close

perubahan iklim

Kebijakan Lingkungan

PR Mendesak Presiden dan Kabinet Perkuat Aksi untuk Melawan Krisis Iklim

Jakarta – Di samping berfokus pada peningkatan investasi dan pertumbuhan ekonomi melalui transformasi struktural dan peningkatan kualitas sumber daya manusia, Presiden dan Kabinet Indonesia Maju tidak bijak jika melupakan komitmen iklim Indonesia untuk mengurangi emisi sebesar 29% hingga 41% pada 2030.

Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Muhammad Teguh Surya, menegaskan hal tersebut dalam acara Rembuk Nasional Pemangku Kepentingan dengan tema : Bergandengan Tangan Merawat Iklim Bumi untuk Mencapai Komitmen Iklim Indonesia di Jakarta pada 5 November 2019.

“Presiden dan Wakil Presiden harus memenuhi janji pada masa kampanye untuk mencapai lingkungan hidup yang berkelanjutan, antara lain melalui mitigasi perubahan iklim,” ujar Teguh. “Pembangunan rendah karbon yang saat ini sedang digodok melalui RPJMN 2019-2024 sangat sejalan dengan keinginan Presiden untuk mengurangi ketergantungan ekonomi Indonesia akan ekspor bahan mentah, yang membuat perekonomian kita rentan terhadap volatilitas harga komoditas global.”

Sementara itu, Alya Nurshabrina, Miss Indonesia 2018 yang hadir sebagai salah satu pemberi pidato kunci di kegiatan tersebut mengatakan, “Sebagai generasi muda, tentu kami mendukung cita-cita Presiden Joko Widodo untuk memajukan Indonesia melalui peningkatan kualitas SDM dan pertumbuhan ekonomi. Tapi, semua itu harus dilakukan dalam koridor yang tidak merusak lingkungan dan dapat menjamin keberlangsungan alam. Kita sebagai konsumen juga harus mulai peduli untuk mengkonsumsi produk-produk yang berkelanjutan dan tidak merusak hutan.”

Dengan kembali terpilihnya petahana Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Indonesia seharusnya bisa membuat lompatan besar untuk mencapai komitmen iklim di sektor kehutanan yang tercantum dalam Nationally Determined Contribution atau NDC. Lompatan besar diperlukan karena periode pelaksanaan NDC akan segera dimulai pada 1 Januari 2020.

“Asalkan tidak ada pelemahan kebijakan atas nama investasi karena sekarang KLHK berada di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi,” tambah Teguh.

Para pakar sudah memperingatkan bahwa target penurunan emisi Indonesia akan sulit dicapai kecuali ada penguatan kebijakan maupun implementasi dalam hal kebijakan mitigasi.

“Salah satu langkah yang urgent diambil Presiden untuk mencapai target penurunan emisi di sektor kehutanan adalah memperluas cakupan hutan alam yang dilindungi dari izin baru,” terang Teguh. ”Temuan awal Madani, terdapat sekitar 8,5 juta hektare hutan alam sekunder di luar wilayah PIPPIB dan izin-izin yang telah ada, yang harus segera dilindungi melalui kebijakan penghentian izin baru di hutan alam dan lahan gambut.”

Hutan alam seluas 8,5 juta hektare tersebut tersebar di 33 provinsi dengan lima terluas di Papua (1 juta hektare), Maluku (883 ribu hektare), Nusa Tenggara Timur (862 ribu hektare), Kalimantan Tengah (850 ribu hektare), dan Maluku Utara (592 ribu hektare).

Langkah inovatif lain yang dapat diambil pemerintah adalah melindungi tutupan hutan alam yang terlanjur diberikan untuk izin perkebunan dan pertambangan.

Menurut Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, terdapat 1,4 juta hektare hutan alam dalam kondisi baik yang sudah dilepaskan untuk perkebunan sawit. Sementara itu, dari analisis peta tutupan lahan 2018 yang dilakukan Madani, tutupan hutan alam di area perkebunan sawit mencapai 3,4 juta hektare, termasuk di area izin yang masih dalam proses. Penyelamatan hutan alam di area perkebunan sawit ini konsisten dengan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit atau moratorium sawit.

“Aksi mitigasi lain yang harus diperkuat implementasinya adalah mencegah karhutla secara komprehensif dengan mengakselerasi dan memperluas target restorasi gambut pasca-2020 serta mempercepat realisasi target perhutanan sosial dengan disertai pendampingan yang kuat agar dapat berkontribusi pada pencapaian NDC,” ujar Teguh.

Studi Madani bersama Yayasan Climate & Society terkait Kontribusi Perhutanan Sosial (PS) di tiga wilayah Perhutanan Sosial di KPH Bukit Barisan, Provinsi Sumatera Barat menemukan bahwa persentase penurunan illegal logging di tiga wilayah PS yakni KTH Putra Amdam Dewi, LPHN Sungai Buluh, dan LPHN Gamaran mencapai 83,68% dengan penurunan emisi sebesar 483.941 tCO2/tahun. Setelah mendapatkan izin Perhutanan Sosial, masyarakat beralih ke komoditas hasil hutan bukan kayu dan ekowisata dan oleh karenanya berkontribusi pada penurunan emisi di sektor kehutanan melalui pengurangan deforestasi dan degradasi.

Potensi penurunan emisi dari deforestasi pada ketiga PS di KPH Bukit Barisan di atas bisa mencapai 235.254 tCO2 atau 0,025% dari target NDC. Jika dilakukan percepatan implementasi PS pada wilayah berisiko deforestasi sedang sampai tinggi dan dapat mencegah deforestasi di wilayah tersebut, program PS secara nasional berpotensi untuk berkontribusi sebesar 34,6% dari target NDC.

Studi lain Madani terkait praktik terbaik perhutanan sosial dalam menjaga iklim bumi menunjukkan bahwa pendampingan yang kuat dalam tata kelola kelembagaan, tata kelola kawasan, dan tata kelola usaha adalah kunci sekaligus benang merah dari berbagai kisah sukses PS, baik dalam meningkatkan kesejahteraan maupun mengurangi emisi.

Enam kisah yang diangkat adalah dari Hutan Kemasyarakatan (HKm) Kalibiru di Kulonprogo, Yogyakarta, HKm Bleberan Gunung Kidul, Yogyakarta, Hutan Desa Lanskap Padang Tikar, Kubu Raya, Kalbar, Hutan Desa Jorong Simancuang, Sumatera Barat, Hutan Desa Lanskap Bujang Raba, Bungo, Jambi, dan Hutan Adat Marena, Enrekang, Sulawesi Selatan.

“Masyarakat mampu menjaga hutan, namun tantangannya memang di pendampingan. Bagi 5.615 unit masyarakat yang telah mendapat SK Perhutanan Sosial pada 13 Mei 2019, baru tersedia 1.215 pendamping atau 21,64%. Masih banyak masyarakat pengelola PS yang belum memiliki pendamping,” ujar Untung Widyanto, peneliti Madani dan penulis praktik terbaik PS di enam wilayah di atas. “LSM tak memiliki banyak dana dan ada tantangan ketika harus keluar dari wilayah yang didampingi. Oleh karenanya pemerintah harus memperhatikan isu pendampingan ini dengan serius.”

Kajian praktik terbaik ini menunjukkan bahwa ekonomi masyarakat dapat meningkat lewat skema perhutanan sosial. Pada 2016, Wisata Alam Kalibiru yang dikelola oleh KTHm Mandiri mampu mendapatkan pemasukan hingga Rp 5,9 miliar dari 443 ribu turis dalam dan luar negeri. PS lainnya menghasilkan berbagai komoditas mulai dari kopi, kulit manis, karet, kakao, kapulaga, padi organik, palawija, udang vaname, kepiting bakau, madu kelulut, hingga tanaman pokok jati dan sonokeling. Namun, tantangan terbesar yang dihadapi masyarakat adalah offtaker atau akses pasar.

Dengan berbagai contoh di atas, upaya mencapai komitmen iklim dan menyejahterakan masyarakat di dalam dan sekitar hutan hendaknya menjadi jangkar sekaligus koridor bagi pemerintah ketika berusaha menarik investasi sebanyak-banyaknya ke Indonesia. “Melalui pencapaian komitmen iklim, Indonesia bisa mencegah menipisnya sumber daya alam sekaligus bencana akibat kerusakan lingkungan yang sudah dapat dipastikan akan mengganggu dan mengoreksi pertumbuhan ekonomi,” tutup Teguh.[rel]

read more
Green Style

LH-Fund Harapan Baru Hadapi Krisis Iklim

Jakarta – Yayasan Madani Berkelanjutan mengapresiasi peluncuran LH-Fund oleh pemerintah Indonesia, untuk menurunkan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, pengelolaan hutan lestari, konservasi, dan peningkatan stok karbon atau REDD+.

Peluncuran LH-Fund ini sangat ditunggu-tunggu karena diharapkan dapat menjadi katalis untuk mempercepat program-program perlindungan dan pemulihan lingkungan hidup agar Indonesia tidak lagi terus-menerus diterpa bencana akibat krisis iklim yang semakin masif, salah satunya adalah bencana kebakaran hutan dan lahan serta kabut asap yang telah banyak menelan korban dan menimbulkan kerugian ekonomi, kesehatan, dan reputasional yang sangat besar.

“Hari ini, Indonesia berjalan selangkah lebih maju untuk mengimplementasikan Paris Agreement secara konkret untuk mencapai komitmen iklim saat ini dan meningkatkan ambisi iklim di masa depan,” ujar Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan. “Senjata baru di tangan ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya, yakni dengan difokuskan pada program-program prioritas yang betul-betul berdampak luas pada iklim dan kesejahteraan masyarakat, seperti percepatan restorasi ekosistem gambut dan pendampingan perhutanan sosial pasca-izin agar dapat berkontribusi pada pencapaian target NDC.”

Percepatan dan perluasan restorasi gambut, termasuk di wilayah konsesi yang terbakar, adalah kunci untuk mencegah terulangnya Karhutla yang menyengsarakan rakyat. Sementara itu, perhutanan sosial selain menjadi strategi pemerataan ekonomi juga berpotensi berkontribusi pada pencapaian komitmen iklim Indonesia apabila ada pendampingan yang kuat dari pemerintah dan pihak-pihak lain.

Madani juga mengapresiasi penekanan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada kekuatan dan kearifan lokal masyarakat adat dan lokal yang perlu difasilitasi dan dipermudah aksesnya terhadap pendanaan lingkungan hidup ini.

“Selain akses yang mudah terhadap pendanaan, kami juga berharap akan ada mekanisme partisipasi masyarakat yang terlembaga dalam operasionalisasi LH-Fund ini, sehingga masyarakat dan masyarakat sipil memiliki ruang untuk ikut menentukan prioritas penggunaan dana dan ruang untuk mengajukan keluhan apabila hak-hak mereka terlanggar dalam implementasi berbagai aksi mitigasi yang didanai LH-Fund,” ujar Anggalia Putri, Manajer Pengelolaan Pengetahuan Madani.

“Partisipasi yang terlembaga menjadi penting karena sebagai salah satu instrumen pengendalian perubahan iklim, pada akhirnya, LH-Fund harus bisa mengoperasionalkan prinsip-prinsip yang dimuat dalam Pembukaan Paris Agreement, yang turut mencakup penghormatan terhadap HAM, hak-hak masyarakat adat dan lokal, kesetaraan gender, serta ketahanan pangan,” tutupnya.[rel]

read more
Perubahan Iklim

Perlindungan Hutan Alam Dan Gambut, Kunci Komitmen Iklim Indonesia

Jakarta – Yayasan Madani Berkelanjutan mendukung rencana pemerintah untuk mempermanenkan perlindungan hutan alam dan gambut tersisa, pasca berakhirnya masa berlaku INPRES tentang Penundaan dan Penyempurnaan Tata Kelola Pemberian Izin Baru Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut (Moratoroium Hutan) pada 17 Juli 2019.

“Diperpanjangnya kebijakan perlidungan hutan alam dan lahan gambut secara permanen memperbesar peluang pencapaian komitmen iklim Indonesia,” ujar Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Madani.

“Namun, perpanjangan saja belum cukup. Jika ingin mencapai target iklim, pemerintah harus memperkuat komitmen perlindungan hutan alam dan gamnbut dengan turut melindungi jutaan hektar hutan sekunder yang saat ini terancam dibabat.”

Riset World Resources Institute pada 2017 menunjukkan bahwa moratorium hutan adalah kebijakan mitigasi kehutanan dengan potensi penurunan emisi paling tinggi. Memperkuat kebijakan ini dengan melindungi hutan sekunder dapat mengurangi emisi sebesar 437 MtCO2 pada 2030 sehingga target iklim Indonesia bisa tercapai.

Data Pemerintah Indonesia dalam Status Hutan dan Kehutanan Indonesia 2018 menunjukkan bahwa sebanyak 43,3 juta hektare atau 48,4 persen hutan alam Indonesia dikategorikan sebagai hutan sekunder yang terlepas dari perlindungan moratorium. Lebih dari setengahnya atau 24,8 juta hektare diperuntukkan untuk eksploitasi dengan status hutan produksi.

“Yang paling mendesak adalah melindungi hutan alam yang masih bagus dan paling terancam,” ujar Anggalia Putri, Manajer Pengelolaan Pengetahuan Madani. “Ada 3,8 juta hektare hutan sekunder berstatus Hutan Produksi untuk Konversi (HPK), yang dapat dilepas dan ditebang untuk izin-izin non-kehutanan seperti perkebunan dan lain-lain. Pasca berakhirnya masa berlaku Moratorium, perlindungan secara permanen hutan alam dan gambut seharusnya melindungi wilayah tersebut.”

“Kami berharap Pemerintah Indonesia periode ini benar-benar dapat mempermanenkan perlindungan hutan dengan cara mengakomodasinya dengan landasan aturan perundang-undangan yang lebih kuat dan menuangkannya dalam rencana tata ruang nasional,” ujar Teguh. “Dengan demikian, ada garansi hukum dan politik lebih besar untuk mencapai komitmen iklim dan juga dapat meminimalkan konflik di masyarakat.”

Selama delapan tahun, status perlidungan hutan alam dan gambut masih bersifat sementara (moratorium). Madani juga mengkhawatirkan berbagai aturan pengecualian yang ada seperti permohonan izin yang telah mendapat persetujuan prinsip sebelum Mei 2011, panas bumi, migas, dan ketenagalistrikan, ditambah produksi padi, tebu, jagung, sagu dan kedelai untuk kedaulatan pangan nasional.

“Ada 31,2 juta hektare lahan tidak berhutan dalam kawasan hutan. Selayaknya pemerintah dapat memaksimalkan penggunaan lahan tidak berhutan atau memanfaatkan lahan-lahan ex-perusahaan untuk mengamankan kedaulatan pangan, dengan demikian meminimalkan kerusakan hutan,” ujar Anggalia.

Di samping emisi dari sektor hutan dan lahan, pemerintah juga harus mewaspadai emisi dari sektor energi karena berpotensi jadi kuda hitam yang dapat menggagalkan pencapaian komitmen iklim Indonesia. “Jika konsisten dengan inisiatif baik di dua sektor ini, Indonesia dapat membusungkan dada di perundingan iklim COP-25 yang akan dilaksanakan di Chili bulan Desember ini,” tutup Teguh. [rel]

read more
Perubahan Iklim

Ilmuan: Kelak, Global Warming Bisa Selamatkan Umat Manusia

Global warming atau pemanasan global telah menjadi bencana internasional. Tetapi siapa sangka bila nantinya global warming lah yang akan menyelamatkan nasib umat manusia.

Sebuah letusan gunung berapi maha dahsyat diprediksi akan kembali terjadi di masa depan. Saking hebatnya, letusan tersebut disamakan dengan letusan gunung Tambora yang terjadi 200 tahun yang lalu.

Saat Tambora meletus, berton-ton abu vulkanik terbang menutupi hampir seluruh daerah di bumi. Imbas dari erupsi terbesar selama 10.000 tahun terakhir tersebut sangat mematikan. Hampir satu tahun penuh bumi tidak mengalami musim panas. Suhu bumi pun terus menurun drastis hingga berujung pada salah atu musim dingin terparah yang pernah terjadi.

Tidak mau hal itu terjadi kembali, ilmuwan dari Universitas Reading mengajukan cara ampuh untuk menangkal bencana ‘musim dingin nuklir’ yang akan terjadi di masa depan. Caranya cukup unik dan radikal, saat bencana erupsi terjadi manusia akan menyemprotkan gas rumah kaca secara masif untuk membantu menghangatkan permukaan bumi.

Seperti yang kita tahu, zat rumah kaca seperti karbondioksida akan memperangkap panas yang masuk bumi. Metode ini dipandang efektif untuk mengontrol perubahan suhu bumi yang menurun secara ekstrem.

Ilmuwan Universitas Reading telah memilih gas hydrofluorocarbon (HFC) sebagai gas rumah kaca yang dapat mencegah panas dari dalam atau luar bumi meninggalkan planet kita.

Masyarakat pun tidak perlu khawatir dengan efek jangka panjang dari gas ini. Sebab, berbeda dengan gas rumah kaca CFC yang telah dilarang penggunaannya akibat dampak merusaknya pada lapisan ozon, gas HFC akan menghilang dengan sendirinya dari atmosfer bumi dalam beberapa tahun saja tanpa meninggalkan lubang pada ozon bumi.

Manusia pun dapat dengan mudah menemukan gas HFC karena zat ini sudah diproduksi secara masal, terutama untuk bahan baku plastik. Oleh ilmuwan lain, cara ini pun diakui dapat bekerja dan menyelamatkan umat manusia saat dibutuhkan nantinya.

“Ini adalah sebuah penelitian yang sangat menarik di mana proses pendinginan bumi akibat pengaruh letusan gunung berapi dahsyat bisa dilawan dengan melepaskan gas rumah kaca ke atmosfer,” ujar profesor Peter Cox dari Universitas Exeter, Daily Mail (07/11).

Sumber: merdeka.com

read more
Perubahan Iklim

Permukaan Samudera Pasifik Semakin Tinggi

Permukaan air laut terus naik di Samudra Pasifik di lepas pantai Filipina dan Australia Timurlaut karena manusia terus mengubah iklim, demikian  studi baru yang diungkapkan pada Rabu (23/7/2014).

Para peneliti menggabungkan data permukaan air laut belakangan ini yang dikumpulkan dari satelit dan tradisional untuk mengetahui seberapa banyak fenomena iklim yang terjadi secara alamiah dan disebut Pacific Decadal Oscillation (PDO) mempengaruhi pola kenaikan permukaan air laut di Pasifik.

PDO adalah pola temperatur di Samudra Pasifik, yang berlangsung rata-rata 20 sampai 30 tahun dan memberi pengaruh penting pada kecenderungan permukaan air laut.

Tim penelitian itu mereka ulang  permukaan air laut sejak tahun 1950.

Lalu, mereka menyisihkan dampak PDO sehingga bisa lebih memahami pengaruhnya pada peningkatan permukaan air laut di Pasifik saat ini.

“Anggapan selama ini ialah jika PDO dihilangkan dari persamaan, maka tidak ada kenaikan air laut ini di beberapa bagian Pasifik,” kata peneliti utama studi itu Asisten Profesor Benjamin Hamlington dari Colorado University di jejaring universitas tersebut.

“Tapi, kami mendapati bahwa kenaikan permukaan air laut di lepas pantai Filipina dan Australia Timurlaut tampaknya anthropoganic (disebabkan oleh manusia) dan akan terus berlangsung tanpa osilasi ini,” katanya.

Tim tersebut memperkirakan daerah samudra di dekat Filipina dan Australia Timurlaut naik sekitar satu sentimeter per tahun akibat pemanasan yang disebabkan oleh manusia.

Walaupun pola permukaan air laut tidak secara geografis seragam –kenaikan permukaan air laut di beberapa daerah berkaitan dengan turunya permukaan air laut di daerah lain– rata-rata kenaikan permukaan air laut global ialah tiga militer meter per tahun.

Beberapa ilmuwan memperkirakan permukaan air laut global mungkin naik sekitar satu mata atau lebih hingga akhir abad ini sebagai akibat dari pemanasan rumah kaca, kata para peneliti tersebut.

Studi baru itu memperlihatkan para ilmuwan mungkin bisa meneliti samudra lainnya guna mengukur dampak akibat ulah manusia, kata Hamlington.

“Jenis penelitian ini mungkin mulai mengungkapkan pola yang mungkin tidak kita duga,” katanya.[]

Sumber: antaranews.com

read more
Perubahan Iklim

Melindungi Hutan Taiga Mongolia

Perlindungan Taiga di Mongolia didukung lembaga bantuan Jerman. Proyek ini menyusun aksi bagi adaptasi perubahan iklim, termasuk menghasilkan tenaga ahli terdidik untuk mewujudkan program itu.

Mula-mula semua cabang pohon harus digergaji. Setelah itu Enkzaya menebang pohonnya.Teman-teman sekolahnya membantu perempuan berusia 27 tahun itu. Sejak seminggu lalu, mereka belajar memilih pohon mana yang harus ditebang, bagaimana membuat jalur pencegah kebakaran dan manajemen kehutanan.

Enkzaya Enkhbat, yang belajar perlindungan kehutanan menceritakan: “Bekerja di luar bagi saya amat menyenangkan. Menebang pohon tidak susah. Banyak yang berpendapat, pekerjaan semacam ini hanya untuk lelaki. Tapi saya juga mempelajari, kerja di hutan cocok bagi perempuan. Pasalnya, kerjanya bukan hanya menebang pohon, melainkan juga membersihkan hutan.”

Hutan itu berada di utara Mongolia, tepatnya di Provinsi Selenge, sejarak 200 Kilometer dari ibukota Ulan Bator. Di hutan untuk pelatihan ini tumbuh cemara, pinus dan berk. Beberapa bulan sekali, para siswa sekolah kehutanan dari Dsüüncharaa datang untuk praktik di sini.

Di pegunungan Selenge dimulai zona Taiga Siberia. Ini perbatasan zona bagian selatan, yang kini terus bergeser ke utara. Pelahan tapi pasti hutan di sini musnah. Penyebabnya antara lain: perubahan iklim. Akibat suhu yanng makin hangat, tanah Permafrost mencair. Kelembaban naik drastis, yang memicu busuknya akar dan dampaknya: pohon mati sedangkan fauna liar di hutan kehilangan habitatnya.

Enkzaya Enkhbat,menjelaskan, “Hutan di Mongolia amat indah, karena masih alami. Beragam flora dan fauna hidup di sini. Saya bahagia hidup di sini, dan tidak ingin tinggal di kota. Juga jika saya diberi kesempatan, ketimbang melihat kota, lebih baik mengunjungi seluruh hutan di Mongolia. Di kota saya tidak akan bahagia.”

Energi dari kayu?
Yang dimaksud kota oleh Enkzaya adalah ibukota Ulan Bator. Sekitar separuh dari total populasi 2,8 juta warga Mongolia hidup di ibukota. Semua warga di sini perlu kayu, sebagai sumber energi dan bahan baku pembuatan rumah. Ekonomi negara itu kini menggeliat.

Terutama industri bahan mentah yang mendorong konjungktur. Pertambangan emas misalnya, menggunakan air dalam jumlah besar untuk produksinya. Dampaknya: udara makin kering. Kebakaran hutan makin sering terjadi. Aktivitas manusia, menjadi penyebab berikutnya bagi musnahnya Taiga.[]

Sumber: dw.de

read more
Perubahan Iklim

Pulau-pulau Kecil Indonesia Terancam Tenggelam

Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati) mengatakan, keberadaan pulau-pulau kecil di Indonesia yang kaya potensi terancam perubahan iklim dan pemanfaatan yang merusak.

“Pemanasan global yang mengakibatkan cairnya es di kutub dan akhirnya membuat muka laut menjadi lebih tinggi dapat menenggelamkan pulau-pulau kecil di Indonesia,” kata Program Officer Ekosistem Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Yayasan Kehati Basuki Rahmad di Jakarta, Kamis (22/5).

Seperti diberitakan Antara, pemanasan global juga memberi dampak pada kerusakan terumbu karang yang sangat rentan pada perubahan suhu di laut.

Kondisi itu, katanya, diperburuk dengan kerusakan yang diakibatkan kegiatan manusia. Padahal proses pertumbuhan terumbu karang rata-rata satu sentimeter untuk setiap tahunnya. Jika kerusakan menimpa lima meter terumbu karang, maka pemulihannya bisa mencapai waktu 500 tahun.

Terumbu karang merupakan organisme yang sangat penting bagi pulau-pulau kecil sebagai benteng bagi pantai atau pulau dari gerusan arus laut. Jika tidak ada karang yang melindungi maka pengikisan pantai akan semakin cepat terjadi.

Selain itu, rusak atau hilangnya terumbu karang juga mempengaruhi produksi perikanan, sebab ikan melakukan pemijahan (mencampur jantan dan betina) di sekitar karang. Tanpa adanya karang, ikan-ikan ini akan pergi dan sulit untuk ditangkap.

Ancaman lain dari kegiatan manusia di antaranya reklamasi pantai serta berubahnya muka tanah di pulau-pulau kecil karena perkebunan dan pertambangan.

Selain itu, kata Basuki Rahmad, pulau-pulau kecil yang tersebar di seluruh Indonesia juga memiliki isu serius dari sisi kedaulatan negara. Masih banyak pulau-pulau berpenghuni yang belum mendapatkan perhatian serius dari pemerintah.

“Mereka merasa diambil sumberdayanya akan tetapi tidak mendapatkan imbal balik yang setimpal. Kekecewaan seperti ini tentunya mengancam kesatuan negara ini,” kata Basuki.

Bertepatan dengan Hari Keanekaragaman Hayati Dunia, 22 Mei 2014, Yayasan Kehati mengajak masyarakat Indonesia untuk peduli pada pulau-pulau kecil sesuai dengan tema tahun ini “island biodiversity”.

Sumber: merdeka.com

read more
Kebijakan Lingkungan

Pemerintahan Baru Diharapkan Beri Perhatian Lingkungan

Pemerintahan yang baru diharapkan dapat memberikan perhatian untuk melestarikan lingkungan. Selain itu pemerintah mendatang juga diminta mampu mendorong terciptanya usaha-usaha penyelenggaraan infrastruktur hijau di Indonesia.

“Pemerintah sekarang telah juga menerapkan beberapa kebijakan terhadap pelestarian lingkungan hidup dan perubahan iklim global‎. Indonesia bahkan telah menjadi tuan rumah penyelenggaraan Global Climate Change di tahun 2007 lalu, di Bali,” kata Mantan KSAD Pramono Edhie Wibowo, di Jakarta, Kamis (1/5/2014).

Lebih lanjut Pramono menuturkan bahwa atas peran sentral pengembangan infrastruktur terhadap usaha mensejahterakan masyarakat Indonesia. “Tidak juga perlu diperdebatkan lagi mengenai kapan dan siapa yang harus memelihara lingkungan dari ancaman kehancuran,” lanjutnya.

Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat ini menghimbau seluruh warga dunia wajib mengusahakan kemakmuran dan pelestarian lingkungan hidup.

Terkait pelaksanaan Green Infrastructure Summit & Conference, Pramono sangat mengapresiasi inisiatif yang dilakukan KADIN Pusat, Bidang Pengembangan ‎Infrastruktur.

“Kamar Dagang Indonesia menunjukan kepada kita semua atas komitmen dan tanggung jawabnya dalam pengembangan infrastruktur selama ini. Kini tanggung jawab tersebut dilanjutkan dengan komitmen pengembangan infra steuktur hijau. Sungguh sebuah langkah kemajuan besar dalam melanjutkan cita-cita bangsa untuk mensejahterakan rakyatnya,” ungkapnya. []

Sumber: okezone.com

read more
1 2 3 8
Page 1 of 8