close

pesisir

Kebijakan Lingkungan

Soal Wisata Bahari, Indonesia Bisa Belajar dari Malaysia

Konservasi pesisir dan sumber daya perairan bukan cuma bertujuan untuk menjaga keanekaragaman hayati laut namun juga mendukung perikanan berkelanjutan dan meningkatan perekonomian masyarakat dan negara secara lestari.

Demikian terungkap dalam diskusi ‘Sea Conservation & Safety Diving’ yang diselenggrakan Ecodiver Journalist di Jakarta, Sabtu (7/3/2015). Hadir dalam kesempatan tersebut Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan Kementerian Kelautan dan Perikanan Agus Darmawan, perwakilan Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu Yohanes Budoyo dan Runner up Miss Scuba International 2012 Yovita Ayu.

Menurut Agus, saat ini sekitar 55% dari hasil perikanan tangkap nasional berasal dari wilayah pesisir.

“Itu artinya kerusakan ekosistem di suatu wilayah pesisir akan berdampak penting terhadap masyarakat yang selama ini tergantung pada sumberdaya pesisir dan laut,” katanya.

Dia melanjutkan, perlindungan habitat dan ikan mampu menjaga keindahan dan kelestarian ekosistem bawah laut. Hal bisa menjadi daya tarik wisatawan, termasuk penyelam. Dalam perkembangannya kawasan tersebut bisa menjadi objek wisata pilihan yang berdampak pada perekonomian masyarakat sekitar.

Agus mengungkapkan, untuk mendorong pengelolaan ekeosistem pesisir dan laut berkelanjutan pemerintah mengembangkan model pengelolaan kawasan konservasi perairan terintegrasi. Sejak diinisiasi tahun 1980-an, kawasan konservasi perairan telah mencapai  16,5 Juta hektare atau sekitar 5% dari luas Perairan Laut Teritorial Indonesia

Sementara itu Yohanes menuturkan, pada kawasan konservasi laut dikembangkan sejumlah zona yang bertujuan untuk pengelolaan berkelanjutan. Diantaranya adalah zona inti yang ketat soal pemanfaatan dan zona pemanfaatan dimana peluang usaha masih terbuka.

Yohanes menuturkan, untuk kegiatan wisata yang dilaksanakan secara ramah lingkungan, seperti menyelam, relatif bisa dilakukan pada semua zona. Dia mengajak para penikmat wisata bahari agar turut berperan dalam konservasi laut demi kelestariannya.

Soal wisata bahari berkelanjutan, Indonesia bisa belajar banyak dari negeri jiran Malaysia. Menurut Yovita Ayu, demi mengonservasi terumbu karang dan ikan yang menjadi buruan para penyelam, Malaysia berani mengambil tindakan untuk  menutup total aktivitas yang merusak seperti yang dilakukan di Pulau Sipadan.

Pulau yang dulunya sempat menjadi objek sengketa dengan Indonesia itu kini berkembang menjadi salah satu tujuan utama penyelam dari seluruh dunia. “Malaysia menutup resor dan merubuhkan bangunan yang ada di sana. Pengunjung pun dibatasi dengan tiket masuk yang sangat mahal,” katanya.

Meski fasilitas terbatas, lanjut Yovita, minat pengunjung justru sangat tinggi. Mereka rela antre hingga setahun lamanya. “Sebab yang dicari penyelam bukan fasilitas resor yang mewah. Namun terumbu karang indah dan ikan-ikan yang beraneka ragam,” katanya. [rel]

read more
Kebijakan Lingkungan

Aktivis Pesisir Bahas Pemulihan Laut di Banda Aceh

Koalisi untuk Advokasi Laut Aceh (Jaringan KuALA) bekerja sama dengan Greenpeace Indonesia melaksanakan diskusi kelompok terfokus dengan tema Diskusi Kelompok Terfokus (FGD) Pembahasan Draft Rencana Pemulihan Laut Indonesia 2025 (Versi Maret 2014). Diskusi diikuti oleh puluhan aktivis lingkungan terutama yang bekerja dalam advkasi isu-isu pesisir, Jum’at (11/4/2014) di Banda Aceh.

Koordinator KuALA, Marzuki menyampaikan Indonesia adalah negara kepulauan sekaligus negara kelautan terbesar di dunia. Negara besar ini memiliki wilayah seluas 5,1 juta meter persegi dan tidak kurang dari 13.466 pulau termasuk 92 pula terluar yang membentuk garis dan halaman terdepan negeri yang megah dijuluk Nusantara.

Namun diibalik cerita megah tersebut, krisis besar dari tata-kelautan yang dijalankan selama ini sungguh kita rasakan. Bangsa ini secara serius telah menghadapi pengelolaan sumber daya laut yang tidak berkelanjutan dan arah pembangunan pesisir dan kelautan yang lebih berpihak terhadap modal dan investasi asing.

Kondisi aktual diatas ternyata adalah masalah klasik yang telah dihadapi jauh sebelum dan sejak Era Reformasi dimulai dari tahun 1998. Oleh karena itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang telah dibentuk sejak tahun 1999 sudah semestinya harus lebih serius dalam memastikan kepemimpinan, teladan dan keberpihakan dalam membangun kemandirian dan ketangguhan sektor kelautan dan perikanan di Indonesia.

Sementara aktivis Greenpeace, M. Ariefsyah mengatakan sejumlah organisasi masyarakat sipil dan individu, pada akhir Mei 2013 lalu di Benoa, Bali, telah mendeklarasikan dan menyerukan kepada Pemerintah Indonesia dan mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk mendukung terwujudnya Visi Bersama Kelautan Indonesia 2025.

Sebagai tindak lanjut pengawalan masyarakat sipil terhadap Visi #Laut2025, saat ini tengah disusun Peta-jalan Rencana Pemulihan Laut Indonesia 2015-2025 yang merupakan masukan dan hasil dari FGD masyarakat sipil di Denpasar Bali, pada tanggal 16 Oktober 2013 dan di Lombok Timur pada 19 Oktober 2013.

” Acara ini dilaksanakan guna membangun ruang-ruang kritis dalam pembahasan dan penyempurnaan Peta Jalan Laut 2025 serta terus menggerakkan semangat perbaikan terhadap tata-kelola kelautan dan perikanan di Indonesia termasuk Aceh,” ujar Ariefsyah.  []

read more
Ragam

Pengelolaan Kekayaan Laut Aceh Masih Rendah

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) membantu nelayan Aceh sebesar Rp 75 miliar untuk pengembangan sektor kelautan dan perikanan. Dana yang bersumber dari Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara diserahkan secara simbolis oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, Sharif Cici Sutardjo di Lampulo, Banda Aceh, Sabtu 8 Maret 2014.

Menurut menteri Sharif, bantuan itu untuk meningkatkan produksi, mutu hasil tangkapan, dan produktivitas nelayan dengan  menerapkan teknologi penangkapan yang ramah lingkungan. “Juga meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan nelayan dan daya saing nelayan Aceh,” ujarnya.

Bantuan yang diberikan untuk nelayan berupa 27 unit kapal Inkamina, bantuan program Perikanan Tangkap untuk 130 kelompok usaha bersama dan juga pembangunan Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Lampulo Banda Aceh.

Gubernur Aceh Zaini Abdullah mengatakan, meski Aceh dikelilingi kawasan perairan laut seluas 295 ribu kilometer persegi, namun pengelolaan sumber daya alam ini belum optimal. Potensi  perikanan laut Aceh yang diperkirakan mencapai 1,8 juta ton per tahun, baru bisa diproduksi 10 persen saja.

“Tidak heran jika kehidupan nelayan Aceh banyak yang berada di bawah garis kemiskinan,” kata Gubernur. Pemerintah Aceh dengan dukungan pusat juga terus mendorong produktivitas nelayan Aceh yang perkiraan jumlahnya mencapai 65.000 orang.

Kawasan perikanan Lampulo termasuk lokasi bisnis sangat strategis di Aceh. Selama dua bulan terakhir, produksi ikan yang didaratkan di Lampulo mencapai 70 ton pe hari dengan perputaran uang mencapai Rp 1,5 miliar per hari dan melibatkan 5.000 tenaga kerja.

“Kami berencana meningkatkan peran pelabuhan ini menjadi Internasional Fishing Port yang mampu menampung kapal perikanan berukuran diatas 100 Gross Ton,” ujar  Zaini.

Sumber: TGJ/tempo

read more
Ragam

Aceh Punya Aturan Adat Pengelolaan Laut

DR. Dedi Supridi Adhuri selaku pembicara dalam Diskusi Panel mengatakan sejak berabad-abad yang lalu, orang Aceh mengenal tradisi dan hukum adat laut yang disebut “Panglima Laot”. Pada intinya, tradisi ini terkait dengan kelompok adat yang disebut Mukim (federasi gampong desa) dengan unit wilayah kelola yang disebut Ihok (teluk).

“Pengelolaan masing-masing Ihok dipegang oleh lembaga ‘Panglina Laot’. Memang berbeda dengan tradisi petuanan di Maluku. Orang Aceh tidak mengklaim hak milik terhadap wilayah adat lautnya. Mereka menganggap bahwa laut adalah milik semua orang (umum), tetapi mereka mengklaim hak pengelolaan,” papar Dedi dalam diskusi panel.yang bertemakan “Interdependensi Masyarakat Maritim Dengan Lingkungan”, bersama Sony Keraf dan DR. Alan F.Koropitan, Ph.D sebagai pembicara di Asean Room Hotel Sultan, Jakarta, Sabtu (11/1/2013).

Dedi mengungkapkan, menurut adat warga Aceh, setiap orang yang menangkap ikan atau sumberdaya laut lain di wilayah adat laut mereka harus tunduk pada aturan-aturan adat dan Panglima Laot dari lhok yang bersangkutan. Aturan-aturan adat laot bervariasi di tiap Ihok. “Aturan itu bisa dilihat dengan contoh dari praktik hak ulayat dan pengelolaan di dua Ihok, yaitu Lhok Kruet di Aceh Jaya dan Lhok Je Meule di Sabang,” tuturnya.[]

Sumber: pikiranrakyat.com

read more
Ragam

Koperasi Dorong Nelayan Mandiri dan Patuh Zonasi

Di Taman Nasional (TN) Komodo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, koperasi bukan hanya berfungsi sebagai lembaga keuangan yang mengurusi simpan pinjam anggota. Koperasi juga digunakan untuk mendorong kepatuhan nelayan terhadap aturan zonasi TN.

Koperasi Kredit (Kopdit) Nelayan Padakauang yang berdiri 11 Juli 2013 atas inisiatif sekelompok nelayan di Desa Pasir Panjang, Pulau Rinca, yang didampingi Staf Balai TN Komodo, Devi Opat, mewajibkan anggotanya untuk menaati aturan zonasi.

Di dalam aturan Koperasi Padakauang disebutkan bahwa anggota hanya boleh menangkap ikan di Zona Pemanfaatan Tradisional Baharí dan Zona Khusus Pelagis TN Komodo dengan alat tangkap ramah lingkungan. Jika ada yang melanggar maka keanggotaannya akan dicabut.

Ide pembentukan kopdit berawal dari keinginan nelayan di salah satu pulau terbesar di TN Komodo ini untuk membangun kemandirian keuangan, sekaligus memutus mata rantai tengkulak. Nelayan Rinca, sejumlah 671 dari 969 total jiwa yang tinggal di Pulau Rinca, selama bertahun-tahun bergantung pada tengkulak untuk mendapatkan modal melaut.

Tengkulak meminjamkan modal untuk membeli bahan bakar dan logistik lainnya untuk mencari ikan. Ikatan modal ini yang membuat nelayan harus menjual hasil tangkapan mereka pada tengkulak, meskipun harga beli yang ditawarkan jauh dibawah harga pasar.

Akibatnya demi mencukupi kebutuhan keluarga, nelayan semakin menguras sumber daya lautnya dan nekat mencari ikan di zona yang tidak diperuntukkan untuk kegiatan penangkapan.

TN Komodo selain terkenal sebagai hábitat Komodo, juga memiliki perairan laut dengan keanekaragaman yang tinggi. Sebesar 70% dari luas total 173.000 hektar TN Komodo merupakan perairan laut. Terdapat lebih dari 1000 jenis ikan, 260 jenis karang dan 70 jenis bunga karang . Tak heran kalau TN Komodo dikukuhkan sebagai Cagar Biosfer pada 1977 dan Situs Warisan Dunia pada 1991.

Laut di TN Komodo juga menjadi lahan pencaharian utama bagi masyarakat di dalam kawasan. Berdasarkan data statistik penduduk tahun 2011, ada 4226 jiwa yang berdiam di dalam kawasan TN. Sebanyak 90% dari masyarakat merupakan nelayan yang menggantungkan hidup dari hasil menangkap cumi dan ikan pelagis kecil.

“Potensi perikanan di perairan TN Komodo sangat besar. Terutama kerapu, kakap, napoleon, tuna, cakalang, baronang, lobster, udang dan lainnya. Potensi ini selalu menggoda nelayan berburu ikan di perairan TN Komodo.”  kata Ir. Sustyo Iriyono M.Si. Kepala  Balai TN Komodo.

Ancaman terbesar bagi kawasan ini adalah penangkapan ikan secara merusak dan penangkapan ikan di zona yang tidak semestinya. Pengamanan kawasan dan penguatan komunitas mutlak diperlukan agar sumber daya laut di TN Komodo ini dapat terus terjaga. Kopdit Padakauang merupakan salah satu pendekatan yang difasilitasi oleh Balai Taman Nasional Komodo untuk mendorong hal ini.

“Koperasi Kredit Padakauang ini merupakan program bersama antara Balai TN Komodo, Rare dan masyarakat. Namun masyarakat yang bergerak menghidupkan koperasi untuk mengumpulkan dan memanfaatkan modal bersama supaya lebih sejahtera dan semakin sadar untuk mematuhi peraturan zonasi TN Komodo. Balai TN Komodo akan membantu menyebarluaskan informasi tentang koperasi ini ke lokasi-lokasi lain di dalam kawasan TN Komodo supaya semakin banyak nelayan yang menjadi anggota koperasi dan merasakan manfaatnya”, ungkap Ir. Sustyo Iriyono M.Si. Kepala  Balai TN Komodo.

Kopdit Padakauang yang dalam Bahasa Bajo berarti kebersamaan untuk mencapai cita-cita ini diharapkan juga dapat membangun kemandirian nelayan.

Modal yang dikumpulkan dalam koperasi ini semua berasal dari anggota. Tidak ada bantuan modal dari pihak luar. Nelayan mesti menyisihkan pendapatan mereka untuk disimpan di koperasi. Hingga November 2013, modal yang terkumpul sebesar Rp 32,8 juta dari 27 anggota koperasi. Tidak mudah memang, apalagi karena sebagian besar nelayan berasal dari rumah tangga miskin.

“Koperasi Kredit Padakauang merupakan wadah yang sesuai dan bermanfaat bagi kebutuhan masyarakat nelayan Rinca. Terima kasih untuk Balai TN Komodo dan Rare yang telah membantu kami mendirikan Kopdit Padakauang.

Melalui koperasi, masyarakat dapat meningkatkan budaya menabung dan memanfaatkan modal usaha yang ada. Setidaknya nelayan Rinca dapat mandiri dalam suatu wadah koperasi, tanpa harus menunggu bantuan dari pihak luar. Keberadaan kantornya dekat. Pengurus koperasi juga masyarakat Rinca sendiri. Pola kebijakan koperasi ditentukan melalui rapat pengurus.” tutur Ibrahim Hamso, Sekretaris Desa Pasir Panjang, Kampung Rinca.

Pengawas, pengurus dan pengelola Kopdit yang semuanya merupakan masyarakat asli Rinca bertekad mengajak lebih banyak nelayan untuk bergabung menjadi anggota. Jika modal yang terkumpul sudah cukup banyak, nelayan tidak perlu lagi meminjam modal pada tengkulak.

Mereka juga bisa bebas menjual hasil tangkapan ikan mereka, mendapatkan hasil yang memadai tanpa perlu melanggar aturan TN. Kesulitan hidup dan akses menuju pulau lain di dalam TN yang cukup menantang tidak menyurutkan niat pionir koperasi ini. Segala upaya dilakukan demi kualitas hidup yang lebih baik dan menjaga laut di TN Komodo yang menjadi sumber penghidupan mereka.[]

Sumber: hijauku.com

read more
Perubahan Iklim

Ini yang Terjadi di Indonesia bila Es Kutub Meleleh

Es di kutub utara dan selatan mencakup 10 persen dari permukaan Bumi. Jumlah es diperkirakan mencapai 5 miliar kubik. Apa yang terjadi pada dunia, khususnya Indonesia, bila seluruh es tersebut meleleh?

National Geographic membuat sebuah peta interaktif. Peta memperlihatkan bahwa ketika seluruh es meleleh, permukaan laut akan semakin tinggi, banyak daratan hilang, pegunungan jadi pulau, dan manusia bakal merugi.

Di peta wilayah Asia, bisa dilihat dampak melelehnya es kutub pada Indonesia. Terlihat, garis pantai lebih menjorok ke
dalam. Artinya, daratan Indonesia akan berkurang secara signifikan dan berubah menjadi lautan. Dapat dilihat pula, wilayah laut Indonesia menjadi lebih “bersih”. Artinya, banyak pulau-pulau di Indonesia yang akan hilang tenggelam. Wilayah Kalimantan sendiri akan kehilangan banyak daratan, membuat Indonesia kehilangan banyak wilayah hutan.

Dampak yang bisa dibayangkan, banyak spesies eksotik di Indonesia, seperti harimau sumatera, orangutan sumatera dan Kalimantan, serta banyak lagi, akan terganggu. Banyak masyarakat adat yang bergantung pada hutan akan semakin sulit untuk hidup.

Peta juga memperkirakan apa yang akan terjadi pada wilayah Asia lain. Delta Sungai Mekong akan tergenang. Dampaknya, wilayah China, India, dan Banglades akan banjir. Sebanyak 760 juta populasi, berdasarkan hitungan saat ini, akan dirugikan.

Di wilayah Eropa, diperlihatkan bahwa dengan melelehnya seluruh es, London hanya akan menjadi kenangan. Begitu juga dengan Venesia, Belanda, dan Denmark. Di Amerika Utara, dampaknya ialah wilayah San Francisco yang akan menjadi kluster pulau.

Ilmuwan memperkirakan, mungkin butuh waktu lebih dari 5.000 tahun bagi semua es untuk meleleh. Namun, bila manusia terus memakai bahan bakar fosil dan beraktivitas seperti biasa hingga menambahkan triliunan ton karbon ke atmosfer, Bumi akan makin panas dan es meleleh cepat.

Bumi terakhir mengalami masa yang sangat panas dan bebas es pada 34 juta tahun lalu, zaman Eocene. Jika gas rumah kaca di atmosfer terus bertambah, bukan tidak mungkin masa itu terulang kembali.

Untuk wilayah Antartika Barat saja, sejak tahun 1992, es sudah meleleh. Laporan National Geographic menyatakan bahwa jumlah es yang meleleh sekitar 65 juta metrik ton. Es di Greenland juga dilaporkan meleleh signifikan.

Sumber : National Geographic

read more
Tajuk Lingkungan

Pesisir Kita

Apa yang terbayang jika kalimat pesisir dibentangkan di hadapan Anda? Ikan, pantai, terumbu karang, hutan mangrove, nelayan, abrasi, bakau, dan sebagainya. Semuanya merupakan identitas khas yang terdapat di daerah pesisir. Begitu banyak ragamnya, begitu kayanya sumber daya alam yang terdapat di pesisir. Tapi apakah kekayaan alam ini berbanding lurus dengan kesejahteraan manusia yang tinggal di dalamnya.

Kita merenung ketika menyadari bahwa dua hal yang disebutkan di atas ternyata berbanding terbalik. Kok bisa ya? Mungkin itu pertanyaan yang muncul dari mulut orang awam. Tetapi bagi para aktivis lingkungan terutama yang bergerak pada isu-isu pesisir hal ini sudah bisa dipahami melalui berbagai macam kajian. Ada banyak benang kusut persoalan yang melilit masyarakat pesisir kita. Cara mengurainya pun bukanlah hal yang mudah, walau demikian bukan berarti itu mission impossible. Masih ada secercah harapan.

Sebut saja satu hal yang membuat kehidupan masyarakat pesisir semakin terpuruk ke jurang kemiskinan. Dia adalah Undang-Undang (UU) No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (PWP-PPK). Peraturan tersebut mengatur mengenai Hak Penguasaan Perairan Pesisir (HP3). Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) bersama delapan LSM dan 18 perwakilan perwakilan nelayan se-Indonesia mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi atas UU tersebut.

Kelompok masyarakat sipil ini menilai UU tersebut sangat membahayakan bagi masyarakat karena memberikan peluang kepada swasta untuk menguasai pesisir. Kedaulatan masyarakat pun terancam hilang, kesempatan mencari nafkah ditempat sendiri yang telah dilakoni selama berpuluh tahun bisa hilang.

Akhirnya setelah selama 18 bulan berjuang, Mahkamah Konstitusi (MK), mengabulkan gugatan tersebut dengan memutuskan pasal-pasal yang memuat HP3 terbukti bertentangan dengan konstitusi. Putusan tersebut juga akan menggugurkan peraturan daerah (Qanun) pengelolaan pesisir dan pulau kecil di 33 provinsi termasuk tingkat kabupaten.

Perjuangan yang melelahkan ini membuahkan hasil yang manis tentu saja berkat dukungan dari semua pihak. Apalagi telah diketahui secara umum, gugatan yang diajukan oleh masyarakat sipil biasanya selalu saja mentok alias kalah dalam meja hijau. Kemenangan ini telah membangkitkan kembali semangat aktivis untuk terus berjuang mencari keadilan.

Keadilan pesisir harus dicari dan diterapkan kepada masyarakat. Tidak ada keadilan yang datang begitu saja. Masyarakat pesisir yang tinggal di tengah-tengah kekayaan alam yang begitu besar sudah saatnya menjadi pemegang kedaulatan. Mereka harus berdaya dan ini sangat penting agar mereka sendiri dapat memelihara kehidupan pesisir dengan baik.

read more
Ragam

Dukung Film Lingkungan “Hikayat dari Ujung Pesisir”

Dua sineas muda Aceh lolos ke kompetisi bergengsi Eagle Award Documentary Competition yang diselenggarakan oleh stasiun Metro TV, Cut Evida Diana dan Darang Melati beberapa waktu lalu. Karya film keduanya berjudul “Hikayat dari Ujung Pesisir” yang mengisahkan tentang kondisi memprihatinkan masyarakat pesisir dan perjuangan mereka dalam meraih masa depan mereka yang sangat bergantung pada laut. Film dokumenter lingkungan ini berdurasi 20 menit dan berlokasi di Pulau Bunta dan Ujung Pancu Aceh Besar.

Cut Ervida Diana kepada wartawan, Jumat (25/10/2013) mengatakan film dokumenter ini menyampaikan aspirasi masyarakat pesisir dan merespon isu-isu terkini tentang ke-Indonesian. “Ini juga menjadi catatan sejarah secara visual,” kata Cut Ervida Diana. Kompetisi ini merupakan ajang kompetisi dokumenter pemula bagi anak-anak kreatif dari kalangan mahasiswa.

Film dokumenter ini telah diputar di jaringan bioskop XXI di 10 kota besar di Indonesia dan akan di tayangkan pertama kali di Metro TV pada hari Senin tanggal 28 oktober 2013, pukul 21:30 WIB.

” Dukungan dari seluruh masyarakat Aceh sangat membantu agar film ini memenangkan nominasi film terfavorit di ajang Eagle Award,” kata Cut Evida. Ia memohon dukungan dari masyarakat Aceh dan para pecinta lingkungan.

Dukungan dapat diberikan  dengan mengirimkan SMS, ketik EA (spasi) HIKAYAT  kirim ke 9189.

Berikut profil singkat kedua pembuat film Hikayat dari Ujung Pesisir:

Cut Ervida Diana

Cut Ervida Diana, lahir di Sigli 31 Desember 1990, putri pertama dari pasangan Teuku Anwar dan Cut Darmawati. Mahasiswi FKIP Bahasa Inggris Universitas Syiah Kuala angakatan 2009 dan juga mahasiswi jurusan Syariah IAIN Arraniry Banda Aceh angkatan 2008. Ketertarikannya dalam hal lingkungan hidup membuat dia terlibat aktif mengikuti  sejumlah kegiatan dan even lingkungan di Aceh diantaranya KOPHI (Koalisi Pemuda Hijau Indonesia) 2012, BLP community (Bridging Leadership Program) 2010, dan ia merupakan koordinator Sahabat WALHI (SAWA) 2012-2013. selain terlibat dalam komunitas peduli lingkungan ia juga pengajar Bahasa Inggris pada siswa homeschooling dan siswa SMA.

Motivasinya mengikuti Eagle Award adalah mengaktualisasi diri untuk belajar dan berkarya  agar memberikan banyak manfaat terhadap seluruh masyarakat luas.

 

 

Darang Melati Z,

Darang Melati Z, lahir  di Banda Aceh 29 Februari 1992, anak kedua dari pasangan Zainuddin dan Cut Ubit. Mahasiswa FKIP Bahasa Inggris Universitas Syiah Kuala. Ketertarikannya terhadap isu lingkungan dan hal-hal sosial membuatnya ingin menjadi sineas muda. Dengan motto hidup “aku pasti bisa, kalo aku pikir aku bisa”, Ia menjadi orang yang selalu berusaha untuk mencapai apa keinginannya dan tujuannya yang ingin dicapai.

Motivasinya mengikuti Aagle adalah ketertarikannya akan film dokumenter, sehingga ia menganggap Eagle adalah ajang dimana bisa menjadi anak muda berprestasi.  ia mengganggap Eagle bisa menjadi tempat berkreasi dan memberi dampak positif bagi masyarakat banyak. [rel]

Sumber: eagleawards-doc.com

read more