close

masyarakat

Kebijakan Lingkungan

Belajar dari Daerah untuk Pengakuan Wilayah Adat

Epistema Institute menyelenggarakan kegiatan diskusi pertukaran pengalaman pemerintah daerah dalam melakukan pengakuan wilayah adat dan wilayah kelola rakyat, Kamis (2/4/2015) kemarin.

“Kegiatan ini dilakukan untuk menjalin komunikasi dan pembelajaran bersama di antara pemerintah daerah dan DPRD yang sudah dan sedang memiliki inisiatif membentuk regulasi dan kebijakan daerah mengenai wilayah adat dan wilayah kelola rakyat,” ungkap Manager Hukum dan Masyarakat, Epistema Institute, Yance Arizona.

Inisiatif itu antara lain seperti yang dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak yang setelah memiliki Perda No. 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Tanah Ulayat Masyarakat Baduy, saat ini sedang menyiapkan Rancangan Peraturan Daerah tentang Masyarakat Kasepuhan. Pemerintah Kabupaten Kerinci juga telah memiliki sejumlah Surat Keputusan Bupati mengenai keberadaan hutan adat yang lokasinya berada di luar kawasan hutan dan memasukkaanya ke dalam Perda 24 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kerinci.

Pemerintah Kabupaten Sigi telah pula membuat Perda No. 15 tahun 2014 tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Sementara itu Pemerintah Daerah di Kabupaten Barito Selatan telah membentuk Perda No. 5 Tahun 2012 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Barito Selatan, Keputusan Bupati Barito Selatan No. 606 Tahun 2007 tentang Penunjukan Lokasi Pemanfaatan Hutan Hak di Desa Bintang Ara Kecamatan Gunung Bintang Awai serta pembentukan Tim IP4T untuk melaksanakan Peraturan Bersama Menteri yang disebutkan di atas.

Dalam pertemuan ini, Ketua DPRD Kabupaten Lebak Junaedi Ibnu Jarta, S.Hut, menyampaikan bahwa Perda Masyarakat Kasepuhan merupakan salah satu langkah untuk menyelesaikan konflik kehutanan di Kabupaten Lebak dikarenakan adanya perluasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak.

Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Kabupaten Kerinci H. Martias, menyampaikan bahwa keberadaan hutan adat di Kabupaten Kerinci telah diakui oleh pemerintah sejak tahun 1993. Hal itu dilakukan untuk mengakomodir harapan masyarakat untuk melindungi wilayah hutan adatnya. Lebih lanjut, Neneng Susanti dari Dinas Kehutanan Kabupaten Kerinci menyampaikan bahwa saat ini sudah ada 10 Surat Keputusan Bupati tentang Hutan Adat di Kabupaten Kerinci dan peta hutan adat pun sudah dimasukan ke dalam Perda No. 24 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kerinci.

Salah satu yang unik di Kabupaten Kerinci adalah keberadaan hutan adat yang tidak berada di dalam kawasan hutan. Pengalaman di Kerinci menunjukan bahwa kekhawatiran sebagian pihak yang mengeluarkan hutan adat dari kawasan hutan negara akan membuat kondisi hutan semakin rusak. Kerinci dapat menjadi contoh mengenai pengelolaan hutan adat yang berada di luar kawasan hutan negara.

Asisten II Pemerintah Pemda Kabupaten Barito Selatan Suhardi, menyampaikan mengenai pembentukan Tim IP4T untuk melakukan penyelesaian terhadap masalah penguasaan tanah di dalam kawasan hutan. Barsel merupakan laboratorium untuk pengakuan dan pembuktian hak masyarakat di dalam kawasan hutan. Kegiatan ini penting untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi karena penetapan kawasan hutan yang selama ini menimbulkan berbagai masalah. Tim bekerja untuk sosialisasi dan sudah ada anggaran sebanyak 1 miliar. Rencana aksi sudah disusun dan sekarang sosialisasi untuk kemudian menerima pendaftaran klaim.  [rel]

read more
Ragam

JKMA Aceh dan Pemkab Pidie Susun Qanun Masyarakat Adat

Pemerintah kebupaten Pide melalui Majelis Adat Aceh kabupaten Pidie melakukan koordinasi dengan Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh menyusun qanun tata kelola hutan adat Mukim dan gampong yang ada di kabupaten Pidie.

Sekretaris MAA Kabupaten Pidie, Adhari, S.Sos, Kamis (3/4/2014) mengatakan bahwa Masyarakat Adat atau Mukim mempunyai hak untuk mengelola dan memanfaatkan hutan sebagaimana diatur melalui Undang-undang maupun  qanun di Aceh dan di kabupaten Pidie. Hak-hak tersebut sebagaimana diatur dalam Qanun pemerintahan Mukim Kabupaten Pidie nomor 7 tahun 2011, pada Bab VI tentang harta kekayaan, pendapatan Mukim dan anggaran pendapatan dan belanja Mukim (APBM), pasal 21 “ harta kekayaan Mukim adalah harta kekayaan yang telah ada atau yang kemudian dikuasai Mukim, berupa hutan, tanah, batang air, kuala, danau, laut, gunung, paya, rawa dan lain-lain yang menjadi ulat Mukim sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” jelasnya.

Dengan adanya Surat Edaran dari Menteri Dalam Negeri nomor 522/8900/SJ tentang Pemetaan Sosial Masyarakat Hukum Adat, yang ditujukan kepada seluruh gubernur, bupati dan walikota di seluruh Indonesia untuk melaksanakan pemetaan keberadaan dan permasalahan sosial Masyarakat Hukum Adat (MHA) yang berada dalam kawasan hutan.

Atas dasar tersebut MAA kabupaten Pidie melakukan koordinasi dengan JKMA Aceh. Adhari mengatakan bahwa JKMA Aceh merupakan salah satu lembaga di Aceh yang konsen terhadap perjuangan hak-hak masyarakat adat dan penguatan institusi Mukim di Aceh. Ia berharap agar JKMA Aceh nantinya dapat membantu Pemerintah Kabupaten Pidie dalam melakukan kegiatan tersebut.

JKMA Aceh melalui Ketua Badan Pelaksana (Bapel), Zulfikar Arma, menyambut baik insiasi penyusunan qanun tersebut dan akan membantu pemerintah Kabupaten Pidie melaksanakan pemetaan keberadaan dan permasalahan sosial Masyarakat Hukum Adat yang berada dalam kawasan hutan. Saat ini JKMA Aceh bersama dengan JKMA Pidie telah melakukan pemetaan di Mukim Beunga, Kecamatan Tangse dan Mukim Kunyet di kecamatan Padang Tiji.

Koordinasi antara MAA kabupaten Pidie dengan JKMA Aceh dilakukan di ruangan kerja ketua MAA kabupaten Pidie, dihadiri Ketua Badan Pelaksana JKMA Aceh Zulfikar Arma, Ketua Badan Pelaksana JKMA Pidie Muktar, dan mewakili dari MAA Kabupaten Pidie adalah sekretaris MAA kabupaten Pidie Adhari,S.Sos. [rel]

read more
Kebijakan Lingkungan

Kesejahteraan Masyarakat Tergantung Lingkungan

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengemukakan bahwa dirinya berupaya meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya melalui pengelolaan lingkungan yang baik.

“Melalui pengelolaan lingkungan yang baik, masyarakat bisa hidup layak. Pertumbuhan ekonomi pun meningkat,” ujar wali kota yang karib disapa Risma, dalam acara rapat akbar Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) di Jakarta, Selasa (11/3/2014).

Wali kota terbaik dunia itu menambahkan pembangunan Surabaya bukan hanya sekadar membangun, tetapi dengan kebersamaan membuat kota lebih ramah lingkungan. Risma menceritakan pada awalnya petani di Surabaya bagian barat tidak memperhatikan aspek lingkungan, tapi setelah dilakukan pembinaan untuk bercocok tanam berbasis lingkungan, kesejahteraan petani meningkat.

“Sebagian besar jadi petani sukses, dan merambah ke daerah lain,” jelas dia.

Begitu juga dengan petani garam yang meningkat kesejahteraan. Nelayan pun tak luput diajak Risma untuk mengelola hutan bakau. Hasilnya luar biasa, nelayan bisa hidup layak. Risma juga membuat taman-taman kota, dan mengajak masyarakat untuk membersihkan sungai. Saat ini, sejumlah ikan mulai hidup di sungai tersebut.

“Kami juga berusaha mencegah banjir, dengan memperbaiki saluran air,” lanjut dia.

Pertumbuhan ekonomi Surabaya pun pada awal pemerintahannya 2010 meningkat dari sebelumnya lima persen menjadi tujuh persen. “Tidak perlu takut mengelola lingkungan. Pembangunan berbasis lingkungan tidak membuat miskin, malah sejahtera,” tukas dia.[]

Sumber: republika.co.id

read more
Kebijakan Lingkungan

Mengukur Efektivitas Proyek Mata Pencaharian

Sejak 1980, pemerintah, donor, organisasi konservasi dan pembangunan melakukan upaya  besar-besaran untuk proyek “mata pencaharian alternatif” yang mendorong masyarakat menghentikan aktivitas merusak lingkungan dan menggantinya menjadi kegiatan berkelanjutan.

Tetapi karena terdapat kekurangan bukti apakah proyek ini bekerja, kajian pembuktian sistematis tengah dilakukan – dan memerlukan masukan.

Proyek mata pencaharian alternatif diperkenalkan dalam beragam konteks: di Uganda mendukung konservasi gorila dan di Afganistan untuk mengurangi ketergantungan petani terhadap pertanian opium. Proyek ini  mendorong masyarakat menanam rumput laut dibanding memancing, menggunakan kompor irit-bahan bakar sebagai alternatif kayu bakar tradisional, dan peternakan, serta mengkonsumsi tikus tebu pengganti hewan liar.

Beberapa pengembang proyek REDD+, yang bertujuan mereduksi emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan, mengakui kebutuhan untuk menjamin masyarakat lokal memiliki sumber alternatif pemasukan sebelum menerapkan aspek lain skema ini, antara lain pembayaran untuk perlindungan hutan.

“Jika Anda tidak menawarkan mata pencaharian alternatif berkelanjutan,” kata Erin Sills, mitra senior Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR) pada 2011, “bentuk apapun intervensi hanya akan menggeser atau menunda deforestasi.”

Beragam hasil
Pada hasil terbaiknya, proyek mata pencaharian alternatif dipuji sebagai cara untuk mendorong baik konservasi maupun pembangunan. Wilayah ekowisata Missool di Raja Ampat, Indonesia, adalah contoh program konservasi dan pelibatan masyarakat. Program ini mempekerjakan 120 masyarakat lokal, mendukung sekolah dan menjadi penting dalam membangun wilayah dilarang membawa hasil memancing serta perlindungan hiu dan pari.

Banyak proyek lain menjadi kontroversial. Para praktisi menyebarkan anekdot buruknya perencanaan dan gagalnya intervensi. Bukan kejutan, jika proyek sering menimbulkan masalah ketika mereka mengabaikan keperluan sosioekonomi masyarakat dalam wilayah potensi konservasi. Contohnya, masyarakat adat direlokasi dari Taman Nasional Nagarhola di India sejak lama mengeluhkan pilihan mata pencaharian baru mereka tidak sesuai dengan kehilangan dari tempat sebelumnya.

Setelah semua uang, upaya dan waktu dikeluarkan, menjadi bahan perdebatan apakah inisiatif konservasi keragaman hayati dan pengurangan kemiskinan, termasuk proyek mata pencaharian alternatif, bisa disebut berhasil. Hanya sedikit bukti dari apa yang bekerja, apa yang belum dan mengapa?

Laporan terbaru mempertanyakan mengapa bukti keberhasilan, baik dalam konservasi keragaman hayati maupun pengurangan kemiskinan begitu terbatas. Apakah pendekatan tersebut gagal atau bukti yang benar tidak dikumpulkan untuk merekam “langkah menuju berhasil,”?

Kurangnya bukti membuat Kongres Konservasi Dunia IUCN mengeluarkan resolusi tahun lalu meminta kajian kritis bagi kemanfaatan keragaman hayati proyek mata pencaharian alternatif.

Bermitra bersama, IIED, CIFOR dan Zoological Society of London melakukan kajian sistematis terhadap bukti-bukti. Kajian akademik atau literatur abu-abu (materi publikasi informal seperti laporan projek) dilakukan untuk menentukan jika ada bukti proyek mata pencaharian alternatif mengurangi ancaman terhadap keragaman hayati. Hasilnya akan tersedia musim panas ini.

Menambah kebingungan, proyek ini digambarkan secara sangat beragam: ‘Mata pencaharian alternatif’, ‘aktivitas meningkatkan-pemasukan’, ‘dukungan mata pencaharian’, ‘diversifikasi mata pencaharian’, ‘peralihan mata pencaharian’, dan lain-lain.

Organisasi seperti Internasional Fauna & Flora kini menghindari penggunaan istilah ‘mata pencaharian alternatif’ dan mengadopsi istilah ‘diversifikasi mata pencaharian’ atau ‘pendekatan mata pencaharian berkelanjutan’ untuk menunjukkan pendekatan lebih holistik yang lebih merefleksikan kompleksitas hidup dan mata pencaharian masyarakat.

Apakah proyek ‘mata pencaharian alternatif’ adalah cara yang efektif untuk mengurangi kemiskinan dan melindungi keragaman hayati? Percayakah Anda pelaku proyek membesar-besarkan keberhasilan untuk memuaskan donor? Dapatkah Anda menunjukkan sebuah proyek ‘mata pencaharian alternatif’ yang berhasil (atau tidak berhasil) dalam meningkatkan status konservasi elemen tertentu keragaman hayati?

Hal ini bisa menjadi, contohnya, sebuah perubahan status konservasi spesies tertentu, menurun (atau tidak) kecepatan deforestasi, atau sekadar apakah aktivitas yang menurunkan kualitas lingkungan berlanjut atau berhenti.

Sumber: Cifor

read more
Kebijakan Lingkungan

Ekologi, Ekonomi dan Kemiskinan

“Kegagalan dalam merencanakan, adalah merencanakan kegagalan itu sendiri”

Negeri yang namanya Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagai sebuah negeri  Zamrud di khatulistiwa, Negerinya kolam susu (kata Koes Plus) semua bisa tumbuh. Negara yang terkenal kaya akan SDA, ternyata permasalahan kemiskinan menjadi persoalan yang sangat rumit, negeri yang berbasis agraris, pertanian, ternyata harus mengimport beras, gula pasir, susu, dll. Suatu hal yang cukup ironis, sehingga pertanyaan diatas cukup menggelitik semua pihak, baik ekonom, eksekutif, dan legislative, LSM, dan pertanyaan tersebut tidak hanya menggelitik, tetapi membutuhkan jawaban, sementara ini jawaban itu belum jelas dan belum akurat.

Sudah banyak pakar ekonom mencoba menafsirkan kemiskinan melalui indikator kemiskinan, solusi kemiskinan, penyebab kemiskinan, namun pengentasan kemiskinan belum bisa tuntas, bahkan cenderung meningkat di Indonesia. Tentunya timbul sebuah pertanyaan “ ada apa dengan kemiskinan di Indonesia ?”.

Perlu kita simak pertanyaan  Prof Mubyarto mempertanyakan hal yang lebih mendasar “Apakah kriteria kemiskinan diperlukan pemerintah, dan apakah perlu indikator tertentu bagi keluarga miskin? Apa gunanya indikator atau kriteria kemiskinan? Apakah agar program-program penanggulangan kemiskinan lebih mengena sasaran?. Jika kebijakan-kebijakan, strategi dan program-program penanggulangan kemiskinan selama ini ternyata tidak efektif mencapai sasaran, apakah berarti kriteria kemiskinan yang dipakai tidak tepat atau indikatornya keliru?

Dari beberapa catatan diatas, belum jelasnya Indikator Kemiskinan, sehingga dengan ketidak jelasnnya indikator kemiskinan, membuat program-program penanggulangan kemiskinan belum menyentuh sasaran. Kenyataan ini, walaupun berbagai departemen memiliki program pengentasan kemiskinan, ternyata pengentaskan kemiskinan belum berhasil.

Pengertian dan indikator Human Development Report (HDR) adalah satu konsep yang melihat pembangunan secara lebih komprehensif, di mana pembangunan harus menjadikan kesejahteraan manusia sebagai tujuan akhir, bukan menjadikan manusia sebagai alat pembangunan. Di dalam konsep ini, juga dijelaskan bahwa pembangunan manusia pada dasarnya adalah memperluas pilihan-pilihan bagi masyarakat.

Hal yang paling penting di antara pilihan-pilihan yang luas tersebut adalah hidup yang panjang dan sehat, untuk mendapatkan pendidikan dan memiliki akses kepada sumber daya untuk mendapatkan standar hidup yang layak. Pilihan penting lainnya adalah kebebasan berpolitik, jaminan hak asasi manusia dan penghormatan secara pribadi, sehingga HDR bahwa pembangunan harus terfokus pada tujuan akhir menjadikan kesejahteraan manusia.

Dari Index Kemiskinan Manusia atau Human Poverty Index (HPI), kemiskinan di Indonesia semakin  bertambah, untuk mengatasi kemiskinan telah dilakukan dan akan terus dilakukan kegiatan pengentasan kemiskinan melalui program pengentasan, namun jumlah kemiskinan semakin bertambah, sehingga timbul pertanyaan ”Ada apa dengan kemiskinan Indonesia ?” beberapa kemungkinan jawaban antara lain ”Apakah tujuan dan fokus pembangunan yang belum tepat ? (sesuai dengan potensi yang ada), ”Apakah Indikator dan penyebab kemiskinan yang belum  jelas ?”, kalau keduanya belum jelas tentunya program pengentasan kemiskinan juga tidak akan menghasilkan hasil yang diharapkan

Sebagaimana statemen Duta Besar PBB untuk Millenium Development Goals (MDGs) Asia Pasifik, Erna Witoelar menyatakan perusakan lingkungan menyebabkan masyarakat semakin miskin karena rusaknya sumber daya potensial. “Angka kemiskinan akan terus naik seiring dengan kerusakan lingkungan,” Berdasarkan hasil evaluasi program MDGs di Asia Pasifik, tahun 2006 Indonesia dinilai mengalami penurunan pencapaian target MDGs.”Penurunannya sangat parah,” kata Erna dalam diskusi “Pemenuhan dan Pemulihan Keadilan Ekologis,”. Penyebab utamanya adalah bencana alam akibat kerusakan ekologis dan konflik politik. Mundurnya pencapaian pembangunan itu, menyebabkan masyarakat semakin miskin, akses pada sarana pendidikan dan kesehatan minim dan lingkungan yang semakin rusak.

Memang kenyataan ini, belum banyak dilirik dalam mengentaskan kemiskinan di Indonesia, sehingga beberapa kajian Indikator dan penyebab kemiskinan serta upaya pengentasan kemiskian secara lintas sektoral di Indonesia. Aspek ekologis sangat minim diperhatikan terutama mengurangi kerusakan ekologis seperti deforestrasi, bahkan di era  otonomi daerah, banyak keinginan untuk melakukan kegiatan Investasi yang cenderung  tidak memperhatikan aspek ekologis/Sumber Daya Alam, namun  hanya memperhatikan aspek ekonomi untuk mendapatkan fuinancial benefit sebesar-besarnya atau Pendapatan Asli Daerah (PAD) semata-mata selama berkuasa, dengan mengabaikan Penilaian ekonomi Sumber Daya Alam (yang memiliki dimensi non administratif bahkan berdimensi regional dan global).

Sehingga kerusakan ekologis sebagai suatu penyebab kemiskinan terbesar baik di desa maupun di kota secara bertahap dan kontinyu serta pasti. Fakta ini sudah dibuktikan dengan kerusakan hutan baik secara legal melalui Hak pengusahaan Hutan, Pertambangan dan investasi lain membawa dampak akses ekonomi masyarakat pinggir hutan terbatas, bahkan menjalar ke daerah hilir, yang akan membawa pengaruh pada masyarakat secara ekonomi menurun dan dampak ekologis lainnya yaitu bencana alam banjir dan kekeringan, dan penyakit. Sedangkan sumber Pendapatan masyarakat utama adalah pertanian, dan akan membawa pengaruh secara regional  terhadap pusat-pusat ekonomi yang ada di kota.

Kalau kita simak statemen Pengamat ekonomi Rizal Ramli menilai perbaikan ekonomi bisa dilakukan seiring dengan perbaikan ekologis dengan syarat ada perbaikan kesejahteraan. Oleh karena itu, yang harus diprioritaskan oleh pemerintah adalah meningkatkan kesejahteraan dan pendapatan perkapita.

Kemiskinan dan  kerusakan ekologis sesuatu yang  sangat sulit dipisahkan. Kerusakan ekologis menyebabkan kemiskinan, sebaliknya kemiskinan menyebabkan kerusakan ekologis semakin tinggi, sehingga faktor ekologis merupakan salah satu faktor utama penyebab kemiskinan Indonesia.

Pemimpin spiritual India Mahatma Gandhi pernah mengingatkan, bumi menyediakan cukup kebutuhan seluruh umat manusia, tapi bukan untuk kerakusan. Memang, orang-orang yang rakus senantiasa tidak pernah puas dan merasa kurang, sekalipun sudah berkelimpahan. Peringatan Mahatma Gandhi sangat relevan dengan situasi global, lebih-lebih saat ini.

Kerakusan tidak hanya menciptakan kemiskinan bagi sesama manusia, tapi juga bisa merusak alam. Keserakahan membuat alam dieksplorasi secara berlebihan, yang akan menimbulkan bencana, hanya melihat alam sebagai sumber financial semata-mata, sedangkan alam merupakan ekolgis yang memiliki nilai ekonomi tidak langsung yang mendukung nilai ekonomi secara langsung.

Dari beberapa sumber dan fakta lapangan, bahwa kerusakan ekologis mejadi salah satu faktor utama kemiskinan di Indonesia. Hal ini dibuktikan di pesisir Jawa, sampai akhir tahun 2003, jumlah desa terkena banjir meningkat 3 kali lipat yaitu 2.823 desa dibandingkan tahun 1996-1999, yang juga merupakan implikasi dari rusaknya ekosistem pesisir akibat dari konversi lahan, destructive fishing, reklamasi, hingga pencemaran laut (dimana 80% industri di Pulau Jawa berada disepanjang pantai utara Jawa).

Kekeringan adalah bencana lain yang semakin kerap terjadi di Indonesia. Belakangan ini musim kemarau di Indonesia semakin panjang dan tidak beraturan, meski secara geografis dan alamiah Indonesia berada di lintasan Osilasi Selatan-El Nino (ENSO), misalnya kemarau 2003 termasuk normal, namun tercatat 78 bencana kekeringan di 11 propinsi, dengan wilayah yang terburuk dampaknya adalah Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Dampak kekeringan yang utama adalah menurunnya ketersediaan air, baik di waduk maupun badan sungai, yang terparah adalah pulau Jawa. Dampak lanjutannya adalah pada sektor air bersih, produksi pangan serta pasokan listrik. Kekeringan juga terkait dengan kebakaran hutan, karena cuaca kering memicu perluasan kebakaran hutan dan lahan serta penyebaran asap.

Pemerintah tidak melakukan kajian menyeluruh mengenai pola dan penyebab bencana tersebut, yang akan menyebabkan kemiskinan secara bertahap akan bertambah, sedangkan upaya pengentasan telah dilakukan, namun minim sekali melihat aspek ekologis. Pengentasan kemiskinan cenderung dilakukan mengabaikan aspek ekologis, sehingga penyelesaian kemiskinan tidak komprehensif dan terpadu.

Masalah kerusakan lingkungan di Indonesia lebih rumit, dimana di era otonomi daerah, peraturan dan kebijakan belum sepenuh berpihak penuh pada ekologis dan menghentikan kerusakan  serta mengembalikan fungsi ekologis, karena peraturan dan kebijakan merupakan lanjutan dari kebijakan pemerintah sebelumnya yang mengeksploitasi SDA untuk kepentingan financial semata-mata menuntut agar daerah dapat lebih besar menikmati hasil eksploitasi sumberdaya alam dan lingkungan, yang dapat memicu motivasi negatif untuk mengeksploitasi terus-menerus demi kepentingan jangka pendek.

Bahkan saat ini kecenderungan terjadi eksploitasi SDA dengan beragai alasan, untuk mengeksploitasi hutan bahkan mengancam hutan konservasi untuk mendapatkan dan menggelembungkan PAD tanpa memperhatikan dampak dari kegiatan tersebut jangka panjang.  Hingga hari ini masih tampak jelas adanya konflik pengelolaan/penggunaan sumber daya alam, terlalu kuatnya ego sektoral, lemahnya koordinasi dan penegakan hukum, lemahnya kepekaan SDM, dan alasan klasik terbatasnya dana dalam mengelola lingkungan hidup. Dengan mengatasnamakan upaya untuk keluar dari krisis ekonomi ataupun investasi, aktivitas ekonomi yang memperkosa alam seakan memperoleh pembenaran. Upaya konservasi sumber daya alam dan lingkungan hidup dikorbankan atau bahkan dijadikan tumbal untuk menutup kerugian ekonomi.

Ditambah lagi fakta politik di Indonesia, untuk menjadi pimpinan daerah dan nasional bahkan anggota legeslatif melalui pemilihan dengan biaya tinggi, tentunya peluang pimpinan dan anggota legeslatif lebih cenderung berinvestasi pada kegiatan politik, yang sebelumnya berusha untuk merebut dan mempertahankan kekuasanan dengan mebayar mahal dan mendapat keuntungan setelah menjabat cenderung menjadi incaran bagi orang kaya menduduki jabatan politik.

Pembangunan pada masa lalu sampai sekarang memang cenderung untuk meminimalkan nilai lingkungan, bahkan menghilangkannya, yaitu semenjak tahun 1971 Hutan dijadikan areal HPH sebagai modal Pembangunan yang menghasilkan devisa utama dalam pembangunan, dan pembangunan perkotaan, Industrial dll. Lingkungan dan ekosistem yang ada banyak dialihfungsikan untuk kepentingan ekonomi semata-mata, sehingga keadaan lingkungan suatu daerah berkembang dan memberikan nilai ekonomi jangka pendek, namun secara ekologi dan ekonomi menurun dalam jangka panjang.

Ekologi diabaikan, padahal nilai ekologi lebih penting daripada perkembangan nilai ekonomi jangka pendek. Sehingga tidak mengherankan terganggunya keseimbangan ekosistem, langsung maupun tidak langsung seperti meningkatnya suhu udara di perkotaan, pencemaran udara (meningkatnya kadar karbonmonoksida, ozon, karbondioksida, oksida nitrogen, belerang, dan debu), menurunnya air tanah dan permukaan tanah, banjir atau genangan, instrusi air laut, meningkatnya kandungan logam berat dalam air tanah, dan masih banyak lagi dampak lainnya yang ada ataupun yang belum terasa baik secara regional maupun global.

Sistim ekonomi yang dianut cenderung ke sistem ekonomi kapitalis dalam permasalahan pembangunan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan, akan menuju kepada permasalahan ekonomi dan sosial-budaya dalam jangka panjang. Hubungan manusia dengan lingkungan “sebagai penguasa alam” membuat alam tidak harmonis dan tak seimbang akan turut juga memicu krisis sosial-budaya, kemiskinan, yang muncul diawali degradasi lingkungan di sekitar suatu obyek ekologi justru akan menciptakan ekonomi biaya tinggi. Yang melahirkan opportunity cost baik Perusahaan maupun masyarakat bagaimana memperoleh air bersih atau melakukan treatment untuk udara dan air yang tercemar, banjir, kekeringan, longsor, dll

Hal ini tentunya diikuti dengan terjadinya krisis sosial-budaya termasuk kesehatan masyarakat di sekitar obyek/perusahaan tersebut. Bahwa Sumber daya alam merupakan sumber dan tata kehidupan yang memberikan ecological benefit, economical benefit, dan social benefit. Yang merupakan tolok ukur pembangunan yang menjadi acuan bagi Pemerintah dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan, dimana manusia menjadi bagian dari lingkungan yang akan saling mempengerahi tatanan sosial, budaya dan ekonomi, karena tanpa SDA manusia tidak akan bisa hidup di planet ini

Pembangunan dalam mewujudkan kesejahteraan yang madani tidaklah cukup mengandalkan pendekatan ilmu ekonomi konvensional semata-mata. Kegagalan-kegagalan pembangunan ekonomi di negara berkembang, diakibatkan berbagai degradasi sumber daya alam serta lingkungan tidak bisa semata-mata didekati dari kebijakan ekonomi fiskal dan moneter. Misalnya penghitungan nilai-non pasar sebuah pohon, yang umumnya diukur nilai ekonomi kubikasi kayu dengan menebang dan menjual kayunya saja. Melalui perhitungan Penilaian Ekonomi Sumber Daya Alam (PESDA) pohon yang dibiarkan dianggap tak memiliki nilai ekonomis sama sekali.

Padahal pohon hidup ini bila dikonversi/diuangkan dengan memperhitungkan nilai ekologi akan memiliki nilai ekonomis yang jauh lebih tinggi. Nilai non-market tersebut misalnya keteduhan, kesejukan, kesuburan tanah, tempat bersarang berbagai burung dan hewan serta keseimbangan dan kelestarian alam. Penempatan nilai ekologi dalam ekonomi yang sebenarnya juga sangat diperlukan dalam menghitung kerugian seperti akibat pencemaran lingkungan yang dilakukan suatu perusahaan, kerusakan hutan, kerusakan lahan, pantai, laut dan sebagainya.

Manusia memang tidak bisa lepas dari ekosistem yang besar (planet bumi) sebagai penyedia jasa dan produk dari kehidupan manusia itu sendiri. Salah satu pernyataan seorang militer Prussia, Carl von Clausewitz (1780-1831) ekonomi terlalu penting untuk diserahkan pengelolaannya hanya kepada para ekonom saja. Sementara itu, arus utama pemikiran ekonomi terlalu menitikberatkan pada pelaku sosial (social sphere/anthropocentric) dengan mendiskusikan persoalan yang terkait dengan nilai keputusan (value decisions), tingkah laku pelaku ekonomi (economic actors/agents) dan mekanisme pasar (market mechanism). Mereka sering lupa atau bahkan melupakan diri bahwa distribusi kesejahteraan yang dihasilkan dari pasar itu berasal dari dunia material (ekosistem), lingkungan, sistem planet bumi itu sendiri.

Pengabaian peran ekologi sesungguhnya tidak ditemukan dalam sejarah pemikiran ekonomi. Pengabain ini pantas disebut sebagai kecelakaan sejarah karena dalam perkembangannya telah banyak ilmuwan baik dari kalangan ecologists maupun economists yang mengkritik pemikiran dari penganut ortodoks neoklasik. Khususnya pemikiran yang menganggap sumberdaya (biosfer bumi) tidak ada batasannya dan tidak mempercayai hukum yang berlaku di alam. Demikian juga dengan pemikiran antroprocentric (manusia) yang mengabaikan peran ekosistem sebagai penyedia sumberdaya sekaligus penerima limbah dari kegiatan ekonomi. Hal ini lumrah bagi mereka yang memberi ‘penilaian yang rendah’ terhadap proses-proses ekosistem sebagai penyedia sumberdaya maupun sebagai penyerap limbah kegiatan ekonomi.[]

read more