close

leuser

Ragam

Selidiki Gangguan Harimau Aceh Selatan, BKSDA Pasang Kamera Pemantau

Banda Aceh – Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh menyatakan masih mencari penyebab gangguan harimau sumatra (panthera tigris sumaterae) di kawasan Ladang Rimba, Kecamatan Trumon Tengah, Kabupaten Aceh Selatan.

“Kami masih mencari apa penyebabnya harimau tersebut keluar dari kawasan hutan hingga mendekati pemukiman penduduk di Aceh Selatan,” kata Kepala BKSDA Aceh Sapto Aji Prabowo di Banda Aceh, Rabu, (18/9/2019) seperti dilansir kantor berita Antara.

Gangguan harimau sumatra di Ladang Rimba, Trumon Tengah, terjadi Kamis (12/9/2019). Seekor sapi ternak warga ditemukan mati dengan kondisi tanpa badan. Sapi tersebut diduga dimangsa harimau sumatra.

Sapto Aji Prabowo mengatakan, pihaknya sudah mengirimkan pawang dari Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat, untuk membantu masyarakat dari sisi kearifan lokal.

Selain itu, tim BKSDA juga memasang sejumlah kamera pemantau guna memonitor gerak gerik harimau Sumatra tersebut. Serta berpatroli rutin di kawasan hutan lokasi gangguan harimau tersebut.

“Kami belum bisa memastikan penyebab gangguan harimau sumatra tersebut hingga saat ini. Kami terus mencari penyebabnya, mengapa harimau tersebut berada di kebun warga,” kata Sapto Aji Prabowo.

Kepala BKSDA Aceh itu mengatakan, ada beberapa kemungkinan mengapa harimau tersebut keluar dari kawasan hutan mencari mangsa. Kemungkinan pertama, harimau itu berjenis kelamin betina sedang melatih anaknya berburu.

“Kemungkinan kedua, membawa anaknya ke pinggir hutan menghindari serangan harimau jantan. Atau mungkin ada sebab lain. Inilah yang sedang kami cari,” ujar Sapto Aji Prabowo.

Terkait usulan menangkap harimau tersebut, Sapto Aji Prabowo menegaskan menangkap harimau malah akan mendatangkan masalah baru.

“Menangkap harimau tersebut merupakan langkah terakhir setelah diketahui apa penyebab satwa dilindungi tersebut memangsa ternak warga,” ungkap Sapto Aji Prabowo.

Ia mengimbau masyarakat untuk sementara waktu tidak ke kebun sendirian dan menghindari waktu lewat dari pukul lima petang berada di kebun.

“Kami juga mengimbau masyarakat tidak melepas ternak di kawasan hutan hingga diketahui penyebab gangguan harimau tersebut. Apalagi jarak lokasi gangguan sekitar dua kilometer dari pemukiman penduduk,” kata Sapto Aji Prabowo. []

Sumber: antaranews.com

read more
Flora Fauna

Ancaman Kepunahan Gajah Sumatera di Ekosistem Leuser

Tim investigasi lapangan Rainforest Action Network (RAN) telah mendokumentasikan bukti mengkhawatirkan pembukaan hutan baru pada Mei 2019 ini di beberapa lokasi hutan hujan terletak di bagian timur laut Ekosistem Leuser. Hutan yang dihancurkan tersebut terdapat konsentrasi keanekaragaman hayati yang diakui secara internasional. Secara khusus, hutan yang kaya ini adalah salah satu habitat paling berharga yang tersisa untuk gajah Sumatera yang terancam punah. Hutan yang digunduli tersebut merupakn rute migrasi penting yang menghubungkan wilayah hutan utuh yang lebih luas.

Pakar kehidupan satwa liar khawatir bahwa populasi regional gajah mungkin sudah lebih rendah dari yang diperlukan untuk mempertahankan populasi yang layak dalam jangka panjang. Mencegah kepunahan spesies ikonik ini bergantung pada penghentian deforestasi lebih lanjut dalam hutan hujan dataran rendah yang membentang dari Aceh Timur ke kabupaten tetangga di Aceh Utara, Aceh Tamiang dan melintasi perbatasan ke Taman Nasional Gunung Leuser di Sumatera Utara.

Kerusakan hutan yang sedang terjadi terjadi di lahan yang sebelumnya dialokasikan untuk tiga perusahaan perkebunan: PT Nia Yulided, PT Indo Alam dan PT Tualang Raya. Ketiga perusahaan tersebut dimiliki oleh pengusaha Aceh. PT Nia Yulided, perusahaan yang mendapatkan izin terbesar sejak Januari 2019, dimiliki oleh. Dedi Sartika, menantu Tarmizi A Karim, mantan pejabat sementara Gubernur Aceh.

Sementara jumlah pastinya tidak diketahui, International Union for the Conservation of Nature (IUCN) memperkirakan hanya sekitar 700-1000 gajah Sumatera yang tersisa di seluruh Sumatera, sementara sekitar 200 tergantung untuk bertahan hidup di daerah hutan hujan dataran rendah di mana pembukaan hutan baru ini telah didokumentasikan. Hewan-hewan yang tersisa ini semakin terisolasi dan terpisah satu sama lain dan terputus dari rute migrasi mereka yang sudah berabad-abad karena fragmentasi hutan dan serangan tanpa henti dari perkebunan kelapa sawit ke dalam wilayah hutan hujan dataran rendah yang menyusut.

Hilangnya lebih dari 70% habitat gajah Sumatra sejak 1985 telah menyebabkan meningkatnya konflik manusia-satwa liar yang terlalu sering mengakibatkan hewan-hewan agung ini dibunuh karena dianggap sebagai hama atau terperangkap dalam perangkap pemburu liar di sepanjang perkebunan kelapa sawit.

Gajah Sumatera menghadapi ancaman kepunahan yang serius dan sangat nyata dalam kehidupan kita. Hal yang sangat mendesak bahwa merek global yang menggunakan minyak sawit dalam produk mereka membangun sistem pemantauan dan penegakan hukum untuk menghentikan deforestasi oleh pemasok minyak sawit di Ekosistem Leuser dan hanya mengambil minyak kelapa sawit yang benar-benar dapat diverifikasi dan benar-benar bertanggung jawab.

Pembukaan hutan oleh PT Tualang Raya, 16 Mei 2019, Koordinat GPS: N 4 48 17, 50 E 97 29 57, 36 mengancam habitat gajah Sumatera | Foto: Paul Hilton

Pada Mei 2019, ribuan konsumen yang peduli menandatangani petisi yang menyerukan kepada Nestlé, Mars, Mondelēz, dan Hershey untuk menggunakan miliaran keuntungan yang dihasilkan dari permen dan cokelat membangun sistem pemantauan yang transparan dan proaktif untuk mengidentifikasi dan menghentikan deforestasi di Ekosistem Leuser. Nestlé membangun sistem pemantauan berbasis satelit tetapi gagal menggunakan alat barunya untuk menghentikan hilangnya hutan baru oleh para pelaku yang dikenal ini. Mondelēz memilih meminta pemasoknya untuk memetakan dan memantau perkebunan untuk deforestasi, alih-alih membangun sistem pemantauan transparannya sendiri.

Paling mengejutkan adalah, meskipun mengetahui tentang keadaan darurat gajah ini selama lima tahun, tidak ada satu pun perusahaan makanan kecil yang membahas hubungannya dengan perusakan hutan hujan dataran rendah Ekosistem Leuser. Demi gajah Sumatra terakhir, ini perlu diubah.

Intervensi pemerintah juga diperlukan untuk melindungi dan menghubungkan kembali habitat untuk kawanan gajah Sumatra terakhir. Pemerintah Indonesia baru-baru ini mengumumkan komitmennya untuk menetapkan moratorium permanen atas pembukaan hutan primer di seluruh Indonesia. Pengumuman ini merupakan langkah positif yang menunjukkan komitmennya untuk melindungi kawasan hutan yang penting. Semakin banyak harapan bahwa pemerintah provinsi dan pusat dapat bekerja bersama untuk memberikan perlindungan hukum bagi hutan primer yang terancam oleh konversi di dalam Ekosistem Leuser.

Pada bulan September 2018, instruksi Presiden Presiden Joko Widodo diberlakukan untuk menghentikan pembukaan hutan untuk sawit dan penerbitan izin baru, dan melakukan tinjauan terhadap izin sawit yang ada. Bukti terbaru pembukaan lahan menunjukkan perlunya intervensi pemerintah untuk menegakkan moratorium, mencabut izin PT Nia Yulided sebagai sanksi karena melanggar perintah presiden untuk menghentikan pembukaan, dan mendapatkan komitmen dari PT Indo Alam dan PT. Tualang Raya untuk melindungi kawasan hutan di mana konsesi kelapa sawit mereka diketahui tumpang tindih dengan habitat gajah yang kritis.[]

Sumber: www.ran.org

read more
Flora Fauna

Membangun Suaka Baru bagi Badak Sumatera di Ekosistem Leuser

Jakarta – Pemerintah Indonesia berencana untuk membangun tempat perlindungan ketiga untuk penangkaran badak Sumatera, di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) Aceh.

“Ini adalah prioritas utama dalam rencana tindakan darurat kami untuk menyelamatkan badak Sumatera,” kata Kepala Konservasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Wiratno di Jakarta pekan lalu. “Kami segera mendiskusikan rencana ini dengan pemerintah Aceh untuk mendapatkan dukungan mereka,”pungkasnya.

Menurut Rudi Putra, Direktur Leuser Conservation Forum, yang terlibat dalam rencana tersebut, saat ini mereka sedang mencari lokasi yang cocok dengan rencana tersebut.

“Rencananya adalah menyelesaikan fasilitas-fasilitas tersebut pada tahun 2021,” kata Rudi Saputra dalam email ke Mongabay. Dia menambahkan bahwa sekitar lima ekor badak akan ditangkap dari alam liar di Aceh dan dipindahkan ke tempat perlindungan untuk memulai program.

Indonesia saat ini memiliki dua pusat penangkaran dengan total delapan badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis): satu di Taman Nasional Way Kambas, Sumatera, yang memiliki tujuh badak, dan satu di hutan Kelian, di Kalimantan Indonesia, yang merupakan rumah bagi badak tunggal.

Rencana untuk membuka suaka di KEL dijelaskan dalam sebuah keputusan yang dikeluarkan oleh Wiratno Desember lalu, yang juga membahas proposal meningkatkan kapasitas suaka Way Kambas; bermitra dengan Malaysia, yang memiliki induk badak untuk pembuahan; dan meningkatkan upaya menangkap lebih banyak badak dari Kalimantan dan menempatkannya di suaka Kelian.

Para ahli badak dari seluruh dunia sepakat pada tahun 2017 bahwa penangkaran badak Sumatera, dari Sumatra dan Kalimantan, adalah satu-satunya cara yang tersisa untuk menyelamatkan spesies, diyakini berjumlah antara 30 dan 100 individu. Inisiatif baru ini mengikuti upaya serupa pada 1980-an yang menangkap badak Sumatera untuk pembiakan. Program itu, bagaimanapun, bubar satu dekade kemudian setelah lebih dari setengah hewan mati tanpa ada anak badak yang dilahirkan. Tetapi serangkaian kelahiran badak yang sukses di Amerika Serikat dan Indonesia, dan konsensus yang berkembang bahwa spesies akan punah tanpa intervensi, telah meletakkan dasar bagi upaya penangkaran tawanan terbaru.

Rudi mengatakan pendirian tempat perlindungan baru akan meningkatkan program penangkaran dengan mengurangi risiko terkonsentrasinya hampir semua badak di Way Kambas.

“Menempatkan semua badak yang ditangkap di satu tempat (Way Kambas) bukanlah solusi yang baik untuk keberlanjutan populasi. Jika ada penyebaran penyakit secara tiba-tiba, itu mungkin membunuh semua badak di sana, “katanya. “Mengembangkan tiga lokasi dengan manajemen terpadu akan lebih baik untuk konservasi badak.”

Banyak ahli menyebutkan Leuser sebagai habitat yang paling menjanjikan bagi badak liar Sumatera, mengingat KEL merupakan salah satu habitat terbesar bagi populasi spesies tersebut. Foto-foto perangkap kamera baru-baru ini dari ekosistem yang diambil oleh para konservasionis mengidentifikasi setidaknya 12 individu badak. Namun, daerah pegunungan masih kurang dipahami oleh para konservasionis, dan perburuan di sana dianggap lebih buruk daripada di tempat lain.

“Keamanan untuk suaka ini harus seketat itu di Way Kambas,” kata Wiratno.

Kelompok konservasi badak sepakat memberikan dukungan finansial dan teknis untuk membangun fasilitas tersebut.

“Dukungan kami untuk dan keterlibatan dalam proyek ini adalah karena keyakinan kami bahwa ini harus menjadi prioritas untuk menyelamatkan badak Sumatra dari kepunahan,” kata Wakil Direktur Yayasan Badak Internasional, CeCe Sieffert.

“Tujuannya adalah untuk menumbuhkan populasi badak sehingga hewan dapat dilepaskan kembali ke alam liar untuk menambah populasi liar,” kata Sieffert.

BKSDA telah menyerukan kepada semua pemangku kepentingan untuk mendukung pendirian tempat perlindungan Leuser. “Menyatukan badak dari populasi kecil bersama adalah penting untuk membantu mereka berkembang biak,” kata kepala BKSDA Sapto Aji Prabowo. “Kalau tidak, populasi ini akan punah karena mereka tidak berkembang biak.”

Rudi mengatakan program itu akan membutuhkan banyak dana, sumber daya manusia, dan waktu. “Kita tidak hanya berpacu melawan waktu, kita juga berpacu melawan pemburu liar yang setiap saat dapat membunuh badak,” katanya.

“Kondisi badak sumatera sangat kritis, itu sebabnya langkah radikal harus diambil, seperti menangkap dan menyelamatkan individu yang tersisa,” tambahnya.

Badak Sumatra pernah ditemukan di Asia Tenggara, dari Himalaya di Bhutan dan India, ke Cina selatan dan menyusuri Semenanjung Melayu. Tetapi spesies ini terancam punah akibat serangkaian faktor, dari perburuan liar hingga hilangnya habitat dan jumlah kelahiran yang tidak mencukupi.

Pada tahun 1986, sama spesies tersebut dinyatakan terancam punah dalam Daftar Merah IUCN. Populasi bada diperkirakan antara 425 – 800 individu. Sepuluh tahun kemudian, perkiraan itu turun menjadi 400 dan badak Sumatera dinaikkan statusnya menjadi terancam punah. Pada tahun 2015 dinyatakan punah di alam liar di Malaysia, hanya Indonesia sebagai satu-satunya negara dengan populasi spesies liar yang diketahui.[]

Sumber: mongabay.com

read more
Pejuang Lingkungan

Sang ‘Profesor’ Ahli Ribuan Spesies Flora Fauna dari Ketambe

Ditemui di stasiun penelitian Soraya di pedalaman hutan Leuser Aceh, Ibrahim yang dipanggil “Prof” oleh para ranger dan staf di stasiun itu, memang tampak seperti layaknya seorang profesor.

Berpakaian rapi, kaos lengan panjang berwarna hitam yang adalah seragam Forum Konservasi Leuser — LSM yang mengelola stasiun penelitian itu — disematkan ke dalam celana cargo-nya yang diikat dengan gesper.

Ia pun berpengetahuan luas. Semua pertanyaan seputar Leuser dapat dijawabnya. Mulut saya pun langsung menganga begitu mengetahui bahwa Ibrahim hanya seorang lulusan sekolah dasar.

“Beliau ini cukup ahli dalam mengidentifikasi satwa dan juga tumbuh-tumbuhan. Beliau cukup detail dalam memberikan petunjuk mengenai satwa tertentu atau tumbuhan tertentu,” ungkap Ridha Abdullah, seorang staf Forum Konservasi Leuser.

Ridha menambahkan, “Gelar profesor itu sebagai bentuk penghargaan kepada beliau dari mahasiswa ataupun dosen-dosen yang pernah beliau bimbing di lapangan”.

Ibrahim menguasai lebih dari seribu spesies tanaman dan ratusan spesies hewan. Berdasarkan pengamatan saya, ia memiliki ingatan fotografis. Terbukti saat kami masuk ke hutan di sekitar stasiun penelitian.

Saat dia berhenti di tengah hutan untuk mengamati sebuah burung dengan teropongnya, saya menanyakan apa yang sedang dilihatnya.

“Burung tepus gunung. Nanti di kamp bisa kita lihat gambarnya di nomor 595,” jawabnya.

Namun bukan sekali itu saja, beberapa kali saya ‘menguji keahliannya’ selama berada di dalam hutan, kadang saya menanyakan jenis pohon, kadang hewan yang lewat, bahkan kotoran hewan pun dapat diidentifikasinya.

Ibrahim mulai tertarik dengan fenologi – ilmu yang mempelajari pengaruh lingkungan sekitar terhadap organisme dan sebaliknya – sejak diajak menjadi asisten peneliti di Ketambe, Aceh pada 1986.

Sampai sekarang, ia telah meneliti perilaku banyak satwa liar, termasuk siamang, gibbon dan orangutan.

“Pertamanya saya bingung juga untuk apa diikuti binatang ini. Lama kelamaan melihat perilakunya itu jadi tertarik juga,” kisahnya.

Leuser kaya dengan hutan primer yang menjadi habitat satwa langka, namun sayangnya luasan hutan itu dengan cepat tergerus akibat alih fungsi lahan menjadi ladang warga, perkebunan sawit atau pertambangan.

Menurutnya, kerusakan yang terjadi di Leuser sangat drastis sejak ia pertama kali masuk ke hutan pada 1993.

“Orangutan itu hampir 50% hilang, akibat lahannya tergangggu, kehidupannya terancam, ada yang menangkap dan ada yang membunuh,

“Kalau harimau pada 90-an jumlahnya mencapai 500-an tapi sekarang ini sudah sangat rentan, bahkan rangkong gading itu pun sudah sulit kita mendengar suaranya pun. Jangankan melihat. Kalau dulu setiap kita pergi pinggir ladang saja pasti kedengaran suaranya. Sekarang sudah susah untuk dengar suara saja,”ujarnya

“Suara burung lainnya juga seperti murai batu, biasanya di pinggir ladang kita banyak murai baru, paginya berkicau kita dengar, sekarang sudah tak ada lagi.”

Ditanyakan mengenai apa yang bisa dilakukan untuk memperlambat kerusakan di Leuser, Ibrahim menjawab: “Kalau pemerintah bisa fokus untuk memperhatikan kesejahteraan masyarakat, bisa memberikan pekerjaan lain, dan kemudian buatlah aturan yang jelas.”

Setibanya di kamp, saya pun langsung mencari buku LIPI: seri panduan lapangan: burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan.

Dan di nomor 595 memang ada tercetak “Tepus merbah sampah”.

“Burungnya warna punggungnya coklat tua, dagunya abu-abu. Dan bagian bawahnya agak kuning pucat. Dia sukanya di semak-semak, di tempat rendahan,” menerangkan karakteristik burung yang tak tertulis di buku itu. Tampaknya gelar profesor tak resmi memang layak diberikan ke Ibrahim.

Karena bagaimanapun, ilmu bukan hanya diukur dengan secarik kertas dan waktu yang dihabiskan di institusi pendidikan.

Ibrahim pun berharap Leuser dapat dipertahankan sebagai hutan primer terbaik di Asia, yang penting bagi kemaslahatan dunia. []

Sumber: bbc.com

read more
Hutan

Hingga April 2019, Total 246 Hektar Hutan Hujan Leuser Hancur

Banda Aceh – Data lapangan terbaru menunjukkan terjadinya kerusakan habitat akibat pembukaan hutan hujan di dataran rendah timur laut Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang meningkat tajam dalam bulan-bulan pertama tahun 2019 ini. Citra satelit dan investigasi lapangan yang dilakukan oleh Rainforest Action Network (RAN) ditemukan delapan dari sembilan perusahaan perkebunan kelapa sawit di Aceh Timur telah melakukan pembukaan lahan dengan secara aktif dengan menebangi hutan di dalam konsesi mereka yang berada di dalam hutan hujan dataran rendah KEL. Sekitar 187 hektar lahan dibuka mulai bulan Januari hingga Maret 2019 menjadikan total 246 hektar hutan hujan rusak hingga April 2019.

“Kita perlu menempatkan kondisi ini ke dalam konteks sekarang: jumlah karbon dunia baru saja tercatat mencapai 412 ppm untuk pertama kalinya dalam sejarah,” ungkap Direktur Kebijakan RAN, Gemma Tillack.

Citra satelit pembukaan lahan oleh PT. Nia Yulided, April 2019 | Foto: RAN

“Laporan IPBES dan IPCC baru-baru ini memperingatkan bahwa kita hanya punya sedikit waktu untuk menghindari dampak terburuk dari perubahan iklim dan krisis keanekaragaman hayati. Perusahaan dan merek-merek dunia semuanya hanya mengadopsi kebijakan mereka di atas kertas, namun hutan hujan tropis dengan tingkat keanekaragaman hayati tinggi dan berfungsi sebagai paru-paru dunia seperti Kawasan Ekosistem Leuser, terus terdegradasi. Kita perlu segera bertindak dan mengubah cara kita mengelola hutan, karena kita benar-benar tidak punya waktu lagi untuk disia-siakan,”lanjutnya.

Selebriti dunia baru-baru ini juga melakukan kampanye global untuk memperkenalkan Ekosistem Leuser kepada dunia sebagai bagian dari inisiatif #ThereSheGrows, yang diusung oleh desainer fashion terkenal Stella McCartney bersama dengan LSM internasional Canopy. Gwyneth Paltrow, Leonardo DiCaprio, Oprah, Justin Timberlake, Pink, dan Jimmy Fallon juga ikut berpartisipasi melalui akun instagram mereka.

Hutan dataran rendah Kawasan Ekosistem Leuser berperan penting secara global dan menjadi rumah berharga bagi satwa liar. Hutan ini sangat kaya akan keanekaragaman hayati yang unik dan merupakan habitat inti yang masih tersisa bagi spesies kunci yang terancam punah atau berisiko tinggi untuk punah, termasuk diantaranya orangutan, gajah, dan harimau Sumatra.

Data satelit dari Januari hingga April 2019 menunjukkan bahwa delapan perusahaan kelapa sawit telah melanggar moratorium pemerintah Indonesia tentang pembukaan hutan untuk minyak kelapa sawit dan kebijakan ‘Nol Deforestasi’ dari perusahaan-perusahaan makanan ringan.

Kerugian ekologi yang signifikan telah terjadi di enam perusahaan perkebunan yang membuka hutan: PT. Nia Yulided (78 ha), PT. Putra Kurnia (30 ha), PT. Tualang Raya (45 ha), PT. Indo Alam (18 ha), PT. Tegas Nusantara (10 ha) dan perusahaan perkebunan kelapa sawit milik negara PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) I Blang Tualang (10 ha). Sedangkan data satelit dari bulan April 2019 menunjukkan empat perusahaan kelapa sawit terus membuka hutan; PT. Nia Yulided (dari 56 ha meningkat jadi 78 ha), PT. Indo Alam (dari 13 ha meningkat jadi 18 ha), PT. Putri Kurnia (dari 25 ha meningkat jadi 30 ha), dan PT. Tualang Raya (dari 17 ha meningkat jadi 44 ha).

Perusahaan minyak sawit milik negara PTPN I Blang Tualang telah memproduksi TBS yang memasok pada pabrik kelapa sawit untuk pasar dan merek-merek global, termasuk diantaranya PepsiCo, Unilever, Nestle, Mondelez, Mars, Hershey’s, General Mills dan Kellogg’s –– seluruh perusahaan ini memiliki kebijakan yang melarang perusahaan-perusahaan untuk memasok minyak kelapa sawit dari lahan deforestasi. Sedangkan perusahaan perkebunan lainnya membuka hutan untuk perkebunan kelapa sawit baru –– memastikan pasokan minyak kelapa sawit di masa depan bisa tumbuh dengan mengorbankan hutan kritis.

RAN pertama kali mengungkap perusahaan-perusahaan yang menebangi hutan hujan dataran rendah yang kritis ini pada November 2015, dan hingga saat ini merek-merek dunia ini telah gagal memantau dan melakukan intervensi untuk menghentikan laju kerusakan hutan hujan tropis.

“Fakta bahwa perusahaan kelapa sawit tidak sadar, atau tidak patuh terhadap kebijakan ‘Nol Deforestasi’ telah menunjukkan bahwa merek-merek dunia telah gagal untuk menerapkan komitmen mereka secara memadai pada tempat-tempat yang paling penting untuk dilindungi –– salah satunya mencegah ekspansi kelapa sawit di lanskap hutan kritis Kawasan Ekosistem Leuser,” Gemma menegaskan.[rel]

read more
Flora Fauna

Minyak Sawit Ancam Keberadaan Orangutan Sumatra

Banda Aceh – Hutan hujan Leuser di Indonesia adalah rumah bagi beberapa spesies paling terancam di dunia. Ini adalah area hutan hujan terbesar ketiga di dunia, dan rumah bagi Harimau Sumatra, Badak Jawa, gajah Sumatra dan orangutan Sumatra, hewan-hewan yang terancam punah.

Tetapi penggundulan hutan menyebabkan habitat orangutan Sumatra menyusut dengan cepat – menjadikan spesies ini berada dalam ancaman yang paling besar.

Dalam 20 tahun terakhir, lebih dari 110.000 hektar hutan hujan Leuser telah dihancurkan – kira-kira setara dengan 4,2 juta lapangan tenis, BBC melaporkan.

Industri minyak kelapa sawit yang sedang tumbuh di Indonesia, proyek pertanian dan penebangan hutan lainnya, sebagian besar berada di belakang laju deforestasi yang cepat di daerah tersebut.

Namun, di Indonesia, orangutan juga terancam ditembak atau dijual sebagai hewan peliharaan. Para petani lokal melihat mereka sebagai hama dan menembak mereka dengan senapan angin. BBC pernah melaporkan dalam seri-nya yang berjudul “Leuser: Perjuangan Untuk Hutan Hujan”.

Ada kasus dimana seekor orangutan jantan ditembak 62 kali dengan senapan angin – sebelah matanya terkena pukulan sekali dan sebelah lagi dipukul dua kali.

“Jadi dia benar-benar buta. Dan kita tidak akan pernah bisa melepaskannya ke alam liar lagi. Dia tidak akan pernah bebas,”kata Direktur Program Konservasi Orangutan Sumatra, Dr Ian Singleton kepada BBC.

“Perkebunan akan mengatakan ‘orangutan keluar dari hutan memakan bibit kelapa sawit kami, tetapi mereka sebenarnya orangutan memakan bibit kelapa sawit dengan cara yang sama seperti pelaut yang terdampar kapal akan memakan sepatu atau ikat pinggangnya.

“Ini bukan makanan, ini hanya satu-satunya yang bisa mereka coba dan bertahan hidup di sana.”

Tujuan Program Konservasi Orangutan Sumatra adalah mencoba dan memperlambat penurunan jumlah orangutan Sumatra “sebanyak yang kita bisa” sehingga ketika Indonesia berada di tempat di mana ia dapat lebih melindungi hutan yang tersisa, masih akan ada beberapa orangutan dan spesies langka lainnya yang tersisa, kata Singleton kepada BBC.

Sumber: www.stuff.co.nz

read more
Flora Fauna

Ketimbang Boikot Sawit, Paksa Perusahaan Terapkan Sawit Berkelanjutan

Upaya mengendalikan dampak merusak dari produksi minyak kelapa sawit berjalan lambat selama bertahun-tahun, terkadang nyaris tanpa harapan. Tetapi mereka yang berjuang melawan dampak buruk minyak sawit bersikeras pengendalian kerusakan bisa dilakukan.

Misalnya saja Amy Robbins dari Kebun Binatang Auckland Selandia Baru yang sadar betapa sulitnya mengisolasi “minyak kelapa sawit yang buruk”.

Robbins, pemimpin tim primata kebun binatang, telah bekerja menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk membersihkan lebih dari setengah produk di rak supermarket dari industri yang memasok bahan-bahan minyak sawit.

Kecintaan perempuan ini pada orangutan – hewan yang terancam punah disebabkan oleh perkebunan dan produksi kelapa sawit – pertama kali membawanya berhadapan langsung dengan masalah sawit di Indonesia hampir 20 tahun yang lalu.

“Saya telah bekerja dengan sejumlah orangutan yang sengaja ditembak di mata hingga buta karena mereka dipandang sebagai hama atau mereka terlihat sedang menyerbu perkebunan kelapa sawit seseorang,” kata Robbins.

“Saya pernah bekerja dengan bayi yang hidungnya dibacok, atau mereka terserang meningitis dan sekarang mengalami cedera otak permanen karena mereka dipelihara sebagai hewan peliharaan seseorang.”

Tidak ada cara bagi hewan dalam kondisi ini untuk kembali ke alam liar, mereka secara alami dirampas kehidupannya.

“Saya berteman dengan komunitas-komunitas ini yang telah dipaksa bekerja di pabrik kelapa sawit dengan bayaran beberapa puluh ribu rupiah sehari,” kata Robbins. “Ini benar-benar kerja keras, dan kemiskinan di komunitas tepi hutan ini luar biasa dan tidak ada alternatif lain.”

“Orang-orang di komunitas itu memberi tahu saya, yang mereka tidak mau lakukan dan mereka tahu itu buruk bagi lingkungan, tetapi tidak ada alternatif lain untuk pekerjaan di daerah itu.”

Tapi, ada perkembangan, kata Robbins, dan perlahan-lahan, proyek demi proyek – perubahan terjadi. Kerjanya di sejumlah proyek konservasi di Indonesia telah menghasilkan “kemenangan” dan terobosan selama bertahun-tahun, seperti peningkatan kesadaran melalui industri ekowisata yang berkembang di Indonesia dan mendukung pekerja serta keluarga bekerja di luar pabrik minyak kelapa sawit.

Robbin sangat bangga dengan dampak yang ditimbulkan oleh Proyek Ranger Sumatera. Inisiatif konservasi, yang didirikan Robbins dan Auckland Zoo membantu mendanai, proyek yang fokuskan pada perlindungan ekosistem Leuser.

“Kami mempekerjakan tim penjaga untuk patroli di zona penyangga di mana ada banyak kebun sawit. Mereka membantu mengurangi konflik manusia-satwa liar dan kejahatan terhadap satwa liar, dan banyak dari mereka dulunya bekerja di kelapa sawit atau pemburu liar dan penebang liar. “

Di Selandia Baru, Robbins adalah bagian integral dari kampanye Kebun Binatang Auckland yang mengadvokasi pelabelan wajib minyak sawit dalam produk. Saat ini, sering terdaftar tanpa pandang bulu sebagai “minyak sayur” pada label bahan minyak sawit. Itu tidak cukup baik karena menyulitkan konsumen untuk mendukung produk dari perusahaan yang menggunakan, atau mencoba menggunakan, minyak kelapa sawit yang diproduksi secara berkelanjutan, katanya.

Organisasi seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) juga menyediakan proses sertifikasi yang membantu perusahaan menunjukkan seberapa transparan dan berkelanjutan rantai pasokan minyak sawitnya. Namun, seperti yang ditunjukkan Robbins, tanpa langkah awal pelabelan minyak sawit pada produk, konsumen tidak memiliki pilihan untuk mencari produk dan perusahaan yang menggunakan minyak sawit berkelanjutan.

Diskusi dengan Food Standards Australia New Zealand (NZ) tentang wajib pelabelan sedang berlangsung, katanya. Khususnya, jajak pendapat Consumer NZ menunjukkan hampir 70% orang mendukung wajib pelabelan tahun lalu. Polling independen di puncak kampanye Kebun Binatang Auckland pada tahun 2017 menempatkan angka ini di 92%. Untuk saat ini, Robbins mendorong konsumen untuk menjadi lebih sadar memilih minyak ketika belanja di supermarket mereka.

“Orang harus mendukung perusahaan yang mencoba membuat perbedaan, yang menggunakan minyak kelapa sawit berkelanjutan dan yang memiliki logo RSPO pada produk mereka. Hubungi pabrikan dan tanyakan kepada mereka dari mana mereka mendapatkan minyak kelapa sawit mereka dan jika mereka dapat menunjukkan bahwa mereka adalah anggota RSPO, itu bagus, “kata Robbins.

Dia juga merekomendasikan alat scorecard World Wildlife Fund untuk merek. Ini menilai perusahaan berdasarkan keberlanjutan minyak sawit yang digunakannya.

“Meskipun tidak selalu mencakup produk yang kami miliki di Selandia Baru, sering kali Anda dapat melihat apakah itu adalah perusahaan induk dari produk yang Anda gunakan dan mendapatkan informasi tentang rantai pasokan minyak sawitnya dengan cara itu.”

“Kebun Binatang Auckland pertama kali memulai kampanye di awal hingga pertengahan 2000-an yang disebut Don’t Palm Us Off. Saat itu, fokusnya adalah memboikot minyak kelapa sawit, berhenti menggunakan minyak kelapa sawit dan mengurangi penggunaan minyak sawit Anda”.

“Namun, ada banyak pengembangan dan banyak penelitian yang dilakukan dalam industri itu selama 10 hingga 15 tahun terakhir, dan secara luas didokumentasikan bahwa boikot akan memiliki efek sebaliknya, atau tidak memiliki efek sama sekali pada permintaan kelapa sawit minyak.

“Itu karena populasi manusia meningkat dan permintaan minyak nabati yang dapat dimakan, terutama yang serba guna dan di mana-mana seperti minyak sawit, tinggi – benar-benar tidak ada yang membandingkan,” katanya.

Kebun Binatang Auckland telah mengubah posisinya untuk mengakui boikot keras terhadap minyak kelapa sawit bukanlah tempat yang pada akhirnya positif. Sekarang mendukung penggunaan minyak sawit berkelanjutan.[]

Sumber: thespinoff.co.nz

read more
Flora FaunaKebijakan Lingkungan

BKSDA Minta Polisi Tertibkan Penggunaan Senapan Angin

Banda Aceh – Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh meminta Polda Aceh mengusut tuntas pelaku penembakan orangutan, serta melakukan pengamanan senapan angin dan sosilisasi Perka 2018.

BKSDA telah berkoordinasi dengan Kapolda terkait dengan penggunaan senjata ilegal karena di Perka 2018 telah jelas bahwa harus ada ijin untuk kepentingan olahraga.

“Dirjen juga sudah menandatangani surat untuk ke Polda untuk pengamanan senapan angin dan sosilisasi Perka 2018. Dukungan Polda untuk mendukung pengungkapan kasus ini responnya sangat bagus,” kata Kepala BKSDA Aceh, Sapto Aji Prabowo kepada Greenjournalist di Banda Aceh. Jumat, (15/03/2019).

“Jadi hari ini sudah mulai dihadirkan empat penyidik ke Medan untuk melihat kondisi Hope di pusat rehabilitasi, dan saya berharap kasus ini tidak terlalu lama bisa diungkap siapa pelakunya,” ungkapnya.

Populasi orang utan di Indonesia ada 13.700 individu, di Aceh tidak dapat dipastikan jumlahnya karena pergerakannya dari Aceh ke Sumut. Namun jika dilihat dari konversi habitat dan kasus-kasus kematian dikhawatirkan populasinya sangat terancam.

Sapto juga mengatakan kondisi terakhir Hope Orangutan yang ditembak dengan 74 butir peluru yang bersarang di tubuhnya berdasarkan informasi dari dokter rehabilitasi tadi pagi, sudah mulai membaik.

“Nafsu makannya sudah bagus, sudah mau makan banyak, dan sudah berusaha untuk bergerak, Meskipun tim dokter membatasi pergerakannya karena kalau tidak makin parah luka yang ada di bahu karena patah tulang mencuat keluar,” ujar Sapto.

“Patah tulang dalam beberapa hari ini akan dioperasi segera untuk disambungkan kembali karena kalau tidak akan membahayakan tulang iga yang akan mempengaruhi paru-paru,” jelasnya.

Dari 74 butir peluru baru 7 butir yang dikeluarkan karena dilihat dari kondisi Orangutan sendiri jika semua dikeluarkan sekaligus membahayakan, karena akan banyak luka ditubuhnya. Jadi, dokter menunda pengangkatan peluru tersebut dan menunggu kondisi yang bagus.

“Itupun nanti yang diangkat peluru-peluru yang tidak terlalu dalam, yang dekat dengan kulit. Kalau peluru yang dalam, tidak diangkat dulu selama tidak membahayakan organ vital,” tutupnya.[fat]

read more
1 2 3 7
Page 1 of 7