close

pemilu

Ragam

Pemilu dan Lingkungan Hidup

Syamsul Bahri | Foto: pribadi
Syamsul Bahri | Foto: dok pribadi

Bahwa tahun 2014 merupakan tahun politik di Indonesia yang akan melaksanakan Pemilihan anggota yang terhormat yaitu Legislatif dari Kabupaten/Kota, Propinsi dan Pusat, dan Pemilihan Presiden secara berturut ini telah menempuh fase-fase sesuai dengan tahapan. Melihat fakta yang ada, bahwa dalam proses PEMILU, terkesan sikut menyikut antara tim sukses, partai sudah  semakin memanas, seyogyanya para caleg dan bakal calon presiden dapat menunjukkan keteladanannya dengan melakukan proses politik yang santun dan tidak emosional. Kalau para tokoh politiknya sendiri sudah emosional, maka besar kemungkinan akan terjadi gesekan atau benturan di antara para pendukungnya di tingkat grassroot.

Marilah kita pahami bahwa PEMILU adalah sarana dan bukan tujuan, sedangkan tujuan yang ingin dicapai adalah  memilih seorang anggota legislatif dan pemimpin negara yang mampu mewujudkan amanah UUD 1945 sebagai bentuk visi negara yang maju, aman, damai dan sejahtera. Tentunya sarana ini tidak  boleh mengganggu pencapaian tujuan bersama.

Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, sesungguhnya PEMILU memiliki makna penting dan strategis, karena momentum tersebut tidak hanya memberikan peluang terjadinya rotasi dan sirkulasi kekuasaan. Pemilu memberikan peluang bagi rakyat melakukan koreksi terhadap segala kesalahan dan kekurangan dimasa rezim terdahulu, menentukan pilihan yang tepat dan terbaik bagi masa depan negara dan daerahnya.

Marilah kita melihat kedepan serta mengajak para elite politik dan masyarakat, terutama para caleg dan bakal calon president untuk mengubah paradigma berpikir dalam memandang PEMILU. Jangan lagi memandang PEMILU sebuah pertarungan hidup mati antara kelompok/kekuatan partai politik, tapi yakinilah bahwa PEMILU sebagai sebuah sarana untuk mewjudkan tujuan demokrasi, tujuan berbangsa dan bernegara, yaitu menuju masyarakat yang adil dan makmur secara mandiri

Jika kita menyimak tujuan bernegara dan berbangsa dalam UUD 1945, salah satunya adalah menuju masyarakat yang adil dan makmur secara mandiri yang diimplementasikan untuk mewujudkannya salah satunya adalah Demokrasi melalui PEMILU.

Adil dan makmur tersebut, tentunya menjadi acuan dan tujuan yang akan diembankan kita semua terutama caleg dan bakal calon presiden sebagai visi negara sebagai bagian dari proses tawar menawar dengan masyarakat untuk mengajak masyarakat memilih  dalam kampanye.

Adil dan makmur, jika kita lihat fakta yang ada saat sekarang, tidak mungkin terwujud dengan kondisi alam dan lingkungan yang memiliki kecenderungan semakin tidak bersahabat. Terlihat dari indikator bencana yang hampir melanda seluruh wilayah Indonesia, sehingga pemberdayaan ekonomi, peningkatan infrastruktur dalam rangka mewujudkan Visi Negara itu tidak akan berarti, apabila dalam visi dan misi tersebut kegiatan upaya pelestarian lingkungan hidup menjadi bagian utama dalam pembangunan berkelanjutan diabaikan.

Isu lingkungan terutama global warming menjadi sebuah permasalahan global  yang menjadi tanggung jawab setiap Negara, pemerintahan, rakyat, bahkan isu tersebut sudah menjadi bagian terintegrasi dari pembangunan Indonesia saat ini.

Namun sungguh menjadi pertanyaan yang sangat besar bagi masyarakat, banyak caleg dan bakal calon Presiden yang justru tidak menjadikan isu lingkungan sebagai hal penting. Apalagi dibanding isu infrastruktur dan ekonomi kerakyatan, pendidikan dan kesehatan yang menjadi isu untuk dijadikan strategi kampanye. Sedangkan isu lingkungan diabaikan, pada hal fakta yang terjadi saat ini lingkungan menjadi bagian utama penyebab kerusakan infrastruktur, gagal panen dan lain-lain yang justru dana yang harus dikeluarkan untuk perbaikan akibat kerusakan lingkungan sangat besar

Isu yang cenderung dan  dominan yang dijadikan tema kampanye oleh para pasangan yang umumnya menjanjikan peningkatan Pemasukan Negara, PAD (pendapatan asli daerah) melalui pengembangan investasi baik perkebunan, pertambangan, dll.

Pengalaman penerapan otonomi daerah melalui PEMILU  selama ini yang cenderung melahirkan “raja-raja lokal” dengan kekuatan kekuasaannya yang besar indikasi menjalin hubungan bisnis secara legal dan illegal. Seperti tercermin pada kasus illegal logging, pertambangan, perkebunan dll yang cenderung berada dalam wilayah KKN di Indonesia seharusnya menyadarkan semua pihak akan betapa rawan masa depan lingkungan hidup, bila dalam proses PEMILU aspek kepentingan lingkungan diabaikan.

Dengan melihat posisi dan peran kepala negara dan daerah, serta legislatif semakin strategis dan menentukan, agenda lingkungan hidup seyogyanya menjadi salah satu pertimbangan penting dalam PEMILU. Akan sangat ideal bila sejak awal kontestan PEMILU dalam visi dan misinya memberikan porsi yang memadai terhadap pemecahan masalah lingkungan hidup di daerah setempat, karena dengan demikian, rakyat dalam menentukan pilihannya memiliki acuan serta pemahaman yang lengkap mengenai program-program pelestarian lingkungan hidup yang bakal dijalankan oleh calon yang mereka pilih.

Dengan harapan, jika peserta dan kontestan yang nyata-nyata pernah terlibat atau ikut memberi peluang terjadinya perusakan lingkungan hidup, baik melalui kebijakan-kebijakan publik, maupun dalam aktivitas usahanya (non- pejabat), sebaiknya tidak dipilih, agar persoalan yang ada tidak bertambah runyam. Untuk itu, perlu kerja sama dan sikap proaktif dari semua pihak untuk melakukan publikasi dan penyadaran kepada masyarakat agar rakyat pemilih tidak terkecoh dalam menentukan pilihannya.

Hendaknya disadari bahwa masalah lingkungan hidup kini menjadi persoalan yang sangat mendasar bagi bangsa Indonesia. Karena itu, sudah saatnya semua pihak menaruh perhatian serius terhadap masalah ini. Dalam konteks itu, melihat kenyataan bahwa sebagian besar kerusakan lingkungan senantiasa berhubungan erat dengan kebijakan pemerintah, sudah seharusnya penyelamatan lingkungan ikut dijadikan kriteria pokok dan prasyarat formal penentuan pejabat publik.[]

1. Conservationist di Taman Nasionan Berbak, Dosen STIE-SAK
2. Pengendali Ekosistem (PEH) di Taman Nasional Berbak

 

read more
Ragam

Pemilu 2014 Pilih Pemimpin Pro Rakyat dan Pro Pelestarian!

Banjir yang melanda Jakarta, Bekasi, Pekalongan, Semarang, Manado, dan lain-lain pada awal 2014 ini menyadarkan bahwa sumber daya alam Indonesia salah urus selama ini. Bencana ekologis ini harus menjadi alarm pembaharuan ke depan, karena menurut catatan WALHI sedang terjadi peningkatannya secara tajam. Jika pada tahun 2012, banjir dan longsor terjadi sebanyak 475 kali dengan korban jiwa mencapai 125 orang, pada tahun 2013, secara akumulatif peristiwa bencana ekologis mencapai 1.392 kali atau meningkat hampir 300 persen. Bencana tersebut melanda 6.727 desa/kelurahan yang tersebar pada 2.787 kecamatan di 419 kabupaten/kota atau 34 propinsi, dan telah menimbulkan korban jiwa sebesar 565 orang.

Sayangnya, Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II -yang masa kerjanya tersisa kurang dari satu tahun- membuka tahun 2014 dengan menerbitkan peraturan yang tidak berpihak pada keberlanjutan fungsi sumberdaya alam. PP 1/2014 dan Permen ESDM 1/2014 yang mengendorkan (relaksasi) batas waktu larangan ekspor mineral mentah tak hanya membebaskan dari hukuman (impunity) tapi juga melanggengkan perusahaan ekstraktif mengeruk kekayaan mineral Indonesia.

Tahun 2014 juga dibuka dengan kegembiraan semu melalui pelepasan 7.000 ha kawasan hutan Mesuji dari Register 45, Lampung. Menjadi semu karena pelepasan dilakukan tanpa skema distribusi lahan yang jelas dan berkeadilan sehingga potensial memicu konflik horisontal. Padahal, catatan Konsorsium Pembaruan Agraria menunjukkan fenomena meningkatnya konflik agraria beberapa tahun terakhir.

Pada 2010 tercatat sedikitnya 106 konflik agraria, kemudian meningkat menjadi 163 konflik pada tahun 2011, dan menjadi 198 konflik pada tahun 2012. Peningkatan besar-besaran terjadi pada 2013 dengan konflik agraria tercatat sejumlah 369 kasus pada kawasan seluas 1.281.660.09 hektar dan melibatkan 139.874 Kepala Keluarga (KK). Sehingga, berita Mesuji tersebut seakan meresonansi penggusuran Suku Anak Dalam dari kawasan hidup mereka di Padang Salak Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Batanghari, Jambi, 7 Desember 2013 karena sengketa hak lahan dengan perusahaan sawit PT Asiatic Persada.

Ketimpangan perlakuan negara kepada penduduk lokal dengan korporasi eksploitatif sejatinya merupakan hal jamak hingga saat ini. Lihatlah kebijakan pengalokasian ruang kawasan hutan sebagai misal. Rencana Kehutanan Tingkat Nasional Tahun 2011-2030 yang ditetapkan oleh Permenhut 49/2011 menjabarkan bahwa dari total 41,69 juta hektar penggunaan kawasan hutan, 41,01 juta hektar atau 99,5% diperuntukkan bagi perusahaan, seperti HPH, HTI, pelepasan kebun, pinjam pakai tambang. Hanya 0,21 juta hektar atau 0,5% yang diperuntukkan bagi masyarakat lokal/adat dan atau usaha kecil, seperti hutan desa, hutan kemasyarakatan, dan hutan tanaman rakyat.

Padahal, HPH/HTI kinerjanya sangat buruk terbukti dengan semakin berkurangnya jumlah dan luas perusahaan HPH dan semakin menguatnya fenomena monopsoni pada bisnis HTI. Bahkan, ditengarai 34 juta hektar kawasan HPH/HTI saat ini merupakan kawasan open access. Fenomena open access ini terjadi pula pada 30 juta hektar hutan lindung Indonesia karena ketidakhadiran pengelola di tingkat lapangan.

Pada 2013 Indonesia dan Uni Eropa menandatangani perjanjian Forest Law Enforcement, Governance, and Trade – Voluntary Partnership Agreement (FLEGT VPA) antara Pemerintah Indonesia dengan Uni Eropa. Sesuai dengan EU Timber Regulation (EUTR) 995/2010, FLEGT VPA ini akan membuka lebih luas pasar Eropa bagi kayu legal Indonesia. FLEGT VPA ini berpeluang meningkatkan sumbangsih kehutanan terhadap perekonomian nasional yang semakin melemah pada satu dekade terakhir.

Meski demikian, harus dipastikan agar pembukaan pasar Eropa ini tidak justru membuka ruang perusakan hutan melalui eksploitasi kayu yang tak lestari. Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), sebagai salah satu instrumen terkait FLEGT VPA, harus direvisi agar menjadi instrumen yang sesuai dengan prinsip-prinsip sustainable forest management (SFM).

Karena, sampai saat ini SVLK justru nyaris setiap tahun diperburuk kualitasnya melalui perubahan regulasi sehingga justru meloloskan juga perusahaan kehutanan yang tak layak SFM. Bahkan, terdapat juga perusahaan yang tersangkut kasus korupsi yang beroleh sertifikat SVLK. Pun, SVLK dan pasar Eropa harus didorong untuk mendukung hasil hutan produksi unit usaha masyarakat lokal.

Sepanjang 2013, Indonesia melaksanakan 152 pemilu kepala daerah. Berdasarkan citra satelit dan data pilkada serta perijinan 2000-2008, Prof. Burgess, dkk menemukan bahwa ada fenomena peningkatan deforestasi 57% setahun setelah pilkada di Indonesia. Kajian ICW (2013) juga menunjukkan meningkatnya dana-dana bantuan sosial di kementerian-kementerian yang dipimpin menteri yang berasal dari partai politik. Fenomena ini akan menjadi peringatan akan potensi meningkatnya korupsi termasuk pada sektor pngelolaan dan pengolahan sumber daya alam pada tahun politik 2014.

Harapan sejatinya hadir melalui Putusan Mahkamah Konstitusi 45/2011 yang membuka ruang negosiasi antara masyarakat dengan pemerintah dalam proses pengukuhan kawasan hutan. Dengan diputuskannya bahwa kawasan hutan yang sah dan mengikat adalah kawasan hutan yang sudah ditetapkan, tak cukup hanya ditunjuk sebagaimana terjadi pada sebagian besar kawasan hutan Indonesia, memastikan persetujuan masyarakat terhadap Berita Acara Tata Batas menjadi faktor kunci. Putusan MK 35/2012 yang menegaskan eksistensi hutan adat juga memastikan bahwa komunitas adat pun menjadi entitas penting dalam tatakelola kehutanan Indonesia.

Namun demikian, tindak lanjut pemerintah terhadap kedua Putusan MK tersebut sangat minim. Pengukuhan kawasan hutan di Kabupaten Barito Selatan yang diproses sepanjang 2013 bahkan tidak menambah luas pengukuhan satu hektar pun. Demikian juga, hutan adat yang ditetapkan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi belum ada sama sekali. Padahal, pemerintah sangat diharapkan mengeluarkan kebijakan transisi sebagai terobosan mengingat banyaknya tumpang tindih klaim dan ijin di dalam klaim hutan adat.

Harapan juga hadir melalui inisiatif KPK bersama UKP4 yang memelopori sinergitas antar lembaga negara melalui Nota Kesepakatan Bersama 12 Kementerian atau Lembaga Negara (NKB 12 K/L) tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan Indonesia. Meski judulnya mengenai pengukuhan, dokumen yang ditandatangani pada 11 Maret 2013 -sehingga kerap disebut sebagai Supersemar Kehutanan- ini pada dasarnya merupakan reformasi secara substantif tatakelola sumberdaya alam Indonesia. Program Indonesia Memantau Hutan yang didorong KPK sebagai open government sektor kehutanan juga diharapkan mampu mendorong transparansi tata kelola serta partisipasi publik yang semakin massif pada pembaharuan tatakelola kehutanan Indonesia.

Pada saat yang sama, jaringan masyarakat sipil semakin menunjukkan perannya dalam mengawal kejadian yang mengancam kelestarian hutan dan sumber daya alam kita. Eyes on the Forest (EoF) di Riau dan Koalisi Anti Mafia Hutan banyak memberi masukan pada proses penegakan hukum yang dilakukan KPK, seperti kasus Azmun Jafar dan rangkaiannya yang kini telah menyeret Gubernur Riau Rusli Zainal ke persidangan pengadilan tindak pidana korupsi. Tim Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa (TKPRT) juga banyak membantu proses penegakan hukum dan pembaruan kebijakan yang diinisiasi UKP4.

Kita semua sebentar lagi diberi kesempatan membuat pilihan agar jejak tersebut bisa lebih banyak lagi memberikan keberpihakan kepada rakyat. Kami memberikan catatan di atas agar kita semua tidak melupakannya. Karenanya, mari menggunakan kekuatan kita melakukan perubahan memasuki tahun yang baru dan menyongsong era yang baru pasca Pemilu 2014.

Pilih pemimpin pro rakyat dan pro kelestarian! Demikian siaran pers bersama dari Walhi, ICW, TI, WWF dan Yayasan Kehati.

Sumber: hijauku.com

read more
Ragam

Politisasi Isu Lingkungan Hidup Jelang Pemilu

Pemilu 2014 semakin dekat, namun hingga saat ini belum ada partai politik yang memiliki visi untuk mengatasi ancaman akibat perubahan iklim. Sebagai negara berkembang, pemerintah Indonesia masih disibukkan dengan agenda meningkatkan kesejahteraan rakyat, memberantas kemiskinan, meningkatkan mutu pendidikan, pemberantasan korupsi dan agenda lainnya terkait pembangunan.

Maka ketika agenda-agenda tersebut belum dijalankan dengan maksimal, isu perubahan iklim hanya menjadi isu saja dalam perhelatan internasional. Isu perubahan iklim tidak terlepas dari isu lingkungan hidup. Isu lingkungan hidup berbicara keamanan manusia. Keamanan menyentuh nasib sekelompok manusia dan menyentuh keamanan personal menyangkut kehidupan manusia secara individual.

Keamanan sekelompok manusia tergantung lima faktor yaitu: (1) keamanan militer, (2) keamanan politik, (3) keamanan ekonomi, (4) Kemanan masyarakat, dan terakhir (5) keamanan lingkungan hidup (Buzan, 1991).

Maka sudah selayaknya isu lingkungan hidup menjadi perhatian utama dalam proses kebijakan menyangkut kepentingan masyarakat. Namun, isu lingkungan hidup sepi dari hiruk pikuk politik. Isu lingkungan hidup belum menjadi bagian dari visi misi partai politik.

Politisasi Lingkungan Hidup
Berbagai ancaman keamanan lingkungan hidup diantaranya ancaman lingkungan hidup yang tidak disebabkan oleh aktivitas manusia. Contohnya gempa bumi, tsunami, dan letusan gunung berapi. Ancaman lingkungan hidup akibat aktivitas manusia. Salah satu contohnya adalah pembalakan liar, pembakaran hutan sebagai tindakan pembukaan lahan dengan cara membakar hutan.

Saya mencoba mengangkat contoh kasus terjadinya kabut asap yang tengah terjadi di Riau yang kemudian menyebar ke Malaysia maupun Singapura pun luput dari hiruk pikuk politik.

Di tengah hirup pikuk partai politik yang berupaya menyelamatkan citra dan mengamankan kekuasaan, elit politik maupun partai politik tidak melakukan upaya nyata untuk melakukan politisasi terkait kabut asap.

Kabut asap yang hampir menjadi fenomena tahunan sejak tahun 1997, berimplikasi negatif terhadap kesehatan bagi manusia yang terkena serangan kabut asap. Pemerintah, elit politik maupun partai politik abai untuk memperjuangkan hak masyarakat untuk menghirup udara sehat dan menikmati sinar matahari bebas dari kabut asap.

Partai politik saat ini tidak memiliki terobosan dalam mengatasi permasalahan lingkungan hidup. Partai politik pun tidak kritis dalam menanggapi permasalahan terkait lingkungan hidup yang berdampak buruk bagi masyarakat terutama masyarakat miskin. Apabila isu lingkungan hidup mendapatkan politisasi maka akan berpengaruh luas terhadap kebijakan umum, legislasi hingga penegakan hukum.

Isu lingkungan hidup tidak terlepas dari upaya penegakan hukum. Hingga saat ini, pelaku perusakan hutan belum mendapatkan hukuman yang berat. Pelaku perusakan lingkungan hidup perlu mendapat cap ‘penjahat lingkungan’ setaraf dengan koruptor. Karena daya rusak penjahat lingkungan akan berdampak dalam jangka waktu yang lama dan mengancam korban jiwa dalam jumlah besar.

Isu lingkungan hidup hanya berupa slogan seperti “gerakan menanam seribu pohon”, “jagalah lingkungan hidup” dan lainnya. Karena slogan tersebut belum dapat menggerakkan segenap pemerintah, elit politik hingga masyarakat untuk secara bersama-sama melakukan tindakan nyata menjaga lingkungan hidup. Gerakan yang bersifat seremonial tidak dapat membangun kesadaran bersama. Membangun kesadaran bersama memerlukan waktu yang lama dengan gerakan dan politisasi isu lingkungan hidup.

Ancaman Perubahan Iklim
Dalam isu perubahan iklim, terkait hak-hak warga negara untuk mendapatkan perlindungan dari negara. Perubahan iklim berdampak terhadap kehidupan manusia : (1) keamanan pangan, (2) Peningkatan suhu udara, (3) Peningkatan ketinggian air laut (4) Kesulitan penyediaan air, (5) Perubahan cuaca ekstrim, (6) pengaruh terhadap kesehatan manusia (Harper, 2004). Dampak perubahan iklim perlu mendapat perhatian serius. Apabila dicermati, korban akibat dampak perubahan iklim adalah masyarakat miskin dan berpendidikan rendah. Ancaman perubahan iklim pun berimplikasi dengan kesejahteraan masyarakat.

Beberapa golongan masyarakat yang rentan terhadap ancaman perubahan iklim, diantaranya petani yang mengalami kesulitan bercocok tanam akibat cuaca ekstrim; masyarakat yang tinggal di pesisir pantai dan berprofesi nelayan sangat rentan akibat ancaman peningkatan ketinggian air laut; masyarakat yang tinggal di kawasan berbukit sangat rentan dengan ancaman longsor. Isu perubahan iklim pun berbicara mengenai pelindungan dan kesejahteraan masyarakat karena ancaman tersebut akan berimplikasi terhadap korban jiwa dan kemiskinan absolut.

Ancaman perubahan iklim pun berpotensi menimbulkan konflik. Contohnya apabila terkait air bersih. Apabila persediaan air bersih tidak diantisipasi, maka masyarakat miskin harus membeli air dengan harga mahal. Dalam jangka panjang berpotensi menimbulkan konflik akibat perebutan sumber air.

Sayangnya, isu perubahan iklim hanya nyaring di perhelatan internasional dan menjadi kajian bagi akademisi, namun minim upaya nyata untuk menyelamatkan masyarakat yang menjadi korban awal dari perubahan iklim.

Pertanyaan terbesar apakah ancaman perubahan iklim sudah dipahami bagi masyarakat yang tinggal di kawasan yang rentan akan bencana. Istilah mitigasi maupun adaptasi tentu sulit dipahami bagi masyarakat yang rentan terhadap dampak perubahan iklim.

Maka politisasi isu lingkungan hidup maupun ancaman perubahan iklim menjadi penting untuk menyelamatkan kehidupan masyarakat luas daripada sekedar politisasi mempertahankan kekuasaan untuk segelintir kepentingan saja.

* Penulis adalah staf pengajar di Universitas Budi Luhur

Sumber: hijauku.com

read more
1 2
Page 2 of 2