close

lingkungan

Green StyleRagam

Teknik Lingkungan USM Belajar Produksi Air Bersih ke PDAM Tirta Daroy

Banda Aceh – Air merupakan kebutuhan yang sangat vital bagi manusia oleh karena itu perlu dikelola dengan sebaik mungkin. Bukan hanya kuantitasnya saja yang mencukupi namun juga kualitas, kontinuitas dan keterjangkauan air bersih dapat dirasakan masyarakat. Demikian sejumlah pembicaraan yang berlangsung bersama PDAM Tirta Daroy Banda Aceh.

Mahasiswa Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Serambi Mekkah melakukan kunjungan lapangan (field trip) ke unit pengolahan air bersih (water treatment plant) PDAM Tirta Daroy Banda Aceh, Kamis (12/4/2018). Dalam kunjungan tersebut ikut serta Ketua Program Studi Teknik Lingkungan, Muhammad Nizar, ST,MT dan sejumlah dosen. Sementara dari PDAM Tirta Daroy sendiri hadir Kabag Produksi Samirul Fuadi, SE dan ditemani oleh sejumlah staf.

Dalam kunjungan tersebut, Samirul menjelaskan bagaimana air minum diproduksi oleh PDAM Tirta Daroy. Proses produksi diawali dengan menyiapkan bahan baku yang berasal dari Sungai Krueng Aceh. “Kualitas dan kuantitas air sungai Krueng Aceh memegang peranan penting dalam produksi air minum” kata. Bahan baku tersebut kemudian melewati beberapa proses pemisahan dengan kotoran-kotoran, baik sampah maupun lumpur, kemudian dilakukan proses penghilangan bakteri atau kuman yang terdapat dalam air. Selanjutnya barulah air siap untuk didistribusikan ke masyarakat Banda Aceh yang merupakan pelanggan PDAM Tirta Daroy. Saat ini produksi air minum Tirta Daroy yaitu 700 ltr/detik dari WTP Lambaro dan 800 ltr/detik dari WTP Siron.

Samirul menjelaskan bahwa saat hujan air yang disalurkan ke masyarakat menjadi keruh akibat air sungai mengandung kekeruhan yang sangat tinggi. Hujan lebat biasanya menyebabkan terjadi banjir di hulu sungai yang membawa lumpur sangat banyak. Sementara sistem produksi air PDAM bersifat kontinyu, artinya air terus menerus diambil dari sungai, diolah dan didistribusikan dalam waktu terus menerus. Air kekeruhan tinggi tersebut, dengan masa transit di proses produksi sama dengan air pada masa normal maka lumpur yang mengendap tidak optimal. Sementara kapasitas peralatan produksi sudah diatur sedemikian rupa dalam kapasitas tertentu.

“Mengatasi air keruh perlu dibuat semacam tendon (tempat penampungan air sementara-red) jadi air dari sungai didiamkan dulu dalam tendon selama beberapa saat. Saat terjadi hujan lebat, kita tidak mengambil air dari sungai tapi dari tendon supaya tidak keruh. Namun karena keterbatasan tempat kita belum menyediakn tendon,”katanya.
Menyangkut mengapa air PDAM tidak bisa langsung diminum, hal ini disebabkan banyaknya pipa distribusi PDAM yang sudah rusak. Samirul mengatakan sebenarnya air PDAM Tirta Daroy sudah bisa langsung diminum. Namun harus diminum langsung dari sumbernya dimana belum tercemar dari cemaran yang berasal dalam pipa. Karat pipa, kebocoran pipa, penyedotan dengan pompa bisa menyebabkan air dari luar jaringan tersedot dalam jaringan dan air bisa tercemar.

Mahasiswa Teknik Lingkungan juga diajak berkeliling ke areal WTP dan dijelaskan bagaimana produksi air dilaksanakan sehingga sampai kepada konsumen.

Muhammad Nizar mengucapkan terima kasih sebesarnya kepada PDAM Tirta Daroy yang telah memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk belajar pengolahan air. []

read more
HutanKebijakan LingkunganPerubahan Iklim

Walhi: 50 Persen Galian C di Aceh Diduga Ilegal

walhi-50-persen-galian-c-di-aceh-diduga-ilegal
Penertiban galian C di Deliserdang, Sumut. ©2013 Merdeka.com

Perusahaan galian C yang beroperasi di seluruh Aceh sebanyak 131 pengusaha, baik eksploitasi, eksplorasi maupun produksi. Dari jumlah tersebut Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh menduga 50 persen dari jumlah tersebut diduga ilegal.

Selama ini data yang diperoleh Walhi Aceh hanya berupa tabel nama dan jenis izin perusahaan tersebut. Sedangkan Rencana Kelola Lingkungan (RKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPLH) tidak pernah diberikan.

Padahal RKL dan UPLH itu wajib dimiliki oleh perusahaan galian C. Karena untuk mendapatkan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), perusahaan harus terlebih dahulu memiliki kajian RKL dan UPLH.

“Kita menduga 50 persen dari perusahaan galian C itu ilegal, tidak memiliki kajian RKL dan UPLH,” kata Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nur di Kantornya, Senin (11/9).

Dugaan ini dinilai oleh Walhi Aceh, selama ini Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Aceh tertutup. Saat Walhi Aceh meminta data tersebut, hanya diberikan tabel daftar pengusaha, baik perseorangan maupun perusahaan.

Sehingga, Walhi Aceh menilai, sulitnya mendapatkan data lengkap mengenai kelengkapan administrasi perusahaan galian C di Aceh, mengindikasikan banyak perusahaan belum melengkapi data sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang galian C dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 3 Tahun 2010 mewajibkan seluruh perusahaan galian C memiliki administrasi tersebut di atas.

Diperkuat lagi dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang pelimpahan kewenangan pengeluaran izin dari kabupaten/kota ke provinsi, galian c itu harus memiliki kajian AMDAL yang lengkap. Lalu diperkuat kembali dengan PP Nomor 27 Tahun 2012 tentang izin lingkungan dalam bentuk UPL dan RKLH.

Atas dasar itu juga, Walhi Aceh menduga sebagian besar pengusaha galian C di Aceh belum memiliki RKL dan UPLH tersebut. Tentu ini merupakan praktek ilegal. Karena selama ini Distamben Aceh tidak pernah mempublikasikan data tersebut.

“Alasan mereka (Distamben), ini dokumen rahasia negara. Saya pikir ini bukan dokumen Negara, apa yang mengancam Negara bila dokumen itu diberikan. Seharusnya dipublikasikan agar masyarakat tau itu legal atau ilegal,” tukasnya.

Menurutnya, pemerintah dan pengusaha tidak perlu takut mempublikasikan bila semua perizinan lengkap. Karena ini juga bagian dari keterbukaan informasi publik, agar semua masyarakat tau apa usaha yang sedang dijalankan oleh perusahaan.[merdeka]

read more
EnergiGreen StyleKebijakan LingkunganPerubahan Iklim

Gubernur Aceh Berkomitmen Kurangi Emisi

gubernur-aceh-berkomitmen-kurangi-emisi
Irwandi Yusuf diperiksa KPK. ©2016 merdeka.com/muhammad luthfi rahman

BANDA ACEH – Gubernur Aceh Irwandi Yusuf menyatakan serius dalam menjaga lingkungan untuk mengantisipasi panas bumi. Karena mengeksplorasi energi fosil tersebut tanpa disadari telah menyebabkan meningkatnya gas rumah kaca.

Aceh yang masih memiliki hutan yang cukup luas menjadi tumpuan Indonesia untuk mengurangi panas bumi. Oleh karena itu, Irwandi memasukkan program pelestarian lingkungan sebagai salah satu program prioritas pemerintah Aceh.

Irwandi mengatakan, antisipasi panas bumi yang tinggi dengan cara instan telah membuat kondisi bumi semakin memburuk. Aceh yang masih banyak hutan diharapkan mendukung pengurangan emisi sebesar minimal 7 persen dari 29 persen sesuai dengan komitmen Presiden Joko Widodo.

“Ada tiga program yang menyentuh masalah ini, yaitu: Aceh Green, Aceh Energi dan Aceh Seumeugot (Aceh memperbaiki),” katanya di Banda Aceh, Selasa (22/8).

Dia meminta kepada warga untuk mengurangi penggunaan pengatur suhu, AC. Karena AC dapat membuat cuaca bumi semakin panas. Selain itu, untuk mengaktifkan AC, diperlukan energi fosil yang telah diubah menjadi listrik.

“Untuk mengatasi kondisi ini, dunia harus bergerak bersama-sama menjaga ekosistem bumi agar tetap stabil,” tegas Irwandi.

Irwandi mengajak masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam melakukan pelestarian ekosistem bumi dan melindungi kawasan hutan. Sebab hutan merupakan sarana paling efektif menyerap gas emisi yang menjadi penyebab tingginya suhu bumi.

Sementara itu Kepala Dinas Kehutanan Aceh, Saminuddin mengaku, telah melakukan moratorium hutan pada periode semenjak periode lalu. Usia moratorium itu kini telah berjalan 10 tahun. Dua tahun lalu, pemerintah bahkan melakukan moratorium tambang.

“Langkah strategis ini menjadi bukti kita komit untuk mengurangi emisi. Dia bahkan merekrut 2000 tenaga kontrak untuk menjaga hutan. Saya yakin apa yang dilakukan bapak gubernur tidak berani dilakukan daerah lain,” tutupnya.[merdeka]

read more
Ragam

Antara Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan

Saat aktif di sebuah lembaga lingkungan nasional, kacamata yang saya gunakan kebanyakan adalah “kacamata kuda”. Saya melihat juga sebagian teman-teman lain sesama aktivis memakai kacamata yang sama. Sekedar mengingatkan “kacamata kuda” adalah sebuah istilah yang artinya melihat sesuatu fenomena dengan satu perspektif  atau sisi saja tanpa melihat faktor-faktor lain yang sebenarnya berpengaruh terhadap fenomena tersebut. Lawan kacamata kuda adala holistik atau keseluruhan. Jadi apa maksudnya?

Sebagai aktivis lingkungan, maka hal yang lumrah jika kami melihat peristiwa dengan perspektif lingkungan pula. Jika kami melihat sebuah fenomena kerusakan lingkungan maka kajian yang dilakukan hanyalah berdasarkan sudut pandang lingkungan semata atau an sich lingkungan. Sudah paham? Kayaknya berputar-putar ya. Maksudnya seperti inilah, jika ada kerusakan hutan, maka hal ini adalah perbuatan yang salah karena dalam ilmu lingkungan hal ini bisa merusak ekosistem yang terdapat dalam hutan. Contoh lain adalah hutan adalah sebuah kawasan yang tidak boleh diganggu gugat karena dianya berperan penting dalam kehidupan. Contoh lebih sederhana lagi bisa jadi adalah kebiasaan membuang sampah sembarangan. Jika masih ada yang membuang sampah sembarangan maka hal ini sering dikaitkan dengan keberadaan tong sampah semata. Padahal sebuah peristiwa banyak terkait dengan fenomena lain.

Manusia dalam kehidupannya sehari-hari sangat terkait dengan hal-hal lain. Semuanya sangkut menyangkut, ada urutan prioritas dan terkadang tak bisa dibolak balik. Misalnya saja menyangkut perilaku manusia. Jika ingin manusia berperilaku baik maka kepada yang bersangkutan haruslah diberi pendidikan budi pekerti. Tanpa mendapat pendidikan moral maka manusia tersebut mustahil bisa mempunyai akhlak yang bagus. Jadi bukan tunggu manusia tersebut memiliki akhlak yang baik dulu maka dia mendapat pendidikan. Tapia da juga hal-hal yang bisa dibolak-balik atau bahkan tidak berurutan. Misalnya apakah seseorang harus sekolah dulu baru bisa kaya? Atau kaya dulu baru bisa sekolah? Dalam kehidupan nyata tidak mesti berurutan sepertinya.

Kembali ke persoalan lingkungan untuk menganalisis lebih jauh fenomena lingkungan. Banyak sekali program lingkungan yang diluncurkan oleh berbagai pihak. Ada program yang diluncurkan untuk perlindungan satwa, program untuk mengatasi pencemaran sampah, program untuk mereboisasi hutan, program untuk mencegah pemanasan global dan sebagainya. Program ini menghabiskan dana yang tidak sedikit, miliaran dan didukung oleh lembaga-lembaga besar.  Tapi sayangnya program ini banyak yang keberhasilannya tidak sebanding dengan besarnya dana dan waktu yang telah dihabiskan untuknya. Ketika program selesai maka selesai pula lah kegiatan pelestarian lingkungan tersebut. Perilaku manusianya kembali seperti semula seolah-olah tak pernah ada program tersebut sebelumnya.

Sebagian berasalan bahwa masyarakat sibuk dengan urusannya mencari nafkah alias menjalankan aktivitas ekonominya. Sebagian lagi berpendapat bahwa program tersebut tidak menyentuh aspek sosial kemasyarakatan. Sebagian lagi menyatakan bahwa lingkungan memang sudah rusak sehingga sangat sulit untuk memperbaiknya seperti sedia kala. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan, mana yang lebih penting atau prioritas, ekonomi, sosial atau lingkungan?

Bagi pendukung ekonomi, maka kesejahteraan masyarakat terlebih dahulu harus ditingkatkan. Masyarakat butuh sandang, pangan dan papan. Bagaimana mereka bisa hidup tenang jika tiga kebutuhan pokok ini tidak terpenuhi? Jadi biarkan dulu masyarakat menebang hutan, menambang pasir, mengeruk gunung, menjual sawahnya dan sebagainya  demi hidup. Nanti jika sudah sejahtera maka orang-orang dengan sendirinya akan menjaga lingkungannya.

Bagi yang mengutamakan kehidupan sosial atau budaya menyebutkan bahwa budaya sangat penting dalam menegakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat. Hal ini sudah dilakukan nenek moyang kita selama berates-ratus tahun dan berhasil dalam melestarikan lingkungan. Budaya masyarakat yang menyatu dengan alam merupakan modal dasar yang kuat untuk melestarikan lingkungan. Budaya masyarakat dari dulu sudah mengajarkan bagaimana melestarikan lingkungan seperti larangan membuka hutan, larangan menebang pohon yang dekat dengan mata air, larangan melaut setiap hari jumat dan sebagainya. Tradisi ini memang semakin lama semakin terkikis oleh budaya global yang masuk ke setiap lapisan masyarakat Indonesia.

Sementara kelompok pegiat lingkungan mati-matian mengusung idenya untuk tetap memprioritaskan lingkungan terlebih dahulu. Jika lingkungan lestari maka kehidupan manusia dengan mudah akan menjadi sejahtera. Alam yang asri akan memberikan banyak manfaat bagi makhluk hidup sekitarnya, bukan hanya manusia semata. Air bersih, udara segar dan tanah yang subur merupakan kekayaan alam yang tak ternilai harganya bagi manusia.Tapi ide ini walau kelihatannya sangat ideal namun pelaksanaannya sangat sulit karena berkejaran dengan pembangunan ekonomi yang serakah.

Masih ada satu aliran lagi yang menyatakan bahwa tiga hal diatas harus dilaksanakan secara paralel atau bersamaan. Taka da satu sisi yang ditinggalkan alias harus komprehensif pelaksanaannya. Terlebih manusia Indonesia adalah manusia yang sangat kuat ikatan sosialnya. Namun lagi-lagi hal ini bukanlah hal yang mudah dalam penerapannya. Dalam pelaksanaannya ada keterbatasan-keterbatasan  yang menjadi tantangan yang tidak mudah diselesaikan.
Kajian mana yang lebih dahulu ekonomi, sosial atau lingkungan sampai hari ini belum tuntas. Aliran terakhir sepertinya bisa menjadi solusi dalam gerakan pelestarian lingkungan di Indonesia. Memang bukan hal yang mudah namun dengan kerja sama, koordinasi dan penggunaan teknologi yang tepat Insya Allah tantangan-tantangan di lapangan dapat diselesaikan. Taka da gading yang tak retak. Mari kita cari gading yang retaknya paling halus.[]

read more
Ragam

Perbankan Indonesia Tutup Mata Soal Lingkungan

Kumpulan berbagai organisasi masyarakat sipil Indonesia yang bernama Koalisi Responsibank Indonesia telah melakukan penilaian terhadap sejumlah kebijakan investasi 11 bank terbesar di Indonesia, yang terdiri dari 8 bank nasional dan 3 bank asing terbesar. Koalisi ini, terdiri dari Perkumpulan PRAKARSA, YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia), WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, ICW (Indonesian Corruption Watch) dan INFID (International NGO Forum for Indonesian Development).

Penilaian ini menghasilkan pemeringkatan bank berdasarkan unsur-unsur sosial dan lingkungan hidup dalam kebijakan investasi yang mereka publikasikan. Hasil penilaian menunjukkan bahwa, baik bank asing maupun nasional, masih kurang peduli terhadap isu sosial dan lingkungan hidup. Pemeringkatan menghasilkan skor “cukup” atau “sangat kurang”. Bank-bank asing mendapatkan skor sedikit lebih baik dari bank nasional, yaitu antara 2 sampai  4 dan perbankan nasional mendapatkan skor di 0 – 2 dalam skala yang sama yaitu dari skala 1 – 10.

Koalisi sangat prihatin atas hasil pemeringkatan ini yang menunjukkan bahwa bank masih hanya mengedepankan aspek bisnis-keuangan saja dan masih mengabaikan permasalahan sosial dan lingkungan hidup dalam kebijakan kredit dan investasinya.

Menurut peringkat Responsibank, urutan pertama dari kesebelas bank yang dinilai adalah HSBC, dengan skor akhir 4, diikuti 2 bank asing lainnya yaitu Citibank dan Mitsubishi-UFJ. Sedangkan bank nasional terbaik adalah BNI dan Danamon dengan skor 1, dan berada di peringkat ke-4 dan 5 dari 11 bank yang dinilai. Bank-bank nasional lainnya tidak mendapatkan nilai sama sekali karena skor akhir lebih kecil dari 0,5. Peringkat buncit ditempati BCA, bank swasta terbesar di Indonesia, dan Bank Panin, yang masing-masing hanya memperoleh nilai 0,14 dan 0,08 dari skala 1 -10. Dengan hasil ini, rerata nilai bank-bank di Indonesia adalah yang terburuk di antara 7 negara (Brazil, Belgia, Perancis, Jepang, Belanda, dan Swedia) yang sama-sama menjalankan inisiatif Fair Finance Guide International.

“Meskipun beberapa bank hanya beroperasi di Indonesia, itu tidak berarti kita harus mentolerir standar yang lebih rendah bagi bank dalam pembiayaan proyek dan perusahaan yang berisiko tinggi terhadap terjadinya pelanggaran hak asasi manusia, menyebabkan konflik sosial maupun degradasi lingkungan. Dalam dunia yang saling kait mengait dan bergerak menuju ekonomi hijau, argumen seperti orientasi pasar domestik tidak lagi dapat diterima”, ujar Victoria Fanggidae, perwakilan Koalisi Responsibank Indonesia yang sehari-hari bekerja di Perkumpulan Prakarsa sebagai peneliti senior ini.

Manajer Kampanye WALHI Kurniawan Sabar, juga menegaskan, “Bank merupakan penopang penting ekspansi industri ekstraktif di Indonesia. Degradasi lingkungan, deforestasi, dan hilangnya hak rakyat atas wilayah kelola akibat praktik indusrti ekstraktif mesti dilihat sebagai bagian yang tak terpisahkan dari investasi modal bank. Tidak hanya di proses awal investasi, bank mesti lebih tegas mengambil kebijakan dan memastikan tanggung jawab atas praktik buruk korporasi yang disokongnya. Korelasi antara investasi dari bank dan praktik buruk korporasi mesti menjadi perhatian pemerintah dalam menerapkan kebijakan untuk menekan dampak buruk dan kerugian akibat pengembangan investasi di Indonesia, khususnya sektor ekstraksi sumber daya alam.”

Senada dengan itu, Mouna Wasef, penggiat anti korupsi dari ICW mengatakan bahwa peran bank yang sangat dominan dalam perekonomian Indonesia, yaitu sekitar 77 persen dari aset ekonomi nasional, menyebabkan sebagian besar pendanaan perekonomian Indonesia didominasi perbankan, begitu pula halnya untuk pembiayaan industri yang bergerak disektor sumber daya alam seperti kehutanan, perkebunan, pertambangan, pembangkit listrik dan sebagainya.

“Prospek bisnis yang menarik mendorong perbankan aktif memberikan pinjaman di sektor-sektor ini. Namun sektor-sektor ini rawan akan korupsi dan praktek pengemplangan pajak yang berpotensi menimbulkan kerugian negara. Untuk itu bank selaku lembaga intermediasi keuangan perlu lebih meningkatkan standar dalam kebijakannya sehingga mempersempit peluang diberikannya pinjaman kepada perusahaan-perusahaan yang telah melakukan kejahatan lingkungan, korupsi dan pengemplangan pajak, karena ini juga berpotensi berisiko terhadap reputasi bank sendiri,”tandas Mouna lagi.

Walaupun hasilnya mengecewakan, bank-bank ini, terutama bank-bank nasional, masih dapat terus ‘bertanding menjadi lebih baik’ atau ‘race to the top’. Ini adalah penilaian tahun pertama dan bank  dapat memperbaiki peringkatnya ditahun berikutnya dengan menambahkan lebih banyak unsur yang diakui oleh masyarakat internasional dalam prinsip dan standar internasional seperti Prinsip Equator, UN Global Compact, Standar Kinerja IFC, Pedoman Bisnis dan Hak Asasi Manusia PBB dan lain-lain, dalam kebijakan investasi mereka, dan mempublikasikannya.

“Dengan memperbaiki kebijakannya, bank dapat mengejar ketinggalan dan menunjukkan diri di hadapan komunitas global bahwa dunia perbankan Indonesia dapat melakukan bisnis dengan baik dan bertanggung jawab secara sosial dan lingkungan hidup. Prinsip people, planet dan profit, atau triple bottom line, dan bukan hanya profit, kini tak terelakkan bagi dunia bisnis di seluruh dunia. Industri perbankan kita tidak kebal terhadap itu, perbankan Indonesia harus bergerak maju agar tidak ditinggalkan nasabah” tutup Huzna Zahir, anggota Koalisi Responsibank Indonesia dari YLKI ini.[rel]

read more
Ragam

Serangan Zionis Israel Perparah Krisis Lingkungan Palestina

Penduduk di Palestina, terus menderita krisis lingkungan dan perubahan iklim seiring agresi militer Israel.

Jalur Gaza kembali diserang, ratusan jiwa tercabut dari raganya. Serangan Israel yang membabi buta – 77% dari korban jiwa adalah warga sipil – tidak hanya menghancurkan infrastruktur Gaza namun juga menambah parah krisis lingkungan dan perubahan iklim di wilayah Palestina yang telah berlangsung selama bertahun-tahun.

Kondisi lingkungan ini terungkap dalam laporan resmi Palestinian Central Bureau of Statistics (PCBS) yang diterbitkan seiring dengan perayaan Hari Lingkungan Hidup Dunia yang berlangsung 5 Juni lalu. Menurut PCBS, lingkungan Palestina saat ini menghadapi berbagai ancaman. Kelangkaan sumber daya alam, kekeringan, pencemaran air, kerusakan lahan, hilangnya keanekaragaman hayati dan polusi udara menjadi masalah utama.

Menurut laporan Palestinian Water Authority (PWA) bulan Oktober 2013, air hujan, menjadi sumber air tanah dan air permukaan utama di Palestina. Curah hujan tahunan di wilayah ini hanya mencapai 450 mm/tahun di Tepi Barat dan 327 mm/tahun di Jalur Gaza. Bandingkan dengan curah hujan di Bogor yang mencapai 3500-4000 mm/tahun.

Israel menguasai seluruh akses air bersih terutama Sungai Yordan sehingga ketersediaan air permukaan di wilayah Palestina sangat bergantung pada luberan (runoff) air sungai yang saat ini tidak banyak bisa digunakan. Sementara 95% air tanah yang dipompa di Jalur Gaza adalah air payau, air yang memiliki kandungan garam lebih tinggi dari air tawar.

Kondisi ini diperburuk oleh perampasan akses air oleh Israel. Warga Palestina hanya bisa menggunakan 15% air yang ada di wilayah ini sementara Israel menyedot 85% sumber air yang ada di sana. Ekspolitasi dan pembangunan sumber air yang dilakukan oleh Israel, menurut PCBS, juga dilakukan tanpa memerhitungkan hak-hak rakyat Palestina.

Israel melarang pengeboran sumber air untuk pertanian dan menghancurkan fasilitas air dan irigasi yang ada. Akibatnya, konsumsi air per kapita warga di wilayah pendudukan untuk kebutuhan rumah tangga tak lebih dari 76,4 liter/penduduk/hari pada 2012 di Tepi Barat dan 90 liter/penduduk/hari di Jalur Gaza.

Serangan militer Israel dipastikan memerparah kondisi kekurangan air di wilayah Palestina. Pasca serangan militer Israel 11 Juli, UN Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA) melaporkan telah terjadi kerusakan di pipa penyaluran air sehingga akses air bersih untuk 800 penduduk Gaza terputus. Laporan ini memerkuat data PCBS yang menyatakan sekitar 40% pasokan air hilang akibat masalah teknis seperti rusaknya fasilitas instalasi air.

Menurut PCBS, krisis perubahan iklim juga melanda Palestina, mengubah karakteristik cuaca dan musim di wilayah tersebut. Pada musim dingin dan musim semi, kekeringan selalu melanda. Sementara pada musim panas suhu terus meningkat dan curah hujan turun. Fenomena ini menimbulkan dampak ekonomi, sosial, kesehatan dan lingkungan yang memengaruhi kualitas pembangunan di wilayah pendudukan.

Pelanggaran dan agresi militer Israel menurut PCBS menjadi sumber utama kerusakan keanekagaraman hayati yang menjadi sumber kestabilan ekosistem ini. Tepi Barat dan Jalur Gaza tercatat memiliki 2.076 spesies tanaman dimana 90 spesies saat ini terancam punah dan 636 spesies masuk dalam kategori yang sangat langka.

Sumber resmi dari pemerintah Palestina menyebutkan, selama 2013, lebih dari 800 hektar lahan milik warga Palestina telah dirampas oleh pemerintah Zionis Israel dan lebih dari 15.000 tanaman pertanian dihancurkan. Hingga akhir 2013, sebanyak 482 pemukiman dan markas militer telah dibangun di wilayah pendudukan di Tepi Barat. Kekejaman ini menurut PCBS semakin memerparah kerusakan lingkungan dan keanekaragaman hayati di wilayah Palestina.

Sumber: Hijauku.com

read more
Kebijakan Lingkungan

Jokowi: Lingkungan Rusak Karena Terlalu Kejar Ekonomi

Calon presiden Joko Widodo (Jokowi) menilai, bangsa Indonesia terlalu mengejar pertumbuhan ekonomi sampai-sampai melupakan kelestarian lingkungan. Jokowi menyebut, saat ini banyak hutan, daerah aliran sungai, dan terumbu karang yang rusak.

“Kita terlalu mengejar pertumbuhan ekonomi, tapi lingkungan tidak diperhatikan,” kata Jokowi dalam debat kandidat putaran terakhir yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Sabtu (5/7).

Capres dengan nomor urut dua itu menilai, bangsa ini harus menyeimbangkan antara mengejar pertumbuhan ekonomi, memenuhi hajat hidup masyarakat, dan melestarikan lingkungan.

“Ketiganya ini harus berjalan beriringan supaya memperoleh kemanfaatan,” ujar Jokowi.

Dalam kesempatan yang sama, calon wakil presiden Jusuf Kalla berjanji, apabila ia dan Jokowi terpilih menjadi presiden dan wakil presiden, ia akan memperbaiki dua juta lahan hutan, menormalisasi sungai-sungai, serta menciptakan kota yang bersih dan lingkungan hidup yang nyaman.

Sumber: republika.co.id

 

read more
Ragam

Gadis Aceh ini Belajar Greenlife di Negeri Paman Sam

Saya mengikuti Young Southeast Asian Leaders Initiative (YSEALI)- U.S Department State on Global Environmental Issues, yang merupakan bagian dari program Study in United States Instiute (SUSI) selama 5 minggu di Amerika Serikat. Program ini diluncurkan oleh Presiden Barack Obama dan diikuti oleh 19 pemuda mewakili 5 negara ASEAN: Brunei, Indonesia, Singapore, Philipphine, dan Malaysia.

Saya sendiri, Cut Ervida Diana dari Banda Aceh, bergabung bersama empat perwakilan lain dari Indonesia yang lolos program bergengsi ini. Empat teman yang lain yaitu Mohammad Yusuf (Univ. Padjajaran Bandung), Ranitya Nurlita (IPB, Bogor), Mussawir Muchtar (UNHAS, Makassar) dan Sri Mulyati (UPI, Bandung).

Program diselenggarakan sejak tanggal 11 Mei – 15 Juni 2014 yang berlokasi selama 3 minggu di Honolulu- Hawaii, 1 minggu di Boulder, Colorado dan 1 minggu di Washington DC. Program yang fokus pada penyelesaian isu lingkungan dan penguatan kapasitas pemimpin muda ini telah memberikan saya kesempatan belajar mengenai isu global lingkungan, mempelajari budaya Negeri Paman Sam serta saling mempelajari budaya peserta dari negara-negara Asia yang ikut berpartisipasi dalam kegiatan ini.

Inilah sepenggal kisah saya selama mengikuti program di Hawaii, Colorado dan Washington DC.

Hawaii!
Tanggal 11 Mei 2014, saya dan 4 teman dari Indonesia lainnya tiba di Hawaii. Kami akan tinggal selama 3 minggu di Hale Manoa Hawaii University. Satu minggu pertama adalah proses orientasi dan pengenalan institute untuk program belajar yang akan kami jalani selama 5 minggu. Program belajar yang saya ikuti diantaranya LDC ( Leadership Development Class), LITE ( Leadership Immersion Training Experience), CELL (Cultural Exchange Learning Lab) dan (Learning Journey). Banyak aktifitas belajar outdoor yang sangat menyenangkan.

Hari pertama di Hawaii kami melakukan hiking ke Diamond Head dan mengeksplorasi Waikiki Beach. Jetlag dan rasa lelah terbayar dengan keindahan Hawaii yang saya nikmati dari puncak Diamond Head. Penyambutan dan opening ceremony pada hari kedua yang di selenggarakan oleh East-West Center di Imin International Conference center dan disitu saya sangat bangga karena bisa menggunakan pakaian tradisional Aceh serta memperkenalkan budaya Aceh. Selain itu kami diajarkan Hawaiian Dance.

Hari ketiga,  Leadership Development Class memasuki institute dimana kami menjalani proses team building leadership challenge di Camp Erdman, North Shore Oahu dengan dipandu oleh Christina Monroe selaku Leadership Education Specialist. Proses belajar  kepemimpinan yang sangat menarik dan aktifitas outbond yang sangat menantang.

Di kantor salah seorang senator Amerika Serikat | Foto: Dok Pribadi
Di kantor salah seorang senator Amerika Serikat | Foto: Dok Pribadi

Selanjutnya adalah tahapan belajar LITE (Leadership Immersion Training Experience) bersama Lance Boyd, dimana kami belajar tentang Hawaii melalui Leaning Journey dan bacaan dari buku American Report Card mengenai bagaimana Hawaii mengelola sumberdaya alam dan lingkungannya. Dalam LITE saya bekerja sama dengan peserta dari Negara lain membentuk team work dan membuat sebuah project kemudian mempresentasikan project kepada client, seperti; HARC (Hawaii Agricultural Research Center), dan direktur dari Kualoa Ranch. Di samping itu untuk Learning Journey selama di Hawaii saya juga mengunjungi H-Power Waste-to-Energy Plant, Hawaiian Electric Company Energy Plant, dan saya berkesempatan ke USS Missouri ship di Pearl Harbour yaitu kapal sejarah perang dunia ke-2.

Ini  merupakan proses belajar yang sangat menarik ketika saya berkunjung langsung ke H-Power dan mengamati bagaimana Hawaii memanfaatkan limbah menjadi sumber energy listrik. Bagian dari program yang juga sangat menari adalah Homestay, saya berkesempatan tinggal selama 2 hari bersama keluarga Hawaii, yang tinggal di Kanua dan kami diberi tugas untuk membuat eco typing point untuk keluarga homestay. Kami menawarkan metode eco lifestyle, seperti pengelolaan sampah, penggunaan energi terbarukan dan juga mencari inovasi hidup yang ramah lingkungan.

Boulder, Colorado!
Tanggal 2 Juni adalah hari pertama team YSEALI berada di Colorado. Saya belajar di Universitas Colorado dan juga melakukan Learning Journey. Selama satu minggu kami melewati proses belajar yang sama seperti di Hawaii, menjalani proses LITE, membuat project dan mempresentasikan project mengenai urban planning kepada Mr. George Watt, salah seorang arsitek ternama yang merancang Urban Planning Boulder County.

Pengalaman dan atmosfer yang sangat berbeda saya rasakan semenjak berada di Boulder, Colorado, dimana Boulder merupakan Green City dan ruang terbuka sangat banyak disana. Sangatlah berbeda dengan Hawaii, Colorado cuacanya sangat dingin dan kita bisa melihat pemandangan Rocky mountain yang ditutupi salju. Boulder menerapkan Green Principles, seperti; bike-ability, green building certification, dan waste recycling development.

Yang paling menarik adalah Boulder menerapkan konsep Zero Waste, dan saya sangat senang berada di The Greenest City of United States ini.

Washington DC

Graduation day, di Capitol Hill, Amerika Serikat | Foto: dok. pribadi
Graduation day, di Capitol Hill, Amerika Serikat | Foto: dok. pribadi

Ini adalah minggu terakhir dari program YSEALI, kebanggaan bagi saya karena bisa berkunjung ke ibukota Amerika dan mengeksplorasi segala hal disana. Di Washington DC saya mengunjungi setiap landmark Washington DC seperti, Washington Monument, Memorial Lincholn Statue, Capitol Building United State dan White House. Di sana seluruh team YSEALI fokus terhadap project akhir, yaitu home project, untuk mengembangkan ide project yang dijalankan saat kembali ke Negara masing-masing dan mempersiapkan presentasi yang akan di lakukan di department state. Ini lah tahap akhir dari institute hingga saya mendapatkan sertifikat YSEALI 2014 dan graduation day di Washington DC.

Semoga cerita perjalanan saya bermanfaat dan dapat menginspirasi pemuda-pemudi Aceh untuk terus berprestasi terutama di bidang lingkungan. []

read more
1 2 3 4 8
Page 2 of 8