close

nagan raya

Energi

WALHI Sampaikan Kesimpulan pada Sidang Gugatan Izin Tambang PT. EMM

Jakarta – WALHI Aceh mengajukan kesimpulan para penggugat dalam sidang lanjutan gugatan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi PT. Emas Mineral Murni (PT. EMM), di Pengadilan Tata Usaha Negara, Jakarta, pada Kamis (4/4/2019) melalui kuasa hukumnya.

WALHI Aceh bersama warga telah menyampaikan 63 bukti surat, seperti surat keputusan DPR Aceh nomor 29/DPRA/2018 yang menyatakan bahwa IUP Operasi Produksi PT. EMM bertentangan dengan kewenangan Aceh, dan meminta kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) RI untuk mencabutnya/membatalkan izin tersebut. Kemudian surat Komite Peralihan Aceh (KPA) Nagan Raya dan KPA Aceh Barat yang menyatakan dengan tegas menolak PT. EMM, surat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang menyatakan PT. EMM tidak memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), surat pernyataan tolak tambang PT. EMM oleh anggota DPD asal Aceh, petisi tolak tambang PT. EMM yang telah ditandatangani oleh berbagai komponen masyarakat di Aceh, surat pernyataan dan bantahan dari masyarakat Beutong Ateuh Banggalang, dan berbagai bukti surat lainnya termasuk surat pernyataan tolak tambang dari murid SD yang ditujukan kepada Presiden Republik Indonesia.

Sampai pada agenda sidang kesimpulan, WALHI Aceh telah menghadirkan tiga orang saksi fakta dari perwakilan masyarakat Beutong Ateuh Banggalang, Nagan Raya. Ketiga warga tersebut bersaksi terkait kondisi sosial budaya, dampak tambang PT. EMM pada saat kegiatan eksplorasi, kondisi faktual di lapangan, ancaman tambang terhadap sumber kehidupan masyarakat, situs sejarah, lahan pertanian/perkebunan, pendidikan dan kesehatan, dan terkait PT. EMM yang tidak melakukan sosialisasi kegiatan tambang kepada masyarakat.

Selain saksi fakta dari masyarakat Beutong Ateuh Banggalang, dalam sidang gugatan izin PT. EMM juga hadir Ketua Komisi II DPR Aceh Nuruzzahri, yang bersaksi terkait kewenangan Aceh berdasarkan Undang-undang nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Ketua Komisi II juga memberikan kesaksian terkait proses paripurna khusus DPR Aceh yang memutuskan menolak izin PT. EMM, selain itu juga menceritakan kepada majelis hakim terkait sejarah konflik GAM dengan RI dimana salah satu faktor penyebabnya terkait pengelolaan sumber daya alam yang tidak adil di Aceh.

WALHI Aceh menghadirkan saksi ahli, Ade Widya Isharyati, S.ST.,M.Eng yang merupakan ahli lingkungan hidup dari Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh.

Kemudian, dalam kesimpulan para penggugat juga memasukan keterangan saksi dan ahli yang dihadirkan oleh pihak tergugat dan tergugat II intervensi yang mendukung gugatan para penggugat, seperti saksi Samsuar, S.Pd, yaitu Geuchik Gampong Blang Meurandeh yg dihadirkan oleh PT. EMM, namun dalam satu pernyataannya menyebutkan “bahwa bila makam para Ulama dirusak, maka ia yang akan pertama kali mati, melawan pertambangan.”

Begitu pula Samsuar menyampaikan bahwa sejak tahun 2013 telah terjadi penolakan PT. EMM dari masyarakat, dan dia juga ikut menandatangani petisi tolak tambang PT. EMM. Kemudian keterangan ahli tergugat II intervensi, Dr. Tri Haryati, S.H., M.H, dan DR. Halikul Khairi. Khusus untuk keterangan ahli Halikul Khairi, keterangannya menyatakan tentang mikro dan makro kewenangan berdasarkan UU 23/2014 dan UU 11/2006, bahkan menyatakan bahwa Pasal 156 dan Pasal 165 merupakan kewenangan makro, sehingga yang digunakan adalah UU 23/2014 bukan UUPA. Walau pernyataannya diluar teori dan ketentuannya, kami juga memaklumi bahwa ia adalah Ahli yg dihadirkan oleh PT. EMM.

Kesimpulan utama dari seluruh pembuktian adalah, tentang kewenangan Aceh berdasarkan UUPA yang tidak boleh dikurangi atau dikangkangi oleh siapapun termasuk BKPM. Kedua, tentang Konsultasi dan Pertimbangan Gubernur dan DPRA sebagai wujud pemenuhan ketentuan PP 3/2015, kebenaran tidak memperoleh keputusan apapun dari Kabupaten Aceh Tengah, sedangkan Aceh Tengah masuk ke dalam areal pertambangan, penolak masyarakat, LSM, dan pihak-pihak lainnya yang membuktikan tidak adanya keterlibatan masyarakat dan pemerhati lingkungan hidup dalam penyusunan dan persetujuan baik Amdal, Izin Lingkungan dan lainnya, sampai dengan persoalan administratif yg dirangkum dalam sebelum dan setelah penerbitan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi.

Intinya terdapat setidaknya 19 item Kesimpulan yang telah disampaikan dan terbukti berdasarkan ketentuan dan bukti-bukti yang telah disampaikan terdahulu.

Kuasa Hukum dalam akhir sidang menyampaikan kepada Majelis Hakim, “Bahwa rezim hidrokabon yang berada di Aceh Utara, Provinsi Aceh juga telah gagal menjawab kemakmuran bagi rakyat, walau telah puluhan tahun melakukan penambangan, penggalian dan pengrusakan terhadap alam.”

“Jika mereka yang menyatakan menambang akan menghasilkan devisa dan menambah pendapatan negara, pertanyaannya adalah apakah dengan tidak menambang negara akan dirugikan?”

Tidak ada uang yang cukup untuk memperbaiki kerusakan yang akan timbul dari ulah pertambangan, biarlah rakyat hidup bahagia, aman, nyaman di tanah airnya sendiri, dan cukuplah pusat membuat kekacauan di tanoh Aceh, tanoh para aulia dan syuhada, yang rela menyumbang harta, tenaga bahkan jiwa, melawan Belanda demi mencapai satu tujuan utama yaitu “Kemerdekaan Republik Indonesia”.

WALHI hari ini mewakili warga Aceh berjuang melawan penjajahan model baru, mengajak seluruh masyarakat Aceh untuk berdoa dan mendukung tujuan bersama ini, agar majelis hakim harus melihat bahwa tujuan kita bukan harta, tetapi tanoh Aceh sebagai tanoh para ulama, syuhada dan aulia harus tetap dijaga agar tetap terselamatkan dari tangan-tangan yang akan merusak bumi Aceh.

Sidang putusan akan dilaksanakan pada 11 April 2019 di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Timur. Demikian siaran pers disampaikan oleh Direktur Walhi Aceh , M. Nur.[]

read more
Tajuk Lingkungan

Aktivis Minta Mahasiswa Nagan Perkuat Pelestarian Rawa Tripa

Banda Aceh – Hutan gambut Rawa Tripa menghadapi ancaman kerusakan dari berbagai pihak secara massive pasca tsunami. Semua pihak yang peduli terhadap perlindungan dan pengelolaan hutan Rawa Tripa harus ikut membantu pelestarian hutan tersebut. Mahasiswa Nagan Raya terutama yang berdiam disekitar kawasan Rawa Tripa merupakan tulang punggung utama untuk menjaga hutan yang juga merupakan tempat tinggal orangutan tersebut.

Kesimpulan ini merupakan hasil pertemuan Focus Group Discussion (FGD) antara aktivis lingkungan yang tergabung dalam Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) bersama Komunitas Mahasiswa Tripa (KOMTRI) dan Ikatan Pelajar Mahasiswa Darul Makmur (Ipelmasdam), Kamis (20/09/2018) di Kafe 3 in 1 Banda Aceh.

FGD tersebut dihadiri oleh T. Muhammad Zulfikar (YEL), Indrianto (Koordinator Proyek Tripa YEL) dan Halim Bangun (pengacara lingkungan) serta 10 orang dari perwakilan mahasiswa.

T. Muhammad Zulfikar dalam FGD tersebut mensosialisasikan tentang keadaan hutan Rawa Tripa saat ini, termasuk fungsi dan manfaat hutan bagi makhluk hidup. Gambut di Rawa Tripa memiliki ketebalan diatas 3 meter dibeberapa tempat sehingga harus dilindungi agar tidak mengalami kekeringan dan beralih fungsi lahan. Ancaman terhadap Rawa Tripa paling besar datang dari sektor perkebunan sawit dan kegiatan pertambangan. Saat ini Rawa Tripa sedang dalam proses penetapan sebagai kawasan lindung gambut di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Hal-hal merupakan beberapa point penting dalam pemaparan T. Muhammad Zulfikar.

Sementara Indrianto juga kembali memaparkan secara rinci kondisi hutan gambut Rawa Tripa secara teknis. Pengukuran-pengukuran yang telah dilakukan oleh sejumlah ilmuan seperti kedalaman lapisan gambut, jumlah orangutan yang tinggal di Rawa Tripa, kondisi iklim mikro Rawa Tripa menjadi perhatian presentasi Indrianto. Selanjutnya Indrianto mengajak mahasiswa bersama-sama untuk mengadvokasi lingkungan.

“Rawa Tripa butuh energi baru dari mahasiswa,”ujarnya.

Menurutnya sudah selayaknya mahasiswa Nagan Raya, sebagai masyarakat yang berada di sekitar hutan Rawa Tripa ikut memperkuat advokasi lingkungan. Apapun yang terjadi dengan hutan gambut tersebut, masyarakat sekitar lah yang paling merasakan dampaknya untuk waktu yang lebih lama dibandingkan dengan masyarakat luar Rawa Tripa. Selain itu, kelompok masyarakat tertentu sekitar Rawa Tripa juga merupakan pelaku perusakan sehingga perlu diberikan pemahaman bersama.

“Kami dari LSM ini, tentu tidak selamanya mempunyai program di Rawa Tripa. Jadi masyarakat lah yang paling utama berhak menjaganya,”kata T. Muhammad Zulfikar.

Ketua KOMTRI, Ibnu Kasir, mengatakan siap melakukan advokasi Rawa Tripa dan berharap dapat diikutsertakan dalam kegiatan-kegiatan advokasi hutan Rawa Tripa.

 

 

read more
HutanKebijakan Lingkungan

HAkA Prediksi Hutan Rawa Tripa Akan Punah

BANDA ACEH – Nagan Raya menjadi kabupaten terparah dan terusak areal tutupan hutannya berdasarkan data citra satelit yang dikeluarkan oleh Yayasan HAkA, periode Januari – Juni 2018 yaitu seluas 627 hektare.

Kawasan Gambut Rawa Tripa yang berada di Kecamatan Darul Makmur, Nagan Raya pun kini sangat memprihatinkan dan terancam hilang. “Rawa Tripa dikhawatirkan akan habis dalam beberapa waktu ke depan,” kata Manager Geographic Information System (GIS) HAkA, Agung Dwinurcahya, Senin (23/7/2018) di Banda Aceh.

Menurut Agung, laju deforestasi di Rawa Tripa yang terjadi tahun ke tahun berada di lokasi yang sama, yaitu di arah timur dan selatan hutan. Pengrusakannya juga terjadi di wilayah hulu, penghancuran hutan itu mengikis kawasan hutan.

“Sebagian besar kerusakan hutan di Nagan Raya memang berada di dalam Kawasan Gambut Rawa Tripa,” kata Agung.

Mirisnya, tutupan hutan di wilayah yang pernah dikenal sebagai tempat populasi Orangutan terpadat dunia ini pun terus menurun. Penyebab utamanya, karena semakin maraknya perambahan hutan untuk dijadikan lahan perkebunan.

Padahal, Kabupaten Nagan Raya termasuk dalam daftar kabupaten yang memiliki hutan sisa terluas di KEL. Selain Nagan Raya, kabupaten lain yang memiliki hutan sisa terluas yaitu Gayo Lues, Aceh Tenggara, Aceh Timur, dan Aceh Selatan.

Menurut Agung, sebagaimana terpantau melalui NASA dan satelit VIIRS dan MODIS. Kerusakan hutan khususnya Rawa Tripa, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya terjadi setiap bulannya sejak Januari-Juni 2018.

“Lama-lama Rawa Tripa tempatnya Orangutan bisa habis kalau tak segera dicegah,” jelasnya.

Sementara itu staf Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), Teuku Muhammad Zulfikar menilai, penting menjaga Rawa Tripa mengingat lahan gambut tersebut memberikan fungsi-fungsi ekologis yang sangat penting bagi manusia dan habitatnya.

Lahan gambut Rwa Tripa merupakan lahan untuk penyimpanan air yang bisa dipergunakan untuk kehidupan manusia. Selain itu juga bisa untuk perlindungan badai dan pencegahan banjir, stabilisasi garis pantai dan pengontrol erosi.

Tak hanya itu, fungsi ekologis lahan gambut Rawa Tripa menjadi pengisian air tanah (pergerakan air tanah dari lahan basah ke daerah atasnya), pengeluaran air tanah (pergerakan dari lahan sebelah atas ke lahan basah di sebelah bawah) hingga pemurnian air, penahan/pengumpul nutrien, penahan/pengumpul sedimen dan penahan/pengumpul bahan-bahan berpolusi.

Lahan gambut Rawa Tripa itu juga sangat berfungsi menstabilkan kondisi iklim lokal, khususnya curah hujan dan temperatur,” tegas Teuku Muhammad Zulfikar.

Sedangkan nilai manfaat lainnya hutan gambut Rawa Tripa yang lebih spesifik di pesisir pantai Barat Aceh adalah menjadi benteng alami penahan tsunami.

Lalu kontribusinya dalam mencegah perubahan iklim melalui penyerapan CO2 dan penyimpanan karbon sesuai dengan “Kyoto protocol” yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan target untuk menghentikan kehilangan keanekaragaman hayati.

“Karena hutan rawa gambut ini adalah salah satu yang sangat berharga di dunia  karena keunikan dan kekayaan flora dan faunanya,” sebutnya.

Rawa Tripa juga melestarikan sebagian besar populasi Orangutan Sumatera yang tersisa 30 persen dari 7000 di dunia yang sekarang berstatus critically endangered. Penyelamatan spesies ini adalah tujuan utama oleh Pemerintah Indonesia, ketika menandatangani the Kinshasa Great Apes Declaration pada bulan September 2005 lalu.

Kata Teuku Muhammad Zulfikar, penting mendorong upaya pengelolaan kawasan gambut Rawa Tripa sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut dan disempurnakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.

“Perlu ada model pengelolaan ekosistem gambut lainnya di Provinsi Aceh yang inklusif dan melibatkan masyarakat serta berbagai multipihak secara aktif dan terbuka untuk mencapai tujuan yang diharapkan,” herapnya.

Dengan adanya pengelolaan ekosistem gambut Rawa Tripa, bisa menstabilkan atau bertambahnya tinggi permukaan air, serta terselamatkannya populasi orangutan dengan pulihnya habitat. Maka perlu terus mendorong percepatan pengembalian fungsi kawasan, yang juga sebagai faktor penting sebagai penyedia jasa lingkungan bagi masyarakat Aceh.

read more
HutanKebijakan Lingkungan

Berebut Lahan 200 Ha eks PT Kalista Alam di Rawa Tripa

Banda Aceh – Lahan yang dulunya milik PT Kalista Alam, kini menjadi ajang rebutan oleh sejumlah masyarakat. Mereka mengatasnamakan koperasi maupun secara individu. Hal ini menyebabkan tujuan mengembalikan kondisi hutan gambut Rawa Tripa ke keadaan semula menjadi terhambat.

Lahan perkebunan sekitar 200 hektar yang dulunya milik PT Kalista Alam kini dikuasai oleh sejumlah pihak. Awalnya pasca pencabutan Izin Usaha Perkebunan Budidaya (IUPB) lahan dengan totoal luas 1.605 hektare yang diputuskan oleh pengadilan, lahan yang sudah terlanjut ditanami ini menjadi incaran banyak pihak. Organisasi lingkungan yang menggugat pencabutan izin tersebut tahun 2013 berhasil memenangkan gugatannya. Izin yang dikeluarkan oleh Gubernur masa itu Irwandi Yusuf dicabut oleh PTUN. Aktivis lingkungan berharap hutan gambut Rawa Tripa yang sudah mengalami kerusakan bisa dikembalikan seperti semula. Namun apa hendak dikata, kondisi bekas perkebunan ini masih tetap saja rusak.

Staf Dinas Perkebunan Nagan Raya, Akmaizar, SP, kepada Greenjournalist, Rabu (4/7/2018) mengatakan bahwa seluas 200 hektar lahan pasca pencabutan izin dikelola oleh koperasi yang bernama Kopermas Sinpa. Koperasi ini mengadakan perjanjian dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Propinsi Aceh yang saat itu Kepala Dinasnya adalah Husaini Syamaun. Koperasi ini mengatasnamakan masyarakat dhuafa, miskin dan anak yatim, mengelola lahan dengan sistem bagi hasil sesuai persentasi. Koperasi mendapat bagi hasil kemudian Pemkab Nagan Raya dan Pemerintah Provinsi juga mendapatkan keuntungan. Perjanjian kerjasama diteken tahun 2016.

Namun sayangnya setelah perjanjian kerjasama berjalan, ternyata koperasi tidak mampu mengelola lahan ini dengan baik sehingga akhirnya Dishutbun mencabut perjanjian kerja sama ini tahun 2017. Sementara itu, melihat koperasi mengelola kebun sawit di Rawa Tripa, masyarakat pun ikut-ikutan menanam sawit di bekas lahan hutan gambut tersebut. “Alasan mereka, kalau koperasi bisa nanam, kenapa kami tidak,”ujar Akmaizar.

Akmaizar bersama tim baik dari kabupaten Nagan Raya, Propinsi Aceh dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, telah melakukan peninjauan ke lapangan beberapa hari lalu. Kunjungan ini berdasarkan laporan dari PT Kalista Alam bahwa banyak yang menggarap lahan di bekas lahan mereka tersebut sehingga merugikan mereka.

“Yang mengejutkan hari ini baru diketahui bahwa 200 Ha areal yang terlanjur tertanami telah diserahkan pengelolaan nya oleh pemerintah Aceh melalui Dinas Kehutanan kepada salah satu Koperasi di Nagan Raya. Anehnya lagi ada sebagian oknum masyarakat yang menjadikan itu sebagai dasar legalitas untuk menggarap areal lainnnya dalam kawasan areal 1.605 Ha,”kata Akmaizar. Hal ini sangat disayangkan karena menambah kerusakan hutan Rawa Tripa. Pemerintah Aceh secara resmi menetapkan kawasan Rawa Tripa menjadi kawasan lindung gambut seluas 1455 Ha di areal eks PT Kalista Alam di kawasan Suak Bahung Kecamatan Darul Makmur, Kab.Nagan Raya tahun 2015 lalu. Kawasan yang diresmikan ini adalah bagian dari seluas 11.359 Ha kawasan gambut lindung yang sudah dimasukkan dalam Qanun RTRW Aceh.

Dihubungi terpisah, Staf Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), Indrianto mengatakan saat ini sudah ada pihak lain yang mengincar lahan bekas PT Kalista Alam tersebut. Pihak yang mengincar berbentuk koperasi yang mengatasnamakan kelompok masyarakat tertentu.

“Info yang saya dapat, koperasi ini hampir meneken kerjasama dengan Dishutbun Propinsi Aceh. Namun pak Kadis Husaini Syamaun keburu diganti sehingga perjanjian belum diteken hingga saat ini,”kata Indrianto. Pemerintah Aceh sepertinya sangat berniat untuk menyerahkan lahan 200 hektar ini dikelola pihak ketiga. Maklum saja, sawit dalam kebun tersebut sudah menghasilkan duit sehingga menarik minat banyak orang. Indrianto mengatakan pohon sawit  dalam kebun tersebut mencapai tinggi 2 meter dan telah berbuah.

Masyarakat mendirikan pondok di bekas lahan Kalista Alam | Foto: Indrianto

Pihak YEL sendiri sudah berusaha merehabilitasi lahan Rawa Tripa tersebut salah satunya dengan penutupan kanal-kanal (block canals). Hal ini dilakukan agar air yang terdapat dalam tanah gambut tidak mengalir keluar melalui kanal-kanal yang bisa menyebabkan kekeringan serta berujung kepada kebakaran hutan.

“Dalam lahan 200 hektar itu ada juga kanal-kanal yang kami tutup. Tapi di beberapa tempat dirusak kembali oleh oknum,”kata Indrianto. Pemerintah sendiri sejauh ini masih mengumpulkan data-data terkait dengan penguasaan lahan Rawa Tripa.

Rawa Tripa, yang sering dijuluki Ibukota Orangutan, terus menerus mengalami ancaman kerusakan. Masih saja banyak pihak yang memandang Rawa Tripa hanya sebagai tempat menanam sawit semata. Mereka lupa akan fungsi ekologi dari hutan gambut ini.[]

 

read more
HutanKebijakan Lingkungan

Kejari Nagan Raya Eksekusi Kepala Kebun PT SPS II

NAGAN RAYA – Kejaksaan Negeri (Kejari) Nagan Raya mengeksekusi seorang terpidana kasus pembakaran lahan perkebunan sawit PT Surya Panen Subur II (SPS II), dari tiga terpidana yang telah diputuskan bersalah oleh Mahkamah Agung (MA), Senin (25/6/2018) lalu.

Terpidana yang dieksekusi itu sebelumnya menjabat sebagai Kepala Kebun Seunaan PT SPS II, Anas Muda Siregar. Dia terbukti bersalah melalui keputusan MA kasus pembakaran lahan dalam rentang waktu Maret hingga Juli 2012 lalu seluas 1.200 hektar.

Sedangkan dua terpidana lainnya, Eddy Sutjahyo Busin (Presiden Direktur PT SPS), Marjan Nasution (Administrator PT SPS), gagal dieksekusi karena alasan dalam kondisi sakit saat ini. Pihak Kejadi Nagan mengaku akan terus memantau perkembangan kesehatan kedua terpidana yang belum dieksekusi tersebut.

“Terpidana dieksekusi ke Lembaga Permasyarakatan Kelas II B Meulaboh, Aceh Barat,” kata Kepala Kejari Nagan Raya, Sri Kuncoro.

Anas Muda Siregar dihukum penjara selama dua tahun penjara oleh MA. Selain itu, MA juga menghukum pidana denda sebesar Rp 3 miliar dengan subsidair 3 bulan penjara. Putusan hukuman yang sama juga diberikan kepada kedua terpidana yang belum dieksekusi pihak Kejari Nagan Raya.

Ketiga petinggi PT SPS dipidanakan karena telah membuka lahan untuk perkebunan sawit dengan cara membakar seluas 1.200 hektar di lahan gambut. Lalu pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menggugat perusahaan tersebut hingga persidangan bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Meulaboh.

Seperti dikutip dari mongabay.co.id, persidangan yang berlangsung Kamis (28/1/2016) di Meulaboh, Hakim Rahma Novatiana, menjatuhkan denda untuk perusahaan ini sebesar Rp 3 miliar dan hukuman penjara 3 tahun, subsider 1 bulan, kepada Anas Muda Siregar (kepala kebun) dan Marjan Nasution (kepala proyek). Namun, Presiden Direktur PT. SPS II Edi Sutjahyo Busiri yang ikut menjadi pesakitan dinyatakan bebas.

Hukuman ini lebih ringan dibandingkan dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum Rahmat Nur Hidayat yang menuntut hukuman 3,5 tahun penjara kepada terdakwa dan denda Rp 4 miliar ke perusahaan. Persidangan PT. SPS II telah berlangsung sejak 2013.

Hakim menjerat terdakwa dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Menurut majelis hakim, PT. SPS II terbukti bersalah membuka lahan dengan cara membakar secara berlanjut. “Hal yang memberatkan perbuatan terdakwa ini menyebabkan perubahan karakteristik pada lahan gambut. Perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam pelestarian lingkungan di lahan gambut.”

Majelis hakim juga memberi pertimbangan lain yang meringankan PT. SPS II yang dianggap telah memiliki manajemen kesigapan tanggap darurat terhadap kebakaran dan telah melakukan upaya maksimal memadamkan kebakaran lahan sehingga kebakaran tidak meluas dan dapat dilakukan secara cepat tanpa bantuan pemerintah.

Kebakaran terjadi di areal konsesi PT. SPS II di Desa Pulo Kruet, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya. PT. SPS II memiliki konsesi hak guna usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit seluas 12.957 hektar di Tripa dan beroperasi atas izin budidaya Gubernur Aceh tahun 2012 setelah membeli HGU itu dari PT. Agra Para Citra. Hasil pemeriksaan lapangan menunjukkan bahwa areal yang terbakar merupakan lahan yang sudah ditanami sawit dan sebagian merupakan lahan yang sudah dibuka sebelum kebakaran terjadi.

Atas vonis hakim ini, para terpidana menyatakan banding. Menurut pengacara PT. SPS II, Trimulya, ada hal yang kontradiktif dalam putusan majelis hakim. “Dalam pertimbangan majelis hakim disebutkan para terdakwa telah menerapkan metode pembukaan lahan tanpa bakar.”

Kejari Nagan Raya tinggal mengeksekusi dua terpidana lainnya yang dinyatakan masih sakit, sehingga tidak bisa dieksekusi. Atas putusan ini menjadi pelajaran semua pihak bahwa begitu penting penyelamatan dan pelestarian lahan gambut di  kawasan Rawa Tripa dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).

read more
HutanKebijakan LingkunganPerubahan Iklim

Darurat Tambang Emas dalam Pekarangan

Picture3
Ilustrasi : Foto int

Tambang emas ilegal di Aceh kian meresahkan, telah mengancam terjadi bencana ekologi. Tidak hanya merambah hutan, tetapi sudah mulai bergeser ke pemukiman, hingga ke depan halaman rumah warga.

Pertambangan ilegal ini tidak lagi bisa disebut tambang tradisional. Pasalnya, alat berat sudah bertabur di areal pertambangan ilegal seluas 1.108,93 ha yang tersebar di empat gampong (desa) di Kecamatan Beutong, Kabupaten Nagan Raya.

Keempat gampong itu meliputi Blang Baroe PR, Panton Bayam, Blang Leumak dan Krueng Cut. Permukiman keempat gampong ini, hampir seluruhnya terdapat lubang di pinggir, depan dan samping rumah mereka.

Lubang itu merupakan galian untuk menambang emas. Semakin diperparah, lubang-lubang itu berisi air tanpa dipagar. Tentunya sangat rentan terjadi kecelakaan.

Selain permukiman yang dijadikan areal pertambangan, kegiatan ilegal itu juga dilakukan di kawasan sungai, baik aliran yang melintasi permukiman warga, maupun hulu sungai yang berada di kawasan hutan produksi dan lindung. Sungai yang memiliki aktivitas pertambangan emas yaitu Krueng Cut, serta Krueng Pelabuhan yang merupakan sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Cut.

Pertambangan seperti itu memang bukan hal yang baru di Aceh. Di Kecamatan Geumpang, Kabupaten Pidie juga bernasib sama. Bedanya, tambang di sana jauh dari pemukiman warga, namun tetap merambah hutan lindung dan merusak aliran sungai mengancam bencana alam.

Berdasarkan hasil investigasi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, menemukan fakta yang mencengangkan. Hasil dari hitungan cepat yang dilakukan tim Walhi Aceh, ada 65 alat berat berada di lokasi pertambangan ilegal tersebut.

Namun menurut pengakuan warga, justru semakin mengagetkan, warga memperkirakan ada 120 unit alat berat lebih sedang beroperasi setiap hari di empat gampong tersebut. Parahnya lagi, di kawasan itu sudah tersedia bengkel alat berat, tentunya ini sudah sangat sistemik.

“Berbeda pertambangan di Geumpang dan Beutong, di Geumpang ada lubang di sungai. Sedangkan di Beutong ada di belakang rumah warga,” kata Kepala Divisi Advokasi Walhi Aceh Muhammad Nasir di kantornya, Selasa (3/10).

Untuk masuk ke area pertambangan bukan perkara mudah. Meskipun sulit, tim investigasi Walhi Aceh berhasil mendapatkan banyak informasi dan data terkait pertambangan ilegal di kawasan itu.

Baik itu proses penambangan, pengangkutan Bahan Bakar Minyak (BBM) hingga pemasaran. Memang penambangan emas di empat gampong itu belum menggunakan mercuri, tetapi proses tambang yang dilakukan melalui saring.

Secara ekonomi dan status sosial di empat gampong tersebut tak ditampik terjadi perubahan. Bahkan ada warga yang memiliki rumah kecil, bantuan, hanya dua kamar terdapat mobil mewah jenis Fortuner terparkir di depan.

Demikian juga, perhiasan yang digunakan oleh kaum hawa setempat, semua dari emas. Sehingga ini telah memantik warga setempat merelakan permukiman, lahan perkebunan dan persahawan dijadikan areal pertambangan emas.

“Secara status sosial memang meningkat. Tetapi ini tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan. Karena tambang itu habis pakai dan tak bisa diperbaiki,” jelasnya.

Bahkan mirisnya, berkembang anekdot bila memang memungkin rumah-rumah warga ikut dibongkar untuk mendapatkan emas. Saat ini, warga berpendapat sedang berjalan dan menginjak-injak emas yang ada di bawah telapak kaki mereka.

“Kalau diizinkan, rumah-rumah dibongkar, mereka yakin banyak emas di sana,” tukasnya.

Akibat permukiman warga sudah dijadikan areal pertambangan, semua tanaman produktif, seperti kelapa, pinang, sudah ditebang. Demikian juga areal persawahan tak dapat lagi ditanam padi, karena sudah berlubang dan dijadikan pertambangan emas.

Areal sungai seluas 261,73 hektare juga sudah dijadikan wilayah pertambangan. Berdasarkan pengakuan warga setempat, dulunya sungai Krueng Cut lebar antara 20 sampai dengan 30 meter. usai ada pertambangan, lebar sungai sudah melebihi 100 meter.

“Kami tidak menemukan mercuri, karena mengambil serbuk emas, disaring dan ada karpet, emas lengket di karpet. Proses penggunakaan marcuri bisa terjadi tahap kedua pada pembeli,” tegasnya.

Adanya pertambangan emas itu memang ada multi efek ekonomi bagi warga setempat. Bagi yang tidak memiliki lahan, bisa menjadi kurir atau perantara yang mengantar BBM untuk kebutuhan 120 alat berat.

Karena untuk mengangkut BBM untuk alat berat yang berada di seberang sungai Krueng Cut juga bukan perkara mudah. Karena mobil jenis apapun tidak bisa dilalui, sehingga harus menyeberang menggunakan speed boat.

Ongkos yang diberikan pun bukan murah. Setiap satu jeriken dibandrol harga Rp 100 ribu. Sementara satu speed boat bisa mengangkut 20 jeriken berisi 20 liter BBM.

Agen penyuplai BBM itu pun, bisa mendapatkan keuntungan Rp 1,5 juta per hari. Bayangkan, berapa pendapatan mereka per bulan? Ya bisa mencapai Rp 45 juta.

“BBM itu diambil dari SPBU, itu BBM bersubsidi,” tegasnya.

Setiap gampong yang masuk dalam wilayah pertambangan emas ilegal itu ada portal. Jadi, alat berat masuk harus terlebih dahulu membayar pada penjaga pintu sebesar Rp 500 ribu. Ada empat gampong yang dilalui, maka mereka mengeluarkan uang Rp 4 juta.

Lain lagi ada kutipan yang katanya untuk gampong. Setiap bulannya, pemilik alat berat harus menyetor kepada panitia Rp 10 juta. Namun, Walhi Aceh tidak mengetahui aliran dana tersebut, baik uang masuk yang dikutip di pintu masuk, maupun iuran per bulan.

“Tapi kita menduga itu masuk ke panitia di gampong, ini berdasarkan pengalaman di tambang Geumpang,” tukasnya.

Memang tak bisa ditampik, perputaran roda perekonomian meningkat. Bahkan, ada warga yang hanya bekerja 15 hari, menghasilkan emas 15 kilogram dengan nilai Rp 20 miliar lebih.

Meskipun demikian, Walhi Aceh menilai dampak yang akan dirasakan dalam jangka panjang jauh lebih berbahaya dan kerugian materil juga lebih besar.

Hilangnya areal perkebunan dan pertanian, ancaman terhadap rumah warga dan fasilitas umum, hingga ancaman banjir bandang sewaktu-waktu akan terjadi di kawasan itu.

Termasuk maraknya illegal logging, hingga tidak ada lagi penahan air saat banjir tiba. Tentu dampaknya tidak hanya dirasakan oleh warga permukiman areal pertambangan, tetapi juga puluhan gampong di sekitar itu akan merasakan nantinya.

“Bencana banjir berpotensi. Bila terjadi banjir bandang, di Beutong berpotensi terjadi, karena sungai sudah rusak dan berpotensi rumah warga akan menimpa juga daerah lain,” tukasnya.

Temuan ini tentunya harus menjadi bahan pertimbangan pihak pemerintah. Baik itu pemerintah kabupaten setempat, maupun pemerintah Aceh harus bersikap, sebelum bencana ekologi terjadi.

Karena sekarang masih ada waktu untuk dilakukan penanggulangan secara persuasif melindungi lingkungan untuk anak cucu masa yang akan datang. [merdeka/acl]

read more