close

merkuri

Kebijakan Lingkungan

Moratorium Tambang Harus Jawab Isu Kesejahteraan & Lingkungan

Banda Aceh – Instruksi Gubernur Aceh tentang penutupan seluruh pertambangan illegal harus disikapi dengan bijak. Pertama, Intruksi tersebut harus dipandang sebagai sebuah semangat mencegah kerusakan di muka bumi baik bagi manusia maupun lingkungan hidup. Kedua, kebijakan tersebut  harus diikuti dengan langkah kongkrit untuk menjawab dampak yang timbul bagi perekonomian warga penambang akibat  intruksi Gubernur Aceh menutup pertambangan rakyat.

Demikian disampaikan oleh Juru Bicara Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA), Efendi Isma dalam siaran persnya hari ini. Menurutnya fakta saat ini ada ribuan warga Aceh menggantungkan hidup dari usaha pertambangan khususnya tambang emas. Di sisi lain, ada dampak buruk yang ditimbulkan karena pengolahan hasil tambang emas  masih menggunakan bahan berbahaya seperti  air raksa dan sianida yang dipercaya merusak bagi manusia dan lingkungan hidup.

Menurut investigasi  KPHA, terdapat sejumlah lokasi pertambangan emas rakyat di Aceh seperti Pidie, Aceh Jaya dan Aceh Selatan dan sampai saat ini masih beroperasi serta menggunakan merkuri.

Pembiaran terhadap penggunaan  bahan berbahaya oleh warga dalam mengolah hasil tambang memang tidak boleh terjadi. Karena hal itu akan berdampak buruk bagi mereka sendiri dan lingkungan untuk jangaka waktu yang lama. Namun, menutup tambang emas tradisonal rakyat tanpa diikuti dengan solusi komprehensif, juga dapat disebut sebagai tindakan yang tidak bijak.

Menyikapi polemik Intruksi Gubernur soal penutupan pertambangan illegal di Aceh, Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA) menilai ada beberapa hal yang harus segera dilakukan diantaranya:
1.    Pemerintah Aceh harus segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah Aceh tentang Moratorium Tambang. Termasuk mengatur soal tambang rakyat.

2.    Segera melokalisir area pertambangan rakyat yang terdapat di seluruh Aceh, untuk mengetahui potensi dan menyusun rencana yang matang tentang pemanfaatan dan pengelolaan tambang Aceh yang berasaskan kesejahteraan berkeadilan bagi rakyat Aceh dan kelestarian lingkungan.

3.    Melakukan musyawarah dengan warga yang selama ini mengantungkan hidup mereka dari sector pertambangan emas  guna menemukan solusi perkonomian selama moratorium tambang Aceh.

4.    Pemerintah Aceh juga harus memastikan pemutusan mata rantai peredaran bahan berbahaya yang digunakan warga dalam aktivitas pertambangan emas. Selain itu, Pemerintah Aceh juga harus bertanggung jawab atas pembiaran penggunaan bahan berbahaya selama ini oleh warga. Termasuk juga memberantas mafia merkuri atau sianida yang bermain dan mengambil keuntungan dari bisnis tersebut selama ini di Aceh.

5.    Pemerintah segera membuat rencana program pertambangan rakyat dengan metode ramah lingkungan dan memastikan terlaksana dengan asaz kesejahteraan berkeadilan bagi seluruh rakyat Aceh. Program tambang rakyat yang ramah lingkungan adalah jaminan atas pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam menikmati sumber daya alam yang ada.

6.    Meninjau ulang seluruh izin perusahaan pertambangan di Aceh.  Guna memastikan tidak perampokan sumber daya alam oleh pihak- pihak tertentu yang kita yakini terjadi selama ini di Aceh. Termasuk juga soal pemenuhan kewajiban reklamasi dan CSR.

7.    Pemerintah Aceh harus mlakukan audit lingkungan Aceh secara menyeluruh, guna mengetahui secara menyeluruh ada tidaknya tindak pidana/ kejahatan di sector kehutanan dan pemanfaatan SDA Aceh.

8.    Membuka ke public seluruh proses pemanfaatan dan penerimaan hasil ekspolitasi SDA Aceh khususnya sector pertambangan.

9.    Mendesak Pemerintah Aceh segera melakukan revisi Qanun RTRWA. Mengingat Qanun Aceh yang telah disahkan pada akhir tahun 2013 itu, tidak merinci secara jelas soal jenis dan lokasi pertambangan di Aceh. [rel]

read more
Ragam

Merkuri Diduga Cemari Sungai di Pidie dan Aceh Jaya

Inilah kondisi ikan yang mati akibat dugaan keracunan. Dagingnya lembek, mata bengkak, dan insang pecah. Dok: SulaimanInilah kondisi ikan yang mati akibat dugaan keracunan. Dagingnya lembek, mata bengkak, dan insang pecah.
Banda Aceh – Ribuan ikan mati dari aliran sungai di Pidie hingga Aceh Jaya, Aceh. Diduga, karena kebocoran penampungan rendaman pasir yang mengandung emas di Geumpang.

Kejadian itu berlangsung sejak 26 Juli, di Geumpang, Pidie. Aliran sungai yang terhubung ke Krueng Teunom, Aceh Jaya,  membuat ikan di sana mati. Warga yang juga keracunan setelah mengkonsumsi ikan tersebut dilarikan ke rumah sakit.

Kuddi, panglima krueng (pawang sungai) Sarah Raya, mengatakan, jarak antara Geumpang hingga ke Krueng Teunom sekitar 57 kilometer. “Dari hari raya ke tiga sampai ke mari, ikan mati,” kata Kuddi, yang dihubungi Sabtu (2/8/2014).

Adi Saputra, warga Teunom mengatakan, ikan-ikan itu mengapung terbawa arus sungai. Warnanya putih pucat. “Insang pecah. Dagingnya lembek,” kata Adi. Sementara Kuddi menambahkan, sisik ikan yang mati memerah, mata bengkak, dan kelamin di perut terburai.

Dua malam sebelum kejadian, Kuddi bersama warga menelusuri sungai mencari ikan kerling. Tak seperti biasa, ikan yang didapat sangat banyak. Ia belum tahu, jika di Geumpang banyak ikan yang mati. “Malam hari raya ke tiga, mulai banyak yang mati,” katanya lagi.

Di hari pertama kejadian, aktivitas masyarakat seperti biasa; mandi, mencuci dan buang air di sungai. Warga bahkan mengambil ikan yang mati untuk dikonsumsi. Namun, beberapa warga mengeluhkan pusing dan badan sakit. Empat orang dilarikan ke rumah sakit, di Teunom. Sejak itu, warga tidak lagi mengkonsumsi apapun yang berasal dari sungai.

Jufri Abdurrahman, Kepala Desa Padang Kleng, Kecamatan Teunom, mengatakan, kejadian itu belum pernah terjadi di daerahnya. Masyarakat telah dihimbau untuk tidak mengkonsumsi ikan sungai. Pasalnya, keracunan telah terjadi atas beberapa warga di tiga desa: Sarah Raya, Alu Meuraksa, dan Bintah.

Imum Mukim Leutung, Kemukiman Mane, Pidie, Tengku Sulaiman, menyebutkan, dugaan keracunan dari pertambangan tradisional semakin kuat. Pasalnya, pertambangan di sana, diduga tidak hanya menggunakan merkuri. Karbon, soda, obat tetes, hingga cairan berbahaya lainnya juga digunakan.

“Saat emas sudah dipisahkan, pasirnya dibawa turun ke bawah dan dibakar. Kandungan emas lebih banyak,” kata Sulaiman. Karbon yang terkadung dalam cairan itulah yang kemudian dibawa air hujan ke Krueng Geumpang hingga Krueng Teunom. Jika memang terbukti ikan itu mati karena keracunan pertambangan, kata Sulaiman, maka warga bakal menutup pertambangan emas itu.

Di Geumpang, kematian ikan terjadi setelah hujan turun, 26 Juli lalu. “Selama ini di Kemukiman Mane, diterapkan aturan tidak boleh membuka tambang di aliran sungai Krueng Mane. “Jika saluran pembuangan terhubung ke sungai harus tutup,” jelas Sulaiman.

Sehari setelah kejadian di Krueng Geumpang, ikan mati di Krueng Mane. Seminggu setelahnya sampai ke Krueng Teunom, aliran sungai yang langsung terhubung ke laut.

Di wilayah Kemukiman Mane, Sulaiman bersama tokoh masyarakat juga telah membuat pengumuman untuk tidak mengkonsumsi ikan dan air yang  bersumber dari sungai. “Padahal dari dulu, Krueng Mane sumber perekonomian masyarakat sekitar,” kata Sulaiman.

Sulaiman menjelaskan, petugas pemerintahan telah mengambil sampel ikan, untuk uji laboratorium. Senin, hasilnya keluar. “Saya sudah lapor bupati. Ini harus segera diatasi,” tandasnya. [005-mongabay-greenradio]

Sumber: TGJ

read more
Tajuk Lingkungan

Setan Merkuri

Di jalanan, saya membenci pagi. Sebab di jalan – pagi begitu bising, begitu berisik, saling mendahului dan saling maki-memaki, klakson-mengklakson. Lebih berisik dari isi twitter dan lebih cerewet dari facebook. Tapi bagaimanakah mengalihkan perhatian ke pagi yang sepi 17 Mei 2013, di dalam sebuah mobil saat seorang ibu
bersalin dengan keceriaan yang seketika mati. Aulida Putri mungil lahir dengan benjolan besar di dahi,  jari-jari tangan yang terputus dan jari kaki yang juga tidak sempurna.

Hanya dengan membungkam berisik,  kita bisa merasakan apa yang mereka rasakan. Barangkali kita perlu menyimak apa arti pagi bagi Aulida Putri. Bayi dari pasangan Warga Keude  Panga, Aceh Jaya itu.
Dari mana datangnya cacat?

Nidar, ibu kandung Aulida: ketika  hamil – melahap kerang yang dibawa pulang suaminya setiap pulang kerja, dan kerang itu ternyata beracun. Ya., kerang itu tercemar merkuri penambang emas Gunong Ujeuen Kecamatan Krueng Sabee.

Lalu datang petaka itu. Merkuri berada di belakang kisah hidup Aulida yang baru saja ia mulai. Tapi saya yakin, Aulida bukan sendirian, sebab merkuri adalah zat racun yang pelan-pelan tapi pasti bisa membunuh siapa saja.
Anehnya, gelombang kesadaran massa akan bahaya merkuri belum tersentuh. Para pendulang masih menggerakkan mesinnya, mengguyur merkuri ke tanah dan sungai-sungai. Dari mana datangnya rasa bengal akan kejahilan? Dari dalam dirinya yang ingin segera kaya raya? Bukankah para pendulang itu juga manusia? Bukankah mereka punya bayi?

Di sini saya kira, Tuan-tuan harus turun tangan. Sebab situasi sudah tidak biasa. Manusia sedang mengulang kejahanamannya. Melakonkan rutinitas tanpa melihat tangisan generasi masa depan.

Dan ini bukan perang biasa, tapi sebuah latar kengerian yang sangat merisaukan.

Pedulikah Tuan? Tidak cukup dengan kata-kata normatif, sebab korban sudah mulai berjatuhan, dan pasti akan susul-menyusul. Bertindaklah Tuan.

Sumber: hutan-tersisa

read more
Kebijakan Lingkungan

Pascasebaran Merkuri di Aceh Jaya, Korban Mulai Berjatuhan

Sepanjang 2013 lalu angka kematian bayi di Aceh Jaya yang sebagian sungai dan sumur warganya tercemar merkuri, mencapai 33 orang. Dari jumlah itu, beberapa meninggal dengan kelainan bawaan sejak lahir. Misalnya, ada bayi yang mengalami kelainan jantung bawaan (cardioseptal defect), lahir prematur, atau terlahir sumbing mulai dari bibir sampai ke langit-langitnya (kelainan kongenital).

Begitupun, belum dapat dipastikan apakah kelainan bawaan pada bayi yang baru lahir itu disebabkan ibu dan ayahnya merupakan orang yang selama ini terpapar merkuri (air raksa) yang banyak digunakan penambang emas ilegal di Aceh Jaya untuk memisahkan butiran emas dari batu dan gumpalan tanah.

“Memang belakangan ini mulai banyak ditemukan di Aceh Jaya bayi yang lahir tidak normal atau dengan kelainan bawaan dan akhirnya meninggal. Tapi untuk mengklaim bahwa itu ada kaitannya dengan sebaran limbah merkuri di sejumlah tempat di Aceh Jaya, saya tak berani. Tentulah diperlukan penelitian yang mendalam,” kata Kepala Dinas (Dinkes) Aceh Jaya, Cut Kasmawati MM melalui Sekretaris Dinas, Ernani Wijaya SKep yang dikonfirmasi Serambi, Selasa (18/2/2014) malam.

Menurut Ernani, dengan sudah terungkapnya data lapangan tentang peredaran dan persebaran merkuri di Aceh Jaya itu, maka sebaiknya ke depan penyebab bayi lahir dengan kelainan bawaan dan kemudian meninggal, haruslah segera ditelusuri dengan saksama.

Ia mengaku khawatir dengan maraknya penggunaan air raksa yang didorong oleh maraknya penambangan emas di Gunong Ujeun, Kecamatan Krueng Sabee, Aceh Jaya. Karena, selain pekerja yang melakukan kontak langsung dengan bahan berbahaya itu, masyarakat yang mengonsumsi ikan/udang/kerang (lokan) dari laut dan sungai juga ikut teracuni. Bahkan anak-anak, bayi, hingga janin yang masih dalam kandungan pun berpotensi terkena bahaya merkuri.

Erna menilai, warganya tidak begitu peduli dengan bahaya merkuri karena dampaknya pada tubuh manusia tidak langsung terjadi dalam waktu singkat. Padahal, efek dari merkuri itu bisa menyebabkan kerusakan sistem saraf pusat, kerusakan otak, kerusakan sistem pencernaan, hingga berujung pada kematian.

Ia rincikan, sepuluh dari 33 bayi yang meninggal itu, disebabkan kondisi tidak normal saat masih dalam kandungan, sehingga bayi lahir prematur. Ke-13 bayi yang meninggal saat lahir itu, merupakan warga Kecamatan Panga, Teunom, Krueng Sabee, dan Sampoiniet. Kawasan ini merupakan kawasan yang banyak terdapat mesin pengolahan bijih emas menggunakan air raksa.

Sementara itu, mantan direktur eksekutif Walhi Aceh, Ir TM Zulfikar mendesak Pemerintah Aceh segera bertindak untuk membatasi peredaran cairan merkuri di Aceh. “Kami mempertanyakan mengapa air raksa ini bisa dengan gampang sekali diperoleh masyarakat. Padahal, untuk memperoleh merkuri, harus ada izin dengan prosedur yang ketat. Terkesan, peredaran merkuri di Aceh sama seperti peredaran narkoba. Cuma, pengedar narkoba sering tertangkap, sedangkan pengedar merkuri tidak pernah,” ujarnya. []

Sumber: serambinews.com

read more
Ragam

Bayi-Bayi Cacat ini Korban Merkuri?

Sejak pagi, Nidar (31), warga Keude Panga Kecamatan Panga, Aceh Jaya yang merupakan istri seorang penambang emas di Gunong Ujeun, Yusri (35) sudah merasakan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa mules pun semakin terasa sehingga ia segera dibawa oleh keluarganya menuju RSU Cut Nyak Dhien di Meulaboh, Jumat tahun lalu (17 Mei 2013). Di tengah perjalanan, Nidar tak mampu lagi bertahan. Ia pun terpaksa bersalin di mobil saat masih dalam perjalanan ke rumah sakit. Anak keduanya ini kemudian diberi nama Aulida Putri.

Belum hilang rasa sakit akibat persalinan tanpa bantuan petugas medis, ia malah harus merasakan sedih begitu melihat kondisi fisik anaknya yang cacat fisik. Di dahi bayi itu terdapat sebuah benjolan cukup besar di antara dua matanya. Jari telunjuk dan jari tengah pada tangan kiri bayi itu juga puntung, seperti juga jari manis di kaki kirinya. Sementara, dua jari kaki lainnya juga tumbuh tidak sempurna.

Saat tiba di RSU Cut Nyak Dhien, Nidar dan bayinya langsung diberikan pertolongan pertama dan hari itu juga dirujuk ke RSU Zainoel Abidin di Banda Aceh. “Melihat kondisi anak saya, dokter di RS Cut Nyak Dhien menanyakan apa yang sering saya makan selama hamil. Saya katakan, suka makan kerang. Dokter itu pun menuding bahwa kerang yang saya makan tercemar merkuri,” cerita Nidar, Kamis (13/2/2014).

Kepada media lokal yang menanyakan lebih lanjut asal kerang (lokan) yang ia makan, Nidar menjawab, bahwa saat ia hamil, suaminya bekerja sebagai penambang emas di Gunong Ujeun Kecamatan Krueng Sabee. Setiap pulang bekerja, suaminya kerap membeli kerang yang dijual di Pasar Krueng Sabee.

Pasar dimaksud berlokasi tak jauh dari Kuala Kabong, muara sungai Krueng Sabee yang airnya berasal dari mata air Gunong Ujeun, tempat ratusan penambang tradisional mengambil batu mengandung emas. Aliran sungai itu melewati desa Panggong, Curek, Paya Seumantok, hingga Desa Kabong. Di desa-desa itu banyak terdapat tempat pengolahan emas menggunakan air raksa, karena penambang hanya mengambil batu emas untuk kemudian dibawa turun ke desa-desa sekitar, untuk dipisah unsur emasnya dari batu atau tanah.

Alat-alat pengolahan emas di sepanjang sungai tersebut tidak memiliki tempat pembuangan limbah yang baik. Sebagian hanya menggunakan kolam limbah dengan dinding tanah, sebagian lagi malah membuang  ke saluran pengairan untuk sawah, bahkan ada yang langsung membuangnya ke sungai.

Sebenarnya bukan penambang emas yang melakukan pencemaran merkuri–meskipun mereka tetap saja merusak lingkungan dengan melubangi lereng-lereng gunung hingga bisa menyebabkan longsor. Namun, aktivitas pengolahan emas dengan alat berat (warga setempat menyebutnya gelondong) yang menggunakan air raksa sebagai bahan pemisah emas lah yang berperan besar dalam pencemaran merkuri, karena pembuangan limbah yang tidak ramah lingkungan. Tanpa mereka sadari, perilaku ini telah menimbulkan masalah kesehatan yang serius, bahkan menyebabkan kematian.

Kisah tragis juga dialami seorang bayi di Desa Blang Baro pada tahun 2008 lalu yang ususnya terburai akibat tidak memiliki kulit perut. (Nama bayi dan keluarganya sengaja tak disebut atas pertimbangan kemanusiaan -red). Saat bayi ini masih dalam kandungan, banyak tetangganya yang bekerja sebagai pengolah batu emas yang dibawa dari Gunong Ujeun, termasuk kakek dari bayi malang itu. Lokasi mesin gelondong untuk memisahkan emas dari batu dan tanah gunung itu pun berada di sekitar rumahnya.

Saat itu, eksploitasi emas dari Gunong Ujeun sedang pada puncaknya. Tak heran, puluhan kilogram air raksa digunakan secara massal di sekitar tempat tinggalnya yang masuk dalam wilayah Kecamatan Panga. Hasil penelitian pada air sumur warga yang dilakukan Dinkes Aceh Jaya di kecamatan tersebut, menyebutkan tingkat pencemaran merkuri mencapai 83 persen, karen dari 12 sampel air yang diteliti, 10 sampel dinyatakan tercemar merkuri.

Ditambah lagi, perilaku pekerja yang jarang menggunakan sarung tangan dan penggunaan merkuri di tempat terbuka, menambah tingkat kerawanan paparan logam berat itu.

Bidan desa bernama Rosalina yang membantu proses persalinan di rumah pasien itu, tak mampu berbuat banyak untuk menyelamatkan bayi terebut. Apalagi untuk membawanya ke rumah sakit terdekat yang berjarak belasan kilometer dari rumah pasien.

“Bayi itu meninggal sesaat setelah lahir. Hampir semua bidan dan petugas Puskesmas di sini tahu kejadian itu yang kami yakini sebagai dampak dari pencemaran merkuri,” ujar Kepala Puskesmas Panga yang akrab dipanggil Mami, kepada Serambi, Kamis lalu. []

Sumber: serambinews.com

read more
Ragam

Jutaan Hektare Lahan di Cina Tercemar Logam Berat

Sekitar 3,3 juta hektare lahan pertanian di Cina tercemar dengan logam berat dan bahan kimia lain serta tidak bisa ditanami, menurut pemerintah. Data itu merupakan sekitar 2 persen dari lahan pertanian Cina.

Sejumlah kalangan menyebut, faktor meningkatnya industri, terlalu banyaknya penggunaan bahan kimia, serta rendahnya penerapan pengawasan lingkungan menyebabkan kekhawatiran terkait keselamatan pangan di Cina.

Tahun ini ditemukan kandungan logam berat kadmium—yang jika terakumulasi dalam jangka panjang dapat merusak ginjal dan tulang—di hampir setengah jumlah beras yang dijual di Guangzhou.

Wakil menteri urusan lahan dan sumber daya Wang Shiyuan, mengatakan kepada para wartawan bahwa Cina akan mengatasi masalah itu dengan anggaran puluhan miliar yuan per tahun. Wang mengatakan langkah itu termasuk merehabilitasi tanah yang terkontaminasi serta pasokan air tanah.

Wang juga mengatakan lahan yang terkontaminasi tidak boleh ditanami lagi untuk mencegah logam berbahaya masuk ke rantai makanan.

“Sebelumnya ada laporan tentang beras yang terkontaminasi kadmium, masalah-masalah seperti ini telah ditangani,” ungkap Wang.

Para peneliti pemerintah sebelumnya mengatakan sekitar 70 persen lahan di Cina kemungkinan bermasalah.

Sumber: NGI/BBC Indonesia

read more
Ragam

Warning! Calang Tercemar Merkuri

Penelitian Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Jaya dengan mengambil sampel air dan tanah di beberapa titik dalam kota Calang menyimpulkan telah terjadi pencemaran merkuri (Hg). Hasil ini kemudian dikonfirmasi kembali selang dua bulan kemudian oleh Laboratorium BTKL PP Kelas I Medan dengan hasil yang hampir sama. Penelitian yang serupa dilakukan oleh mahasiswa pasca Sarjana Unsyiah beberapa tahun lalu di Sungai Kr. Sabee juga menyatakan sungai tersebut telah tercemar limbah merkuri.

Kepala Seksi Kesehatan Lingkungan Kabupaten Aceh Jaya, Dahnial SKM yang ditemui beberapa waktu lalu menjelaskan bahwa titik-titik yang menjadi pengambilan sampel merupakan lokasi yang berdekatan dengan tempat pengolahan emas.

“ Sampel kami sebanyak seratus unit, di tiga kecamatan yaitu kecamatan Krueng Sabee, Panga dan Sampoiniet, sebanyak 54 sampel tanah atau 54 persen tercemar merkuri. Sedangkan sampel air sebanyak 79 persennya tercemar,” kata Dahnial.

Pengambilan sampel sendiri dilakukan pada bulan Juli 2012 oleh Dinas Kesehatan setempat dan sampel diperiksa di UPTD Balai Laboratorium Kesehatan Provinsi Aceh di Banda Aceh.

Kandungan merkuri dalam baku mutu yang diperbolehkan sesuai dengan Permenkes RI No.416/Menkes/Per/IX/1990 tentang Baku Mutu Kualitas Air Bersih adalah sebesar 0,001 mg/l. Ternyata 79 persen sampel air yang diambil mengandung merkuri diatas ketentuan tersebut, berkisar antara 0,002 – 0,01 mg/l.

Ketika ditanyakan, apa yang dilakukan Pemkab Aceh Jaya sehubungan dengan fakta ini, Dahnial menjawab bahwa saat ini sedang disusun qanun (perda) yang mengatur tentang pemakaian merkuri. “ Tapi saya tidak tahu sudah sampai dimana rancangan Qanun ini,” kata Dahnial.

Dahnial menjelaskan, selang dua bulan dari penelitian Dinkes Aceh Jaya, BTKL PP Kelas I Medan juga melakukan penelitian yang sama dan mendapati hasil yang tidak jauh berbeda. “ Mereka melakukan penelitian sekitar bulan Oktober 2012,” ujar Dahnial.

Sampel diambil pada lokasi yang berdekatan dengan tempat gelondongan pengolahan atau ekstraksi emas. Di Calang sendiri sejak beberapa tahun lalu marak penambangan emas liar. Salah satu lokasi tambang yang sangat populer adalah Gunong Ujeun (Gunung Hujan-red) yang mengundang ribuan orang termasuk dari Pulau Jawa untuk mengadu nasib di perut bumi. Daerah Aceh Jaya sendiri termasuk dalam suatu kawasan hutan luas yang dikenal dengan nama Ulu Masen.

Penambangan liar ini secara langsung memicu penggunaan merkuri besar-besaran untuk memurnikan emas dari material lain. Limbah merkuri yang dihasilkan dibuang begitu saja ke lingkungan sekitar tanpa melalui pengolahan. Limbah dibuang ke tanah dan ke aliran sungai yang berbahaya bagi makhluk hidup. Selain itu penambangan liar menghancurkan hutan Ulu Masen.

Beberapa tahun lalu, seorang mahasiswa Pasca Sarjana Jurusan Konservasi Sumber Daya Lahan Universitas Syiah Kuala yang bernama Iwandikasyah juga melakukan penelitian kandungan merkuri di daerah aliran sungai (DAS) Krueng Sabee, Kabupaten Aceh Jaya. Ia meneliti dampak limbah merkuri akibat aktivitas penambangan secara tradisionil dan semi modern.

Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa merkuri pada sedimen (hulu, median, dan hilir) di aliran Krueng Sabee berbahaya dan nilainya di atas ambang batas sebagaimana ditetapkan dalam Permenkes RI No.416/Menkes/Per/IX/1990 tentang Baku Mutu Kualitas Air Bersih sebesar 0,001 mg/l.

Yang lebih mengkhawatirkan lagi kandungan merkuri pada biota di daerah hulu, median, dan hilir di aliran Krueng Sabee berbahaya dan nilainya di atas ambang batas. Menurut Iwandikasyah, bila kondisi ini terus dibiarkan, akan berdampak buruk terhadap lingkungan dan kesehatan warga yang menetap di daerah aliran sungai tersebut.

Iwandikasyah memperkirakan estimasi penggunaan merkuri perharinya mencapai 3 kg/hari/unit (0,75 kg x 4 penggilingan/hari). Jumlah kilang yang beroperasi lebih kurang 100 unit, maka pemakaian merkuri perharinya mencapai 300 kg/hari, 70 % terjadi penyusutan dan 30 % hilang terbawa air (terbuang dalam bentuk limbah), sehingga yang beredar di lingkungan masyarakat adalah 90 kg/hari. “Sehingga saya menyimpulkan bahwa limbah yang terdibuang bersama air ke aliran sungai Krueng Sabee di perkirakan sebesar 32.400 kg/tahun atau sekitar 32,4 ton/tahun,” jelasnya.[]

read more
Sains

Ternyata Sabun Anti Bakteri Belum Tentu Hentikan Kuman

Badan urusan makanan dan obat-obatan Amerika Serikat (The Food and Drug Administration/FDA) mengatakan bahwa tidak ada bukti kuat sabun anti bakteri lebih baik dalam mencegah penyebaran kuman penyakit dari pada sabun mandi biasa dan air. Sebuah laporan untuk konsumen yang diterbitkan kemarin mengumumkan bahwa badan ini akan meninjau ulang keamanan dan keuntungan dari bahan-bahan utama dalam sabun anti bakteri.

“Kenyataannya, saat ini tidak ada bukti sabun anti bakteri lebih efektif mencegah timbulnya penyakit dari pada sabun biasa atau air,” kata Colleen Rogers, Ph.D., ahli mikrobilogi dari FDA.

Fokus peninjauan ulang dilakukan terhadap Triclosan, zat kimia yang banyak ditemukan dalam produk di pasaran dan sering dikaitkan dengan penghentian hormon pada penelitian-penelitian hewan. Bagaimanapun, FDA menyatakan bahwa ” Triclosan sekarang dikenal tidak berbahaya bagi manusia. Tetapi beberapa hasil penelitian terakhir membuat FDA pantas meninjau ulang bahan ini”.

Meskipun penelitian terhadap hewan tidak selalu mengindikasikan berbahaya bagi manusia, ahli kimia John Laumer, menekankan bahwa Triclosan secara struktur menyerupai hormon thyroid yang mengatur pertumbuhan dan perkembangan manusia.

FDA memasukan Triclosan ke dalam daftar pengawasan sehingga mudah mengawasinya dan konsumen pun dapat menghindari membeli sabun, odol gigi dan pembersih lain yang mengandung bahan ini.

Masalah-masalah yang terkait dengan sabun anti bakteri mungkin masih relatif baru bagi konsumen. Banyak pihak mengkritik FDA lamban dalam merespon isu bahan ini.

“Pernyataan FDA ini keluar setelah 40 tahun lalu badan ditugaskan untuk mengkaji Triclosan dan bahan yang sejenis. Akhirnya pemerintah setuju untuk mempublikasikan temuan setelah didesak keras oleh kelompok-kelompok pecinta lingkungan yang menuduh FDA lambat bertindak”.

FDA telah mengusulkan aturan baru yang mengharuskan produsen menyediakan data tentang efektivitas bahan anti bakteri. Usulan ini terbuka untuk dikritisi sebelum berlaku secara efektif.

Sumber: treehugger.com

read more
1 2
Page 1 of 2