close

pangan

Tajuk Lingkungan

Neoliberal, Negara dan Kaum Lapar

Neoliberal selalu meminjamkan uang dengan bunga. Ia jengkel kepada kedaulatan negara. Pasar bebas sebagai tempat kompetisi untuk bertahan; bukan tempat untuk kedaulatan rakyat. Ia juga pandai menyembunyikan kebenaran dan mengelus batok kepala pemimpin negara ketiga agar malas berpikir.

Tetapi tidak semua orang menyetujui pendapat ini. Namun faktanya setiap dolar yang beredar dalam perdagangan tidak terkait dengan kegiatan ekonomi yang nyata. Seratus persen bahkan lebih – di putar lewat agenda-agenda spekulatif.

Lalu negara ketiga berkompromi dan memungut pajak baru. Mulai dari sini, negara kehilangan rasa malu. Perbudakan modern dengan alasan menyelamatkan kedaulatan pun bermula lewat penghapusan subsidi untuk rakyat dan kenaikan pajak.

Akibatnya, lebih dari separuh penduduk dunia hidup dalam kengerian dan kelaparan. Kesenjangan semakin melebar dalam tatanan ekonomi kasino raksasa. Triliunan orang di dunia belum mendapat akses pengobatan yang murah dan berada di bawah standar dasar sanitasi. Gizi buruk bahkan terjadi di tempat dimana data statistiknya sangat bagus.

Maka sebuah bayangan masa depan yang lebih buruk akan terus menghantui. Tragedi ekonomi, sosial dan ekologis nampaknya semakin tidak terkendali dan tidak benar-benar tertanggulangi. Kengerian tumbuh dengan mantap dan semakin tidak manusiawi.

Reformasi di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia; memang didukung oleh tingkat antusiasme yang tinggi. Tetapi ada reduksi asing yang kental lewat marketisasi dan privatisasi, meluasnya kebijakan deregulasi dan relaksasi dalam kebijakan ekonomi eksternal yang memperbesar kebebasan bagi pergerakan modal, barang dan jasa – menjalar ke relung-relung kehidupan.

Negara menjadi perantara antara para penindas dengan yang ditindas. Di sini negara adalah entitas imajiner yang dipakai tiap orang untuk hidup dengan ongkos orang lain.

Neoliberal tidak lagi melumuri darah pada tangannya sendiri dan terbebas dari hukum apa saja. Ia dibantu negara yang tidak semata-mata sebagai sistem dan instrumen, tapi ada orang-orang dalam birokrasi dengan bersemangat menangkap kesempatan itu untuk memenuhi hasrat menumpuk kekayaan pribadi dan pengaruh.

Pada titik ini, investasi asing tidak hanya disambut. Ia ditawari berbagai insentif.

Pembangunan berorientasi pasar berlangsung lewat resep yang dianjurkan negara donor dan lembaga keuangan internasional, secara perlahan-lahan menendang kaum lapar ke tepi kubur.[]

Penulis adalah Pemerhati lingkungan dan tinggal di Banda Aceh

read more
Ragam

KEHATI Award Pendorong Pelestarian Keanekaragaman Hayati

Di salah satu sudut rumahnya di Tangerang Selatan, Sancaya Rini berkutat dengan kesukaannya, membatik. Hobi yang dia seriusi pada tahun 2005 ini dimulai dengan belajar membatik di Museum Batik Indonesia. Ilmu yang dia dapatkan itu kemudian ditularkan pada anak-anak muda di sekeliling rumahnya. Bukan usaha yang mudah untuk menarik minat anak muda belajar membatik.

Meskipun hanya berhasil membimbing segelintir anak-anak muda di lingkungannya, Sancaya Rini tetap serius menggeluti kegiatan membatiknya. Dia bahkan semakin serius menggunakan pewarna alam sebagai sumber warna utama dari batik-batik yang dibuat oleh Creative Kanawida, workshop membatik yang dikelolanya.

Batik yang ramah lingkungan ini kemudian menjadi semakin mendapatkan perhatian setelah wanita berkerudung ini mendapatkan KEHATI Award di tahun 2009 pada kategori Citra Lestari KEHATI. Menurutnya, dari hanya sebuah workshop kecil di sudut kota Tangerang Selatan, penghargaan dari Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) itu membuat semakin banyak orang mengetahui apa yang dia lakukan dengan pewarna alam dan batiknya.

Penghargaan yang diberikan atas usahanya memanfaatkan keanekaragaman hayati dan memberdayakan masyarakat itu justru memperluas jaringannya. Dari jaringan itu dia berhasil mendapatkan informasi-informasi baru tentang jenis-jenis pewarna alam yang lain. Selain itu, tawaran pameran dan berbagi ilmu semakin banyak datang, sehingga dia merasa, apa yang dia lakukan mampu memberikan dampak yang lebih besar setelah orang-orang mengenalnya dari penghargaan KEHATI Award.

Hal yang sama juga terjadi dengan Maria Loretha di Adonara, Nusa Tenggara Timur. Upayanya mendorong pangan lokal asli Adonara sejak tahun 2007 mendapatkan perhatian yang semakin besar setelah wanita Dayak ini memenangkan penghargaan KEHATI Award 2012. Maria menjadi semakin bersemangat mendorong petani di daerahnya untuk membudidayakan pangan lokal seperti ubi, padi hitam, sorgum, kacang, dan sebagainya. Penghargaan itu juga mengantarkannya pada banyak forum nasional maupun internasional untuk berbagi pengalaman.

Dari potret dua penerima penghargaan KEHATI Award tersebut, apresiasi dalam bentuk award masih memiliki peranan penting untuk mendorong gerakan perbaikan lingkungan. “Pemberian penghargaan mampu memberikan akses pada masyarakat di daerah-daerah yang tidak tertangkap mata banyak orang untuk menjadi terlihat dan mendapatkan pengakuan,” ujar Direktur Eksekutif Yayasan KEHATI, MS Sembiring, Selasa 20 Januari 2015. Seperti yang terjadi pada Maria Loretha yang berada di desa Adonara. Sebuah desa yang jauh dari pusat pemerintahan dan kurang memiliki akses terhadap informasi. Berada jauh dari mata pengambil keputusan, Maria tetap berusaha untuk memberdayakan pangan lokal sehingga pada akhirnya nanti masyarakat di desanya tidak tergantung pada beras dan mampu menghadapi perubahan iklim.

“Kerja keras para pahlawan lingkungan itu mampu memberikan inspirasi”, ungkap Sembiring. Melalui inspirasi ini diharapkan akan muncul replikasi terhadap pemberdayaan pangan lokal di daerah lain. Ajang penghargaan juga memberikan contoh nyata bagi masyarakat bahwa sebuah upaya perbaikan lingkungan mampu dilakukan diberbagi tempat di Indonesia ini.

Tahun 2015, Yayasan KEHATI kembali dengan KEHATI Award VIII. Kali ini tema yang diangkat adalah keanekaragaman hayati untuk kesejahteraan bangsa. Seperti yang diketahui, keanekaragaman hayati memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia. Kekayaan yang menjadi potensi besar Indonesia tersebut menyimpan beragam sumber pangan, sumber energi alternatif, sumber obatan-obatan alami, dan jika dijaga dengan baik maka akan ikut menjaga ketersediaan air.

Melalui KEHATI Award VIII, Yayasan KEHATI ingin kembali mengingatkan setiap elemen masyarakat untuk memberikan perhatian pada keberlanjutan keanekaragaman hayati di Indonesia. Hilangnya keanekaragaman hayati karena kesalahaan pengelolaan justru akan merugikan masyarakat di sekitarnya. “Semoga dengan adanya KEHATI Award, masyarakat bisa menjadi bagian dalam pelestarian keanekaragama hayati,” tegas Sembiring.[rel]

read more
Green Style

Mari Selamatkan Keanekaragaman Pangan Lokal

Selama ini kita lebih mengenal beras sebagai bahan pangan pokok kita. Akibatnya, negara kita menjadi salah satu negara dengan konsumen beras terbesar di dunia. Padahal sejak dahulu kita mengenal keberagaman sumber pangan lokal.

“Dahulu kita mengenal beragam sumber karbohidrat, seperti : sagu,talas dan ubi (Papua dan Maluku), umbi-umbian (Papua dan Jawa), gebang, sorghum/cantel (NTT), sukun dan lainnya. Demikian juga sumber kacang-kacangan, buah dan sayuran local,” papar MS. Sembiring, Direktur Eksekutif Yayasan KEHATI.

Data SEAMEO BIOTROP di tahun 2009 memaparkan bahwa lebih dari 800 spesies tumbuhan tumbuh di Indonesia, dengan  77 jenis karbohidrat, 75 jenis lemak/minyak, 26 kacang-kacangan, 389 buah banyak ditemukan di Indonesia.

“Jumlah ini akan berkurang jika kita tidak memiliki kepedulian untuk melestarikan keanekaragaman hayati kita. Ini yang melandasi Yayasan Keanekaragaman Hayati (KEHATI) terus berupaya melestarikannya dengan memberikan apresiasi kepada masyarakat yang berupaya melestarikan dan memanfaatkan keanekaragaman hayati, termasuk pangan lokal,” sambung Sembiring.

Maria Loretta, seorang petani dari Way Otan Farm, Adonara Barat, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur telah melestarikan tanaman pangan lokal seperti sorgum, jelai, beras hitam, jewawut dan bahan pangan lain yang sudah mulai susah ditemui di kampungnya. Padahal, bahan makanan tersebutlah yang dikenalkan dari kecil oleh orang tua mereka. Bahan pangan tersebut juga tahan terhadap perubahan cuaca di wilayah Nusa Tenggara Timur yang merupakan gugusan pulau-pulau kecil. Atas upaya kerja keras Maria Loretta, Yayasan KEHATI menganugerahinya dengan Prakarsa Lestari KEHATI di tahun 2012.

Mbah Suko, petani dari Dusun Kenteng, Desa Mangunsari, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah juga mendapat penghargaan Prakarsa Lestari KEHATI di tahun 2001. Yayasan KEHATI sangat menghargai upaya-upaya almarhum Mbak Suko dalam melestarikan bibit padi lokal yang sudah jarang ditemui. Tak kurang dari 35 jenis bibit padi lokal telah dikembangbiakkan, seperti rojo lele, ketan kuthuk, kenongo, rening, menthik wangi, menthik susu, gethok, leri, papah aren, berlian, tri pandung sari, dan si buyung.

Sementara itu, di tahun 2002 Yayasan KEHATI memberikan penghargaan kepada Nicholas Maniagasi, Ketua Yayasan Sagu Suaka Alam, Yapen Waropen, Papua yang telah melakukan upaya pengembangan pengolahan sagu di kampung-kampung di Papua.

“Banyak sekali upaya-upaya dari masyarakat untuk terus melestarikan keanekaragaman hayati terutama pangan lokal. Mereka adalah salah satu dari banyak masyarakat yang telah kami temukan. Masih banyak sekali pahlawan-pahlawan di kampung yang telah berupaya melestarikan pangan yang mungkin belum  kami temukan. Kami hanya ingin berbagi, agar upaya mereka dapat terus menjadi inspirasi dalam melestarikan dan memanfaatkan keanekaragaman hayati kita, terutama pangan lokal,” tutup Sembiring.

Yayasan KEHATI akan kembali memberikan penghargaan terhadap usaha-usaha pelestarian ataupun pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan yang dilakukan oleh masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, pemerintah, seniman, generasi muda, hingga perusahaan di seluruh Indonesia. Penghargaan KEHATI Award VIII akan dilaksanakan pada 28 Januari 2015 di Gedung Usmar Ismail, Jakarta. [rel ]

read more
Kebijakan Lingkungan

Investasi Kakao di Aceh Jangan Sampai Merusak Lingkungan

Hampir 23 kabupaten/kota di Aceh termasuk daerah yang potensial untuk pengembangan komoditi Kakao, namun demikian masih perlu dilakukan survey kesesuaian lahan. Dengan demikian, akan tercipta keseimbangan lingkungan.

“Kecocokan lahan perlu di tinjau dari dua hal yang meliputi dari segi produksi dan ekonomis, seperti areal hutan produktif tidak boleh dijadikan untuk areal lahan kakao karena dinilai telah merugikan dan merusak ekosistem alam sekitar karena fakta dilapangan banyak areal hutan produktif digunduli secara massal”, begitu ujar Akademisi Universitas Abulyatama (Unaya), Banda Aceh Zulkarnaen, Rabu (21/5/2014).

Optimalisasi produksi perkebunan secara umum tidak mempertimbangkan harmonisasi lingkungan. Pada akhirnya juga, sejumlah habita margasatwa terganggu dan berujung pada konflik margasatwa dengan manusia.

Untuk itu dia berharap pemerintah dapat mengedepankan survey kelayakan lahan sehingga investasi di Aceh tidak membawa musibah.

“Karena ada beberapa daerah yang membuka areal lahan dengan sesuka hatinya tanpa memikirkan banyak pihak yang dirugikan,” pungkasnya.

Sumber: theglobejournal.com

read more
Green Style

Serangga Bisa Jadi Pangan Ramah Lingkungan

Konferensi ‘Serangga sebagai Pangan Dunia’ telah digelar 14-17 Mei lalu. Lebih dari 450 peneliti dan delegasi dari lembaga internasional mengikuti acara yang digelar di Ede, Belanda, ini.

Menurut Arnold van Huis, profesor di Wageningen University, Belanda, ada 2.000 jenis serangga yang bisa dikonsumsi. “Serangga adalah peluang dan pasar besar,” ujarnya, seperti ditulis AFP (14/05/2014).

Mei tahun lalu, Badan Pangan dan Pertanian (FAO) PBB mengatakan bahwa serangga bukan hanya penting sebagai sumber vitamin dan asam amino, tapi juga berdampak baik bagi lingkungan.

Belalang, semut, cacing, ulat, dan jenis serangga lain bisa jadi langkah yang aman dan murah untuk memberi makan jutaan orang di dunia di tengah kerusakan lingkungan dan meledaknya populasi.

FAO memperkirakan, dunia perlu meningkatkan produksi pangan hingga 70% pada 2050 untuk memenuhi kebutuhan populasi global sebanyak 9 miliar jiwa.

Produksi pakan hewan kini bersaing dengan makanan manusia dan produksi bahan bakar dalam memperebutkan sumber daya alam seperti lahan dan air. Namun, 70% lahan agrikultur di dunia sudah diperuntukkan secara langsung maupun tak langsung untuk produksi daging.

Serangga sudah mulai digunakan sebagai pakan ternak. Satu ton tepung lalat black soldier hanya menghabiskan biaya $1.000 (Rp 11,5 juta) dibanding pakan ikan seharga $13.000 (Rp 149,5 juta). Di beberapa restoran, seranggapun mulai dijadikan konsumsi manusia.

Namun, kata van Huis, ini baru permulaan. Ketertarikan masyarakat kini berkembang sangat cepat. “Bicara soal pakan ternak, serangga akan segera menjadi populer. Namun untuk konsumsi manusia, butuh 5-10 tahun,” ujarnya.

Paul Vantomme yang menangani program konsumsi serangga di FAO menilai perlunya diversifikasi pangan. Pasalnya, 90% produksi kedelai bergantung pada Argentina, Brazil, dan Amerika Serikat. Sementara itu, setiap tahun 12 juta ton ikan dikeruk dari lautan sebelum diolah menjadi pakan ternak. Langkah ini tentu tak berkelanjutan bagi lingkungan.

Di lain pihak, serangga hanya menyumbang jejak yang sangat sedikit dalam emisi karbon dan penggunaan air jika dibandingkan sumber makanan konvensional. Risiko serangga menularkan penyakit ke manusia juga lebih rendah dibanding beberapa jenis hewan ternak.

Serangga memiliki efisiensi konversi pangan yang tinggi karena berdarah dingin. “Rata-rata serangga bisa mengonversi dua kg pakan menjadi satu kg massa serangga, sedangkan hewan ternak memerlukan delapan kg pakan untuk menghasilkan satu kg pertambahan berat badan hewan,” jelas FAO.[]

Sumber: detik.com

read more
Hutan

Literatur ‘abu-abu’ Kontribusi Hutan terhadap Jasa Lingkungan

Hutan dan pohon menopang pertanian untuk produksi pangan dalam ruang dan waktu. Sebagian besar sistem produksi pangan skala kecil – yang mencukupi kebutuhan pangan populasi global – berada dalam mosaik tutupan pohon dan pertanian. Pertumbuhan populasi saat ini dan penyesuaian kebutuhan akan kenaikan tren konsumsi tidak hanya menyebabkan budidaya intensifikasi namun juga ekspansi lewat konversi hutan primer untuk konsumsi, pangan dan produksi pakan ternak. Meningkatnya kekhawatiran akan keberlanjutan praktik budidaya modern membutuhkan berpikir ulang bagaimana kita memanfaatkan alam bagi kelangsungan hidup.

Peningkatan masalah akibat degradasi sumber daya dan keanekaragaman hayati memberikan jalan bagi penelitian untuk menindaklanjutinya dengan menyelidiki alternatif-alternatif upaya produksi pangan bagi kecukupan konsumsi dari populasi serta meminilasir kerusakan ekosistem rentan ini. Menggabungkan keanekaragaman hayati, mengikutsertakan jasa ekosistem dan pengelolaan sumber daya alam dalam kerangka bentang alam memiliki manfaat multiguna yaitu salah satu cara meningkatkan keberlanjutan dalam sistem makanan kita. Kesadaran yang semakin meningkat tentang kerusakan lingkungan telah menyebabkan peningkatan eksponensial terkait penelitian pertanian dalam dua dekade terakhir. Meskipun kita masih jauh dari konsensus dan pemahaman tentang bagaimana mengimplementasikan konservasi sumber daya dalam proses pengambilan keputusan terkait lingkungan hidup.

Upaya tradisional terhadap pertanian yang berkelanjutan demi ketahanan pangan dan konservasi keanekaragaman hayati terkadang disebut sebagai tujuan yang tumpang tindih. Intensifikasi yang berkelanjutan untuk pertanian dan konsep serupa lain terkadang gagal untuk mengintegrasikan proses alam yang lebih besar yang menghubungkan produktivitas dan komponen alami bentang alam lain. Konservasi keanekaragaman hayati, di lain pihak, telah dikritisi karena menghiraukan kebutuhan akan penghidupan untuk produksi hutan bagi mereka dengan inisiatif konservatif. Meski bukan sepenuhnya konsep baru, “pendekatan bentang alam” adalah pemenuhan bagi inisiatif baru yang menyerukan rekonsiliasi produksi pangan dan konservasi dari sumber modal alami. Salah satu cara untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan menyatukan dan memberikan suatu garis besar tentang apa yang kita ketahui mengenainya, pendekatan tertentu mana yang telah berhasil dan mana yang gagal – dan dengan alasan apa.

Merasionalkan bukti

Sebuah tinjauan sistematis yang sedang berjalan bertujuan untuk mempersatukan bukti-bukti yang ada tentang bagaimana hutan dan pepohonan berkontribusi terhadap produksi pangan dan pengelolaan sumber daya alam. Hal ini akan dilakukan dalam konteks jasa ekosistem – dan tindakan yang merugikan – yang keduanya akan meningkatkan atau menghalangi budidaya tanaman pangan.

Beragam program penelitian dan pengembangan sedang dilakukan untuk mempromosikan integrasi pepohonan dengan bentang alam produktif demi tujuan konservasi dan penghidupan dengan jangkauan luas. Contohnya, pekerjaan yang telah dilakukan dalam Pendekatan Ekosistem Berbasis Pepohonan (Tree-Based Ecosystem Approaches) menunjukkan bahwa pepohonan di bentang alam pertanian secara keseluruhan memiliki dampak positif baik bagi ketahanan pangan maupun penghidupan atau sekuestrasi karbon. Pertanian hijau sepanjang tahun dan bentuk agroforestri lain memiliki potensi bagi penyediaan barang ekosistem dan jasa in situ (di lokasi tersebut) saat terjadi penurunan kebutuhan akan sumber daya alam. Sebagai tambahan, pengetahuan yang didapat lewat kehutanan dan penelitian agronomis sedang diaplikasikan oleh beragam intervensi pengembangan untuk meningkatkan Ekosistem Berbasis Adaptasi untuk Mitigasi Perubahan Iklim dan Ketahanan Pangan (Ecosystem Based Adaptation to Climate Change Mitigation and Food Security) bagi masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan. Beberapa kantong bukti tersedia namun masih tersebar; jika disatukan, mereka bisa menawarkan sebuah ilmu pengetahuan yang kaya dan tersedia untuk para pembuat kebijakan sekiranya hendak berpikir ulang tentang kebijakan guna mencapai tujuan ketahanan pangan dan konservasi secara beriringan.

Bagaimana Anda bisa membantu

Apakah Anda sedang melakukan proyek yang menguji apakah keberadaan pohon memiliki efek terhadap produksi pangan dan pengelolaan sumber daya alam? Apakah Anda sedang melakukan penelitian tentang sistem pertanian, intensifikasi yang berkelanjutan, pertanian yang cerdas-iklim atau sistem berbasis pohon yang serupa dalam konteks luas ketahanan pangan dan nutrisi? Jika ya, hubungi kami dengan literatur yang relevan dalam bentuk dokumen proyek, bagian buku atau lainnya. Anda juga bisa berbagi ide tentang bagaimana studi ini menurut Anda bisa relevan untuk para peneliti, praktisi pembangunan dan pembuat kebijakan.

Sumber: cifor.org

read more
Ragam

Daging Halal Organik, Islami & Ramah Lingkungan

Peternakan Willowbrook di Hampton Gay, Inggris berdiri di atas lahan seluas 18 hektar. Semua produk yang dihasilkan, mulai dari telur angsa sampai daging domba pemakan rumput, adalah organik dan terjamin halal.

Lutfi Radwan dulu adalah dosen geografi. Namun, pada 2002 ia memutuskan membangun peternakan organik halal setelah kecewa dengan kurangnya pilihan daging organik untuk muslim. Iapun mempelajari ilmu peternakan selama setahun di Sudan.

“Kami merasa sisi kesejahteraan hewan maupun sisi ritual yakni penyebutan nama Tuhan tak dijalankan dengan baik di industri pangan modern,” Lutfi berpendapat, seperti diberitakan BBC Asian Network (04/02/2014).

Ia bermimpi memelihara hewan dan tanamannya sendiri dengan membawa nilai religius dan kecintaannya akan alam sekaligus.

“Kami mendirikan Willowbrook berdasarkan apa yang kami yakini sebagai prinsip-prinsip Islam, yang sangat dekat dengan gagasan organik, keberlanjutan, dan praktik-praktik yang ramah lingkungan,” tutur Lutfi.

Pasar daging halal Inggris diperkirakan bernilai sekitar 3 miliar poundsterling (Rp 56,6 triliun). Muslim berjumlah kurang dari 5% populasi Inggris namun mengonsumsi lebih dari 20% daging merah yang diproduksi di Inggris. Sebuah studi di tahun 2012 menemukan bahwa satu dari tiga orang muslim makan daging setiap hari. Angka ini lebih banyak dibandingkan orang-orang nonmuslim.

Di Willowbrook, hewan dibawa ke rumah potong halal setempat yang proses penyembelihannya diawasi keluarga Radwan. Istri Lutfi, Ruby, dan kelima anaknya juga bekerja di peternakan. Khalil (20) misalnya, mengatakan akan mengikuti jejak orang tuanya untuk hanya memakan daging halal organik.

“Daging halal organik lebih menyehatkan serta sesuai dengan moral dan etika. Tak hanya untuk muslim, tapi untuk semua orang. Tak peduli apakah mereka meyakini agama tertentu atau tidak,” jelas Khalil.

Ruby merasa kebanyakan daging halal di pasaran tak memenuhi standar Islam jika melihat cara hewan diternakkan, dirawat, dan akhirnya disembelih. Lutfi juga yakin beternak secara berlebihan bisa menyebabkan hewan berada di kondisi buruk.

“Benar-benar seperti kamp konsentrasi. Ayam dijejalkan ke kandang sesak, di mana mereka menderita bahkan bisa dibuang begitu saja jika sudah berkembang biak terlalu banyak. Namun, pelanggan tak melihatnya sampai ayam diserahkan ke mereka,” kata Lutfi.

Lutfi berharap muslim lebih memikirkan asal daging yang mereka konsumsi serta kondisi tempat diternakkannya hewan-hewan tersebut.

“Nabi Muhammad melarang memakan makanan dari hewan yang disiksa. Karena itu, kita tidak dapat menutup mata akan apa yang terjadi di sekitar kita,” pungkas Lutfi.[]

Sumber: detikfood.com

read more
Ragam

Akal Bulus Impor Beras Khusus

Impor beras khusus kembali masuk ke pasar beras umum. Kejadian ini bukan yang pertama, catatan KRKP kejadian ini mengemuka ke publik terjadi pada tahun 2007 dan 2012. Tahun 2007 dan 2012 tercatat masing-masing ada 185 ribu dan 40 ribu ton beras diimpor untuk keperluan khusus dan merembes ke pasar umum. Sementara akhir tahun 2013 ini sedikitnya 156 ribu ton beras impor masuk dan lagi-lagi merembes ke pasar umum.

Kejadian berulang tentu bukan sebuah kecelakaan atau ketidaksengajaan. Patut dicurigai bahwa terjadi kecurangan yang dilakukan para pedagang. Said Abdullah, Manager Advokasi dan Jaringan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), mengatakan bukan tidak mungkin praktek perembesan impor khusus ke pasar umum ini terjadi setiap tahun.

Terungkapnya kasus ini makin menampakan buruknya kinerja pemerintahan dalam mewujudkan amanat undang-undang. “Undang-undang pangan nomor 18 tahun 2012 jelas mengamanatkan kedaulatan pangan. Masuknya beras dari luar jelas mencederai semangat itu. Padahal produksi dalam negeri masih cukup” Ujar Said.

Masih menurut Said, menjadi tidak masuk logika ketika pemerintah baru saja mengumumkan surplus produksi padi. Produksi padi nasional pada tahun 2013 mengalami kenaikan sebesar 2,6% dari sebelumnya 69,06 juta ton menjadi 70,87 juta ton. Dengan produksi sebanyak itu jika dikonversi dalam beras menjadi 38,84 juta ton. Jumlah ini maka terdapat surplus 5,4 juta ton karena kebutuhan nasional hanya sebesar 34,42 juta ton.

Menjadi aneh jika produksi dinyatakan naik tapi impor beras khusus bisa bocor ke pasar umum. Said mensinyalir adanya permainan antara importir dengan regulator. Terlebih setelah diketahui bahwa kode impornya sama. Hal ini jelas menunjukkan adanya ketidakseriusan pemerintah dalam mengurus pangan.

Menurut Said, fenomena ini menunjukkan kegagalan pemerintah dalam mengontrol dan menjalankan regulasi perdagangan beras. Semestinya pemerintah selaku regulator memiliki melaksanakan peraturan dengan ketat, tidak justru sebaliknya menjadi bagian pelanggar peraturan. Situasi ini menunjukkan pemerintah telah gagal melindungi petani dan produk dalam negeri.

Munculnya impor ini juga menunjukkan kuatnya kepentingan ekonomi politik. Apalagi menjelang berlangsungnya pemilihan umum. Pengumpulan uang sebanyak-banyaknya menjadi target para politisi untuk memenangkan pemilu. Untuk itu berbagai cara dilakukan termasuk mengakali peraturan impor. Hal ini terbukti dari berbagai kasus korupsi yang terungkap, terutama di lingkup sektor pertanian.

Said mengingatkan bahwa disalahgunakannya izin impor beras khusus bisa jadi merupakan alat bagi kelompok tertentu untuk mengumpulkan modal dalam menghadapi perhelatan politik. Maklum nilai ekonomi dalam beras impor sangat tinggi apalagi terdapat selisih harga di level nasional.

Untuk itu, KRKP menuntut pemerintah dituntut untuk lebih tegas dalam menunjukkan niatnya melindungi petani. Pengusutan tuntas kasus ini menjadi penting untuk dilakukan. Penegakan hukum harus diterapkan karena memberikan sanksi bagi importir nakal tidak lah cukup. Sanksi tidak dapat merubah banyak hal. Ujar Said.

Pemerintah harus merubah paradigma dalam memandang pangan. Pangan hendaknya dipandang sebagai hak dasar setiap warga negara. Karenanya sebuah kesalahan jika urusan pangan diserahkan ke pedagang yang hanya akan menyebabkan negara jauh dari daulat pangan dan masyarakat tak terpenuhi hak atas pangannya.[]

Sumber: hijauku.com

read more
1 2
Page 1 of 2