close

laut

Ragam

Aceh Punya Aturan Adat Pengelolaan Laut

DR. Dedi Supridi Adhuri selaku pembicara dalam Diskusi Panel mengatakan sejak berabad-abad yang lalu, orang Aceh mengenal tradisi dan hukum adat laut yang disebut “Panglima Laot”. Pada intinya, tradisi ini terkait dengan kelompok adat yang disebut Mukim (federasi gampong desa) dengan unit wilayah kelola yang disebut Ihok (teluk).

“Pengelolaan masing-masing Ihok dipegang oleh lembaga ‘Panglina Laot’. Memang berbeda dengan tradisi petuanan di Maluku. Orang Aceh tidak mengklaim hak milik terhadap wilayah adat lautnya. Mereka menganggap bahwa laut adalah milik semua orang (umum), tetapi mereka mengklaim hak pengelolaan,” papar Dedi dalam diskusi panel.yang bertemakan “Interdependensi Masyarakat Maritim Dengan Lingkungan”, bersama Sony Keraf dan DR. Alan F.Koropitan, Ph.D sebagai pembicara di Asean Room Hotel Sultan, Jakarta, Sabtu (11/1/2013).

Dedi mengungkapkan, menurut adat warga Aceh, setiap orang yang menangkap ikan atau sumberdaya laut lain di wilayah adat laut mereka harus tunduk pada aturan-aturan adat dan Panglima Laot dari lhok yang bersangkutan. Aturan-aturan adat laot bervariasi di tiap Ihok. “Aturan itu bisa dilihat dengan contoh dari praktik hak ulayat dan pengelolaan di dua Ihok, yaitu Lhok Kruet di Aceh Jaya dan Lhok Je Meule di Sabang,” tuturnya.[]

Sumber: pikiranrakyat.com

read more
Ragam

Koperasi Dorong Nelayan Mandiri dan Patuh Zonasi

Di Taman Nasional (TN) Komodo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, koperasi bukan hanya berfungsi sebagai lembaga keuangan yang mengurusi simpan pinjam anggota. Koperasi juga digunakan untuk mendorong kepatuhan nelayan terhadap aturan zonasi TN.

Koperasi Kredit (Kopdit) Nelayan Padakauang yang berdiri 11 Juli 2013 atas inisiatif sekelompok nelayan di Desa Pasir Panjang, Pulau Rinca, yang didampingi Staf Balai TN Komodo, Devi Opat, mewajibkan anggotanya untuk menaati aturan zonasi.

Di dalam aturan Koperasi Padakauang disebutkan bahwa anggota hanya boleh menangkap ikan di Zona Pemanfaatan Tradisional Baharí dan Zona Khusus Pelagis TN Komodo dengan alat tangkap ramah lingkungan. Jika ada yang melanggar maka keanggotaannya akan dicabut.

Ide pembentukan kopdit berawal dari keinginan nelayan di salah satu pulau terbesar di TN Komodo ini untuk membangun kemandirian keuangan, sekaligus memutus mata rantai tengkulak. Nelayan Rinca, sejumlah 671 dari 969 total jiwa yang tinggal di Pulau Rinca, selama bertahun-tahun bergantung pada tengkulak untuk mendapatkan modal melaut.

Tengkulak meminjamkan modal untuk membeli bahan bakar dan logistik lainnya untuk mencari ikan. Ikatan modal ini yang membuat nelayan harus menjual hasil tangkapan mereka pada tengkulak, meskipun harga beli yang ditawarkan jauh dibawah harga pasar.

Akibatnya demi mencukupi kebutuhan keluarga, nelayan semakin menguras sumber daya lautnya dan nekat mencari ikan di zona yang tidak diperuntukkan untuk kegiatan penangkapan.

TN Komodo selain terkenal sebagai hábitat Komodo, juga memiliki perairan laut dengan keanekaragaman yang tinggi. Sebesar 70% dari luas total 173.000 hektar TN Komodo merupakan perairan laut. Terdapat lebih dari 1000 jenis ikan, 260 jenis karang dan 70 jenis bunga karang . Tak heran kalau TN Komodo dikukuhkan sebagai Cagar Biosfer pada 1977 dan Situs Warisan Dunia pada 1991.

Laut di TN Komodo juga menjadi lahan pencaharian utama bagi masyarakat di dalam kawasan. Berdasarkan data statistik penduduk tahun 2011, ada 4226 jiwa yang berdiam di dalam kawasan TN. Sebanyak 90% dari masyarakat merupakan nelayan yang menggantungkan hidup dari hasil menangkap cumi dan ikan pelagis kecil.

“Potensi perikanan di perairan TN Komodo sangat besar. Terutama kerapu, kakap, napoleon, tuna, cakalang, baronang, lobster, udang dan lainnya. Potensi ini selalu menggoda nelayan berburu ikan di perairan TN Komodo.”  kata Ir. Sustyo Iriyono M.Si. Kepala  Balai TN Komodo.

Ancaman terbesar bagi kawasan ini adalah penangkapan ikan secara merusak dan penangkapan ikan di zona yang tidak semestinya. Pengamanan kawasan dan penguatan komunitas mutlak diperlukan agar sumber daya laut di TN Komodo ini dapat terus terjaga. Kopdit Padakauang merupakan salah satu pendekatan yang difasilitasi oleh Balai Taman Nasional Komodo untuk mendorong hal ini.

“Koperasi Kredit Padakauang ini merupakan program bersama antara Balai TN Komodo, Rare dan masyarakat. Namun masyarakat yang bergerak menghidupkan koperasi untuk mengumpulkan dan memanfaatkan modal bersama supaya lebih sejahtera dan semakin sadar untuk mematuhi peraturan zonasi TN Komodo. Balai TN Komodo akan membantu menyebarluaskan informasi tentang koperasi ini ke lokasi-lokasi lain di dalam kawasan TN Komodo supaya semakin banyak nelayan yang menjadi anggota koperasi dan merasakan manfaatnya”, ungkap Ir. Sustyo Iriyono M.Si. Kepala  Balai TN Komodo.

Kopdit Padakauang yang dalam Bahasa Bajo berarti kebersamaan untuk mencapai cita-cita ini diharapkan juga dapat membangun kemandirian nelayan.

Modal yang dikumpulkan dalam koperasi ini semua berasal dari anggota. Tidak ada bantuan modal dari pihak luar. Nelayan mesti menyisihkan pendapatan mereka untuk disimpan di koperasi. Hingga November 2013, modal yang terkumpul sebesar Rp 32,8 juta dari 27 anggota koperasi. Tidak mudah memang, apalagi karena sebagian besar nelayan berasal dari rumah tangga miskin.

“Koperasi Kredit Padakauang merupakan wadah yang sesuai dan bermanfaat bagi kebutuhan masyarakat nelayan Rinca. Terima kasih untuk Balai TN Komodo dan Rare yang telah membantu kami mendirikan Kopdit Padakauang.

Melalui koperasi, masyarakat dapat meningkatkan budaya menabung dan memanfaatkan modal usaha yang ada. Setidaknya nelayan Rinca dapat mandiri dalam suatu wadah koperasi, tanpa harus menunggu bantuan dari pihak luar. Keberadaan kantornya dekat. Pengurus koperasi juga masyarakat Rinca sendiri. Pola kebijakan koperasi ditentukan melalui rapat pengurus.” tutur Ibrahim Hamso, Sekretaris Desa Pasir Panjang, Kampung Rinca.

Pengawas, pengurus dan pengelola Kopdit yang semuanya merupakan masyarakat asli Rinca bertekad mengajak lebih banyak nelayan untuk bergabung menjadi anggota. Jika modal yang terkumpul sudah cukup banyak, nelayan tidak perlu lagi meminjam modal pada tengkulak.

Mereka juga bisa bebas menjual hasil tangkapan ikan mereka, mendapatkan hasil yang memadai tanpa perlu melanggar aturan TN. Kesulitan hidup dan akses menuju pulau lain di dalam TN yang cukup menantang tidak menyurutkan niat pionir koperasi ini. Segala upaya dilakukan demi kualitas hidup yang lebih baik dan menjaga laut di TN Komodo yang menjadi sumber penghidupan mereka.[]

Sumber: hijauku.com

read more
Green Style

Resolusi Hijau untuk Tahun Baru 2014

Sebentar lagi kita akan memasuki tahun baru 2014. Apakah kamu telah punya sebuah resolusi tahun baru untuk bumi kita? Delapan tips di bawah ini mungkin bisa memberikan kamu ide sebuah resolusi yang ingin kamu jalankan mulai tahun depan.

1. Kurangi membeli produk, pilih dengan bijak dan gunakan selama mungkin.
Bahan-bahan kimia hadir di hampir semua produk yang kita beli atau konsumsi sehari-hari, mulai dari pakaian, televisi dan mainan anak, dan banyak diantaranya berbahaya dan beracun. Bahan-Bahan kimia digunakan dalam proses produksi dan berpotensi terlepas ke dalam lingkungan kita, baik itu ke perairan, udara, dan ke tanah atau berpotensi terpapar kepada manusia baik itu secara langsung dan tidak langsung selama proses produksi, konsumsi dan pembuangan. Dengan mengurangi pembelian, memilih dengan bijak dan menggunakan produk yang kita beli selama mungkin, kita dapat meminimalkan potensi bahaya dari bahan kimia berbahaya beracun tersebut.

2. Perkaya pengetahuan seputar bahan kimia berbahaya beracun dalam produk dan jadilah konsumen yang bijak serta kritis.
Kita dapat memilih dengan lebih bijak dan menjadi konsumen yang kritis! Selain mengurangi potensi bahayanya kita juga bahkan dapat menekan produsen untuk mengeliminasi bahan kimia berbahaya tersebut dari proses produksinya.Berikut adalah beberapa situs yang bisa kita cermati, sebelum memutuskan untuk membeli suatu produk:

Untuk produk pakaian:
http://www.greenpeace.org/seasia/id/campaigns/toxics/Detox-Catwalk/

Untuk produk elektronik:
http://www.greenpeace.org/international/en/campaigns/toxics/electronics/Guide-to-Greener-Electronics/

Untuk produk-produk lain:
http://www.epa.gov/kidshometour/http://mindthestore.saferchemicals.org/hazardous100+

3.  Ikut dalam menjaga kelestarian laut.
Pilih produsen yang hanya menyediakan pilihan produk ikan terpercaya dan bersumber dari kegiatan perikanan bertanggungjawab.

4. Jadilah pembela laut dengan bergabung bersama Ocean Defender.
Laut Indonesia yang sehat dan terlindungi adalah tanggung jawab kita bersama, dengan bergabung bersama Ocean Defender, Anda telah berkomitmen untuk beraksi bagi laut Indonesia.

5.  Kurangi jejak karbon Anda.
Bulan September ini es di Arktik berada pada titik terendahnya. Selama 30 tahun terakhir bumi telah kehilangan 3/4 dari lapisan es yang ada. Masing-masing dari kita telah menyumbang emisi karbon yang berasal dari aktifitas setiap hari, mulai dari penggunaan transportasi hingga kebutuhan listrik. Pembakaran bahan bakar fosil yang terus menerus dan semakin bertambah jumlahnya merupakan salah satu penyebab perubahan iklim terbesar. 95% dari total pemenuhan kebutuhan energi Indonesia masih berasal dari energi fosil. Mari kurangi jejak karbon (carbon footprint) kita mulai dari sekarang.

6. Cegah Indonesia menjadi pengekspor perubahan iklim.
Saat ini Indonesia tercatat sebagai negara pengekspor batubara terbesar di dunia. Batubara sebagai salah satu energi fosil terkotor terbukti banyak meninggalkan dampak negatif dalam proses ekploitasinya. Mulai dari hutan yang digunduli untuk pembukaan lahan tambang, terkontaminasinya sumber air masyarakat lokal, konflik sosial antar masyarakat dan perusahaan hingga pembakaran batubara di PLTU – PLTU yang tersebar di seluruh Indonesia yang merenggut banyak mata pencaharian nelayan.  Anda bisa ikut bergabung bersama kami untuk mendesak pemerintah menghentikan perluasan industri batu bara baik pertambangan maupun pembangunan PLTU yang tersebar di seluruh Indonesia.

7. Hemat pemakaian kertas dan tisu, mulailah beralih ke kertas daur ulang.
Bahan baku utama kertas dan tisu adalah kayu-kayu berkualitas serat tinggi dari hutan termasuk hutan tropis yang berada di Indonesia. Permintaan akan kertas dan tisu meningkat di pasar dunia dan pasar domestik seiring dengan peningkatan jumah penduduk dunia. Jadikan kantormu tanpa kertas (paperless office) dan kurangi secara drastis penggunaan kertasmu.

8. Jangan gunakan minyak sawit kotor!
Salah satu penyebab terbesar deforestasi di Indonesia adalah perkebunan kelapa sawit. Permintaan yang mingkat akan minyak sawit mentah (CPO) dan biofuel di pasar global memicu ekspansi perkebunan kelapa sawit ke dalam wilayah-wilayah hutan, terutama di Sumatera dan Kalimantan yang menyebabkan hilangnya nilai keanekaragaman hayati, nilai fungsi hutan dan konflik sosial yang berkepanjangan.

Cermati produk-produk yang kita beli dan pakai sehari-hari karena kandungan minyak sawit yang ada di dalamnya dapat berasal dari sumber yang tak bertanggung jawab. Dengan kekuatan besar sebagai konsumen kita dapat mendukung upaya penyelamatan hutan yang tersisa di Indonesia dari kehancuran akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit.
Sumber: greenpeace.org

read more
Ragam

Cara Taiwan Kelola Wisata Tambang Tua

“LLHA formosa…pulau yang cantik,” begitu para pelayar Portugis menyebut Taiwan ketika melewati pulau yang terletak di antara China, Jepang, dan Filipina itu. Tak hanya menyandang sebutan cantik, bangsa yang mendiami pulau itu juga kreatif mengolah sumber daya alam.

Hanya sebuah batu, hanya sebuah pasar malam, dan hanya sebuah desa di lereng gunung, tetapi bisa ”disulap” menjadi kawasan pariwisata. Pariwisata berbasis sejarah, ekologi, dan budaya yang mendongkrak ekonomi kreatif warga sekitarnya.

Kesan tersebut muncul ketika Kompas mengikuti ”2013 Taiwan Study Camp for Future Leaders from Southeast Asia” pada 21-30 November yang digelar Kementerian Luar Negeri Taiwan. Kegiatan yang berfokus pada pelatihan kepemimpinan di bidang ekonomi, lingkungan hidup, dan energi terbarukan itu diikuti 38 peserta dari negara-negara Asia Tenggara.

Kesan itu kami dapati ketika diajak ke sejumlah tempat wisata. Beberapa di antaranya adalah Yehliu Geopark, desa penambang emas Jiufen, dan Taiwan Indigenous Peoples Culture Park.

Yehliu Geopark membentang sepanjang 1.700 meter di pesisir pantai Wanli, New Taipei City. Yehliu Geopark merupakan taman batu karang yang menyuguhkan panorama batu dengan aneka macam bentuk. Lebih kurang ada 180 formasi batu karang. Ada yang menyerupai jamur, lilin, sarang lebah, kepala ratu, gorila, naga, dan masih banyak lagi.

Batu-batu karang itu terbentuk karena proses alam selama jutaan tahun. Erosi air laut berpadu dengan angin, hujan, gelombang laut, dan topan timur laut membantu proses pembentukan batu-batu karang itu.

Mangin Stephen, pemandu Yehliu Geopark asal Perancis, mengatakan, dahulu kawasan itu merupakan tempat tinggal masyarakat Aborigin Taiwan atau Taiwan Indian. Mereka bekerja sebagai nelayan dan berasal dari sejumlah negara di Asia Tenggara, seperti Indonesia dan Filipina.

Lantaran kerap didatangi para peneliti dan akhirnya menjadi tempat wisata geologi, mereka pindah ke sejumlah kawasan pegunungan Taiwan. Dahulu, mereka memanfaatkan batu-batu itu sebagai tempat berlindung dari serangan musuh yang datang dari laut.

”Rata-rata ada 3 juta orang per tahun yang datang ke Yehliu Geopark. Agar formasi batu tidak rusak, kami membatasi para pengunjung yang masuk ke taman, terutama di hari-hari libur. Kami juga menempatkan penjaga untuk menjaga batu-batu itu agar tidak disentuh pengunjung,” kata Stephen.

Stephen menambahkan, masyarakat sekitar Yehliu Geopark juga diberi kesempatan untuk berdagang di kompleks tempat parkir. Mereka mendapat uang dengan menjual makanan, jajanan, dan suvenir.

Sekitar 1 jam perjalanan dari Yehliu Geopark, terdapat tempat wisata desa kuno yang menjadi saksi bisu penambangan emas terbesar di Taiwan. Desa itu adalah Jiufen, berada di antara Gunung Jiufen dan Ghinkuashin.

Jalan kuno
Pada awal pemerintahan Dinasti Qing, Jiufen hanyalah sebuah kampung kecil yang terpencil, terisolasi, dan sepi. Penghuninya hanya sembilan keluarga. Pada 1890, seorang pendatang menemukan bijih emas di Jiufen sehingga kawasan itu menjadi ramai. Pada 1971, tambang itu tidak lagi menghasilkan emas dan ditutup.

Saat ini, kawasan itu berkembang menjadi desa wisata yang menampilkan panorama alam pegunungan. Dari atas desa tersebut, pengunjung dapat melihat sebagian pesisir Lautan Pasifik Taiwan dari gardu pandang sembari meminum teh khas Jiufen.

Selain itu, desa tersebut mempunyai jalan kuno yang dahulu dilewati para penambang emas. Jalan itu berupa tangga batu dan lorong-lorong yang terhubung dengan jalan utama desa. Di desa itu pula banyak pengunjung dapat membeli aneka makanan dan suvenir khas Taiwan. Lantaran terkenal sebagai daerah dingin, banyak pedagang yang menawarkan minuman jahe khas pegunungan Taiwan.

Berkat pengelolaan yang matang dan terencana, desa itu tumbuh sebagai tempat wisata yang diminati ribuan pengunjung. Hampir sebagian masyarakat desa hidup sebagai pedagang dengan mengubah rumah mereka menjadi kios makanan dan minuman atau suvenir.

Jenny Tseng dari Taiwan Turnkey Project Association, pendamping peserta 2013 Taiwan Study Camp, mengemukakan, Pemerintah Taiwan sangat peduli dengan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Untuk itu, mereka menempuh berbagai macam upaya, salah satunya mengemas kekuatan dan kearifan lokal dan menawarkannya kepada wisatawan.

”Mereka mengajak warga setempat untuk memasarkan kekuatan dan kearifan lokal yang khas. Kearifan lokal itu bisa berupa potensi alam, budaya, sejarah, dan kesenian,” kata dia.

Salah satu peserta dari Indonesia, Laela Royani, mengaku terkesan dengan pengelolaan pariwisata Taiwan. Pemerintah Taiwan benar-benar melibatkan swasta dan masyarakat setempat. Hal-hal yang mungkin dipandang remeh, seperti batu dan bekas penambangan emas, justru dikemas dengan sangat menarik dan ditawarkan kepada para wisatawan.

”Selain itu, pariwisata di Taiwan ditujukan pula untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat melalui geliat industri rumahan. Pariwisata itu tidak semata untuk menambah pendapatan asli daerah,” kata Laela. []

Sumber: kompas.com

read more
Flora Fauna

Dunia Internasional Gagal Sepakati Konservasi Ikan Tuna

Pertemuan puncak ke-10 lembaga perikanan regional pasifik barat-tengah (WCPFC10) yang berlangsung tanggal 2 sampai 6 Desember 2013 lalu di Cairns, Australia, telah gagal menghasilkan kesepakatan konservasi dan pengelolaan yang kuat untuk melindungi masa depan sumberdaya tuna dari kondisi penangkapan berlebih.

Sejumlah aktivis Greenpeace, dan perwakilan organisasi non-pemerintah lainnya menjadi saksi langsung atas lemahnya komitmen banyak negara dalam pertemuan WCPFC10 untuk melakukan tindakan nyata menyelamatkan tuna dari eksploitasi berlebih.

Lagi-lagi kompetisi dan ekspansi bisnis perikanan antar anggota WCPFC telah mengesampingkan pentingnya instrumen yang kuat dan mengikat dalam pemulihan stok perikanan.  Konsensus WCPFC10 tersebut juga berarti tidak memberikan ruang, kesempatan dan keadilan bagi nelayan skala kecil untuk memanfaatkan sumberdaya ikan secara berkelanjutan.

Upaya pengetatan aturan dan batasan jumlah armada (longline dan purse seines), pengaturan dan penggunaan rumpon (FADs) serta kuota tangkap, terutama untuk tuna mata besar (bigeye) dan jenis-jenis tuna tropis lainnya termasuk cakalang (skipjack) dan sirip kuning (yellowfin) berdasarkan anjuran komite ilmiah WCPFC, berujung pada ketidakjelasan upaya pengurangan kapasitas tangkap.

Sebagian besar negara-negara WCPFC, jelas masih enggan menjalankan sistem perikanan yang bertanggungjawab dan berkelanjutan. Sejumlah pemangku kepentingan, seperti Amerika Serikat, Uni Eropa dan Cina, bahkan ragu menurunkan kapasitas tangkap dan cenderung memilih agar mendiskusikan kembali sejumlah proposal pengaturan sampai dengan pertemuan puncak tahun depan (WCPC11) di Samoa.

Jepang, pada pertemuan WCPFC10 sempat dielukan sebagai reformis karena turut mengusung upaya pembaharuan pengaturan agar setiap negara dapat mengambil langkah nyata mengatasi kondisi penangkapan berlebih di kawasan Pasifik barat. Namun tetap saja tidak dapat disembunyikan, pada momentum yang sama, Jepang bersama Cina, Taiwan, Korea Selatan bahkan Filipina turut memainkan peran ‘pengamanan kepentingan’ antar sesama negara Asia, terutama terhadap Indonesia, mengingat  Jepang dan negara-negara tersebut memiliki kepentingan ekspansi bisnis perikanan yang besar di Indonesia.

Sekalipun demikian, Pertemuan Cairns juga patut diapresiasi dan dirayakan. Sambutan hangat terhadap bergabungnya Indonesia sebagai salah satu anggota WCPFC di Cairns merupakan signal kuat bahwa upaya pengelolaan perikanan regional Pasifik barat menjadi semakin penting dan kita masih punya harapan bahwa Indonesia dapat menjadi pelopor dan pendorong terwujudnya keteladanan perikanan di kawasan tersebut.

Untuk itu, Indonesia perlu segera berbenah! Langkah awal, yang perlu ditempuh pemerintah melalui  Kementerian Kelautan dan Perikanan  adalah mengevaluasi kriteria dan membenahi sistem perizinan kapal ikan di Indonesia.  Kedua, pada saat yang bersamaan, segera menyusun pembaharuan sistem dan menyelenggarakan pengkajian stok ikan nasional dengan mendukung dan mengoptimalkan kewenangan dan kerja-kerja dari Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas Kajiskan).

Sebagai tuan rumah pertemuan WCPFC12 di tahun 2015 mendatang, Indonesia perlu berbenah lebih serius serta mempersiapkan diri lebih baik sejak sekarang agar keadilan perikanan dapat diwujudkan dan pengelolaan sumber daya ikan yang bertanggungjawab dan mengarusutamakan pemenuhan kriteria lingkungan dan sosial dampaknya benar-benar dapat dinikmati oleh nelayan dan rakyat Indonesia.[]

Sumber: greenpeace.or.id

read more
Tajuk Lingkungan

Mangrove Cegah Bencana

Wilayah pesisir di provinsi Aceh mempunyai panjang garis pantai 1.660 km,dengan luas wilayah perairan laut seluas 295.370 km terdiri dari laut wilayah (perairan teritorial dan perairan kepulauan) 56.563 km dan zona ekonomi eksklusif (ZEE) 238.807 km. Terbayang begitu luasnya wilayah pesisir Aceh. Sebuah wilayah yang mengandung potensi begitu banyak keanekaragaman hayati.

Selain kekayaan, pesisir juga mempunyai fungsi yang penting dalam mencegah resiko kebencanaan. Misalnya fungsi hutan mangrove. Hutan mangrove merupakan sebuah sebutan untuk sekelompok tanaman yang biasa hidup di lahan basah kawasan pesisir. Bisa saja hutan tersebut terdiri dari tanaman bakau, pandan, nipah dan sebagainya.

Selain tanaman, hutan mangrove juga menjadi habitat berbagai hewan antara lain udang, kepiting, burung, ular, ikan, monyet, biawak dan sebagainya. Keaneka ragaman hayati ini menjadi sumber kehidupan baik bagi manusia maupun hewan-hewan itu sendiri. Namun sayangnya manusia mengeksploitasi hutan mangrove dengan sangat rakus.

Hutan mangrove sebenarnya juga menjadi benteng alam yang tangguh bagi daratan dari hempasan ombak kejam pantai. Hempasan ombak secara alami menyeret tanah pantai ke arah laut sehingga terjadi abrasi. Jadi bisa dibayangkan jika hutan mangrove berkurang atau hilang, maka laju kecepatan abrasi menjadi sangat cepat, jauh lebih cepat daripada yang bisa ditanggulangi oleh manusia sendiri.

Persoalan abrasi pantai sesungguhnya merupakan fenomena alam yang setiap tahun terjadi di berbagai daerah pesisir, terlebih pada musim pasang purnama tingkat pengikisan pantai biasanya terjadi secara besar besaran, bahkan bila masyarakat tidak waspada biasanya akan dapat mengancam harta benda dan jiwa. Ini menjadi alasan kuat betapa pentingnya menjaga kelestarian hutan mangrove. Bukan sekedar bagi hutan itu sendiri (an sich) namun juga bagi manusia sekitarnya.

Selain hutan mangrove, hutan rawa juga sangat berperan dalam mencegah atau mengurangi dampak bencana. Salah satu hutan rawa yang terancam musnah adalah hutan rawa Tripa. Rawa Tripa adalah satu dari tiga rawa gambut di Aceh – dua lagi adalah Rawa Singkil dan Rawa Kluet. Hamparan gambut berkedalaman lebih dari 10 meter ini terbentang sekira 63.228 hektare dan berada di dua kabupaten yaitu Nagan Raya dan Aceh Barat Daya.

Hutan rawa ini sedang mengalami ancaman kerusakan akibat ulah kejam manusia yang ingin merubah lahan menjadi berbagai perkebunan. Manusia yang hanya memikirkan kepentingan materil semata dalam waktu sesaat tanpa mempertimbangkan betapa pentingnya hutan rawa tersebut. Sebuah studi menyebutkan populasi orangutan yang hidup di rawa Tripa telah berkurang 80 persen. Ini artinya, sebuah rantai ekosistem telah terputus, yang mengakibatkan rantai-rantai ekosistem lainnya terancam. Saatnya bertindak.[m.nizar abdurrani]

 

read more
Ragam

Dukung Film Lingkungan “Hikayat dari Ujung Pesisir”

Dua sineas muda Aceh lolos ke kompetisi bergengsi Eagle Award Documentary Competition yang diselenggarakan oleh stasiun Metro TV, Cut Evida Diana dan Darang Melati beberapa waktu lalu. Karya film keduanya berjudul “Hikayat dari Ujung Pesisir” yang mengisahkan tentang kondisi memprihatinkan masyarakat pesisir dan perjuangan mereka dalam meraih masa depan mereka yang sangat bergantung pada laut. Film dokumenter lingkungan ini berdurasi 20 menit dan berlokasi di Pulau Bunta dan Ujung Pancu Aceh Besar.

Cut Ervida Diana kepada wartawan, Jumat (25/10/2013) mengatakan film dokumenter ini menyampaikan aspirasi masyarakat pesisir dan merespon isu-isu terkini tentang ke-Indonesian. “Ini juga menjadi catatan sejarah secara visual,” kata Cut Ervida Diana. Kompetisi ini merupakan ajang kompetisi dokumenter pemula bagi anak-anak kreatif dari kalangan mahasiswa.

Film dokumenter ini telah diputar di jaringan bioskop XXI di 10 kota besar di Indonesia dan akan di tayangkan pertama kali di Metro TV pada hari Senin tanggal 28 oktober 2013, pukul 21:30 WIB.

” Dukungan dari seluruh masyarakat Aceh sangat membantu agar film ini memenangkan nominasi film terfavorit di ajang Eagle Award,” kata Cut Evida. Ia memohon dukungan dari masyarakat Aceh dan para pecinta lingkungan.

Dukungan dapat diberikan  dengan mengirimkan SMS, ketik EA (spasi) HIKAYAT  kirim ke 9189.

Berikut profil singkat kedua pembuat film Hikayat dari Ujung Pesisir:

Cut Ervida Diana

Cut Ervida Diana, lahir di Sigli 31 Desember 1990, putri pertama dari pasangan Teuku Anwar dan Cut Darmawati. Mahasiswi FKIP Bahasa Inggris Universitas Syiah Kuala angakatan 2009 dan juga mahasiswi jurusan Syariah IAIN Arraniry Banda Aceh angkatan 2008. Ketertarikannya dalam hal lingkungan hidup membuat dia terlibat aktif mengikuti  sejumlah kegiatan dan even lingkungan di Aceh diantaranya KOPHI (Koalisi Pemuda Hijau Indonesia) 2012, BLP community (Bridging Leadership Program) 2010, dan ia merupakan koordinator Sahabat WALHI (SAWA) 2012-2013. selain terlibat dalam komunitas peduli lingkungan ia juga pengajar Bahasa Inggris pada siswa homeschooling dan siswa SMA.

Motivasinya mengikuti Eagle Award adalah mengaktualisasi diri untuk belajar dan berkarya  agar memberikan banyak manfaat terhadap seluruh masyarakat luas.

 

 

Darang Melati Z,

Darang Melati Z, lahir  di Banda Aceh 29 Februari 1992, anak kedua dari pasangan Zainuddin dan Cut Ubit. Mahasiswa FKIP Bahasa Inggris Universitas Syiah Kuala. Ketertarikannya terhadap isu lingkungan dan hal-hal sosial membuatnya ingin menjadi sineas muda. Dengan motto hidup “aku pasti bisa, kalo aku pikir aku bisa”, Ia menjadi orang yang selalu berusaha untuk mencapai apa keinginannya dan tujuannya yang ingin dicapai.

Motivasinya mengikuti Aagle adalah ketertarikannya akan film dokumenter, sehingga ia menganggap Eagle adalah ajang dimana bisa menjadi anak muda berprestasi.  ia mengganggap Eagle bisa menjadi tempat berkreasi dan memberi dampak positif bagi masyarakat banyak. [rel]

Sumber: eagleawards-doc.com

read more
1 2
Page 2 of 2