini memiliki peran yang sangat penting, karena pada musim kemarau, hutan gambut menjadi mudah sekali terbakar. Sekali terbakar, akan sulit untuk memadamkannya, karena api menjalar di bawah permukaan tanah.

Memadamkan api di permukaan belum tentu menyelesaikan masalah. Oleh karena itu, satuan tersebut menjadi penting karena telah mengetahui teknik penangannya. Sebagai penunjang, di Jumpun Pambelom telah dibangun sarana penunjangnya berupa sumur bor, mesin pompa dan beberapa tenaga personil pengendali yang terlatih dari masyarakat setempat.

Agar pengelolaan Jumpun Pambelom menjadi semakin baik, Januminro mendirikan lembaga Tane Ranu Dayak yang misinya melakukan pendampingan kepada masyarakat dalam upaya melestarikan sumberdaya alam lingkungan, mengembangkan kaerifan local suku Dayak, terutama dalam kerangka memperjuangkan hak tenurial dalam kepemilikan hutan dan lahan. Kemudian, di masa depan, pria yang mempunyai hobi berkebun itu ingin menjadikan hutan gambut ini menjadi rest area, ruang terbuka hijau, kawasan ekoWisata, tempat pendidikan lingkungan, pelestarian aneka tanaman langka. demplot penyuluhan swadaya, dan perpustakaan.[rel]

read more
Green Style

Enam Pahlawan Lingkungan Indonesia Raih KEHATI Award

Enam pahlawan lingkungan dari berbagai daerah di Indonesia meraih KEHATI Award VIII. Penghargaan tersebut diberikan oleh Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) di Gedung Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail, Jakarta, 28 Januari 2015.

“Pada mereka hormat saya,” tegas Emil Salim, tokoh lingkungan Indonesia yang juga menjadi pembina Yayasan KEHATI. Menurutnya apa yang telah dilakukan oleh para peraih KEHATI Award patut dihargai setinggi-tingginya, karena meskipun yang mereka lakukan belum tentu besar, tetapi jalan mereka sudah benar. “Mereka melestarikan keanekaragaman hayati,” tambahnya.

Para pemenang tersebut adalah, Aziil Anwar dari Majene, Sulawesi Barat pada kategori Prakarsa Lestari Kehati karena upayanya menumbuhkan mangrove di karang-karang mati, kemudian Ir. Januminro dari Palangkaraya, Kalimantan Tengah pada kategori Pendorong Lestari Kehati karena usahanya mengelola hutan gambut hak milik. Dari kategori Peduli Lestari Kehati, pemenangnya adalah CV Arum Ayu dari Tangerang Selatan, Banten karena upayanya mengolah sumber pangan lokal dan mengajarkannya pada banyak orang.

Lalu, pada kategori Cipta Lestari Kehati, pemenangnya adalah Prof. Achmad Subagio dari Jember, Jawa Timur, seorang peneliti yang mendorong pangan lokal di lahan-lahan marjinal. Kemudian Agustinus Sasundu dari Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, pemenang di kategori Citra Lestari Kehati karena upayanya mempopulerkan musik bambu. Kemudian, di kalangan generasi muda, terdapat KeSEMaT (Kelompok Studi Ekosistem Mangrove Teluk Awur) dari Universitas Diponegoro, Semarang yang menjadi pemenang kategori Tunas Lestari Kehati karena upayanya menjadikan mangrove sebagai gaya hidup.

Para pemenang ini dipilih dengan penjurian yang ketat dari 88 aplikasi yang terdaftar. Juri yang berjumlah lima orang, yaitu Prof Eko Baroto, Ir Yusni Emilia Harahap, Agus HS Reksoprodjo, Dr Asclepias RS Indriyanto, dan Gesit Ariyanto berusaha keras memilih para pemenang dari kriteria-kriteria ketat yang telah ditentukan sebelumnya. “Kriteria itu diantaranya adalah dampak positif pada masyarakat, keberlanjutan kegiatan, dan besarnya upaya yang dilakukan diluar tugas dan kewajiban yang diembannya,” kata Ketua Dewan Juri, Eko Baroto. Enam peraih KEHATI Award VIII ini berhasil muncul dari 12 nominasi yang terpilih sebelumnya.

Sementara itu, Ketua Pembina Yayasan KEHATI, Ismid Hadad, mengatakan bahwa para pemenang merupakan champion karena berani melawan arus untuk mau menyelamtkan lingkungan. “Tanpa instruksi atau uluran tangan pemerintah,” ujarnya. Pemberian KEHATI Award ini adalah cara Yayasan KEHATI untuk mengembangkan upaya-upaya pelestarian lingkungan untuk tumbuh lebih besar. “Sejak pelaksanaan KEHATI Award di tahun 2000, saya selalu gembira bertemu dengan wajah-wajah baru yang bisa menjadi harapan pelestarian keanekaragaman hayati,” tambahnya.

Di lokasi yang sama, Ketua Panitia KEHATI Award VIII sekaligus Direktur Eksekutif Yayasan KEHATI, MS Sembiring mengatakan bahwa pesan kuat yang ingin disampaikan KEHATI pada pelaksanaan acara ini adalah untuk membangkitkan kepedulian masyarakat terhadap keanekaragaman hayati terutama pada isu pangan, energi, kesehatan, dan air (PEKA). “PEKA ini telah menjadi fokus rencana strategis KEHATI selam lima tahun ini,” katanya.

KEHATI Award adalah penghargaan tertinggi yang diberikan oleh Yayasan KEHATI kepada perorangan atau kelompok yang telah mampu melakukan pelestarian lingkungan dan keanekaragaman hayati. Penghargaan ini telah dimulai sejak tahun 2000, dan di tahun ini adalah pelaksanaannya yang kedelapan kali. Hingga tahun 2015, peraih KEHATI Award sudah mencapai 35 orang atau kelompok.

Terselanggaranya KEHATI Award VIII ini tidak lepas dari dukungan Chevron Indonesia, Bank Negara Indonesia, Bank Rakyat Indonesia, PT Gadjah Tunggal, The Bodyshop, PT Pembangunan Jaya Ancol, Semen Indonesia, Marthina Berto (Martha Tilaar), Ny. Meneer, dan PT Chandra Asri. Dari sisi media, dukungan datang dari SWA Media, Society of Indonesian Environmental Journalist (SIEJ), ANTARA, Radio KBR, Mongabay, MP Pro dan Alilansi Jurnalis Independen (AJI).  [rel]

read more