close

KEL

Ragam

Selidiki Gangguan Harimau Aceh Selatan, BKSDA Pasang Kamera Pemantau

Banda Aceh – Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh menyatakan masih mencari penyebab gangguan harimau sumatra (panthera tigris sumaterae) di kawasan Ladang Rimba, Kecamatan Trumon Tengah, Kabupaten Aceh Selatan.

“Kami masih mencari apa penyebabnya harimau tersebut keluar dari kawasan hutan hingga mendekati pemukiman penduduk di Aceh Selatan,” kata Kepala BKSDA Aceh Sapto Aji Prabowo di Banda Aceh, Rabu, (18/9/2019) seperti dilansir kantor berita Antara.

Gangguan harimau sumatra di Ladang Rimba, Trumon Tengah, terjadi Kamis (12/9/2019). Seekor sapi ternak warga ditemukan mati dengan kondisi tanpa badan. Sapi tersebut diduga dimangsa harimau sumatra.

Sapto Aji Prabowo mengatakan, pihaknya sudah mengirimkan pawang dari Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat, untuk membantu masyarakat dari sisi kearifan lokal.

Selain itu, tim BKSDA juga memasang sejumlah kamera pemantau guna memonitor gerak gerik harimau Sumatra tersebut. Serta berpatroli rutin di kawasan hutan lokasi gangguan harimau tersebut.

“Kami belum bisa memastikan penyebab gangguan harimau sumatra tersebut hingga saat ini. Kami terus mencari penyebabnya, mengapa harimau tersebut berada di kebun warga,” kata Sapto Aji Prabowo.

Kepala BKSDA Aceh itu mengatakan, ada beberapa kemungkinan mengapa harimau tersebut keluar dari kawasan hutan mencari mangsa. Kemungkinan pertama, harimau itu berjenis kelamin betina sedang melatih anaknya berburu.

“Kemungkinan kedua, membawa anaknya ke pinggir hutan menghindari serangan harimau jantan. Atau mungkin ada sebab lain. Inilah yang sedang kami cari,” ujar Sapto Aji Prabowo.

Terkait usulan menangkap harimau tersebut, Sapto Aji Prabowo menegaskan menangkap harimau malah akan mendatangkan masalah baru.

“Menangkap harimau tersebut merupakan langkah terakhir setelah diketahui apa penyebab satwa dilindungi tersebut memangsa ternak warga,” ungkap Sapto Aji Prabowo.

Ia mengimbau masyarakat untuk sementara waktu tidak ke kebun sendirian dan menghindari waktu lewat dari pukul lima petang berada di kebun.

“Kami juga mengimbau masyarakat tidak melepas ternak di kawasan hutan hingga diketahui penyebab gangguan harimau tersebut. Apalagi jarak lokasi gangguan sekitar dua kilometer dari pemukiman penduduk,” kata Sapto Aji Prabowo. []

Sumber: antaranews.com

read more
Flora Fauna

Membangun Suaka Baru bagi Badak Sumatera di Ekosistem Leuser

Jakarta – Pemerintah Indonesia berencana untuk membangun tempat perlindungan ketiga untuk penangkaran badak Sumatera, di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) Aceh.

“Ini adalah prioritas utama dalam rencana tindakan darurat kami untuk menyelamatkan badak Sumatera,” kata Kepala Konservasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Wiratno di Jakarta pekan lalu. “Kami segera mendiskusikan rencana ini dengan pemerintah Aceh untuk mendapatkan dukungan mereka,”pungkasnya.

Menurut Rudi Putra, Direktur Leuser Conservation Forum, yang terlibat dalam rencana tersebut, saat ini mereka sedang mencari lokasi yang cocok dengan rencana tersebut.

“Rencananya adalah menyelesaikan fasilitas-fasilitas tersebut pada tahun 2021,” kata Rudi Saputra dalam email ke Mongabay. Dia menambahkan bahwa sekitar lima ekor badak akan ditangkap dari alam liar di Aceh dan dipindahkan ke tempat perlindungan untuk memulai program.

Indonesia saat ini memiliki dua pusat penangkaran dengan total delapan badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis): satu di Taman Nasional Way Kambas, Sumatera, yang memiliki tujuh badak, dan satu di hutan Kelian, di Kalimantan Indonesia, yang merupakan rumah bagi badak tunggal.

Rencana untuk membuka suaka di KEL dijelaskan dalam sebuah keputusan yang dikeluarkan oleh Wiratno Desember lalu, yang juga membahas proposal meningkatkan kapasitas suaka Way Kambas; bermitra dengan Malaysia, yang memiliki induk badak untuk pembuahan; dan meningkatkan upaya menangkap lebih banyak badak dari Kalimantan dan menempatkannya di suaka Kelian.

Para ahli badak dari seluruh dunia sepakat pada tahun 2017 bahwa penangkaran badak Sumatera, dari Sumatra dan Kalimantan, adalah satu-satunya cara yang tersisa untuk menyelamatkan spesies, diyakini berjumlah antara 30 dan 100 individu. Inisiatif baru ini mengikuti upaya serupa pada 1980-an yang menangkap badak Sumatera untuk pembiakan. Program itu, bagaimanapun, bubar satu dekade kemudian setelah lebih dari setengah hewan mati tanpa ada anak badak yang dilahirkan. Tetapi serangkaian kelahiran badak yang sukses di Amerika Serikat dan Indonesia, dan konsensus yang berkembang bahwa spesies akan punah tanpa intervensi, telah meletakkan dasar bagi upaya penangkaran tawanan terbaru.

Rudi mengatakan pendirian tempat perlindungan baru akan meningkatkan program penangkaran dengan mengurangi risiko terkonsentrasinya hampir semua badak di Way Kambas.

“Menempatkan semua badak yang ditangkap di satu tempat (Way Kambas) bukanlah solusi yang baik untuk keberlanjutan populasi. Jika ada penyebaran penyakit secara tiba-tiba, itu mungkin membunuh semua badak di sana, “katanya. “Mengembangkan tiga lokasi dengan manajemen terpadu akan lebih baik untuk konservasi badak.”

Banyak ahli menyebutkan Leuser sebagai habitat yang paling menjanjikan bagi badak liar Sumatera, mengingat KEL merupakan salah satu habitat terbesar bagi populasi spesies tersebut. Foto-foto perangkap kamera baru-baru ini dari ekosistem yang diambil oleh para konservasionis mengidentifikasi setidaknya 12 individu badak. Namun, daerah pegunungan masih kurang dipahami oleh para konservasionis, dan perburuan di sana dianggap lebih buruk daripada di tempat lain.

“Keamanan untuk suaka ini harus seketat itu di Way Kambas,” kata Wiratno.

Kelompok konservasi badak sepakat memberikan dukungan finansial dan teknis untuk membangun fasilitas tersebut.

“Dukungan kami untuk dan keterlibatan dalam proyek ini adalah karena keyakinan kami bahwa ini harus menjadi prioritas untuk menyelamatkan badak Sumatra dari kepunahan,” kata Wakil Direktur Yayasan Badak Internasional, CeCe Sieffert.

“Tujuannya adalah untuk menumbuhkan populasi badak sehingga hewan dapat dilepaskan kembali ke alam liar untuk menambah populasi liar,” kata Sieffert.

BKSDA telah menyerukan kepada semua pemangku kepentingan untuk mendukung pendirian tempat perlindungan Leuser. “Menyatukan badak dari populasi kecil bersama adalah penting untuk membantu mereka berkembang biak,” kata kepala BKSDA Sapto Aji Prabowo. “Kalau tidak, populasi ini akan punah karena mereka tidak berkembang biak.”

Rudi mengatakan program itu akan membutuhkan banyak dana, sumber daya manusia, dan waktu. “Kita tidak hanya berpacu melawan waktu, kita juga berpacu melawan pemburu liar yang setiap saat dapat membunuh badak,” katanya.

“Kondisi badak sumatera sangat kritis, itu sebabnya langkah radikal harus diambil, seperti menangkap dan menyelamatkan individu yang tersisa,” tambahnya.

Badak Sumatra pernah ditemukan di Asia Tenggara, dari Himalaya di Bhutan dan India, ke Cina selatan dan menyusuri Semenanjung Melayu. Tetapi spesies ini terancam punah akibat serangkaian faktor, dari perburuan liar hingga hilangnya habitat dan jumlah kelahiran yang tidak mencukupi.

Pada tahun 1986, sama spesies tersebut dinyatakan terancam punah dalam Daftar Merah IUCN. Populasi bada diperkirakan antara 425 – 800 individu. Sepuluh tahun kemudian, perkiraan itu turun menjadi 400 dan badak Sumatera dinaikkan statusnya menjadi terancam punah. Pada tahun 2015 dinyatakan punah di alam liar di Malaysia, hanya Indonesia sebagai satu-satunya negara dengan populasi spesies liar yang diketahui.[]

Sumber: mongabay.com

read more
Green StyleHutan

Farwiza: Kerusakan KEL Ancam Empat Juta Penduduk

Banda Aceh – Perlindungan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) sangat penting, karena merupakan kawasan strategis nasional. “Ekosistem Leuser adalah kawasan strategis nasional karena fungsi lingkungan KEL. Sangat penting untuk melindungi kawasan ini, karena menyediakan air dan udara bersih serta mengurangi dampak bencana, seperti erosi, hama, dan perubahan iklim,” Kata ketua HAkA Foundation, Farwiza Farhan, Rabu (19/12/2018). (more…)

read more
Kebijakan Lingkungan

Kawasan Strategis Nasional KEL (Bukan) Pepesan Kosong

Kawasan Strategis Nasional (KSN) dapat dipahami sebagai suatu kawasan – sebagaimana ditentukan dalam penataan ruang nasional – yang keberadaannya teramat penting dan mempengaruhi secara nasional baik dari aspek pertahanan dan keamanan, pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pendayagunaan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi, dan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup. Sebanyak 76 KSN telah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah No. 26/ 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang diperbaiki dengan Peraturan Pemerintah No. 13/2017 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 26/2008. Sebanyak 25 KSN diantaranya adalah kawasan yang penting bagi negara dari aspek fungsi dan daya dukung lingkungan hidup dimana Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) termasuk salah satunya.

KEL memang pantas ditetapkan sebagai KSN mengingat areal hutan hujan di ujung barat Pulau Sumatera ini memiliki keragaman hayati yang amat tinggi dan unik. Wilayah hutan ini merupakan tempat satu-satunya di dunia yang masih memiliki empat mamalia besar endemik di dalam satu wilayah: Gajah Sumatera, Harimau Sumatera, Orangutan Sumatera dan Badak Sumatera. Wilayah jelajah ke-empat satwa besar ini saling berpotongan sehingga membentuk areal yang sangat luas (sekitar 2.255.557 hektar) yang membentang dari tengah Provinsi Aceh (meliputi 13 kabupaten) hingga ke Provinsi Sumatera Utara (meliputi 4 kabupaten). Eksistensi empat mamalia tersebut telah menjadikan KEL sebagai ikon konservasi yang penting di muka bumi. Selain itu, KEL juga merupakan penyedia air, plasma nutfah dan penyerap karbon.

Penetapan KEL sebagai satu dari begitu banyak KSN tentu merupakan kabar gembira bagi pegiat konservasi. Dengan statusnya sebagai kawasan penting maka penataan ruang (meliputi pola dan struktur ruang) di wilayah ini akan berbeda dari penataan ruang di kawasan-kawasan lain. Penataan ruang di KSN diatur sedemikian rupa dalam Rencana Tata Ruang (RTR) sehingga kepentingan nasional sebagai acuan penetapan nilai strategis kawasan tersebut dapat tetap dimaksimalkan. Penataan ruang KSN memuat pola dan struktur ruang serta pengaturan kewenangan dan pengembangan kawasan yang secara spesifik menafikan atau melampaui kewenangan pemerintah provinsi dan/atau kabupaten. Oleh karena itu, penetapan KSN dan penataan ruangnya harus menjadi “cetakbiru” bagi penataan ruang provinsi dan kabupaten. Dengan demikian, pola dan struktur ruang yang dimuat dalam dokumen RTR Wilayah Provinsi untuk areal-areal yang terpetakan sebagai KSN sama sekali tidak boleh berbeda dengan RTR KSN.

Sayangnya, sejak ditetapkan sepuluh tahun lalu, KEL masih belum memiliki RTR KSN. Dari 25 KSN lingkungan hidup hanya dua KSN yang telah ditetapkan RTR-nya yakni RTR KSN Taman Nasional Gunung Merapi dan RTR KSN Danau Toba. Keduanya ditetapkan pada tahun 2014. Satu hal dapat disimpulkan disini bahwa derajat kepentingan sekaligus tingkat pengaruh strategis KEL bagi kepentingan nasional masih lebih rendah dibanding dua KSN tersebut. Derajat kepentingan ini akan semakin rendah apabila dibandingkan dengan penataan untuk KSN ekonomi. Pemerintah pusat secara sadar menunjukkan bahwa kepentingan ekonomi lebih utama dibanding lingkungan hidup.

Penetapan KEL sebagai KSN dapat berubah menjadi pepesan kosong semata. Selama satu dekade ini, penetapan tersebut hanyalah kemasan yang tak ada isinya. Penataan pola dan struktur ruang di wilayah tersebut masih sama seperti sebelum ditetapkan sebagai kawasan strategis karena ketiadaan “cetak biru”. Penetapan sebagai KSN sejauh ini belum menimbulkan perubahan signifikan dalam pengelolaan KEL sebagai kawasan yang penting bagi negara. Nyatanya, meskipun telah ditetapkan sebagai KSN, Pemerintah Aceh tidak memasukkannya dalam RTR Provinsi. Ketiadaan RTR KSN itu dapat digunakan sebagai alibi bagi pelanggaran perizinan. Padahal UU penataan ruang telah mengatur sanksi yang cukup berat.

Agar tidak menjadi pepesan kosong, Pemerintah Aceh tidak cukup hanya menyerukan agar penetapan RTR KSN KEL oleh Pemerintah Pusat dipercepat tetapi juga harus menyodorkan usulan penataan ruang KEL yang diinisiasi sendiri untuk disahkan melalui Peraturan Presiden. Inisiatif sedemikian sangat mendesak untuk dilakukan mengingat RTR Wilayah Provinsi sudah tiba waktunya untuk dapat direvisi. Selain itu, menggantungkan penetapan RTR kepada prioritas Pemerintah Pusat bukanlah langkah yang tepat mengingat begitu banyaknya KSN ekonomi yang menunggu untuk dibuat RTR-nya.

Inisiatif dari Pemerintah Aceh harus menunjukkan penataan keruangan yang menampilkan betapa KEL dapat mendukung kepentingan nasional dengan menyodorkan opsi pengendalian pemanfaatan yang taktikal sekaligus mampu mengakomodir perkembangan kebutuhan sosial ekonomi baik di Aceh maupun di Indonesia. Itu berarti, pengaturan pola dan struktur ruang harus dilakukan dengan sangat cermat agar fungsi pelestarian dan perlindungan hutan tropis yang disediakan oleh KEL dapat dipasangkan secara optimal dengan kebutuhan mobilitas barang dan jasa serta pertumbuhan pemukiman. Untuk itu, selain memetakan pusat-pusat kegiatan, RTR juga perlu memuat skenario pertumbuhan kota-kota baru yang tidak mengancam keberadaan KEL.

Skenario tersebut harus diamankan dengan merencanakan perubahan atau penyesuaian kebijakan dan regulasi secara nasional. Semua aturan perundang-undangan yang penting untuk direvisi atau ditetapkan haruslah termuat dalam indikasi program yang akan dilaksanakan. Dalam usulan tersebut, penting pula untuk memasukkan Pemerintah Aceh sebagai pemegang kuasa pengelolaan kawasan sebagai implementasi UU Pemerintahan Aceh dalam pengelolaan KEL.

Inisiatif tersebut harus didahulukan oleh Pemerintah Aceh dibanding menyusun perbaikan RTR Wilayah Provinsi. Bagaimanapun, tanpa RTR KSN sebagai cetakbiru penataan ruang di Provinsi Aceh dan kabupaten-kabupaten yang terkait, posisi KEL sebagai penyokong kepentingan nasional hanyalah isapan jempol semata alias pepesan kosong. Cetak biru penataan ruang tersebut dapat berfungsi untuk mengatur pertumbuhan ekonomi masyarakat di sekitar KEL melalui indikasi program yang diadopsi oleh 13 kabupaten yang terpengaruh. Tentu saja, agar penataan yang menjadi usulan Pemerintah Aceh ini mampu mengakomodir berbagai kepentingan, penyusunannya harus memenuhi aspek teknokratis, politis sekaligus partisipatif. Dengan kata lain, usah melakukan revisi RTR Provinsi sebelum RTR KEL ditetapkan.

Penulis Fahmi Rizal, Pernah bergiat di berbagai LSM dan Proyek Lingkungan

 

 

read more
Kebijakan Lingkungan

KEL Sebagai Kawasan Ekosistem Esensial: Sebuah Gagasan

Dalam sejarahnya, Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) digagas sebagai kawasan penyangga untuk Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Puluhan tahun berlalu, kawasan ini selalu menyisakan ‘masalah’ yang belum terselesaikan terutama masalah regulasi. Pertanyaan tentang sejauh mana kewenangan pemerintah lokal dalam mengelola KEL belum menemukan jawaban tegas. Belum lagi masalah ruang lingkup pengelolaan yang masih membutuhkan diskusi panjang. Demikian juga masalah sumber penganggaran untuk pengelolaannya.

Seperti diketahui, sejak diberlakukan Undang-undang No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, kewenangan pengelolaan KEL – yang ada di wilayah Aceh – secara tegas dimandatkan kepada Pemerintah Aceh. Kewenangan tersebut menghendaki Pemerintah Aceh untuk melindungi dan melestarikan KEL. UU yang sama menyebutkan bahwa pengelolaan KEL dilaksanakan dengan anggaran dan fasilitas yang disediakan oleh Pemerintah Pusat. Lebih dari satu dasawarsa berlalu, anggaran yang dicita-citakan tersebut tak terlihat di dalam dokumen anggaran pemerintah pusat. Padahal KEL disebut sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN) yang terkait dengan penataan ruang dalam Peraturan Pemerintah (PP) tahun 2008.

Di masa awal penerapan UU Pemerintahan Aceh, Pemerintah Aceh mengambil mandat tersebut dengan membentuk badan pengelola. Namun Badan ini akhirnya dibubarkan setelah beroperasi beberapa tahun. Saat ini, Pemerintah Aceh menerjemahkan kewenangan yang dimandatkan tersebut dengan menempatkan pengelolaan KEL ke dalam beberapa Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) alih-alih mengelolanya sebagai sebuah kawasan terpadu. Pemerintah Aceh tampaknya lebih fokus pada keberadaan hutan secara keseluruhan di wilayah Aceh daripada melihat keberadaan KEL secara khusus. Hal ini sejalan dengan ketiadaan nomenlaktur KEL di dalam Qanun Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Aceh. Pengaturan yang sedemikian berpotensi untuk mengaburkan KEL sehingga terbingkai menjadi wilayah kerja KPH semata. Apalagi aturan yang mengatur ke KEL sebagai KSN belum muncul hingga saat ini. Lebih jauh lagi, aturan-aturan terkait kehutanan hampir tidak pernah menimbang UU Pemerintahan Aceh di atas. PP tentang kewenangan nasional di Aceh juga tidak secara spesifik menerjemahkan mandat yang dimiliki Pemerintah Aceh terkait pengelolaan KEL.

Jika kita kembali kepada gagasan awal keberadaannya, diketahui bahwa KEL dimaksudkan untuk melindungi habitat beberapa mamalia besar endemik yang menjelajah di areal seluas lebih dari 2,6 juta hektar tersebut. Kekhawatiran terhadap hilangnya habitat dan punahnya satwa membuat banyak pihak mengambil andil untuk melindungi kawasan tersebut meskipun diawali dengan munculnya aturan-aturan yang membingungkan khalayak. Kekhawatiran itu tetap ada mengingat kondisi perlindungan dan pelestarian KEL yang masih jauh panggang dari api.

Gagasan untuk mewujudkan wilayah penyangga sekaligus melestarikan habitat satwa penting saat ini dapat diakomodir melalui pembentukan kawasan ekosistem esensial (KEE). Pasal 24 ayat (1) PP Nomor 28 tahun 2011 secara spesifik menyebutkan bahwa perlindungan pada kawasan perlindungan alam (KPA) dan kawasan suaka alam (KSA) juga memuat perlindungan terhadap kawasan ekosistem esensial.

KEE dapat dipahami sebagai suatu ekosistem diluar kawasan konservasi seperti KSA dan KPA baik yang memiliki alas hak maupun tidak. KEE disyaratkan mempunyai nilai keragaman hayati tinggi sekaligus dapat menunjang kelangsungan kehidupan untuk kemudian ditetapkan pemerintah (melalui kementerian LHK) sebagai kawasan yang dilindungi dan dikelola berdasarkan prinsip-prinsip konservasi keanekaragaman hayati. Pengelolaan KEE ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Kriteria kawasan yang dapat ditetapkan sebagai ekosistem esensial bisa juga karena kawasan tersebut merupakan koridor satwa liar atau habitat bagi spesies penting, langka, endemik atau terancam punah. KEE yang berupa kawasan penyangga kawasan konservasi memenuhi semua kriteria tersebut, berkesesuaian dengan apa yang ingin diperjuangkan dengan keberadaan KEL.

KEL dapat dikelola sebagai KEE bertipe lansekap dengan menempatkannya dalam koridor-koridor untuk mamalia besar seperti Orangutan Sumatera, Badak Sumatera, Gajah Sumatera dan Harimau Sumatera yang endemik di areal ini. Pengelolaan KEE dapat mengakomodir berbagi KPH, ijin usaha kehutanan, masyarakat adat dan berbagai organisasi swadaya masyarakat dengan adanya kepastian regulasi untuk model pengelolaan ini. Regulasi memungkinkan pengelolaan koridor seperti menyusun rencana kerja, memfasilitasi pertemuan- pertemuan, membentuk satuan tugas pengamanan, meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia, membantu proses-proses penyelesaian konflik dan melakukan monitoring, evaluasi serta pelaporan.

Penetapan KEL sebagai KEE tidak membutuhkan langkah yang panjang lagi mengingat bahwa kawasan ekosistem ini telah memiliki banyak bahan pendukung untuk mendapatkan status tersebut. Proses-proses seperti identifikasi dan inventarisasi para pihak dan berbagai potensi ekosistem telah memiliki data yang cukup. Yang dibutuhkan hanyalah keberadaan forum bersama untuk mengelolanya dan pengusulan oleh Gubernur Aceh. Sedikit musyawarah multi pihak untuk menegaskan delineasi batas ekosistem mungkin masih diperlukan.

Forum bersama untuk mengelola KEE diharapkan dapat mengakomodir berbagai kepentingan sepenjang para pengambil kebijakan terlibat penuh di dalamnya. Forum bersama tentu saja dapat memasukkan unsur pemerintahan dari 13 kabupaten/kota yang memiliki KEL kedalam bagiannya serta pihak-pihak lain yang terlibat. Mungkin dapat diatur sehingga forum bersifat bicameral dan menempatkan satu unit pengelolaan yang diisi oleh para professional sebagai eksekutor rencana kerja. Penetapan sebagai KEE juga turut memastikan bahwa kewenangan pengelolaan KEL berada pada forum.[]

Penulis adalah pekerja pada sejumlah lembaga lingkungan baik nasional dan internasional, berdomisili di Banda Aceh. Penulis dapat dihubungi di email:efrizaltamiang@gmail.com

 

 

read more
Kebijakan Lingkungan

Permintaan Gubernur Aceh Terkait Perpres KEL Dipercepat Disambut Baik Aktivis

Banda Aceh – Plt Gubernur Aceh, Ir. Nova Iriansyah, MT, mengirimkan surat kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang RI meminta mempercepat penyelesaian Peraturan Presiden tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dan Peraturan Presiden tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional Sabang dan sekitarnya (kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Sabang).

Surat ini ditanggapi oleh aktivis lingkungan sebagai sesuatu hal yang positif. Terkait dengan surat tersebut, selaku aktivis lingkungan T. Muhammad Zulfikar memberikan tanggapannya.

“Saya pikir ini suatu hal yang menggembirakan. Karena dalam beberapa tahun terakhir ini terkesan pengelolaan KEL sepertinya diabaikan begitu saja. Di satu sisi ini merupakan kewenangan pusat karena merupakan KSN, namun jika merujuk pada UUPA pasal 150 justru pusat telah mendelegasikannya tugas-tugas pengelolaan KEL kepada Pemerintah Aceh. Namun dalam kenyataannya hal ini tidak terlaksana dengan baik di lapangan,”jelasnya.

T. Muhammad Zulfikar berharap, dengan dikeluarkannya Rencana Tata Ruang (RTR) KSN KEL, ada kejelasan terkait bentuk pengelolaan yang dilakukan bersama, baik oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh. Sehingga perlindungan KEL yang memiliki keanekaragaman hayati (biodiversity) dapat dilakukan dengan baik. Begitu juga pemanfaatan kawasan oleh para pihak juga bisa terkoordinir dengan adanya lembaga pengelola yang telah diatur di dalam Perpres RTR KSN KEL tersebut.

“Mari kita kawal bersama proses penyusunan RTR KSN KEL tersebut, termasuk perlu juga kita pantau proses Peninjauan Kembali (PK) Qanun RTRW Aceh agar dapat memuat secara rinci pengelolaan KEL di Aceh sebagai bagian dari Kawasan Strategis Nasional,”ujarnya.

Surat permintaan tersebut bernomor 515/23481 dan bertanggal 6 September 2018.

Plt Gubernur Aceh mengirimkan surat tersebut dalam rangka percepatan dan persiapan pengembangan Kawasan Strategis Nasional yang berada di Aceh yaitu KEL dan Sabang.

read more
Green StyleHutan

Bagaimana Peran Masyarakat Dalam Menjaga Hutan KEL?

Banda Aceh – Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) saat ini terus saja mengalami ancaman kerusakan yang disebabkan oleh berbagai pihak. Namun demikian upaya-upaya penyelamatan KEL tetap saja bisa dilakukan oleh semua pihak. Kondisi KEL saat ini relative dianggap lebih baik dibandingkan hutan-hutan lain yang berada di Sumatera. Apa yang bisa dilakukan kelompok masyarakat sipil dalam rangka penyelamatan hutan KEL?

Pertanyaan ini coba dijawab dalam seminar nasional yang bertemakan “Peran Pemerintah dan Masyarakat terhadap Penegakan Hukum Serta Pemanfaatan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) Sebagai Paru-paru Dunia” di Gedung AAC Dayan Dawood Darussalam Banda Aceh, Senin (17/9/2018). Pembicara dalam seminar ini antara lain Dede Suhendra (Program Manager Northern Sumatera WWF), Guntur M. Tariq, S.Ik (Dit Reskrimsus Polda Aceh) dan Farwiza Farhan (Yayasan HAkA) serta moderator Ir. T. Muhammad Zulfikar dari Yayasan Ekosistem Lestari.

Dede Suhendra dalam pemaparannya mengatakan kelompok masyarakat dapat membentuk lembaga pengawas (Watchdog) yang secara kritis menyuarakan perlunya perlindungan KEL. Hal ini bisa dilakukan melalui kegiatan advokasi, baik yang bersifat litigasi maupun non litigasi. Selain itu masyarakat juga dapat mempromosikan etika pelestarian yang baik, agar meningkatkan kesadaran semua pihak dan melakukan aksi-aksi konservasi di daerah-daerah strategis dalam KEL.

“Kolaborasi dan kerjasama strategis masyarakat biar bisa mempromosikan bagaimana pengelolaan terbaik di KEL,” ujarnya.

Banyak sudah pengelolaan hutan yang menjalankan praktek-praktek terbaiknya yang berbasiskan pada perlindungan dan pelestarian lingkungan, tukasnya.

Seminar Nasional ini dilaksanakan oleh Asian Law Students’ Association (ALSA) Local Chapter Universitas Syiah Kuala, dihadiri tak kurang dari 200-an peserta yang berasal dari 13 anggota dari perguruan tinggi di Indonesia yang merupakan anggota ALSA.

KEL adalah wilayah yang secara alami terintegrasikan oleh faktor-faktor bentangan alam, dan memiliki kekayaan keanekaragaman hayati.

Berbagai kegiatan pembangunan turut andil memberikan ancaman bagi kelestarian Leuser. Pertambahan jumlah penduduk, kegiatan investasi di wilayah hutan, pembangunan infrastruktur yang tidak mempertimbangkan fungsi-fungsi ekologi dan banyak sekali kegiatan illegal dalam KEL, merupakan hal-hal yang menjadi tekanan bagi paru-paru dunia ini.

 

 

read more
1 2 3 4
Page 1 of 4