close

leuseur

Green Style

Gerakan “Love the Leuser Ecosystem” Sedot Perhatian Dunia untuk Hutan Leuser

Jakarta/Banda Aceh – Hutan Amazon, Great Barrier Reef, Grand Canyon, dan sekarang Kawasan Ekosistem Leuser. Sebuah gerakan global yang melibatkan LSM lokal dan internasional dan bergabung dengan seniman grafis terkenal Asher Jay, fotografer peraih penghargaan Paul Hilton, serta aktor dan aktivis Leonardo DiCaprio untuk membawa perhatian internasional pada Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), suatu kawasan di tepi utara Sumatra.

Mulai dari komunitas lokal, ahli biologi satwa ternama, konservasionis hutan, aktivis hak asasi manusia dan pejuang perubahan iklim mengatakan bahwa sudah waktunya bagi KEL untuk mendapatkan pengakuan sebagai prioritas konservasi global. Mereka kemudian menggunakan media seni grafis, fotografi, video dan realitas maya yang disebarkan melalui media sosial dan tradisional untuk mengangkat profil dari lanskap KEL yang unik, agar para pelaku industri berusaha untuk tidak menghancurkan kawasan ini dan menerima resiko reputasi sebagai penyebab kerusakan yang terjadi di KEL.

Hutan hujan seluas 2,6 juta hektar yang membentang di KEL menjadi salah satu yang terluas di Asia Tenggara, dan menjadi kawasan terakhir di dunia dimana orangutan, gajah, harimau, dan badak hidup bersama di alam bebas. Para ahli satwa juga telah memperingatkan bahwa empat jenis satwa tersebut kini terancam punah akan punah selamanya jika hutan yang tersisa di KEL ini hancur.

KEL merupakan ekosistem bersejarah yang dikenal oleh ilmu pengetahuan. Kawasan ini telah mengalami ribuan tahun evolusi yang tak terputus hingga menghasilkan salah satu konsentrasi keanekaragaman hayati tertinggi. Ekosistem ini kaya flora dan fauna, termasuk setidaknya 105 jenis mamalia, 386 jenis burung, 95 jenis reptil dan amfibi dan 8.500 spesies tanaman. diantaranya seperti Thomas Leaf Monkey, atau dikenal sebagai ‘Monyet Kedih,’ merupakan spesies endemik yang tidak dapat ditemukan di tempat lain.

KEL membentang diantara dua provinsi di Sumatra yaitu Aceh dan Sumatera Utara. Baru-baru ini Aceh telah mengangkat kembali mantan gubernur Irwandi Yusuf, yang terkenal dengan julukannya sebagai ‘Gubernur hijau’, beberapa pihak sangat berharap agar pada era kepemimpinan politik baru ini Irwandi akan memprioritaskan usaha konservasi Kawasan Ekosistem Leuser pada tingkat yang lebih tinggi dibandingkan beberapa tahun-tahun terakhir.

Meskipun sekitar sepertiga dari wilayah KEL ditunjuk sebagai Taman Nasional Gunung Leuser dan telah menjadi Situs Warisan Dunia UNESCO, namun sebetulnya masih banyak wilayah KEL dengan nilai keanekaragaman hayati, hutan hujan dataran rendah dan lahan gambut yang kaya berada di luar batas-batas taman nasional.

Jutaan orang yang tinggal diwilayah tersebut bergantung pada sungai-sungai bersih yang berasal dari KEL untuk air minum, melindungi dari banjir, dan irigasi bagi mata pencaharian masyarakat yang sebagian besar hidup dari pertanian. Sebuah gerakan konservasi lokal juga tengah berkembang dengan memasukkan upaya politik, ilmiah dan hukum yang kuat bagi warga yang tinggal di wilayah ini. Usaha tersebut dilakukan dengan memberikan advokasi untuk perlindungan dan strategi pertumbuhan hijau untuk pembangunan.

KEL muncul dalam film dokumenter Leonardo DiCaprio yang berjudul Before the Flood sebagai daerah yang berfungsi penting untuk melindungi keseimbangan iklim dunia, film ini kemudian menjadi film dokumenter yang paling banyak ditonton dalam sejarah. Selain dijuluki sebagai ‘ibukota orangutan dunia’, KEL juga merupakan rumah bagi tiga rawa gambut utama yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan karbon paling kaya di bumi. Hutan-hutan rawa gambut yang basah menangkap sejumlah besar karbon dari atmosfer bumi dan menyimpannya dengan aman di bawah tanah.

Sayangnya, meskipun ilegal, banyak lahan gambut ini dikeringkan dan dibakar untuk dijadikan industri perkebunan kelapa sawit. Ketika ini terjadi, polusi karbon dalam jumlah besar dilepaskan ke udara. Peristiwa kebakaran terakhir diperkirakan telah menyebabkan 100.000 kematian di seluruh Asia Tenggara. Kebakaran hutan yang terjadi di puncak tahun 2015 telah membuat Indonesia melepaskan polusi karbon yang sama dengan jumlah polusi dari seluruh gabungan kegiatan ekonomi AS setiap harinya.[rel]

read more
Green Style

UNESCO Dorong Aceh Dirikan Badan Pengelola Leuser

Takengon – Komite Nasional UNESCO dalam Man and the Biosphere Programme (MAB) mendorong pemerintah Provinsi Aceh dan Sumatera Utara untuk segera menetapkan lembaga Cagar Biosfer Gunung Leuser  untuk mempromosikan Sustainable Development Goals (SDGs) dalam perspektif lingkungan.

“Kami berharap Pemerintah Aceh dan Sumatera Utara segera membentuk lembaga untuk Leuser Cagar Biosfer karena Leuser didirikan sebagai cagar biosfer pada tahun 1981,” kata Ketua MAB-UNESCO Komite Nasional, Enny Sudarmonowati, Jumat (14/9/2018) di sela-sela mengunjungi Desa Kupi Tebes Lues di Kabupaten Aceh Tengah.

Sudarmonowati menjelaskan bahwa lembaga tersebut merupakan bentuk komitmen dari pemerintah daerah yang wilayah yang termasuk dalam zona cagar biosfer. Lembaga ini dikelola di bawah lintas sektoral sistem.

Menurut dia, lembaga ini dapat bergantian dikelola antar provinsi karena Kawasan Ekosistem Leuser berada di wilayah meliputi Aceh dan Sumatera Utara.

“Kami mengharapkan lembaga ini akan didirikan dalam satu tahun. Kehadiran lembaga ini akan menjadi sangat penting untuk melakukan branding dan mempromosikan Leuser Cagar Biosfer yang lebih baik,” ujar Sudarmonowati. Dia menambahkan bahwa tanpa lembaga, pemerintah provinsi akan sulit untuk branding dan promosi Leuser Cagar Biosfer.

Cagar biosfer adalah situs yang ditunjuk oleh berbagai negara melalui MAB-UNESCO program. Situs ini mempromosikan konservasi keanekaragaman hayati dan SDGs berdasarkan pada upaya masyarakat lokal dan ilmu pengetahuan yang dapat diandalkan.

Cagar biosfer adalah suatu kawasan yang menjelaskan hubungan yang harmonis pembangunan ekonomi, pemberdayaan masyarakat dan perlindungan lingkungan.

“Ini berarti bahwa pembangunan di daerah ini dilakukan dalam harmoni antara manusia dan lingkungan alam tanpa merusak hutan,” katanya.

Sudarmonowati menunjukkan bahwa Leuser Cagar Biosfer memiliki kombinasi dari tiga fungsi, yaitu logistik, penelitian, serta ilmu pengetahuan dan teknologi. Semua fungsi-fungsi ini akan memberikan nilai tambah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat di masa depan.

Menurut dia, Leuser Cagar Biosfer lembaga, yang melibatkan semua sektor, juga akan mengupayakan pencapaian target SDGs program.

Sudarmonowati menambahkan bahwa Gayo Alas Gunung International Festival (GAMIFest) adalah juga bagian dari program percepatan pembangunan di wilayah tengah Aceh.

“Acara yang diadakan di empat kabupaten dan kota di wilayah tengah Aceh, juga dapat digunakan sebagai sarana untuk mempromosikan Leuser Cagar Biosfer,” katanya.[]

Sumber: antara 

 

 

read more
Green StyleKebijakan Lingkungan

Dewan Pengawas TFCA: Aceh Menjadi Leading Konservasi di Sumatera

Banda Aceh – Anggota Oversight Committee (Dewan Pengawas) Tropical Forest Conservation Action (TFCA) Sumatera, dalam pertemuan di Banda Aceh, Kamis (19/07/2018), Prof. Dr. Ir. Darusman, M. Sc, mengatakan Aceh bisa menjadi leading dalam usaha konservasi di Sumatera. Hal ini sangat memungkinkan karena kondisi hutan Aceh yang masih relatif luas dan paling bagus di Sumatera. Prof Darusman yang juga merupakan guru besar bidang Ilmu Tanah di Universitas Syiah Kuala ini menyampaikan hal tersebut dalam acara yang diselenggarakan TFCA Sumatera bertajuk ” Jalan Panjang Pelestarian Hutan & Spesies di Aceh”

Prof. Darusman merupakan anggota dewan pengawas tidak tetap dalam program TFCA Sumatera. Program ini memberikan dana hibah untuk konservasi hutan di wilayah Sumatera melalui pengalihan hutang (debt swap) Indonesia kepada Amerika Serikat. Perjanjian pengalihan hutang untuk lingkungan antara Pemerintah AS dan Pemerintah Indonesia, dibentuk berdasarkan U.S. Tropical Forest Conservation Act of 1998, Public Law No. 105-214.

Kedua negara bersepakat bahwa sebagian utang LN Indonesia akan ditransfer kedalam suatu rekening khusus yang hasilnya dipakai untuk membiayai kegiatan konservasi hutan di Sumatera. Rekening ini merupakan rekening trust fund yang berada di Singapura, mengingat Indonesia belum ada regulasi yang mengatur dana trust fund.

Prof. Darusman berharap acara ini dapat memberikan input atau masukan yang dapat ia sampaikan nantinya dalam rapat dewan pengawas sekitar awal September 2018 nanti. “Mari kita selesaikan tahap demi tahap kegiatan TFCA ini dan menyatukan visi dan misi untuk mensukseskan konservasi hutan Sumatera,” ujarnya.

Prof. Darusman menjelaskan para penerima dana hibah ini berasal dari LSM Lingkungan, kehutanan, konservasi, masyarakat adat dan lembaga kemasyarakatan lain yang berdiri dan bekerja di Indonesia secara sah, perguruan tinggi, lembaga regional atau lokal lainnya yang aktif di Indonesia.

Terdapat 13 bentang alam di Sumatera yang menjadi wilayah kerja TFCA Sumatera, sebagaimana terlihat pada gambar di bawah ini.

Bentang alam wilayah kerja TFCA Sumatera | Gambar dokumen TFCA Sumatera

Selain melaksanakan proyek konservasi kehutanan, TFCA Sumatera juga membuat program pelestarian spesies kunci yaitu harimau, badak, gajah dan orangutan. Adapun total dana yang dikelola yaitu dana khusus spesies sebesar 12,6 juta USD dan dana konservasi yang dikelola sebesar  42.6 juta USD (10 tahun
hingga 2020).[]

 

 

read more