close

moratorium

Energi

LSM Minta Plt Gubernur Aceh Perpanjang Moratorium Tambang

Takengon – Sejumlah LSM meminta Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Aceh, Ir Nova Iriansyah agar melanjutkan Instruksi Gubernur (Ingub) tentang moratorium Izin Usaha Pertambangan (IUP), Mineral Logam dan Batubara. Pasalnya, moratorium IUP yang telah diberlakukan Pemerintah Aceh sejak Oktober 2014 telah berakhir 5 Juni 2018, namun tidak diperpanjang.

Desakan tersebut mengemuka setelah adanya rencana PT Linge Mineral Resource akan melakukan penambangan dan pengolahan biji emas DMP di Proyek Abong, Kecamatan Linge, Kabupaten Aceh Tengah.

“Ini yang menjadi pertanyaan kami, kenapa Plt Gubernur tidak melanjutkan moratorium izin usaha pertambangan,” kata Koordinator LSM Jang-Ko, Maharadi, dalam pernyataanya yang diterima media, Sabtu (6/4/2019).

Padahal, lanjut Maharadi, Pemerintah Aceh sudah berkomitmen untuk mencegah serta menyelamatkan hutan dan lingkungan di Aceh dari dampak penambangan mineral logam. “Kalau hanya upaya melanjutkan investasi di sektor pertambangan, Pemerintah Aceh perlu mengkaji ulang. Sebab wilayah tengah Aceh hidup dari perkebunan kopi, bukan tambang emas,” jelasnya.

Menurutnya, keberadaan tambang akan berdampak serius terhadap keberlangsungan kopi Gayo. Selain itu juga memberikan efek serius terhadap lingkungan serta terhadap nilai-nilai kearifan masyarakat Gayo.

“Dengan tidak dilanjutkannya moratorium, ada kesan Pemerintah Aceh membiarkan investor mengeruk hasil bumi Aceh,” tegasnya.

Maharadi mengaku, akan tetap menolak kehadiran aktivitas pertambangan di Aceh, khususnya di Aceh Tengah, meskipun Pemerintah Aceh, memiliki alasan tersendiri. Hasil yang didapat dari pertambangan dia katakan tidak sebanding dengan potensi penderitaan rakyat. “Selain melanjutkan moratorium, kami juga meminta agar IUP yang tidak mematuhi peraturan perundang-undangan, agar segera dicabut,” pungkasnya.

Pada Jumat (5/4/2019) malam, sekitar 14 elemen sipil dan OKP melakukan pertemuan membahas tentang rencana penambangan PT Linge Mineral Resource. Dari hasil diskusi, hampir seluruh peserta diskusi menolak hadirnya perusahaan tersebut.

Belasan elemen sipil tersebut juga bersepakat dan merencanakan akan menggelar aksi unjuk rasa ke gedung DRPD, Senin (8/4/2019) besok untuk menyampaikan aspirasi penolakan terhadap PT Linge Mineral Resource.

“Kami menginginkan agar izin perusahaan tersebut dibekukan sebelum adanya kejelasan tentang manfaatnya bagi masyarakat serta lingkungan,” kata Ketua Bidang Lingkungan KNPI Aceh Tengah, Abrar Syarif.

Sumber: serambinews.com

read more
Kebijakan Lingkungan

Gubernur Aceh Keluarkan Instruksi Moratorium Tambang

Tanggal 27 September 2013 lalu, Gubernur Aceh telah mengeluarkan Instruksi Gubernur (Ingub) Nomor 06/Instr/2013 tentang  Penghentian Sementara Pemberian Izin Penambangan Mineral di Wilayah Pesisir dan Laut Provinsi Aceh. ” Tentunya hal ini perlu kita sambut secara positif sebagai terobosan dan langkah maju yang dikeluarkan oleh Pemerintah Aceh dalam rangka pemulihan lingkungan terutama di wilayah pesisir dan laut,” ujar Ketua Lembaga Kajian Lingkungan Hidup (LKLH) Aceh,  T. M. Zulfikar.

Namun sangat disayangkan kebijakan yang dikeluarkan tersebut sangat minim sosialisasi sehingga tidak diketahui oleh publik secara luas. Hal ini disampaikannya dalam siaran pers yang diterima Rabu (12/2/2014) di Banda Aceh.

Dalam Ingub tersebut disampaikan bahwa dalam rangka mengembalikan fungsi-fungsi wilayah pesisir dan laut serta untuk menata kembali penambangan mineral di wilayah pesisir dan laut Aceh perlu diambil kebijakan penghentian sementara (moratorium) penambangan di wilayah pesisir dan laut Aceh.

Instruksi ini ditujukan kepada sepuluh institusi pemerintah antara lain: Para Bupati/Walikota se-Aceh, Kepala BAPPEDA Aceh, Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Aceh, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Aceh, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Aceh, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Aceh, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Aceh, Kepala BAPEDAL/BLH (Badan Lingkungan Hidup) Aceh, Kepala Badan Investasi dan Promosi Aceh dan Kepala Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Aceh.

Adapun Instruksi Gubernur Aceh terkait Moratorium Tambang di Wilayah Pesisir dan Laut Aceh tersebut antara lain sebagai berikut:

1.    Untuk Para Bupati/Walikota dalam Provinsi Aceh agar mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
a.      memastikan pemanfaatan ruang wilayah pesisir dan laut sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota;
b.      melakukan inventarisasi terhadap penambangan mineral di pesisir dan laut yang berada dalam wilayah pemerintahan masing-masing;
c.       melalukan penataan kembali terhadap penambangan mineral di pesisir dan laut yang berada dalam wilayah pemerintahan masing-masing;
d.      melakukan penertiban dan pengawasan terhadap aktivitas penambangan mineral di pesisir dan laut yang telah mendapat izin sebelum penghentian sementara ini ditetapkan sehingga terlaksana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2.    Kepala BAPPEDA Aceh agar mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
a.      melakukan koordinasi pemanfaatan ruang wilayah pesisir dan laut sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi;
b.      mengevaluasi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota agar sejalan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi.

3.    Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Aceh agar mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
a.      melakukan perencanaan penambangan mineral sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota;
b.      melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kegiatan penambangan mineral yang sudah memiliki izin usaha pertambangan;
c.       melakukan pembinaan terhadap kegiatan penambangan mineral yang sudah memiliki izin usaha pertambangan.

4.    Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh agar mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
a.      melakukan kajian terhadap penambangan mineral yang berada di wilayah pesisir dan laut;
b.      melakukan evaluasi terhadap kegiatan penambangan di wilayah pesisir dan laut;
c.       memastikan penambangan mineral yang berada di wilayah pesisir dan laut tidak menggangu kawasan konservasi.

5.    Kepala Dinas Kehutanan Aceh agar mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
a.        melakukan kajian terhadap kegiatan penambangan mineral yang berada dan/atau  berbatasan dengan vegetasi pantai, mangrove dan taman wisata alam;
b.        melakukan evaluasi terhadap kegiatan penambangan mineral yang berada dan/atau  berbatasan dengan vegetasi pantai, mangrove dan taman wisata alam;
c.         memastikan penambangan mineral yang berada di wilayah pesisir dan laut tidak menggangu kawasan vegetasi pantai, mangrove dan taman wisata alam.

6.    Kepala Kanwil Badan Pertanahan Nasional Aceh agar mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
a.      Memastikan konsesi pertambangan mineral di wilayah pesisir dan laut sesuai peraturan perundang-undangan;
b.      melakukan evaluasi lahan terhadap pertambangan mineral di pesisir dan laut.

7.    Kepala BAPEDAL/Badan Lingkungan Hidup Aceh agar mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
a.      melakukan koordinasi terhadap penambangan mineral di pesisir dan laut terkait masalah lingkungan;
b.      melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap aktivitas penambangan mineral di pesisir dan laut yang telah memiliki izin lingkungan.

8.    Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Aceh agar mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
a.      memastikan kegiatan ekspor impor penambangan mineral di pesisir dan laut sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
b.      menjamin distribusi hasil penambangan mineral di pesisir dan laut sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
c.       menjamin industri penambangan mineral di pesisir dan laut yang ramah lingkungan.

9.        Kepala Badan Investasi dan Promosi Aceh agar mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
Menjamin kepastian hukum iklim investasi pertambangan mineral di pesisir dan laut.

10.    Kepala Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Aceh agar mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
Tidak memproses izin penambangan mineral di pesisir dan laut selama Penghentian Sementara Pemberian Izin Penambangan Mineral di Wilayah Pesisir dan Laut.

Lembaga Kajian Lingkungan Hidup (LKLH) Aceh berharap agar Instruksi Gubernur Aceh terkait Moratorium Tambang di Wilayah Pesisir dan Laut Aceh ini dapat terimplementasi secara baik dan dipatuhi oleh instansi yang bersangkutan sehingga agenda pembangunan yang sudah direncanakan dapat berjalan sesuai harapan.

Jika tidak kebijakan yang sudah dikeluarkan tersebut tidak akan berarti apa-apa dan lingkungan Aceh, terutama di wilayah Pesisir dan Laut yang saat ini sudah banyak yang rusak tidak dapat dipulihkan kembali fungsi-fungsinya.[]

read more
Hutan

Negara Rugi Rp1,17 Triliun Akibat Penjarahan Hutan

Kemenhut mengakui, izin-izin tak prosedural di sektor kehutanan, sebenarnya banyak, tetapi masih diakomodir dalam kebijakan pemerintah lewat PP ‘keterlanjuran.”

Tahun ini, kejahatan kehutanan dari pembalakan liar dan perambahan hutan yang sedang ditangani baik di daerah maupun pusat, diperkirakan menyebabkan kerugian negara sekitar Rp1,17 triliun. Angka ini di luar kehilangan sumber daya hayati akibat perusakan hutan itu. Kasus-kasus ini,  sebagian sudah siap sidang, maupun proses penyidikan dan penyelidikan.

Sonny Partono, Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kementerian Kehutanan (Kemenhut), mengatakan, kerugian paling besar dari perambahan hutan di Kolaka, Sulawesi Tengara (Sultra), oleh perusahaan tambang PT Waja Inti Lestari (PT WIL).  “Sudah jarah kayu, hutan rusak, ini sudah hilang. Ditambah kerusakan lingkungan. Belum lagi kerugian dari produk nikel sendiri,” katanya dalam jumpa pers, di Jakarta, Senin (23/12/2013).

Untuk kasus ini, tiga orang sudah menjadi tersangka, SB, ZYY dan FW dan masih dalam tahanan Bareskrim sejak 23 November 2013. SB, direktur utara PT WIL; ZYY, warga negara China, direktur perusahaan yang bekerja sama dengan PT WIL dan FW, direktur PT NP.

Perusahaan ini, katanya, melanggar karena menambang di hutan produksi konversi (HPK) yang masuk kategori moratorium.  Bukan itu saja, izin menambang mereka di Pantai Timur, tetapi beroperasi di Pantai Barat. Saat ini, mereka baru dikenai UU Kehutanan, dengan ancaman 10 tahun penjara dan denda Rp5 miliar.

Namun, Kemenhut sudah membawa kasus ini dalam pertemuan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). Kemungkinan besar, tiga tersangka ini akan ditingkatkan dengan penegakan hukum banyak pintu. “Dari ketiga ini,  bisa saja ga aja kena tindak pindana kehutanan juga pencucian uang, dan korupsi. Kita sudah koordinasi dengan Bareskrim.”

Kasus lain, perambahan kawasan hutan lindung Lokpaikat, di Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan (Kalsel), tersangka Dar. “Ini hanya dikenai pidana kehutanan karena aksi perorangan yang menanam sawit,” ucap Sonny. Saat ini, berkas perkara dalam penelitian di Kejaksaan Agung dan Dar dalam tahanan Mabes Polri.

Perambahan hutan untuk kebun sawit seluas 4.280 hektar juga terjadi di hutan produksi tanpa izin Kemenhut di Kabupaten Kota Waringin Timur. “Satu tersangka Yoh, ditahan selama 120 hari. Masa tahanan sudah habis, tapi penyidikan terus berlanjut.”

Kasus lain, yang menyebabkan kerugian negara, yakni perambahan hutan lindung di Gunung Bawang, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat (Kalbar) untuk penambangan PT PHJ. Tersangka, Kur, sudah divonis di PT Bengkayang. Ada juga kasus perambahan kawasan Taman Nasional Tesso Nillo, tersangka tiga orang. “Saat ini sudah proses penyidikan.” Lalu, perambahan di Taman Nasional Gunung Lauser dengan empat tersangka dan beberapa kasus lain.

Kerugian negara juga datang dari perdagangan tumbuhan dan satwa ilegal (TSL). Tahun 2013, dari kasus-kasus yang ditangani potensi kerugian negara Rp16 miliar.

Menurut Sonny, pada semester I 2013, Kemenhut menggagalkan perdagangan dan peredaran TSL ilegal lima kasus. Lalu, mendekati akhir tahun, berhasil digagalkan perdagangan ilegal 238 kukang di Cilegon, Banteng oleh BBKSDA Jawa Barat. “Kukang-kukang ini akan dilepasliar 24 Desember 2013 di hutan lindung di Lampung.” Kasus lain, penggagalan penyelundupan 325 paruh rangkong di Kalbar.

‘Diselamatkan” PP Keterlanjuran
Sonny mengakui, kasus kejahatan kehutanan begitu banyak. Tak hanya yang kini sudah ditangani. Namun, dengan keluar PP 60 dan 61 tahun 2012, izin-izin yang keluar non prosedural itu bisa diakomodir. Dia mencontohkan, di Kalimantan Tengah (Kalteng), masalah tata ruang yang dikeluarkan pemerintah daerah dan tata guna hutan kesepakatan (TGHK) hingga izin keluar di kawasan hutan.

“Jadi penyelesaian lewat PP 61 untuk tambang, PP 60 untuk kebun. Data kita non prosedural. Ini sedang diselesaikan. Karena kalo sudah buat surat (permohonan ke Kemenhut), penengakan hukum holded dulu.”

Nanti, kata Sonny, jika usulan pelepasan kawasan hutan lewat PP 60 dan 61 itu ditolak, baru penegakan hukum dijalankan. “Hampir di semua provinsi ada.”

Sumber: mongabay.co.id

read more
Ragam

Penebang Pohon Dikenakan Hukuman Adat

Majelis Adat Lepe di Kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, mengenakan hukuman adat pada tiga warga yang kedapatan menebang pohon di wilayah Taman Nasional Lore Lindu dan dinilai merusak kawasan konservasi.

“Ini pertama kali terjadi di Sulteng, tersangka diajukan ke sidang majelis adat,” kata Kepala Bidang Tehnis Konservasi Taman Nasional Lore Lindu Ahmad Yani di Palu, Sabtu.

Ahmad Yani tidak menyebut rinci identitas warga yang secara ilegal menebang pohon di kawasan hutan lindung tersebut, hanya mengatakan bahwa mereka semua warga Desa Lepe, Kecamatan Lore Tengah.

Ketiga orang itu diajukan ke sidang majelis adat setempat yang dipimpin oleh Ketua Adat Lepe, MS Mentara, dengan lima anggota dewan adat yang terdiri atas D Mbalea, HM Mentara, Y Tobili, TM Kappi dan M Bago.

Pada sidang adat tersebut, mereka dinyatakan bersalah dan mendapat sanksi adat masing-masing berupa kewajiban membayar uang Rp150 ribu sebagai pengganti biaya sidang adat, denda adat Rp500 ribu dan kewajiban melakukan rehabilitasi dengan menanam pohon untuk mengganti pohon yang sudah ditebang.

Ketiga warga yang menebang 10 pohon hutan taman nasional untuk keperluan memperbaiki rumah dan pagar rumah itu harus menanam pohon di tempat mereka menebang pohon dan memeliharanya.

Menurut Ahmad Yani, sanksi adat yang dikenakan kepada tiga warga Desa Lepe itu termasuk yang paling ringan.

Berdasarkan hukum adat setempat, denda bagi warga yang melakukan tindakan tidak terpuji, termasuk mengganggu hutan lindung, setidaknya satu kerbau.

“Itu sudah merupakan ketentuan dari hukum adat yang diberlakukan di semua Dataran Lore, Kabupaten Poso,” katanya. Selama ini, kata Ahmad Yani, warga yang terlibat kasus penebangan hutan liar dan pencurian hasil-hasil hutan di dalam kawasan Taman Nasional Lore Lindu diseret kepengadilan.

“Sebenarnya jika dibandingkan, hukum adat lebih berat karena selain biaya, juga menanggung malu,” katanya.

Dia berharap pengenaan hukum adat bisa membuat warga jera menebang pohon di kawasan taman nasional.

Sumber: antaranews.com

read more
Hutan

Manfaatkan Hutan Aceh Sebesar-besarnya untuk Masyarakat

Hutan merupakan karunia Allah SWT kepada umat manusia untuk dikelola demi kesejahteraan mereka dan anak cucunya. Sudah sepantasnya pemerintah dan rakyat Aceh memiliki kepentingan untuk melindungi hutan sebagai infrastruktur ekologi, yang menyediakan jasa lingkungan bagi masyarakat berupa air untuk kebutuhan domestik dan pertanian, pencegahan bencana, perlindungan keaneka ragaman hayati dan potensi energi yang luar biasa, disamping fungsi hutan produksi sebagai penghasil kayu.

Untuk melaksanakan hal tersebut, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf pada tanggal  6 Juni 2007 yang lalu menyatakan pemberlakuan “Moratorium Logging” atau penghentian sementara penebangan hutan dalam wilayah Provinsi Aceh. Moratorium Logging terdiri dari tiga tahap (1) Evaluasi Peruntukan Lahan Perizinan (Redesign), (2) meningkatkan upaya rehabilitaasi hutan dan lahan (Reforestasi), (3) pencegahan laju kerusakan hutan (Reduksi laju deforestasi) untuk mewujudkan “Hutan Lestari” rakyat Aceh sejahtera. Ini harus dilakukan mengingat musibah bencana alam, banjir, tanah longsor dan konflik satwa terindikasi akibat eksploitasi hutan yang tidak terkendali. Sekalipun demikian dalam menetapkan suatu kebijakan harus dikaji nilai positif dan negatif yang akan dituai dari kebijakan tersebut. Satu sisi tak bisa dipungkiri bahwa kerusakan ekologi terjadi karena rusaknya hutan. Sisi lain Moratorium Logging tidak hanya mengharamkan illegal logging, tetapi juga aktifitas logging.

Sejauh ini kebijakan tersebut masih berlaku dan kita berharap agar Pemerintah Aceh saat ini tetap mempertahankannya dan segera mengimplementasikannya secara benar di lapangan. Pengelolaan hutan dan sumberdaya alam di Indonesia termasuk Aceh saat ini merupakan sebuah cerita yang beragam. Di sepanjang jutaan hektar, masyarakat setempat menanami hutan dengan berbagai jenis buah-buahan, kopi dan coklat (kakao) dan sering ditanam bersama dengan pohon kayu-kayuan yang membentuk wilayah yang disebut wanatani (agroforest). Wilayah wanatani ini menyediakan jasa lingkungan yang sama seperti hutan alam, dengan pengecualian pada perbedaan keanekaragaman hayati yang lebih rendah. Banyak masyarakat setempat yang melindungi hutan alam, dan kadang bekerjasama dengan petugas Dinas Kehutanan setempat.

Namun, secara keseluruhan keadaan hutan alam dapat dikategorikan sebagai salah satu krisis yang dihadapi bangsa ini. Laju deforestasi per tahun yang mencapai satu juta hektar tetap bertahan sepanjang sepuluh tahun terakhir serta kemampuan terpasang industri pengolahan kayu terus berkembang melampaui tingkat pemanfaatan lestari per-tahun (Badan Planologi Kehutanan RI)).  Pada akhir dasawarsa ini dan Kawasan Hutan konservasi akan mengalami kerusakan serius atau bahkan lenyap sama sekali.

Ketiadaan transparansi dalam pengambilan keputusan memfasilitasi meluasnya kegiatan-kegiatan ilegal dan korupsi di sektor kehutanan. Para pemegang konsesi yang memiliki kedekatan dengan kekuasaan secara teratur terus melanggar ketentuan-ketentuan konsesi tanpa pernah dituntut secara hukum. Hukum dan peraturan diabaikan tanpa khawatir menghadapi sanksi hukum oleh pemerintah.

Deforestasi dalam skala besar menyebabkan penyusutan keanekaragaman hayati dan di banyak tempat menyebabkan erosi tanah, sedimentasi dan penghancuran fungsi hidrologis hutan, sehingga memperburuk keamanan pangan dan mengancam potensi manfaat ekonomi dan lingkungan dari hutan untuk masa depan.

Berbagai aksi perambahan dan perusakan hutan dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang terjadi di Provinsi Aceh maupun Provinsi Sumatera Utara semakin keprihatinan dan kekhawatiran banuak pihak, baik lokal, nasional maupun internasional. Ancaman deforestasi KEL sepanjang tahun semakin meningkat.

Catatan terakhir yang kita peroleh dari Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL) beberapa waktu lalu sebelum lembaga ini dibubarkan. Kerusakan hutan di Kawasan Ekosistem Leuser dalam lima tahun sebelumnya (2005-2009) mencapai 36.000 hektar. Data yang diambil melalui metode penginderaan jarak jauh, yaitu interpretasi citra satelit, yakni LANDSAT (USGS/NASA) tersebut menunjukkan pada awal tahun 2005 luas tutupan hutan di KEL sebesar 1.982.000 hektar, dan akhir tahun 2009 mengalami deforestasi sehingga luasnya berkurang menjadi 1.946.000 hektar. Proses deforestasi ini diyakini akan terus terjadi hingga saat ini, apalagi jika tidak ada penanganan yang serius oleh institusi terkait terutama yang bertanggungjawab atas perlindungan dan pengelolaan hutan di Aceh termasuk KEL.

“Leuser telah ditetapkan sebagai ‘paru-paru’ dunia, oleh karenanya upaya penyelamatan Kawasan Ekosistem Leuser sebagai paru-paru dunia seharusnya tidak hanya menjadi tanggungjawab rakyat Aceh, tapi juga menjadi masyarakat internasional memiliki tanggungjawab yang sama dalam melestarikan kawasan tersebut”.

Jika kita tinjau kembali berbagai kebijakan pengelolaan hutan dan lingkungan telah diintegrasikan ke dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dijabarkan dalam berbagai kebjakan perencanaan pembangunan. Masing-masing peraturan perundangan ini memiliki bagian khusus yang berbicara tentang lingkungan hidup, termasuk di dalamnya kebijakan tentang konservasi lingkungan. Namun dalam pelaksanaannya berbagai kebijakan tersebut meletakkan pertumbuhan ekonomi diatas segala-galanya.

Sektor-sektor lain seperti keamanan, sosial, teknologi, pemdidikan, budaya dan lingkungan hidup diarahkan dan harus mendukung pertumbuhan ekonomi tersebut.  Pengembangan ekonomi selama ini dilakukan dengan pendekatan modal besar, terpusat pada beberapa konglomerat dan hasil-hasilnya lebih banyak mengalir ke pusat kekuasaan. Sementara ekonomi masyarakat yang berada di wilayah-wilayah yang kaya dengan sumber daya alam justru merana. Di sisi lain kondisi lingkungan hidup dan sumber daya alam semakin mengkhawatirkan.

Proses moratorium hutan harus berbasiskan hasil capaian, transparansi dalam proses dan pelibatan publik secara lebih luas dan efektif menjadi satu keharusan, sehingga pencapaian komitmen dan penurunan emisi gas rumah kaca dan penyelamatan hutan alam secara umum di Indonesia dan khususnya di Aceh dapat dilaksanakan dengan baik.

Disamping itu juga seluruh kegiatan pengelolaan hutan di Aceh, seharusnya mampu meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat Aceh. Untuk itu mari kita berikan waktu kepada hutan kita untuk bisa bernafas lebih lama dari tekanan dan jangkauan tangan-tangan jahil perusak hutan, serta berikan kesempatan kepada generasi yang akan datang untuk juga dapat ikutserta menikmatinya.[]

* Penulis adalah Staf Pengajar Konservasi Lingkungan, Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Universitas Serambi Mekkah, Banda Aceh, Aceh Communications Officer Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), Banda Aceh dan mantan Direktur Eksekutif WALHI Aceh, Periode 2010-2013.

read more
Kebijakan Lingkungan

Korupsi dan Perang: Sumber Kejahatan Lingkungan

Faktor korupsi dan konflik bersenjata adalah dua penyebab utama diantara berbagai sumber penyebab kerusakan lingkungan hidup di Indonesia dan Aceh khususnya. Dua faktor ini berperan signifikan dalam proses penghancuran struktur lingkungan. Dampak buruk yang ditimbulkan pun mengancam langsung hajat kehidupan rakyat bawah di pedesaan.

Korupsi adalah suatu tindakan penyalahgunaan jabatan publik, atau sumber daya negara untuk tujuan keuntungan pribadi (Gray dan Kaufman, 1992). Dari definisi tersebut sudah menggambarkan betapa bahayanya tindakan korupsi terhadap masyarakat luas. Alasan ini pula yang menempatkan korupsi identik dengan kejahatan kemanusiaan (human crime). Di Indonesia dan khususnya Aceh perilaku korupsi bagaikan virus yang mematikan, penyebarannya sangat cepat dan merambah semua lapisan birokrasi pemerintah maupun sektor swasta.

Tidak mengherankan jika corruption perception index (CPI), Indonesia selalu bertahan di posisi 10 besar negara-negara terkorup di dunia dan Aceh pun pernah masuk provinsi terkorup. Suatu prestasi yang sangat tidak membanggakan bagi bangsa yang telah merdeka lebih setengah abad. Namun sekarang rakyatnya justru dijajah oleh penguasa sebangsa dalam berbagai pola tindak korupsi.

Salah satu bentuk korupsi yang paling berbahaya tapi selama ini minim sorotan publik adalah korupsi lingkungan atau kejahatan lingkungan (environmental crime). Karena berdampak langsung pada proses memiskinkan rakyat banyak, akibat hilangnnya akses rakyat atas sumber-sumber kehidupan pokok. Terutama hilangnnya jaminan hak-hak dasar hidup rakyat di pedesaan, akibat perusakan dan penghancuran lingkungan hidup yang sistematis dan disengaja. Hasil akhir berujung pada munculnya bencana ekologis termasuk kolapsnya pranata (sosial dan lingkungan) kehidupan masyarakat desa.

Praktek korupsi lingkungan telah menimbulkan pengurusan sumberdaya alam menjadi tidak terkendali, sangat eksploitatif tanpa memperhitungkan daya dukung lingkungan, menyebabkan merosotnya kondisi lingkungan hidup yang cukup parah bahkan di beberapa tempat sudah melebihi ambang batas yang menyebabkan terjadinya multi bencana ekologis.

Pemberantasan korupsi memang tidak mudah, dibutuhkan suatu komitmen politik penguasa dalam bentuk kebijakan hukum yang kuat dan tidak diskriminatif. Faktor kesadaran warga masyarakat, khususnya kekuatan sipil pro lingkungan. Dalam hal ini, intervensi pada level kelembagaan sangat penting.

Aktor-aktor utama pelaku korupsi lingkungan melibatkan para kepala daerah (gubernur/bupati/walikota), dalam wujud KKN dengan pengusaha HPH dan pertambangan. Modus KKN yang paling sering adalah penerbitan SK izin usaha di kawasan hutan lindung. Misalnya, izin usaha perkebunan, HPH dan pertambangan. Menurut Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Kementerian Kehutanan, Darori, saat ini sebanyak 14 bupati/walikota diduga melakukan korupsi lingkungan (Kompas,17 November 2012).

Di Aceh pun setali tiga uang, arus investasi tambang di Aceh meningkat pesat. Pada tahun 2002 hanya terdapat satu perusahaan tambang, tapi di tahun 2011 meningkat drastis menjadi 120 perusahaan.

Praktek korupsi telah memuluskan berbagai undang-undang dan kebijakan yang tidak berpihak kepada kepentingan keselamatan hidup warga dan lingkungan hidup. Korupsi kebijakan, dimana berbagai undang-undang dan kebijakan yang ada dibuat semata-mata untuk kepentingan sekelompok orang yaitu para elit kekuasaan dan pemilik modal. Padahal hakekat suatu undang-undang dibuat adalah untuk kepentingan seluruh rakyat.

Sebagai contoh, lahirnya berbagai undang-undang sektoral yang berhubungan dengan pengurusan alam seperti : 1) UU No. 22 tahun 2001 tentang Migas; 2) UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air; 3) UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan; 4) UU No. 19 tahun 2004 tentang Kehutanan; 5) UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan; 6) UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal; 7) UU No. 26 tahun 2007 tentang Tata Ruang; 8) UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; dan 9) UU No. 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara.

Semua undang-undang tersebut mendorong pemerintah melakukan privatisasi dan liberalisasi. Sumber-sumber kehidupan dan ekonomi rakyat diserahkan kepada korporasi dan mekanisme pasar. Hal ini sesungguhnya telah melanggar amanah UUD 1945 pasal 33 ayat 2: “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Dan ayat 3: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Perang Perusak Lingkungan
“Warfare is inherently destructive of sustainable development. States shall therefore respect international law providing protection for the environment in times of armed conflict and cooperate in its further development, as necessary.” – 1992 Rio Declaration

(Perang pada hakekatnya penghancuran atas pembangunan berkelanjutan. Karenanya dalam masa perang negara-negara harus menghormati undang-undang internasional tentang perlindungan lingkungan dan perlu bekerjasama dalam membangun lingkungan hidup -Deklarasi Rio, 1992)

Deklarasi tersebut sangat jelas merupakan manifestasi kekuatiran kolektif universal atas dampak buruk yang diakibatkan oleh perang terhadap lingkungan. Kehancuran lingkungan hidup yang ditimbulkan perang berskala masif dan merusak struktur ekosistem hutan maupun laut.

Sebagai contoh, Perang Teluk 1990-1991. Dalam upaya menghambat invasi laut pasukan multinasional pimpinan AS, tentara Irak melakukan strategi bumi hangus dengan meledakkan ratusan ladang minyak di lepas pantai. Akibatnya, laut dan pantai Teluk Persia dan Laut Arab mengalami polusi hebat (hyper pollution), dibanjiri 6-8 juta barrel tumpahan minyak mentah. Sebanyak 15.000-30.000 biota laut rusak, seperti mangrove dan terumbu karang (UNEP, 2002).

Hal yang sama terjadi ketika konflik Kosovo tahun 1999, militer Serbia secara sistematis menghancurkan jaringan penampungan air bersih di kota-kota dan desa Kosovo. Malapetaka lingkungan terbesar dalam sejarah akibat konflik yakni saat Perang Vietnam tahun 1960-an, tentara Amerika dalam usaha menghancurkan kantong-kantong pejuang komunis Vietcong di hutan belantara. Amerika menjatuhkan ratusan ton bom kimia, populer dengan nama agent orange yang membumihanguskan 325.000 hektar hutan Vietnam (McNeely, 2000). Dampak kerusakan ekologis tersebut hingga kini kondisinya masih belum bisa dikonservasi seperti sediakala.

Dampak buruk lainnya yang ditimbulkan perang terhadap lingkungan, adalah  mempersempit ruang gerak operasional petugas penjaga hutan dan aktivis advokasi konsevasi lingkungan yang bekerja di wilayah pertempuran. Seperti yang terjadi dalam perang di Sierra Leon di Afika pada tahun 1990. Banyak polisi hutan yang bekerja di menjaga kawasan hutan lindung, selain berbulan-bulan tidak mendapat gaji, juga tidak  dapat berbuat banyak atas tindakan korupsi lingkungan.

Pemodal kapitalis berkolaborasi dengan tentara pemerintah dan gerombolan gerilyawan, dalam kegiatan illegal logging dan pertambangan liar (Squire 2001). Baik pemerintah dan gerilyawan pemberontak melakukan korupsi lingkungan ini dimotivasi kebutuhan dana untuk membiayai perang khususnya untuk pembelian senjata.

Program-program pembangunan lingkungan hidup pemerintah pun terhenti. Ini akibat dana-dana pemerintah dialihkan untuk pembiayaan perang. Sebagian penduduk menjadi pengungsi dengan kondisi sandang pangan, kesehatan, dan perumahan rakyat yang buruk. Bahkan setelah perang usai program lingkungan masih terabaikan, karena semua program pemerintah difokuskan pada pembangunan infrastruktur fisik yang hancur akibat perang.

Dari bentangan peristiwa empiris di atas, memperlihatkan betapa korupsi lingkungan dan konflik bersenjata sangat membahayakan keselamatan lingkungan dan kelangsungan hidup manusia. Karenanya memerangi korupsi dan mencegah konflik bersenjata adalah misi kemanusiaan universal demi keselamatan anak cucu generasi pewaris bumi ini dimasa depan.[sahari gani]

read more
Ragam

Politisasi Isu Lingkungan Hidup Jelang Pemilu

Pemilu 2014 semakin dekat, namun hingga saat ini belum ada partai politik yang memiliki visi untuk mengatasi ancaman akibat perubahan iklim. Sebagai negara berkembang, pemerintah Indonesia masih disibukkan dengan agenda meningkatkan kesejahteraan rakyat, memberantas kemiskinan, meningkatkan mutu pendidikan, pemberantasan korupsi dan agenda lainnya terkait pembangunan.

Maka ketika agenda-agenda tersebut belum dijalankan dengan maksimal, isu perubahan iklim hanya menjadi isu saja dalam perhelatan internasional. Isu perubahan iklim tidak terlepas dari isu lingkungan hidup. Isu lingkungan hidup berbicara keamanan manusia. Keamanan menyentuh nasib sekelompok manusia dan menyentuh keamanan personal menyangkut kehidupan manusia secara individual.

Keamanan sekelompok manusia tergantung lima faktor yaitu: (1) keamanan militer, (2) keamanan politik, (3) keamanan ekonomi, (4) Kemanan masyarakat, dan terakhir (5) keamanan lingkungan hidup (Buzan, 1991).

Maka sudah selayaknya isu lingkungan hidup menjadi perhatian utama dalam proses kebijakan menyangkut kepentingan masyarakat. Namun, isu lingkungan hidup sepi dari hiruk pikuk politik. Isu lingkungan hidup belum menjadi bagian dari visi misi partai politik.

Politisasi Lingkungan Hidup
Berbagai ancaman keamanan lingkungan hidup diantaranya ancaman lingkungan hidup yang tidak disebabkan oleh aktivitas manusia. Contohnya gempa bumi, tsunami, dan letusan gunung berapi. Ancaman lingkungan hidup akibat aktivitas manusia. Salah satu contohnya adalah pembalakan liar, pembakaran hutan sebagai tindakan pembukaan lahan dengan cara membakar hutan.

Saya mencoba mengangkat contoh kasus terjadinya kabut asap yang tengah terjadi di Riau yang kemudian menyebar ke Malaysia maupun Singapura pun luput dari hiruk pikuk politik.

Di tengah hirup pikuk partai politik yang berupaya menyelamatkan citra dan mengamankan kekuasaan, elit politik maupun partai politik tidak melakukan upaya nyata untuk melakukan politisasi terkait kabut asap.

Kabut asap yang hampir menjadi fenomena tahunan sejak tahun 1997, berimplikasi negatif terhadap kesehatan bagi manusia yang terkena serangan kabut asap. Pemerintah, elit politik maupun partai politik abai untuk memperjuangkan hak masyarakat untuk menghirup udara sehat dan menikmati sinar matahari bebas dari kabut asap.

Partai politik saat ini tidak memiliki terobosan dalam mengatasi permasalahan lingkungan hidup. Partai politik pun tidak kritis dalam menanggapi permasalahan terkait lingkungan hidup yang berdampak buruk bagi masyarakat terutama masyarakat miskin. Apabila isu lingkungan hidup mendapatkan politisasi maka akan berpengaruh luas terhadap kebijakan umum, legislasi hingga penegakan hukum.

Isu lingkungan hidup tidak terlepas dari upaya penegakan hukum. Hingga saat ini, pelaku perusakan hutan belum mendapatkan hukuman yang berat. Pelaku perusakan lingkungan hidup perlu mendapat cap ‘penjahat lingkungan’ setaraf dengan koruptor. Karena daya rusak penjahat lingkungan akan berdampak dalam jangka waktu yang lama dan mengancam korban jiwa dalam jumlah besar.

Isu lingkungan hidup hanya berupa slogan seperti “gerakan menanam seribu pohon”, “jagalah lingkungan hidup” dan lainnya. Karena slogan tersebut belum dapat menggerakkan segenap pemerintah, elit politik hingga masyarakat untuk secara bersama-sama melakukan tindakan nyata menjaga lingkungan hidup. Gerakan yang bersifat seremonial tidak dapat membangun kesadaran bersama. Membangun kesadaran bersama memerlukan waktu yang lama dengan gerakan dan politisasi isu lingkungan hidup.

Ancaman Perubahan Iklim
Dalam isu perubahan iklim, terkait hak-hak warga negara untuk mendapatkan perlindungan dari negara. Perubahan iklim berdampak terhadap kehidupan manusia : (1) keamanan pangan, (2) Peningkatan suhu udara, (3) Peningkatan ketinggian air laut (4) Kesulitan penyediaan air, (5) Perubahan cuaca ekstrim, (6) pengaruh terhadap kesehatan manusia (Harper, 2004). Dampak perubahan iklim perlu mendapat perhatian serius. Apabila dicermati, korban akibat dampak perubahan iklim adalah masyarakat miskin dan berpendidikan rendah. Ancaman perubahan iklim pun berimplikasi dengan kesejahteraan masyarakat.

Beberapa golongan masyarakat yang rentan terhadap ancaman perubahan iklim, diantaranya petani yang mengalami kesulitan bercocok tanam akibat cuaca ekstrim; masyarakat yang tinggal di pesisir pantai dan berprofesi nelayan sangat rentan akibat ancaman peningkatan ketinggian air laut; masyarakat yang tinggal di kawasan berbukit sangat rentan dengan ancaman longsor. Isu perubahan iklim pun berbicara mengenai pelindungan dan kesejahteraan masyarakat karena ancaman tersebut akan berimplikasi terhadap korban jiwa dan kemiskinan absolut.

Ancaman perubahan iklim pun berpotensi menimbulkan konflik. Contohnya apabila terkait air bersih. Apabila persediaan air bersih tidak diantisipasi, maka masyarakat miskin harus membeli air dengan harga mahal. Dalam jangka panjang berpotensi menimbulkan konflik akibat perebutan sumber air.

Sayangnya, isu perubahan iklim hanya nyaring di perhelatan internasional dan menjadi kajian bagi akademisi, namun minim upaya nyata untuk menyelamatkan masyarakat yang menjadi korban awal dari perubahan iklim.

Pertanyaan terbesar apakah ancaman perubahan iklim sudah dipahami bagi masyarakat yang tinggal di kawasan yang rentan akan bencana. Istilah mitigasi maupun adaptasi tentu sulit dipahami bagi masyarakat yang rentan terhadap dampak perubahan iklim.

Maka politisasi isu lingkungan hidup maupun ancaman perubahan iklim menjadi penting untuk menyelamatkan kehidupan masyarakat luas daripada sekedar politisasi mempertahankan kekuasaan untuk segelintir kepentingan saja.

* Penulis adalah staf pengajar di Universitas Budi Luhur

Sumber: hijauku.com

read more