close

nelayan

Ragam

Awig-awig, Kearifan Warga Lombok Menjaga Perikanan

Penerapan awig-awig di Lombok Barat dan Lombok Timur dalam pengelolaan perikanan dapat melindungi nelayan tradisional dan menjaga budaya lokal yang terkait dengan perikanan. Penerapan awig-awig didasari oleh kesadaran masyarakat terhadap praktek penangkapan ikan yang merusak terjadi dan berdampak pada kehidupan mereka. Awig-awig juga telah menjadi aturan tertulis dalam pengelolaan perikanan di wilayah tersebut untuk menjaga laut mereka. Awig-awig merupakan aturan yang dibuat berdasarkan kesepakatan masyarakat untuk mengatur masalah tertentu untuk memelihara ketertiban dan keamanan dalam kehidupan bermasyarakat.

Demikian hasil kunjungan lapangan peserta Kegiatan Regional ICCA Knowledge Sharing and Capacity Building Event pada Rabu, 19 Agustus 2015 kemarin ke Jerowaru, Telok Jor, Lombok Timur. Pertemuan ICCA (Indigenoues People’s Community Conserved Area and Territories/ Wilayah dan Perbatasan Komunitas Terkonservasi milik Masyarakat Adat ). South East Asia Knowledge Sharing and Capacity Building sendiri dilaksanakan di Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat dari tanggal 17 Agustus hingga 22 Agustus 2015.

“Kearifan lokal masyarakat penting untuk dihargai. Mempelajari sejarah menjadi penting bagi masuarakat adat dalam menentukan kearifan local. Menghargai sejarah menjadi penting untuk menentukan masa depan masyarakat adat,” ungkap Grazia Borrini-Feyerabend, Global Coordinator ICCA dalam Workshop ICCA South East Asia Knowledge Sharing and Capacity Building Event di hari kedua (19/8).

“Sebelum kita mempelajari ICCA’s, kita harus mengerti sejarah mereka. Disana kita bisa mempelajari kearifan lokal mereka, dan menghargai pengertian kolektif mereka seperti ada peraturan dan denda adat yang bertujuan untuk konservasi wilayah mereka,” sambung Grazia.

Sementara itu, Temenggung Grip dari Suku Rimba, yang tinggal di hutan Taman Bukit Dua Belas, Jambi menyampaikan bahwa Suku Rimba sangat bergantung dengan alam, terutama hutan. Suku Rimba harus menjaga hutan dan lingkungan tempat mereka tinggal dengan beberapa peraturan yang harus ditaati oleh seluruh masyarakat Suku Rimba dan pendatang di hutan Bukit Dua Belas. Jika ada yang melanggar, seperti menebang pohon yang sudah dikeramatkan, maka dia harus membayar dendan dengan kain adat. “Larangan dan denda ini dibuat semata-mata untuk menjaga ekosistem kita,” sambung Temenggung Grip.

Sutej Hugu, peserta dari Taiwan memaparkan bahwa di Taiwan ada peraturan-peraturan tertentu untuk konservasi alam mereka. Ada peraturan tentang beberapa ikan tertentu saja yang harus dimakan oleh laki-laki atau perempuan. “Hal ini diberlakukan untuk menjaga ekosistem laut menjadi terjaga, karena tidak semua ikan yang kami miliki di laut dikonsumsi,” kata Sutej.

Konservasi masyarakat adat merupakan bentuk keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungan di ICCA Consortium. “ICCA bisa disebutkan sebagai model pengelolaan kawasan sumber daya alam berbasis kearifan lokal,” kata Catharina Dwihastarini, Koordinator Nasional Global Environment Facility, Small Grant Programme (GEF SGP) Indonesia.

Sejalan dengan kegiatan ICCA ini, GEF SGP Indonesia telah berkomitmen mendukung kegiatan komunitas adat yang dapat megelola sumber daya alamnya dan kearifan lokal menjadi berdaya. Karena komunitas adat itu bisa berdaya dan berkembang jika mereka juga sudah bisa menghasilkan suatu produk-produk dengan memanfatkan hasil alam yang mereka punya. “Menjadi penting jika kita bicara masyarakat adat, kita harus menjunjung dan melindungi keanekaragamanhayati yang ada di sekitar mereka. Sehingga mereka dapat hidup tenang di wilayah mereka, dan bisa memanfaatkan kearifan lokal untuk penghidupan mereka,” sambung Catharina. [rel]

read more
Kebijakan Lingkungan

Mencari Pemimpin Jambi di Era MEA 2015

Di era pasar bebas yaitu “Asean Community 2015” atau Masyarakat Ekonomi Asean tahun 2015 (MEA) yang penuh dengan daya saing dan tantangan perubahan lingkungan, sehingga pemimpin yang ideal seyogyanya menjadi kebutuhan mendesak. Pemimpin memperjuangkan dan mewujudkan visi dan misi negara yang telah di ungkapkan dalam pembukaan UUD 1945, dan di terjemahkan berdasarkan kebutuhan baik nasional, regional kewilayahan Provinsi, Kabupaten dan Kota.

Pasar bebas itu adalah membiarkan pasar bekerja tanpa distorsi, keyakinan ini berakibat bahwa perusahaan swasta harus bebas dari intervensi pemerintah, apapun akibat sosial yang dihasilkan, sehingga membuka kebebasan arus perdagangan barang dan jasa menjadi indikator utama. Bahkan pasar tenaga kerja profesional, seperti dokter, pengacara, akuntan, konsultan, perawat, tenaga tehnis dan lainnya.

Produk hasil dari enterpreneur/usahawan Propinsi Jambi akan ikut berkompetisi secara fair di pasar bebas atau akan seutuhnya menerima produk negara lain. Begitu juga apakah peluang tenaga kerja profesional yang dididik dari Propinsi Jambi dapat diterima di negara tetangga atau tidak, sebuah tantangan yang sangat berat, bukan berarti tidak bisa.

Tantangan berat tersebut harus bisa di jawab dalam proses Pilkada dengan rezim UU No. 1 tahun 2015, merupakan pilkada serentak pertama yang akan diwujudkan dalam pemilihan langsung pada bulan Desember tahun 2015. Pilkada tersebut menjadi taruhan bagi Provinsi Jambi masa yang akan datang, untuk bisa memanfaatkan MEA atau dimanfaatkan oleh MEA, dengan konsekwensi menekan dan memperkecil kemiskinan secara real, bukan hanya pertumbuhan ekonomi secara statistik belaka.

Terkait Pilkada Propinsi Jambi, dengan melihat persepektive yang akan datang terutama MEA, kedepan dibutuhkan dan diinginkan pemimpin yang memiliki pemahaman untuk mencegah dampak negatif dan membuat strategi jitu dalam memanfaatkan MEA untuk kepentingan masyarakat. Terutama masyarakat Jambi khususnya dan  masyarakat Indonesia pada umumnya, terutama dalam meningkatkan kesejahteraan dan penguatan daya beli masyarakat.

Pasar MEA menjadi satu kesatuan pasar tunggal Asia Tenggara, MEA akan menjadikan arus lalu lintas barang, jasa, investasi, dan modal bebas di kawasan Asia Tenggara. Apakah MEA merupakan berkah atau justru musibah bagi Indonesia?

Ini menjadi salah satu penilaian untuk siapa yang akan menjadi pemimpin di Indonesia, termasuk pemimpin di Propinsi Jambi dan Bupati/Wali Kota dalam propinsi Jambi. Apakah Propinsi Jambi bisa ikut memberi jawaban atas pertanyaan tersebut diatas, yaitu menjawab tantangan “apakah MEA itu merupakan berkah atau justru musibah ?”

Sepakat atau tidak sepakat MEA akan tetap berjalan, tentunya pertanyaan tersebut diatas, harus di jawab dengan MEA harus memberi berkah bagi masyarakat Provinsi Jambi. Tentunya dibutuhkan pemimpin yang peka dan memiliki konsep jelas dalam memperkuat perekonomian regional Propinsi Jambi menuju MEA.

Lembaga swadaya Indonesia for Global Justice (IGJ) mengatakan pemerintah belum memiliki strategi dan rencana yang tepat untuk melindungi kepentingan petani, nelayan, buruh, dan pedagang tradisional, dalam menghadapi MEA yang mulai efektif 2015

Hal ini berpotensi mendorong hilangnya akses rakyat terhadap sumber daya alam dan tingginya angka kemiskinan di pedesaan. Direktur Eksekutif IGJ Riza Damanik menyatakan, nelayan, petani, buruh, maupun pedagang pasar tradisional adalah kelompok paling dirugikan atas pemberlakuan MEA tahun depan

Fakta diatas yang membutuhkan nilai-nilai kepemimpinan sangat menentukan keberhasilan pembangunan dalam rangka mengoptimalkan dan pemanfaatan MEA di Propinsi Jambi, terutama dalam perdagangan bebas, dimana arus barang dan arus manusia terus bergerak tanpa hambatan, apakah sebagai produk barang dan jasa, tenaga kerja, wisatawan, perdagangan dll melalui mekanisme pasar sebagai proses yang menentukan, tentu mekanisme pasar terhadap manusia, enterprenurship, barang dan jasa yang dikelola dengan manajemen kepemimpinan terutama dalam mekanisme usaha dan bisnis yang memiliki keadian dan berkeadilan.

Pemimpin di Era globalisasi diharapkan adanya upaya peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk Interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu Negara/Propinsi/Kabupaten/Kota menjadi semakin sempit. Di era ini terjadi proses interaksi antar individu, antar kelompok, dan antar negara yang pada akhirnya menimbulkan saling ketergantungan, keterkaitan dan saling memengaruhi satu sama lain yang melintasi batas-batas wilayah. Interaksi ini terjadi dalam berbagai aspek kehidupan social, budaya, politik, ekonomi dan pertahanan keamanan.

Era pasar bebas diperkuat dengan era teknologi informasi yang sangat cepat seperti telepon genggam, televisi satelit, dan Internet menunjukkan bahwa informasi dan komunikasi lintas benua sangat cepat dan dunia semakin sempit, tentunya akan berpengaruh terhadap eksistensi negara/ propinsi/ Kabupaten/Kota. Kondisi ini terlihat dengan indikator pasar dan produksi ekonomi di negara-negara yang berbeda menjadi saling bergantung sebagai akibat dari pertumbuhan perdagangan internasional, peningkatan pengaruh organisasi multinasional, dan dominasi organisasi internasional dalam menguasai perdagangan. Disisi lain peningkatan interaksi sosial budaya melalui perkembangan media massa baik televisi, film, musik, dan transmisi berita juga sangat berpengaruh terhadap kinerja organisasi sesuai dengan kemampuan daya saing yang dimilikinya.

Sehingga sesuatu yang harus diperjuangkan Pilkada dapat menghasilkan Pemimpin Provinsi Jambi, baik Gubernur, Bupati maupun walikota. Menurut Profesor Chipta Lesmana yaitu pemimpin dengan konsep (1) Kepemimpinan yang progresif adalah pemimpin hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan zaman dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu melayani masyarakat dengan menyandarkan padakonsep-konsep moralitas. Urgensitasnya tidak bisa dielakkan lagi. Namun jangan salah kaprah; (2) Konsep kepemimpinan yang fleksibel terhadap perkembangan zaman bukan berarti kita harus melupakan identitas yang dimiliki.

Selanjutnya, ciri ciri kepemimpinan yang diharapkan menurut Robert L. Katz (1955) dalam jurnalnya Skills of an Effective Administrator yaitu memiliki tiga ketrampilan, yaitu: (1). Ketrampilan teknis (technical skill), adalah pengetahuan dan ketrampilan seseorang dalam proses kebijakan administratif dan/atau teknik; (2) Ketrampilan manusiawi (human skill), kemampuan bekerja secara efektif dengan orang-orang dan membina kerjasama tim; (3) Ketrampilan konseptual (conceptual skill), kemampuan untuk berpikir dalam kaitannya dengan model, kerangka, hubungan yang luas dan rencana jangka panjang (visioner).

Dan diharapkan pemimpin yang terpilih nantinya memiliki gaya kepemimpinan yang dibutuhkan menurut Stephen Robbins (1996) bahwa pemimpin transaksional adalah pemimpin yang memandu atau memotivasi pengikut mereka ke arah tujuan yang ditetapkan dengan memperjelas peran dan tuntutan tugas, yang secara eksplisit termasuk pemimpin task oriented dimana penyelesaian tugas menjadi hal utama dengan petunjuk rinci yang wajib dijalankan oleh pengikutnya.

Gaya kepemimpinan transformasional adalah pemimpin yang memberikan pertimbangan dan rangsangan intelektual yang diindividualkan dan yang memiliki karisma. Pemimpin seperti ini mencurahkan perhatian pada kebutuhan pengikutnya, mereka mengubah kesadaran pengikut akan persoalan- persoalan dengan membantu mereka memandang masalah lama dengan cara cara baru dan mereka mampu membangkitkan serta mengilhami para pengikut untuk mengeluarkan upaya ekstra dalam mencapai tujuan kelompok. (bersambung)

*Penulis adalah konservasionis dan dosen STIE SAK

read more
Flora Fauna

Ribuan Nelayan Jaga Lumbung Ikan

Masyarakat nelayan di Teluk Kolono, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, menunjukkan kebanggaan akan potensi lautnya melalui Festival Teluk Kolono di desa Lambangi, 12–14 Maret 2014.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Konawe Selatan, Ir. Abdul Rahman K. menuturkan, “Perairan Teluk Kolono kaya akan berbagai ikan karang bernilai ekonomi tinggi seperti Kerapu, Kakap, Kuwe, Baronang, Tenggiri, Pari, Awu-awu dan Layang Juga biota laut yang dikonsumsi oleh masyarakat seperti Lobster, Gurita, Cumi-cumi, dan Sotong.

Potensi laut yang tinggi ini menyadarkan masyarakat untuk melestarikan lumbung ikan di perairannya. Untuk pertama kalinya, masyarakat nelayan Teluk Kolono terlibat aktif, duduk bersama merumuskan Peraturan Desa mengenai pengelolaan Daerah Perlindungan Laut (DPL) Teluk Kolono sebagai sumber perikanan berkelanjutan.”

Staf DKP Konawe Selatan sekaligus Manajer Kampanye Program Pride di DPL Teluk Kolono, Musriyadi, S.Pi. menginformasikan, ”Festival Teluk Kolono merupakan bagian Program Pride bagi Perikanan Berkelanjutan di DPL Teluk Kolono, kerja sama antara DKP Konawe Selatan dan Rare sejak Juni 2012. Program Pride mendorong masyarakat nelayan di desa Lambangi, Tumbu-Tumbu jaya, Ngapawali, Batu Putih dan Rumba-Rumba untuk terlibat aktif dalam pembentukan Peraturan Desa mengenai pengelolaan DPL Teluk Kolono serta menjadi anggota Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) untuk mengawasi pemanfaatan sumber daya perikanan di DPL Teluk Kolono. Kini telah terbentuk dua DPL di perairan desa Ngapawali dan desa Tumbu-tumbu Jaya dengan luas total lebih dari 50 hektar.

Nelayan didorong untuk menangkap ikan di luar batas DPL. Di akhir Program Pride pada Juni 2014, diharapkan tercapai dampak konservasi berupa stabilnya tutupan terumbu karang hidup dan sehat di DPL Teluk Kolono yang pada akhirnya akan menjamin ketersediaan sumber daya perikanan bagi masyarakat Teluk Kolono.”

“Dulu hasil tangkapan banyak. Biar pakai obor, turun memancing bisa dapat ikan banyak. Tapi sekarang hasil mulai berkurang. Biar pakai lampu yang terang, kadang nda ada hasil sama sekali. Lima tahun yang lalu, terumbu karang masih bagus. Sekarang sudah banyak yang rusak karena banyak yang tangkap ikan pakai bom.” M. Yamin, nelayan dari desa Tumbu-tumbu Jaya menceritakan kondisi perikanan saat ini.

“Penelitian kualitatif oleh DKP Konawe Selatan dan Rare pada Oktober 2012 di desa Lambangi, Tumbu-Tumbu Jaya, Ngapawali, Batu Putih dan Rumba-Rumba, menyebutkan bahwa rata-rata nelayan mengalami penurunan hasil tangkapan dibandingkan dengan sepuluh tahun yang lalu, ukuran ikan yang tertangkap semakin kecil serta lokasi tempat mencari ikan semakin jauh. Salah satu penyebab kondisi ini ialah penggunaan bahan peledak dan racun potas untuk menangkap ikan oleh sejumlah oknum nelayan yang tidak bertanggung jawab sehingga mengakibatkan rusaknya ekosistem terumbu karang sebagai rumah ikan.

Monitoring bawah laut oleh DKP Konawe Selatan dan Rare di DPL desa Ngapawali dan desa Tumbu-tumbu Jaya pada Januari 2013 menunjukan persentase luas tutupan karang keras hidup dan sehat di kedua DPL tersebut berada pada kategori ‘rusak sedang’ sebesar 31% dan 35% sesuai Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang, Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.04 tahun 2001. Oleh karena itu, pembentukan kawasan perlindungan laut guna pelestarian ekosistem terumbu karang menjadi salah satu solusi yang digagas dan dikembangkan bersama masyarakat nelayan Teluk Kolono.

“Kecamatan Kolono merupakan salah satu dari sedikit kawasan di Kabupaten Konawe Selatan yang bebas dari pertambangan. Masyarakat nelayan sadar bahwa pertambangan akan merusak ekosistem terumbu karang dan sumber daya laut Teluk Kolono. Masyarakat tergugah hatinya untuk berpartisipasi menjaga DPL supaya ikan senantiasa ada untuk kita dan anak cucu kelak,” jelas Camat Kolono, Drs. Muh. Yusuf.

“Program Pride ini menggugah rasa bangga masyarakat nelayan Teluk Kolono akan kekayaan sumber daya laut karunia Allah SWT. Mari kita bersama-sama mengelola DPL untuk melestarikan terumbu karang sebagai rumah ikan, supaya ikan selalu ada dan bertambah banyak. Jaga rumahnya agar melimpah. Ini sesuai dengan visi pembangunan Kabupaten Konawe Selatan sebagai ‘Kabupaten Minapolitan’ yang dijabarkan melalui misi yakni ‘Mewujudkan Masyarakat Konawe Selatan Sejahtera Berbasis Pedesaan’. Untuk mewujudkannya, mari kita bekerja keras bersama-sama bagi kesejahteraan nelayan di masa kini dan masa mendatang,” tegas Bupati Konawe Selatan, Drs. H. Imran, M.Si saat membuka Festival Teluk Kolono.

Bupati Konawe Selatan juga berdiskusi dengan nelayan dan mencanangkan Gerakan Pelestarian Teluk Kolono. Pembukaan festival ini disaksikan oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Konawe Selatan, Ketua Badan Pengendali Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Konawe Selatan, Kepala DKP Konawe Selatan, Camat Kolono dan 31 orang Kepala Desa di wilayah Kecamatan Kolono.

Lebih dari 3.000 orang masyarakat nelayan teluk Kolono memadati festival ini. Festival ini dimeriahkan dengan berbagai lomba bagi masyarakat nelayan seperti lomba perahu hias, lomba dayung, lomba balap katinting, lomba masak olahan tradisional hasil laut, lomba foto lingkungan perairan, lomba cipta lagu konservasi, lomba tarik tambang perahu, stand desa dengan makanan tradisionalnya, tarian tradisional dan lainnya.

“Festival Teluk Kolono yang baru pertama kali dilaksanakan ini merupakan kegiatan positif dalam melestarikan lingkungan perairan pesisir Teluk Kolono. Juga melestarikan budaya-budaya lokal yang keberadaanya mulai terkikis oleh perubahan zaman. Oleh karena itu, Festival Teluk Kolono akan dijadikan sebagai kegiatan tahunan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Konawe Selatan,” tambah Bupati Konawe Selatan, Drs. H. Imran, M.Si.

Sumber: hijauku.com

read more
Ragam

Aceh Punya Aturan Adat Pengelolaan Laut

DR. Dedi Supridi Adhuri selaku pembicara dalam Diskusi Panel mengatakan sejak berabad-abad yang lalu, orang Aceh mengenal tradisi dan hukum adat laut yang disebut “Panglima Laot”. Pada intinya, tradisi ini terkait dengan kelompok adat yang disebut Mukim (federasi gampong desa) dengan unit wilayah kelola yang disebut Ihok (teluk).

“Pengelolaan masing-masing Ihok dipegang oleh lembaga ‘Panglina Laot’. Memang berbeda dengan tradisi petuanan di Maluku. Orang Aceh tidak mengklaim hak milik terhadap wilayah adat lautnya. Mereka menganggap bahwa laut adalah milik semua orang (umum), tetapi mereka mengklaim hak pengelolaan,” papar Dedi dalam diskusi panel.yang bertemakan “Interdependensi Masyarakat Maritim Dengan Lingkungan”, bersama Sony Keraf dan DR. Alan F.Koropitan, Ph.D sebagai pembicara di Asean Room Hotel Sultan, Jakarta, Sabtu (11/1/2013).

Dedi mengungkapkan, menurut adat warga Aceh, setiap orang yang menangkap ikan atau sumberdaya laut lain di wilayah adat laut mereka harus tunduk pada aturan-aturan adat dan Panglima Laot dari lhok yang bersangkutan. Aturan-aturan adat laot bervariasi di tiap Ihok. “Aturan itu bisa dilihat dengan contoh dari praktik hak ulayat dan pengelolaan di dua Ihok, yaitu Lhok Kruet di Aceh Jaya dan Lhok Je Meule di Sabang,” tuturnya.[]

Sumber: pikiranrakyat.com

read more
Ragam

Koperasi Dorong Nelayan Mandiri dan Patuh Zonasi

Di Taman Nasional (TN) Komodo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, koperasi bukan hanya berfungsi sebagai lembaga keuangan yang mengurusi simpan pinjam anggota. Koperasi juga digunakan untuk mendorong kepatuhan nelayan terhadap aturan zonasi TN.

Koperasi Kredit (Kopdit) Nelayan Padakauang yang berdiri 11 Juli 2013 atas inisiatif sekelompok nelayan di Desa Pasir Panjang, Pulau Rinca, yang didampingi Staf Balai TN Komodo, Devi Opat, mewajibkan anggotanya untuk menaati aturan zonasi.

Di dalam aturan Koperasi Padakauang disebutkan bahwa anggota hanya boleh menangkap ikan di Zona Pemanfaatan Tradisional Baharí dan Zona Khusus Pelagis TN Komodo dengan alat tangkap ramah lingkungan. Jika ada yang melanggar maka keanggotaannya akan dicabut.

Ide pembentukan kopdit berawal dari keinginan nelayan di salah satu pulau terbesar di TN Komodo ini untuk membangun kemandirian keuangan, sekaligus memutus mata rantai tengkulak. Nelayan Rinca, sejumlah 671 dari 969 total jiwa yang tinggal di Pulau Rinca, selama bertahun-tahun bergantung pada tengkulak untuk mendapatkan modal melaut.

Tengkulak meminjamkan modal untuk membeli bahan bakar dan logistik lainnya untuk mencari ikan. Ikatan modal ini yang membuat nelayan harus menjual hasil tangkapan mereka pada tengkulak, meskipun harga beli yang ditawarkan jauh dibawah harga pasar.

Akibatnya demi mencukupi kebutuhan keluarga, nelayan semakin menguras sumber daya lautnya dan nekat mencari ikan di zona yang tidak diperuntukkan untuk kegiatan penangkapan.

TN Komodo selain terkenal sebagai hábitat Komodo, juga memiliki perairan laut dengan keanekaragaman yang tinggi. Sebesar 70% dari luas total 173.000 hektar TN Komodo merupakan perairan laut. Terdapat lebih dari 1000 jenis ikan, 260 jenis karang dan 70 jenis bunga karang . Tak heran kalau TN Komodo dikukuhkan sebagai Cagar Biosfer pada 1977 dan Situs Warisan Dunia pada 1991.

Laut di TN Komodo juga menjadi lahan pencaharian utama bagi masyarakat di dalam kawasan. Berdasarkan data statistik penduduk tahun 2011, ada 4226 jiwa yang berdiam di dalam kawasan TN. Sebanyak 90% dari masyarakat merupakan nelayan yang menggantungkan hidup dari hasil menangkap cumi dan ikan pelagis kecil.

“Potensi perikanan di perairan TN Komodo sangat besar. Terutama kerapu, kakap, napoleon, tuna, cakalang, baronang, lobster, udang dan lainnya. Potensi ini selalu menggoda nelayan berburu ikan di perairan TN Komodo.”  kata Ir. Sustyo Iriyono M.Si. Kepala  Balai TN Komodo.

Ancaman terbesar bagi kawasan ini adalah penangkapan ikan secara merusak dan penangkapan ikan di zona yang tidak semestinya. Pengamanan kawasan dan penguatan komunitas mutlak diperlukan agar sumber daya laut di TN Komodo ini dapat terus terjaga. Kopdit Padakauang merupakan salah satu pendekatan yang difasilitasi oleh Balai Taman Nasional Komodo untuk mendorong hal ini.

“Koperasi Kredit Padakauang ini merupakan program bersama antara Balai TN Komodo, Rare dan masyarakat. Namun masyarakat yang bergerak menghidupkan koperasi untuk mengumpulkan dan memanfaatkan modal bersama supaya lebih sejahtera dan semakin sadar untuk mematuhi peraturan zonasi TN Komodo. Balai TN Komodo akan membantu menyebarluaskan informasi tentang koperasi ini ke lokasi-lokasi lain di dalam kawasan TN Komodo supaya semakin banyak nelayan yang menjadi anggota koperasi dan merasakan manfaatnya”, ungkap Ir. Sustyo Iriyono M.Si. Kepala  Balai TN Komodo.

Kopdit Padakauang yang dalam Bahasa Bajo berarti kebersamaan untuk mencapai cita-cita ini diharapkan juga dapat membangun kemandirian nelayan.

Modal yang dikumpulkan dalam koperasi ini semua berasal dari anggota. Tidak ada bantuan modal dari pihak luar. Nelayan mesti menyisihkan pendapatan mereka untuk disimpan di koperasi. Hingga November 2013, modal yang terkumpul sebesar Rp 32,8 juta dari 27 anggota koperasi. Tidak mudah memang, apalagi karena sebagian besar nelayan berasal dari rumah tangga miskin.

“Koperasi Kredit Padakauang merupakan wadah yang sesuai dan bermanfaat bagi kebutuhan masyarakat nelayan Rinca. Terima kasih untuk Balai TN Komodo dan Rare yang telah membantu kami mendirikan Kopdit Padakauang.

Melalui koperasi, masyarakat dapat meningkatkan budaya menabung dan memanfaatkan modal usaha yang ada. Setidaknya nelayan Rinca dapat mandiri dalam suatu wadah koperasi, tanpa harus menunggu bantuan dari pihak luar. Keberadaan kantornya dekat. Pengurus koperasi juga masyarakat Rinca sendiri. Pola kebijakan koperasi ditentukan melalui rapat pengurus.” tutur Ibrahim Hamso, Sekretaris Desa Pasir Panjang, Kampung Rinca.

Pengawas, pengurus dan pengelola Kopdit yang semuanya merupakan masyarakat asli Rinca bertekad mengajak lebih banyak nelayan untuk bergabung menjadi anggota. Jika modal yang terkumpul sudah cukup banyak, nelayan tidak perlu lagi meminjam modal pada tengkulak.

Mereka juga bisa bebas menjual hasil tangkapan ikan mereka, mendapatkan hasil yang memadai tanpa perlu melanggar aturan TN. Kesulitan hidup dan akses menuju pulau lain di dalam TN yang cukup menantang tidak menyurutkan niat pionir koperasi ini. Segala upaya dilakukan demi kualitas hidup yang lebih baik dan menjaga laut di TN Komodo yang menjadi sumber penghidupan mereka.[]

Sumber: hijauku.com

read more
Flora Fauna

Dunia Internasional Gagal Sepakati Konservasi Ikan Tuna

Pertemuan puncak ke-10 lembaga perikanan regional pasifik barat-tengah (WCPFC10) yang berlangsung tanggal 2 sampai 6 Desember 2013 lalu di Cairns, Australia, telah gagal menghasilkan kesepakatan konservasi dan pengelolaan yang kuat untuk melindungi masa depan sumberdaya tuna dari kondisi penangkapan berlebih.

Sejumlah aktivis Greenpeace, dan perwakilan organisasi non-pemerintah lainnya menjadi saksi langsung atas lemahnya komitmen banyak negara dalam pertemuan WCPFC10 untuk melakukan tindakan nyata menyelamatkan tuna dari eksploitasi berlebih.

Lagi-lagi kompetisi dan ekspansi bisnis perikanan antar anggota WCPFC telah mengesampingkan pentingnya instrumen yang kuat dan mengikat dalam pemulihan stok perikanan.  Konsensus WCPFC10 tersebut juga berarti tidak memberikan ruang, kesempatan dan keadilan bagi nelayan skala kecil untuk memanfaatkan sumberdaya ikan secara berkelanjutan.

Upaya pengetatan aturan dan batasan jumlah armada (longline dan purse seines), pengaturan dan penggunaan rumpon (FADs) serta kuota tangkap, terutama untuk tuna mata besar (bigeye) dan jenis-jenis tuna tropis lainnya termasuk cakalang (skipjack) dan sirip kuning (yellowfin) berdasarkan anjuran komite ilmiah WCPFC, berujung pada ketidakjelasan upaya pengurangan kapasitas tangkap.

Sebagian besar negara-negara WCPFC, jelas masih enggan menjalankan sistem perikanan yang bertanggungjawab dan berkelanjutan. Sejumlah pemangku kepentingan, seperti Amerika Serikat, Uni Eropa dan Cina, bahkan ragu menurunkan kapasitas tangkap dan cenderung memilih agar mendiskusikan kembali sejumlah proposal pengaturan sampai dengan pertemuan puncak tahun depan (WCPC11) di Samoa.

Jepang, pada pertemuan WCPFC10 sempat dielukan sebagai reformis karena turut mengusung upaya pembaharuan pengaturan agar setiap negara dapat mengambil langkah nyata mengatasi kondisi penangkapan berlebih di kawasan Pasifik barat. Namun tetap saja tidak dapat disembunyikan, pada momentum yang sama, Jepang bersama Cina, Taiwan, Korea Selatan bahkan Filipina turut memainkan peran ‘pengamanan kepentingan’ antar sesama negara Asia, terutama terhadap Indonesia, mengingat  Jepang dan negara-negara tersebut memiliki kepentingan ekspansi bisnis perikanan yang besar di Indonesia.

Sekalipun demikian, Pertemuan Cairns juga patut diapresiasi dan dirayakan. Sambutan hangat terhadap bergabungnya Indonesia sebagai salah satu anggota WCPFC di Cairns merupakan signal kuat bahwa upaya pengelolaan perikanan regional Pasifik barat menjadi semakin penting dan kita masih punya harapan bahwa Indonesia dapat menjadi pelopor dan pendorong terwujudnya keteladanan perikanan di kawasan tersebut.

Untuk itu, Indonesia perlu segera berbenah! Langkah awal, yang perlu ditempuh pemerintah melalui  Kementerian Kelautan dan Perikanan  adalah mengevaluasi kriteria dan membenahi sistem perizinan kapal ikan di Indonesia.  Kedua, pada saat yang bersamaan, segera menyusun pembaharuan sistem dan menyelenggarakan pengkajian stok ikan nasional dengan mendukung dan mengoptimalkan kewenangan dan kerja-kerja dari Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas Kajiskan).

Sebagai tuan rumah pertemuan WCPFC12 di tahun 2015 mendatang, Indonesia perlu berbenah lebih serius serta mempersiapkan diri lebih baik sejak sekarang agar keadilan perikanan dapat diwujudkan dan pengelolaan sumber daya ikan yang bertanggungjawab dan mengarusutamakan pemenuhan kriteria lingkungan dan sosial dampaknya benar-benar dapat dinikmati oleh nelayan dan rakyat Indonesia.[]

Sumber: greenpeace.or.id

read more