close

orangutan tapanuli

Flora Fauna

Bersatu dalam Kearifan Lokal Untuk Melindungi Orangutan Tapanuli

Deli Serdang – Orangutan Tapanuli jantan, Paya, berusia 40 tahun, telah menghabiskan hampir dua bulan untuk rehabilitasi malnutrisi serta cedera pada wajah dan punggungnya di pusat karantina Orangutan Batu Mbelin di Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara.

Paya adalah satu-satunya orangutan Tapanuli di antara 56 orangutan Sumatra di pusat yang dikelola oleh Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), sebuah organisasi nirlaba pelestarian lingkungan. Paya merupakan kasus malnutrisi pertama yang tercatat pada orangutan Tapanuli. Dia akan menghabiskan sisa hidupnya di penangkaran meskipun kondisinya membaik, karena dia dianggap terlalu tua untuk bertahan hidup di alam liar.

Sebuah tim dari Pusat Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) menemukan Paya menderita kekurangan gizi dan beberapa cedera pada September di sebuah perkebunan di luar Ekosistem Batang Toru.

Spesies kera besar, Pongo Tapanuliensies diperkirakan memiliki populasi hanya 800 hewan di alam liar. Mereka hanya ditemukan di Ekosistem Batang Toru, hutan perawan yang meliputi 133.841 hektar di tiga kabupaten Sumatera Utara, Tapanuli Selatan, Tapanuli Utara, dan Tapanuli Tengah.

Orang-orang yang tinggal di sekitar Batang Toru berkomitmen untuk melindungi spesies orangutan yang baru ditemukan ini dengan mengandalkan kearifan lokal.

Koesnadi Wirasaputera, seorang aktivis pemberdayaan masyarakat di Sipirok, Tapanuli Selatan, mengatakan bahwa menggunakan kearifan lokal dalam pendekatan masyarakat terhadap konservasi dan perlindungan lingkungan telah bekerja sejauh ini di daerah tersebut, termasuk habitat alami orangutan Tapanuli.

Dia menambahkan bahwa masyarakat Sipirok telah menerapkan kearifan lokal untuk melindungi orangutan selama beberapa generasi sejak abad ke-18.

Menurut Koesnadi, orang-orang di desa Haonatas, Tanjung Rompa, Bonan Dolok dan Siranap di sekitar Batang Toru percaya bahwa orangutan yang mengganggu akan membahayakan desa mereka.

“Orang-orang di desa-desa ini menganggap orangutan sebagai hewan suci yang dapat membahayakan pemukiman mereka jika diganggu,” katanya kepada The Jakarta Post saat wawancara baru-baru ini.

Koesnadi, yang melatih 30 warga dari sembilan desa sebagai sukarelawan konservasi, juga mencatat bahwa menurut mitos nenek moyang, orangutan dipandang sebagai “bagian dari keluarga yang tinggal bersama” di kawasan hutan yang sama.

Penduduk desa dengan demikian tidak merasakan permusuhan terhadap orangutan, dan hanya akan mengusir hewan itu jika mereka memakan buah dari pohon durian mereka. Bentuk kontak manusia-orangutan ini masih terjadi di dusun Sitandiang, Aek Batang Paya dan Marancar Godang.

Sementara itu, Firman Taufick, direktur komunikasi dan urusan eksternal PT North Sumatra Hydro Energy (NSHE), menyatakan penghargaannya kepada masyarakat setempat dalam menerapkan kearifan adat mereka untuk melindungi orangutan Tapanuli.

Firman mengatakan bahwa NSHE dan pemerintah telah menyediakan berbagai program pelatihan berdasarkan kearifan lokal untuk mengembangkan kelompok relawan konservasi di Tapanuli Selatan. Program telah berjalan selama beberapa bulan, dan dimaksudkan untuk melindungi orangutan dan hewan lainnya di Ekosistem Batang Toru.

“Kami berharap masyarakat lokal akan memiliki pengetahuan dan keterampilan yang cukup untuk berkontribusi dalam memastikan kelangsungan hidup orangutan Tapanuli di Batang Toru,” katanya.

Penasihat senior NSHE untuk lingkungan dan keberlanjutan Agus Djoko Ismanto mengatakan bahwa PLTA Batang Toru telah menerapkan langkah-langkah untuk mengurangi dampak lingkungan yang potensial dari pengembangan proyek.

Agus mengatakan bahwa langkah-langkah ini termasuk penilaian dampak lingkungan dan sosial (ESIA) sebagai referensi untuk menerapkan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati PLTA, sebuah program perlindungan lingkungan dan konservasi.

Dia menambahkan bahwa Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati dikembangkan dan ditempatkan di bawah pengawasan BKSDA bekerja sama dengan PLTA Batang Toru dan LSM lokal sebelum tanah diperoleh untuk pabrik.

“Kami memantau keberadaan spesies hewan sebelum kami mulai menebang pohon. Sawah dilindungi juga untuk mencegah kerusakan selama pembangunan PLTA Batang Toru, ”kata Agus.

Kepala peneliti Wanda Kuswanda di Pusat Penelitian dan Pengembangan Lingkungan dan Hutan Aek Nauli (BP2LHK) mengatakan bahwa selama 15 tahun penelitiannya tentang Ekosistem Batang Toru, ia menemukan bahwa pengembangan PLTA Batang Toru tidak mengganggu populasi orangutan Tapanuli.

Wanda mengatakan bahwa lokasi PLTA Batang Toru hanya mencakup 122 ha dibandingkan dengan 130.000 ha habitat orangutan di Ekosistem Batang Toru. Selain itu, situs tersebut tidak melanggar batas habitat orangutan.

Sumber: www.thejakartapost.com

read more
Flora Fauna

Orangutan Tapanuli Terluka Saat Nyasar di Ladang Buah Warga

Sebuah foto orangutan yang diunggah ulang akun istagram @jakartaanimalaidnetwork menjadi viral. Foto tersebut menggambarkan wajah orangutan dengan luka di atas matanya. Keterangan yang ditulis dalam dua bahasa di bawahnya menjelaskan, orangutan tersebut sebagai orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis) berjenis kelamin jantan.

Foto itu sendiri awalnya diunggah akun instagram @orangutaninformationcentre. Akun tersebut juga menautkannya ke @jokowi, @siti.nurbayabakar dan @orangutan_tapanuli. Sejak 8 jam setelah diunggah, foto tersebut telah disukai sebanyak 3.405 dan dikomentari 199 warganet. B

Berikut keterangan di bawah foto tersebut: Satu individu orangutan tapanuli jantan pada hari ini diselamatkan oleh tim yang terdiri dari BBKSDA Sumut dan OIC, dari perkebunan masyarakat yang berbatasan dengan ekosistem Batang Toru di Desa Aek Batang Paya, Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan. Orangutan yang diperkirakan berumur 30 tahun ini dalam kondisi sangat kurus dan mengalami luka parah akibat benda tajam di wajah dan punggung.

Saat ini, orangutan mengalami kondisi kritis dan mendapatkan perawatan medis. Orangutan tersebut ditemukan di wilayah perladangan masyarakat yang berpotensi sebagai koridor yang menghubungkan dua blok hutan – areal yang diidentifikasi sangat penting bagi keberlanjutan spesies sangat langka ini.

Bersama-sama dengan BBKSDA Sumatera, kami akan terus bekerja di lansekap Batang Toru untuk melindungi spesies kera besar paling terancam punah ini dari semua ancaman. #tapanuliorangutan #orangutan #SOS@jokowi @siti.nurbayabakar@orangutan_tapanuli).

Konfirmasi camat

Atas informasi tersebut, Camat Sipirok Sarbin Hasibuan membenarkan penemuan orangutan tersebut. Sarbin mengaku sudah menghubungi pihak Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumut. Menurut dia, orangutan dibawa dari Desa Aek Batang Paya, Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan, menuju ke Medan.

“Begini, sifat orangutan ini, kalau tak dihalau, dia enggak mau lari atau keluar dari pokok (pohon) durian, kalau musim durian. Jadi kami tembak bius terus ke Medan, karena orangutan itu kan masih di atas pohon. Begitu katanya,”ujar Sarbin, Jumat (20/9/2019). Menurut Sarbin, di tempat ditemukannya orangutan memang banyak kebun durian milik masyarakat.

“Kasus seperti ini baru ini saya dengar. Ini tadi saya hubungi BKSDA. Kadesnya belum. Lagi rapat,”kata Sarbin. Kepala BBKSDA Sumut Hotmauli Sianturi membenarkan adanya satu orangutan yang dievakuasi dari Sipirok lalu dibawa ke Pusat Karantina dan Rehabilitasi Orangutan di Batu Mbelin. Pusat karantina itu dikelola Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) dan BBKSDA Sumut dalam Program Konservasi Orangutan Sumatera (SOCP).

“Iya betul, ada dievakuasi satu orangutan dari sana, sekarang lagi diobati di karantina Batu Mbelin,” kata Hotmauli, Jumat sore. Mengenai luka yang diderita orangutan tersebut, dia enggan merincinya. Dia hanya menyebut bahwa orangutan tersebut mengalami luka di pelipisnya. “Kemungkinan orangtutan Tapanuli, karena terdapat dari daerah sana, dari ekosistem Batang Toru,” kata Hotmauli.

Menurut dia, saat ini di daerah tersebut sedang memasuki musim buah, sehingga banyak orangutan yang turun ke kebun-kebun milik masyarakat. “Jadi memang orangutan itu banyak yang turun ke kebun-kebun makan durian, petai dan sudah cukup banyak durian yang dimakan. Kami khawatir, mungkin ada petani yang kesal karena buah duriannya banyak yang tak bisa dipanen,” kata Hotmauli.[]

Sumber. kompas.com

read more
Green Style

PanEco Kerjasama Lindungi Orangutan Tapanuli dengan NSHE

Medan – Yayasan PanEco yang berpusat di Swiss dan perusahaan energi PT North Sumatra Hydro Energi (NSHE) menjalin kerjasama dalam mendukung pemerintah, untuk melindungi masa depan orangutan Tapanuli. Dimana keberadaan orangutan Tapanuli yang baru-baru ini diidentifikasi dan habitatnya di ekosistem Batangtoru, Tapanuli, Sumatera Utara.

Adapun tujuan kerja sama tersebut menerapkan strategi konservasi baru yang komprehensif terhadap lebih dari 200 ribu hektar habitat orangutan yang ada melalui suatu pendekatan multi-pihak.

Strategi baru ini akan mencakup pembangunan koridor hutan, guna menghubungkan habitat yang sudah terfragmentasi, merestorasi hutan bekas tebangan, serta meningkatkan perlindungan kawasan yang saat ini belum dilindungi.

Sebagaimana diketahui, yayasan PanEco memiliki rekam jejak panjang dalam konservasi alam dan pembangunan berkelanjutan di Indonesia, sejak tahun 70-an. Tahun 1999, PanEco bekerja sama dengan mitra lokal di Indonesia, Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia (KLHK) membentuk Program Konservasi Orangutan Sumatera (SOCP).

Penelitian lapangan di Tapanuli Selatan sejak tahun 2000, menjadi dasar ditemukannya spesies baru orangutan Tapanuli, Pongo Tapanuliensis pada tahun 2017.

Sedangkan PT NSHE, selaku pelopor dalam pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di Sumatera Utara, telah mulai membangun PLTA baru di Tapanuli Selatan, yang berlokasi di dalam ekosistem Batangtoru, di lahan yang diklasifikasikan sebagai Area Penggunaan Lain (APL).

Dimana, menghasilkan 510 MW energi listrik, di wilayah yang sering mengalami pemadaman sekaligus menggantikan penggunaan tenaga diesel, dengan potensi untuk merealisasikan pengurangan emisi karbon sebanyak 1,6 juta ton per tahun. Tentunya hal ini, merupakan prioritas utama pemerintah Indonesia, sebagai bagian dari komitmen untuk memitigasi perubahan iklim global.

Dengan demikian, NSHE dan PanEco memasuki kemitraan baru dengan strategi konservasi jangka panjang yang komprehensif, untuk melindungi ekosistem Batang Toru secara utuh demi masa depan orangutan Tapanuli.
Nota Kesepahaman (MOU) telah ditandatangani. Didukung sepenuhnya oleh Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Indonesia.

Presiden PanEco, Regina Frey menyatakan, di seluruh dunia, ada tren dan tekanan publik kuat untuk mengubah ‘business as usual’ dengan pendekatan pembangunan baru yang lebih berkelanjutan. Kolaborasi ini menawarkan suatu peluang menarik untuk mengembangkan suatu model solusi untuk mencapai tujuan dalam pembangunan berkelanjutan di mana pun di dunia.

Sementara Wiratno, sebagai Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, KLHK manyampaikan, pihaknyamenyambut baik kemitraan baru ini, dan akan melakukan yang terbaik untuk mendukung sepenuhnya, melalui kontribusi solusi administratif dan masalah teknis lainnya.

“Menghargai semangat besar dalam kolaborasi tersebut, merangkul pemerintah di semua tingkatan, LSM, kelompok masyarakat dan kearifan lokal terhadap lingkungan, termasuk satwa liar, ilmuwan, dan perusahaan melalui pendekatan lintas pemangku kepentingan,” ujarnya.

Sementara Direktur Komunikasi PT NSHE Firman Taufick mengatakan, kemitraan tersebut terjadi atas dasar saling pengertian tentang perlunya kerjasama antara sektor bisnis dan berbagai pemangku kepentingan.

“Untuk memperkuat kerjasama ini, kami mengharapkan para ahli orangutan dan LSM lingkungan Indonesia turut tampil dan berperan aktif mendukung perwujudan upaya konservasi ini,” ucap Firman.

Sementara itu, profesor Carel van Schaik, pakar orangutan dunia yang juga menjabat sebagai anggota dewan PanEco menambahkan, tanpa adanya proyek PLTA baru ini, spesies orangutan Tapanuli yang hanya tersisa kurang dari 800 individu dalam populasi yang sudah terfragmentasi, menghadapi masa depan suram.

Dengan adanya kerjasama Pemerintah Indonesia dan PT NSHE saat ini, ada potensi besar dalam hal strategi konservasi baru dan besar yang akan menjamin perlindungan terhadap mereka dan seluruh habitat ekosistem Batang Toru, dalam jangka panjang.[]

Sumber: faseberita.id

read more
Flora Fauna

OIC Ikut Melestarikan Orangutan Batang Toru

Medan – Orangutan Information Centre (OIC) dan Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) menegaskan, pelestarian orangutan yang ada di Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel) tidak ada kepentingan negara tertentu dalam pelestariannya.

Menurut Direktur OIC Sumatera Utara, Panut Hadisiswoyo, adanya isu terkait pihak-pihak tertentu yang ikut dalam pelestarian orangutan di Batang Toru tidak benar.

“Tidak ada kepentingan negara mana pun dalam program ini. Ini kita lakukan karena kepedulian kita terhadap populasi orangutan yang ada di Batang Toru,” katanya, Selasa (14/5).

Panut menjelaskan, kepentingan ini dimulai dari diri masing-masing pada keberlangsungan populasi orangutan. Kepentingan juga bisa dimulai dari diri sendiri.

“Makanya, kita juga ingin mengajak teman-teman untuk peduli. Peduli itu bisa dimulai dari diri kita sendiri. Ini sebenarnya kesempatan kita untuk mendukung orangutan. Tidak ada kepentingan negara manapun. Yang ada kepentingan kita,” jelasnya.

Mengenai adanya kabar yang menyebut NGO Orangutan tidak mengampanyekan kerusakan hutan yang terjadi akibat tambang emas, yang berlokasi sama di Batang Toru, dimana kerusakan hutan tersebut berada di lokasi inti habitat orangutan, Panut menuturkan tambang emas itu beroperasi sekitar tahun 2000, dan penetapan kawasan hutan Batang Toru sebagai habitat orangutan dilakukan sekitar tahun 2014.

“Perlu kita jelaskan dalam hal ini adalah penetapan hutan itu dimulai 2014. Sejak awal juga kita tidak memiliki data-data mengenai sejak awal berdirinya tambang emas. Bukan kita tidak mau mengampanyekan itu. Karena kita memang pada saat itu kita tidak memiliki datanya,” tuturnya.

Panut juga menegaskan, mereka terus berjuang untuk tetap melestarikan keberadaan orangutan yang ada di Batang Toru.

“Kita hanya bisa menyuarakan dan berjuang saja. Biarkan nanti apapun hasilnya, keputusan berada di tangan pemerintah sebagai pengambil keputusan. Kita hanya bisa memberikan masukan dan berjuang atas program dan kelestarian orangutan,” tegasnya.[]

Sumber: analisa.com

read more
Pejuang Lingkungan

Duo Srikandi Penjaga Orangutan Tapanuli Batang Toru

Tapanuli – Sudah sekitar 2 jam berjalan kaki dari desa terakhir dan kami masih jauh dari Camp Mayang. Jalur yang kami lewati semakin ke dalam hutan semakin liar, rapat dan berlumpur. Sepatu bot sebelah kiri saya sempat terperangkap. Jauh di depan, Sheila Kharismadewi Silitonga memimpin rombongan kecil kami; sesekali ia menjelaskan tentang Pongo tapanuliensis yang doyan memakan biji-bijian agatis. Kami lalu rehat di sebatang anak sungai.

Saya yang kebetulan sedang menstruasi, mulai tak nyaman. Saya mencolek Sheila. Harus ganti. “Ganti di sini aja, mumpung ada sungai. Nanti sampahnya dibawa, ya.” Saat mencuci, saya membatin Sheila harus melakukan kerepotan ini setiap bulan. Repot? Ternyata tidak.

Setelah 7 jam perjalanan atau setara 12 kilometer, kami tiba di Camp Mayang, sebuah stasiun monitoring flora dan fauna di ekosistem Batang Toru yang dibangun tahun 2007 oleh Yayasan Ekosistem Lestari dan Sumatran Orangutan Conservation Programme. Terpal biru yang menaungi pondok membuat kamp itu terlihat menonjol di tengah-tengah rimba hijau Tapanuli. Ada lima pondok utama dan satu pondok yang sedang dibangun.

Di sanalah kami bertemu rekan Sheila, Andayani Oerta Ginting, manajer monitoring di kamp itu. Sementara Sheila bertanggungjawab sebagai manajer riset. Keduanya dibantu lima staf laki-laki yang seluruhnya adalah warga lokal. Ekosistem Batang Toru memiliki luas sekitar 150 ribu hektare dan terbagi menjadi dua blok: timur dan barat. Camp Mayang berlokasi di blok barat, berada dalam kawasan Tapanuli Tengah. Di blok itulah habitat terpadat orangutan Tapanuli alias Pongo tapanuliensis.

Menjadi Sahabat Pongo tapanuliensis
Anda, panggilan akrab Andayani, lulusan kehutanan Institut Pertanian Bogor, bekerja lebih awal di Camp Mayang. Sebulan setelahnya, Sheila menyusulnya; lebih tepatnya: kembali masuk hutan. Sebelumnya Sheila, yang lulusan biologi IPB, sempat meneliti di kamp tentang perilaku orangutan di Batang Toru, yang saat itu masih dianggap satu spesies dengan Pongo abelii atau orangutan Sumatera.

Selagi mengerjakan penelitiannya, pada November 2017, sekelompok peneliti dari IPB, salah satunya dosen Sheila, Puji Rianti, mengidentifikasi bahwa orangutan di Batang Toru berbeda dari Sumatera. Spesies itu bernama Pongo tapanuliensis. Jumlahnya ditaksir 800-an individu.
Habitat orangutan Tapanuli kini terancam akibat proyek PLTA Batang Toru, yang dikerjakan oleh konsorsium bernama PT North Sumatera Hydro Energy, didanai oleh Bank of China senilai Rp21 triliun. Sejak itulah Sheila bertekad untuk memfokuskan riset mengenai Pongo tapanuliensis.

Sementara Anda berkomitmen untuk bekerja sesuai studinya, terutama dipupuk saat kegiatan pencinta alam di kampus. Bagi kamu yang suka petualangan, mungkin pengalamannya sama dengan Anda: Kamu capek luar biasa saat naik kali pertama ke hutan, menghadapi serangga dan ketakutan dan kesepian dan kegembiraan dan kehujanan di tengah jalan, tetapi kamu tahu kamu ketagihan ingin kembali ke hutan setelah tiba di tujuan.

Di Camp Mayang, Sheila dan Anda berfokus mencari dan mengawasi orangutan Tapanuli, meski selalu ada banyak hal dalam hutan selagi kamu mencari tujuanmu. Misalnya, mereka menemukan harimau Sumatera atau tapir yang sudah jarang terlihat. Pulau terbesar keenam di dunia ini kehilangan setengah hutan aslinya akibat perkebunan sawit, karet, dan kertas, menyetor perubahan iklim global sekaligus menyusutkan jumlah hewan paling endemik di Sumatera.

“Tiga bulan pertama kerja di sini masih ngeluh capek karena tiap hari kerjanya jalan menyusuri hutan,” ujar Anda, yang Maret lalu sudah setahun bekerja di Camp Mayang. Saat kegiatan observasi itu, biasanya mereka menghabiskan waktu 10 hari untuk mengikuti kegiatan satu individu orangutan saja. Tetapi tidak setiap hari mereka bisa mengamati orangutan. Bahkan bisa lebih dari sebulan tak satu pun individu orangutan yang ditemukan mereka.

“Kalau sudah begitu aku frustrasi banget. Frustrasi antara kami enggak bisa capai target riset sekaligus khawatir keadaan mereka,” ujar Sheila. “Jangan-jangan mereka mati…” Mereka pernah menemukan satu individu orangutan betina, yang mereka namakan Indah, membawa anaknya yang sudah mati. “Kemungkinan mati karena terjatuh,” ujar Anda. Setelah itu mereka tak pernah melihat Indah. “Dugaan kami juga meninggal karena stres anaknya mati.”

Bekerja di Hutan
Sheila, besar di Kota Bekasi, dan Anda yang lahir di Medan memutuskan bekerja di hutan dan meninggalkan yang serba praktis di belakangnya. Selamat tinggal internet. Selamat tinggal media sosial. Mereka berteman dengan penerangan malam karena genset cuma dinyalakan selama dua jam di kamp. Mereka kadang rindu dengan hiburan seperti bioskop atau sekadar makan di restoran cepat saji.

Maka, tiap hendak masuk hutan usai mengambil jatah libur, mereka tak hanya menyiapkan logistik bulanan tapi juga unduhan beragam film dan serial untuk tiga minggu ke depan. “Game of Thrones. Oh, please, kamu jangan kasih spoiler! Aku belum nonton,” seru Sheila. “Drama Korea, dong,” timpal Anda saat menjawab koleksi tontonannya.

Satu hari, usai menemani rombongan kami ke air terjun sembari mencari orangutan Tapanuli, saya melihat Anda kemulan di bawah selimut sambil menonton tutorial make up di YouTube. Kendati di hutan, Anda rajin merawat wajahnya dengan rangkaian skin care, dengan sejumlah merek yang saya kenal, bertumpuk di pondok tempat saya menginap bersama mereka.

Menjadi perempuan di hutan adalah perkara yang susah-susah gampang, tetapi Anda dan Sheila memiliki rekan kerja laki-laki yang respek terhadap mereka. “Awalnya sih diperlakukan kayak perempuan banget. Dibawain barang-barangnya. Enggak boleh kerja yang berat-berat. Sekarang mah boro-boro.

‘He… potong kayu bakar dulu kau, sana!’” Sheila menirukan salah satu staf seniornya sambil terkekeh. Mereka terbiasa bercanda, sekaligus mereka bisa menempatkan atasan maupun teman, bekerja dan bersenang-senang di hutan.

‘Love Struck’ dengan Orangutan
Keduanya sama-sama putus dengan pacarnya, tak lama setelah memulai pekerjaan ini. Keduanya terkikik geli saat saling mengakui cerita itu. “Love struck aku ya sama orangutan, bukan sama manusia,” cerita Sheila, tergelak.

“Waktu bertemu Togos aja aku sampai takjub. Ya ampuuun … dia ganteng banget!” Togos adalah pejantan orangutan Tapanuli yang biasanya menemui orangutan betina dengan anaknya.

Sementara “love struck” Anda saat menemukan Tarida, orangutan betina yang punya anak kembar, Domu dan Dame. Itu temuan yang sangat jarang karena betina orangutan melahirkan bayi kembar sulit diketahui, dan betina orangutan melahirkan bayi kembar umumnya lewat penangkaran atau karantina.

“Aku sempat berdebat … takutnya salah lihat. Tapi ternyata benar, anaknya ada dua! Aku kagum banget,” kata Anda. Populasi Pongo tapanuliensis didominasi oleh pejantan dan cuma segelintir betina yang aktif bereproduksi; itu pun umumnya hanya sembilan tahun sekali.

Orangutan Tapanuli dinilai spesies tersendiri karena memiliki genetika, morfologi, dan ekologi yang sangat berbeda dari orangutan Sumatera dan Kalimantan. “Rambutnya paling pirang di antara tiga spesies dan paling panjang. Yang jantan semakin tua biasanya akan memiliki janggut,” ujar Puji Rianti, dosen Sheila.

Kehadiran PLTA Batang Toru dikhawatirkan oleh para peneliti dan aktivis lingkungan, termasuk oleh Shiela dan Anda, menyusutkan habitat mereka serta memangkas jelajah orangutan di tiga kawasan hutan Tapanuli.

Terbaru, satu individu orangutan Tapanuli terekam melewati tapak proyek PLTA Batang Toru, mengafirmasi kecemasan para aktivis dan organisasi lingkungan bahwa habitat Pongo tapanuliensis sudah sangat terancam.

Sheila dan Anda mengambil pelajaran hidup dari segala keterbatasan hidup di hutan, menjadi sahabat orangutan Tapanuli dan jatuh cinta pada hewan paling endemik di dunia itu. Mereka merasa tak mengorbankan banyak hal. Manusia adalah spesies jawara perihal beradaptasi dengan lingkungan, tetapi manusia juga yang menjadi faktor determinan menghancurkan keanekaragaman hayati, termasuk mempercepat kepunahan orangutan.

“Hidup jadi terasa lebih sederhana di sini,” ungkap Sheila. “Dan itu membuat kami lebih bahagia.”[]

Sumber: tirto.id

read more
Flora Fauna

Menjelajahi Hutan Batang Toru, Mencari Sosok Orangutan Tapanuli

Tapanuli Selatan – Awal Mei, saya berkesempatan menjelajahi Hutan Batang Toru atau yang lebih dikenal dengan Harangan Tapanuli. Bersama Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) dan Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP), saya menjelajag=hi hutan itu selama 4 hari untuk berjumpa dengan kera besar terlangka: orangutan Tapanuli. Perjalanan bermula dari Desa Es Kalangan II, Tapanuli Tengah, yang kami datangi dengan menggunakan mobil pick-up milik YEL dari kantornya di Kota Pandan, dengan menempuh perjalanan sekitar 1,5 jam melewati jalanan yang belum beraspal dan berliku tajam.

Perjalanan berlanjut dengan berjalan kaki melewati perkebunan karet dan aren milik warga setempat di perbatasan hutan. Terdapat beberapa persawahan yang dikelilingi bukit kecil di sekitarnya. Hutan Batang Toru adalah bentang hutan yang melintasi tiga kabupaten di Sumatera Utara, yakni Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan. Hutan ini memiliki curah hujan yang tinggi, sehingga jalur penelusuran yang perlu dilintasi sangat sulit untuk dilalui, terutama karena sifatnya yang basah, dipenuhi lumpur dan tanah liat.

Medan yang dilintasi juga terbilang terjal dan menanjak, meski bukan berupa gunung. Kami sangat tertolong dengan keberadaan para porter perkasa yang bertugas untuk membawakan barang keluar-masuk hutan. Mereka sanggup membawa barang seberat 30 kg sambil berjalan menembus hutan dengan sangat cepat, sembari sesekali menenggak tuak yang mereka bawa dari desa tempat mereka tinggal.

Sepanjang perjalanan, saya sesekali berhenti untuk menghela napas, mengisi air minum di mata air terdekat, dan membersihkan sepatu boots karet dari lumpur yang menempel. Meski sebelumnya terbiasa memasuki hutan, namun medan ini saya kira membutuhkan stamina lebih dan persiapan fisik yang matang untuk ditaklukkan. Baca juga: Orangutan Tapanuli Perlu Dilindungi, Mengapa? Untungnya di dalam hutan terdapat spot yang cukup landai, yaitu spot penjaringan dan meranti, yang menjadi lokasi kami menghabiskan makan siang dan beristirahat sejenak.

Hutan seluas kurang lebih 150.000 hektar ini menyimpan keanekaragaman hayati yang luar biasa, salah satunya adalah orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis), spesies kera besar terlangka yang baru diresmikan sebagai spesies baru pada tahun 2017 lalu. Induk dan anakan orangutan tapanuli yang dijumpai di sekitar camp. Selain orangutan, terdapat banyak hewan lain yang juga tercatat sebagai spesies rentan dalam daftar IUCN, antara lain harimau sumatera, tapir, trenggiling, gibbon, siamang, binturong, beruang malaya, dan lain-lain.

Kamp Mayang Setelah menghasbiskan enam jam berjalan kaki dari desa, sampailah kami di Camp Mayang. Kamp yang berlokasi di tengah hutan ini merupakan stasiun monitoring yang dikelola oleh YEL dan SOCP. Kamp yang didirikan sejak tahun 2006 ini terdiri dari lima bangunan pondokan tripleks, ditutupi daun rumbia kering dan terpal berwarna biru. Salah satu pondokannya digunakan sebagai ruang rapat dan koordinasi. Terdapat pula dapur umum serta dua bilik di tepi sungai yang dipergunakan sebagai ruangan mandi dan toilet.

Di kamp ini, peneliti melakukan monitoring orangutan tapanuli, pemantauan fauna via camera trap, pengamatan fenologi (pengamatan pengaruh ilkim dan lingkungan), serta pemetaan melalui pengindraan jauh. “Pengamatan orangutan yang dilakukan disini termasuk perilakunya, khususnya induk dan anaknya”, ujar Sheila Kharismadewi Silitonga, Koordinator Riset Camp Mayang.

Monitoring orangutan dilakukan dengan mengikuti individu yang sebelumnya sudah pernah ditemui. Diantaranya, terdapat beberapa yang sangat sering dijumpai dan bahkan diberi nama khusus, seperti Betta, Bintang, dan Pixel. Pada pagi hari, suasana camp diwarnai oleh lulungan dan teriakan berbagai primata, termasuk gibbon dan siamang. Bahkan suara panggilan orangutan pun sayup-sayup dapat terdengar. “Orangutan pernah ada yang bersarang di sekitar camp, tapi itu pun tidak lama dan sekarang jarang keliatan di sekitar sini”, tambahnya.

Di hutan, saya menanti kesempatan untuk bertemu orangutan langka itu. Ketika ada ranting pohon yang bergoyang dan menimbulkan suara keras, saya menengadah dan mencari-cari wajah sang orangutan dengan binokuler. Sayang, berhari-hari mencari, saya tidak menemukan satu pun orangutan Tapanuli. Begitu pula primata lainnya, seperti siamang dan gibbon, meski suaranya dapat saya dengar dari kejauhan. Peneliti mengungkapkan, primata yang hidup di pepohonan dengan ketinggian hingga 15 meter itu bisa mudah dijumpai saat musim buah. Saat saya datang, musim buah sudah lewat sehingga orangutan pun sulit dijumpai

Saya mengikuti tim peneliti melakukan monitoring. Sayangnya, dalam kegiatan itu, saya juga tak bertemu dengan orangutan Tapanuli. Saya harus puas mendengarkan suaranya saja setiap pagi.

Pesona Air Terjun Bulu Boltak
Harangan Tapanuli juga memiliki banyak spesies flora langka, misalnya Balanophora, tumbuhan parasit yang belum banyak dipelajari, serta berbagai buah-buahan hutan.

Tidak jauh dari lokasi Camp Mayang, terdapat Air Terjun Bulu Boltak. Air terjun ini memiliki ketinggian sekitar 20 meter, dan mengisi sebuah kolam air berkedalaman sekitar 12 meter di bawahnya.

Area sekitar air terjun dikelilingi oleh batuan berlumut yang licin dan dikerumuni hamparan tumbuhan pakis liar. Saya beberapa kali terpeleset, meski sudah sangat berhati-hati.

Staf Pengindraan Yayasan Ekosistem Lestari, Jhon Ferry Manurung, mengatakan bahwa Air Terjun Bulu Boltak merupakan salah satu pemasok cadangan air untuk PLTA Sihaporas. Akses menuju air terjun ini dapat ditempuh sekitar satu jam perjalanan dari camp.

Meski berjarak relatif dekat, namun jalur menuju air terjun sangat sulit dilalui dengan kemiringan lereng yang terbilang curam, dilengkapi oleh perakaran pohon yang membelit, batuan kecil yang tajam, serta tekstur tanah liat yang lengket dan licin.

Kondisi ini turut berperan dalam menjaga kondisi air terjun agar tetap asri dan tidak banyak terjamah manusia.

Lingkungan hutan yang terjaga dengan baik salah satunya disebabkan oleh perilaku masyarakat sekitar yang menjaga hutan tersebut.

Masyarakat Desa Es Kalangan II kebanyakan mengandalkan perkebunan karet, kopi, coklat dan aren sebagai bahan dasar tuak sebagai mata pencaharian mereka. Sebagian lagi juga menanam padi untuk keperluan konsumsi pribadi.

Beberapa penduduk juga memiliki kebun buah, terutama mangga dan durian, yang mereka pasarkan ke kota terdekat, seperti Pandan dan Sibolga. Mereka mengandalkan aliran sungai-sungai kecil di sekitar hutan untuk irigasi perkebunan yang mereka miliki.

Selain itu, terdapat ikatan emosional tersendiri dengan hutan Batang Toru, yang menghubungkan desa mereka dengan Tapanuli Utara, yang menurut penuturan mereka sendiri, merupakan tanah leluhur mereka sejak sebelum masuknya koloni Belanda.

“Ada tugu (patok) batunya itu, dulu hutan ini masuk kawasan Tapteng, dari nenek moyang dulu-dulu,” ujar Bang Gabe, warga desa yang juga menjadi porter pembawa barang untuk YEL.

Pria humoris yang akrab disapa Ayah Lena ini juga menuturkan bahwa jika hutan terganggu, maka masyarakat setempatlah yang bertanggung jawab atasnya, dan akan mendapat gangguan balasan dari alam.

“Kalau harimau sampai masuk ke desa-desa ini, artinya ada warga yang punya dosa, berbuat kesalahan apa itu dia, jadi harimau pun minta tumbal,” tutupnya.[]

Sumber: kompas.com

read more
Flora Fauna

Orangutan Tapanuli Doyan Makan Buah Durian

Tapanuli Selatan – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada akhir 2017 menetapkan orangutan di Pulau Sumatera menjadi dua spesies yang berbeda, yaitu Pongo abelii dan Pongo tapanuliensis.

Status kedua orangutan tersebut l termasuk satwa yang dilindungi berdasarkan peraturan Menteri LHK Nomor P.20/Menlhk/ Setjen/Kum.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi.

Dalam daftar IUCN Red List of Threatened Species (IUCN, 2017) telah dikategorikan sebagai satwa yang kritis terancam punah secara global (critically endangered).

Peneliti Utama Balai Litbang LHK Aek Nauli, KLHK dan juga mahasiswa Doktor Program PSL Universitas Sumatera Utara, Wanda Kuswanda, MSc, dalam rilisnya seperti dilansir oleh ANTARA, Minggu (5/5/2019), mengatakan, Orangutan Tapanuli hanya tersisa di kawasan hutan Batangtoru.

Dengan perkiraan populasi antara 490 sampai 577 individu, orangutan Tapanuli tersebar dari habitat hutan dataran rendah sampai hutan pegunungan dengan kepadatan tertinggi ditemukan di atas 600 MDPL.

Sebaran orangutan di Batangtoru lebih banyak pada habitat dataran tinggi karena sebagian besar hutan dataran rendah (di bawah 400 MDPL) telah banyak berubah menjadi lahan pertanian, perkebunan dan pemukiman masyarakat Suku Tapanuli.

Orangutan telah bermigrasi ke daerah yang lebih tinggi untuk mencari habitat yang lebih aman dan sumber pakan pada habitat yang masih primer.

Orangutan Tapanuli mengonsumsi beragam jenis tanaman hutan. Mereka akan selalu bergerak mencari habitat yang ketersediaan pakannya melimpah, terutama buah-buahan.

Hasil penelitian penulis (Kuswanda) selama 15 tahun telah mengidentifikasi lebih dari 124 jenis pakan orangutan Tapanuli. Orangutan sangat membutuhkan variasi jenis tumbuhan pakan untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya.

Tumbuhan pakan alami yang banyak dikonsumsi orangutan Tapanuli di antaranya gala-gala (Ficus racemosa), medang nangka (Elaeocarpus obtusus), beringin (Ficus benjamina), hoteng (Quercus maingayi), teurep (Artocarpus elasticus), motung (Ficus toxicaria), asam hing (Dracontomelon dao) dan dongdong (Ficus fistulosa).

Pemandangan yang sangat menarik adalah ketika menemukan orangutan saat makan buah durian (Durio zibethinus) di lahan masyarakat. Durian merupakan salah satu makanan favorit bagi orangutan sehingga banyak mereka yang turun ke lahan masyarakat ketika musim buah durian.

Orangutan bisa mengonsumsi 20-30 durian dalam sehari dan tinggal beberapa hari sampai buah durian hampir habis. Durian yang dikonsumsi oleh orangutan bukan hanya yang sudah masak tetapi yang masih mentah atau mengkal pun tetap mereka konsumsi.

Lebih menarik lagi, mereka mengambil durian yaitu dengan cara mengangkat dan menekan pada batang pohonnya sampai durian lepas. Mereka pun membuka durian dengan cara digigit baru dibuka dengan kedua tangannya.

Sayangnya, rata-rata hanya sebagian saja buah durian yang mereka makan dan sisanya dijatuhkan ke tanah. Akan sangat beruntung jika menemukan orangutan sedang makan durian, karena dapat mengambil sisa durian mereka.

Masyarakat di sekitar hutan Batangtoru sudah memahami perilaku orangutan yang suka mengambil durian di ladangnya. Masyarakat terkadang mengusir orangutan karena mereka merasa dirugikan secara ekonomi ketika tidak bisa memanen buah durian.

Warga mengusir dengan membuat api di bawah pohon atau memukul-mukul pohon durian agar orangutan tersebut pergi.

Fakta ini tentunya perlu mendapat perhatian dari pemerintah pusat dan daerah serta para pihak lainnya secara serius agar tidak terjadi konflik antara orangutan dan manusia. Hal ini karena orangutan akan terusir bahkan bisa mati saat berkonflik dengan manusia.

Mitigasi konflik manusia dan orangutan perlu segera dikembangkan seperti pengayaan habitat dan mengembangkan ekonomi alternatif bagi masyarakat untuk mengganti kerugian akibat duriannya sering terlebih dahulu dikonsumsi oleh orangutan.

Sumber: antaranews.com

read more
Kebijakan Lingkungan

PLTA Batang Toru Mengancam Keberadaan Orangutan dan Rusak Ekosistem

Medan – Pembangunan bendungan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru, Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) dikhawatirkan mengancam spesies orang utan punah.

Melalui siaran persnya, Rabu (1/5/2019), Manager Harian Program Batang Toru Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) Burhanuddin menyebutkan, pembangunan PLTA Batang Toru dapat mengancam ekosistem serta keanekaragaman hayati baik flora dan fauna yang ada di Batang Toru.

Pembangunan PLTA Batang Toru sendiri berkapasitas 510 Mega Watt (MW) yang bernilai Rp21 triliun, diakui Burhanuddin bisa mengakibatkan koridor atau perlintasan spesies langka orang utan dari blok Barat ke blok Timur dan blok Selatan terputus.

“Terputusnya koridor ini dikhawatirkan mengancam populasi dan perkembangbiakan orang utan yang diperkirakan jumlahnya mencapai 800 ekor,” tambahnya.

Lebih lanjut Burhanuddin menjelaskan, ancaman lain dari pembangunan PLTA Batang Toru adalah rusaknya ekosistem Batang Toru yang memiliki keanekaragaman hayati baik flora dan fauna langka seperti raflesia sp, kawasan hutan, harimau Sumatera, tapir, rangkong bertanduk, dan masih banyak lainnya.

“Bendungan PLTA berada dekat dengan daerah patahan tektonik dan apabila gempa dikhawatirkan kawasan sekitar terancam banjir yang berakibat fatal bagi kehidupan baik manusia maupun satwa liar di daerah tersebut,” ujarnya.

YEL mengaku peduli terhadap lingkungan dan apa yang mereka perjuangkan tersebut bukan untuk kepentingan pribadi maupun kelompok tetapi semata untuk kepentingan semua pihak.

Sumber: news.trubus.id

read more
1 2
Page 1 of 2