close

plastik

Green Style

YEL Dukung Sedotan Alami Harray, dari Hutan Hadabuan Hill

Penelitian Jenna R. Jambeck dari University of Georgia, pada 2010, ada 275 juta ton sampah plastik di seluruh dunia, sekitar 4,8-12,7 juta ton terbuang dan mencemari laut. Setiap tahun, Indonesia menghasikkan 3,22 juta ton sampah plastik, sekitar 0,48-1,29 juta ton dari sampah plastik mencemari lautan.

Kampanye dari berbagai pihak mengajak stop menggunakan plastik sekali pakai mulai bergaung. Tidak sedikit pula yang membuat terobosan baru, seperti menggantikan bahan dari plastik dengan bahan ramah lingkungan.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan Sumatera Utara merupakan produsen sampah terbesar ketiga di Indonesia setelah Jakarta dan Jawa Timur.

Baru-baru ini Yayasan Ekosistem Lestari–Sumatran Orangutan Conservation Program (YEL-SOCP) memiliki ide memproduksi bambu sebagai peganti pipet plastik sekali pakai.

Di Labuhanbatu Utara, Sumut, ide mengurangi penggunaan plastik sekali pakai juga jalan. Salah satunya oleh pegiat lingkungan dan perlindungan harimau Sumatera, Sumatran Tiger Rangers. Lembaga ini menemukan tumbuhan unik menyerupai bambu, pengganti sedotan plastik.

Direktur Sumatran Tiger Rangers, Harray Sam Munthe, memiliki ide membuat sedotan dari tumbuhan menyerupai bambu yang hidup di hutan Hadabuan Hill.

Harray menceritakan, tumbuhan yang bisa jadi pengganti sedotan plastik ini, banyak ditemukan di perbukitan Hadabuan Hill, dengan ketinggian 800 Mdpl. Tumbuhan ini dia temukan saat patroli dan penyisiran jerat harimau di hutan Labuhan Batu Utara.

Bentuk seperti rumput dengan panjang pangkal hingga pucuk memiliki ukuran sama, antara satu hingga satu setengah meter, dan lebar daun sekitar 20-30 cm. Selain ukuran sama dari pangkal hingga pucuk, tumbuhan ini juga akan mati kalau tumbuh tegak sempurna. Usia tumbuh sekitar satu hingga dua bulan.

Saat ini, kata Harray, setidaknya ada delapan hektar luas area dimana tanaman ini tumbuh liar dalam hutan tetapi di luar hutan lindung.

“Jika tumbuhan mirip bambu ini diproduksi untuk menggantikan sedotan dan kebutuhan lain pengganti plastik sekali pakai, akan sangat berguna sekali. Ini salah satu alternatif menekan limbah plastik,” katanya.

Dia sudah uji coba bikin sedotan, lumayan bertahan lama dan tak alami penjamuran. Mereka sudah eksperimen dengan merendam tumbuhan menyerupai bambu ini selama sepekan. Tak ada perubahan bentuk, tak mengerut, tidak layu, tetap kokoh.

“Tumbuh cepat, banyak di alam, menekan penggunaan pipet plastik, alam bisa diselamatkan dari limbah plastik sekali pakai. Kalaupun dipakai sekali, bisa memuai dengan cepat, hitungan hari atau bisa dibakar pengganti bahan bakar. Ini cocok sekali,” katanya. Dia pun memberi nama sedotan ini, pipet Harray.

Untuk mengkampanyekan pakai pipet ramah lingkungan, Harray bersama tim bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Target mereka, rumah makan, restoran, tempat anak muda berkumpul, lembaga pemerintahan, dan non pemerintahan. “Siapa saja yang datang ke ekowisata Hadabuan Hill, akan mendapatkan pipet Harray secara gratis.”

Mereka sudah bagikan 700 pipet Harray. Komunitas sepeda motor juga mereka bagikan pipet Harray ini. Sepekan setelah dibagikan, mereka lakukan pemantauan apakah pipet masih terpakai atau tidak. Ternyata, hampir 93% masih menggunakan.

Raja Rambe, pemuda yang aktif berkampanye lingkungan di Labuhanbatu Utara mengatakan, pipet ini bentuk unik, dan gampang dibawa kemana saja.

“Ukuran kecil, bisa disimpan di saku maupun di tas pinggang, juga tahan lama.”

I Putu Gede Parlida, peneliti tumbuhan jenis rumputan mengatakan, banyak melihat tanaman itu di dataran tinggi Sumatera seperti Toba. Untuk memastikan jenis, perlu spesimen agar bisa dipastikan jenis tumbuhan itu. Dugaan sementara, itu jenis rumput-rumputan.

“Jika melihat bentuk, saya duga itu bukan bambu. Melihat buluh silinder berlumen, kuat dugaan itu sejenis rumput-rumputan. Tapi, sekali lagi, saya perlu spesimen untuk menyakinkan,” katanya.

Menurut dia, tidak semua jenis rerumputan bisa jadi sedotan. Ada yang berlumen sempit atau malah buluh tidak keras. Selama tak jamuran, aman digunakan.

Dia menyarankan, sebelum dipakai sebaiknya cuci terlebih dahulu bagian luar dan dalam dengan sikat khusus.

Dia setuju penggunaan bahan dari tumbuh-tumbuhan sebagai pengganti pipet plastik sekali pakai, asal jangan mengeksploitasi secara berlebihan. “Alangkah bagusnya tumbuhan itu dibudidaya jika ingin dimanfaatkan.”

Sumber: mongabay.com

read more
EnergiGreen StyleSains

Riset: Sampah Organik Banyak Mengandung Mikro Plastik

Sampah organik dari rumah tangga sering kali bercampur dengan plastik sehingga berkontribusi pada pencemaran lingkungan. Masyarakat sering memanfaatkan sampah organik untuk menghasilkan biogas dan mengolahnya menjadi pupuk organik. Partikel plastik kecil yang terdapat dalam pupuk ini dapat masuk ke tanah dan air. Hal ini diungkapkan oleh sebuah penelitian di Universitas Bayreuth yang telah dipublikasikan dalam jurnal ilmiah.
Penelitian ini merupakan hasil kerjasama antar disiplin di bawah kepemimpinan Prof. Dr. Ruth Freitag (ahli proses bioteknologi) dan Prof Dr Christian Laforsch (ahli ekologi hewan). Mereka meneliti sumber biogas yang berbeda untuk mencari tahu, antara lain, bagaimana sumber sampah organik dan teknologi pemrosesan yang dipilih serta pengaruh mesin yang berdampak pada kandungan plastik dari pupuk yang dihasilkan.

Ketika sebagian besar sampah organik berasal dari rumah tangga pribadi, jumlah partikel plastik yang dikandungnya sangat tinggi. Partikel-partikel biasanya terbuat dari polystyrene atau polietilena – bahan yang biasanya digunakan dalam kemasan kelontong dan barang konsumen lainnya. Sebagian besar partikel dapat diidentifikasi sebagai bagian dari kantong, paket, dan kontainer lain yang dibuang di tempat sampah organik karena kebiasaan memilah yang kurang bagus. Bahkan jika residu dari fermentasi secara hati-hati disaring, partikel plastik dengan diameter kurang dari beberapa milimeter masih dapat ditemukan dalam pupuk.

Pabrik biogas yang hanya memanfaatkan limbah organik dari industri dan perdagangan, bagaimanapun, menunjukkan proporsi poliester yang sangat tinggi. Dalam banyak kasus, plastik ini tampaknya berasal dari wadah dan bahan pelindung yang digunakan untuk mengemas dan mengangkut buah-buahan dan sayuran.

Situasinya benar-benar berbeda dalam fasilitas yang hanya menggunakan sisa tanaman untuk menghasilkan biogas. Dalam tanaman itu, para peneliti dari Universitas Bayreuth tidak dapat menemukan partikel-partikel plastik di residu fermentasi atau hanya sangat sedikit. Situasinya mirip dengan fasilitas yang menghasilkan gas mereka dari limbah kotoran. Dalam biogas yang berasal tumbuhan, partikel plastik hanya ditemukan sesekali (jika ada).

Namun, penelitian juga menunjukkan bahwa kandungan plastik dalam pupuk tidak hanya ditentukan oleh asal sampah organik. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi tingkat dan jenis kontaminasi untuk sebagian besar adalah pengolahan limbah sebelum fermentasi dan pengolahan lebih lanjut dari residu fermentasi.

“Usaha memilah benda asing seperti plastik, logam, atau gelas dari sampah organik sebelum fermentasi harus dilakukan. Tentu saja, akan lebih baik untuk tidak membiarkan mereka masuk ke dalam sampah organik, ”jelas Prof Dr Ruth Freitag. “Sampah organik adalah sumber daya penting dalam ekonomi daur ulang, yang layak untuk dilakukan secara intensif sekarang dan di masa depan. Studi kami menunjukkan bahwa kontaminasi partikel-partikel mikroplastik sebagian besar dapat dicegah, tetapi ini mengharuskan anggota masyarakat dan operator pabrik untuk bertindak secara bertanggung jawab, ”kata Prof. Freitag.

Meningkatnya pencemaran lingkungan karena plastik telah menjadi prioritas penelitian di Universitas Bayreuth selama bertahun-tahun. Sebagai contoh, sekelompok peneliti yang dipimpin oleh ahli ekologi Prof Dr Christian Laforsch telah melakukan penyelidikan rinci mengenai pencemaran mikroplastik di sungai dan danau di Jerman. “Untuk mengungkapkan konsekuensi dari perkembangan yang mengkhawatirkan ini dan untuk dapat merespon dengan langkah-langkah yang sesuai, pertama-tama kita perlu mengetahui bagaimana partikel-partikel plastik masuk ke dalam ekosistem. Ini juga salah satu pertanyaan awal dalam studi baru kami tentang pupuk organik yang terbuat dari sampah organik. Temuan jelas menunjukkan bahwa anggota masyarakat, di rumah mereka dan lingkungan komunal, dapat memberikan kontribusi untuk konservasi dan ekonomi daur ulang ekologis, ”Laforsch menekankan.

Studi baru hanya mempertimbangkan partikel mikroplastik yang berukuran 1 sampai 5 mm. Partikel yang lebih kecil tidak dipelajari, meskipun mereka mungkin juga terdapat dalam kontaminasi sampah organik. Berdasarkan data yang dikumpulkan, satu ton kompos limbah rumah tangga dan industri mengandung antara 7.000 hingga 440.000 partikel mikroplastik. Mempertimbangkan lima juta ton kompos yang diproduksi di Jerman setiap tahun, beberapa miliar partikel mikroplastik dilepas ke lingkungan dengan cara ini.

Sumber: www.uni-bayreuth.de

read more
Ragam

Gawat, Mainan Asah Otak Mengandung Kimia Berbahaya

Jakarta, Indonesia/Firenze, Italia – Beberapa mainan yang dirancang untuk melatih kecerdasan otak kemungkinan mengandung bahan kimia beracun yang berasal dari limbah elektronik daur ulang, yang dapat merusak sistem saraf pusat dan mengurangi kapasitas intelektual anak-anak. BaliFokus, sebuah LSM advokasi yang menaruh perhatian pada penanganan bahan kimia dan limbah, mengumumkan hasil observasi ini sebagai bagian dari rilis hasil survei global kandungan bahan kimia beracun dalam mainan asah otak pada Scientific Conference on Persistent Organic Pollutants ( POPs ), konferensi ilmiah tentang polutan organik yang persisten di Firenze, Italia minggu ini.

Penelitian, yang dilakukan oleh IPEN ( jaringan masyarakat sipil global yang mempromosikan kebijakan dan praktik kimia yang aman) dan Arnika (sebuah organisasi lingkungan di Republik Ceko) menunjukkan bahwa sampel mainan berbentuk kubus seperti Rubik dari 16 negara, termasuk Indonesia (yang diambil dari Jakarta dan Bali), mengandung kimia  polybrominated diphenyl ethers (PBDEs) yang disebut OctaBDE dan/atau DecaBDE. Kedua zat kimia ini, OctaBDE dan DecaBDE, merupakan kimiawi brominated flame retardant yang banyak digunakan pada casing atau selubung plastik produk elektronik. Zat kimia ini diketahui dapat mengganggu sistem hormon, berdampak negatif perkembangan sistem saraf dan kecerdasan anak.

Tiga dari 17 sampel  mainan kubus Rubik yang dibeli BaliFokus dari pengecer di Jakarta dan Bali yang dikirim ke Republik Ceko dianalisis di laboratorium, ternyata mengandung kadar OctaBDE dan/atau DecaBDE dengan jumlah yang signifikan. Sampel yang diuji dari Indonesia berada dalam konsentrasi PBDEs rata-rata diantara 47 sampel dari 16 negara, termasuk sampel yang berasal Uni Eropa, negara-negara Eropa Timur dan Asia Tenggara.

Dari 41 sampel mainan kubus  dan enam sampel tambahan (thermo cup, jepit rambut, hand band, skateboard jari, mainan robot dan tongkat hoki), 40 sampel (85%) mengandung OctaBDE pada konsentrasi berkisar 1-108 bagian per juta (ppm), sedangkan 42 sampel (89%) mengandung DecaBDE, bahan kimia beracun yang biasa ditemukan dalam limbah elektronik, antara 1 sampai dengan 293 ppm.

OctaBDE sudah dilarang dalam Konvensi Stockholm, konvensi tentang polutan organik yang persisten, yang merupakan perjanjian kimia internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 2009, sementara DecaBDE diharapkan akan dilarang pada pertemuan POPs Review Committee pada bulan September 2016.

“Mainan puzzle mirip dengan kubus Rubik seharusnya menambah kecerdasan anak, namun keberadaan brominated flame retardant dari daur ulang sampah elektronik (e-waste) menciptakan dampak yang berlawanan pada anak-anak yang bermain dengan rubik tsb. Daur ulang sampah elektronik dapat menghemat sumber daya dan energi, tetapi harus dilakukan dengan cara benar dan baik agar tidak mengembalikan zat kimia berbahaya  kembali ke alur perdagangan, yang dapat mengancam kesehatan manusia dan lingkungan,” jelas Jitka Strakova, Koordinator survei dari Arnika.

“Temuan kami terkait bahan kimia yang telah dilarang penggunaannya yang berasal dari sampah elektronik  dalam produk konsumen yang umum, seperti mainan kubus mirip Rubik ini mungkin hanya puncak dari gunung es. Mengingat peraturan keamanan bahan kimia di Indonesia dan beberapa negara berkembang belum memadai, ada kemungkinan zat-zat beracun didaur-ulang menjadi berbagai produk yang tidak disadari dan tidak diketahui oleh konsumen,” kata Sonia Buftheim, Toxics Program Officer BaliFokus.

“Untuk kesehatan anak-anak dan pekerja, kami mendesak para pembuat kebijakan untuk menetapkan bahwa tidak ada pengecualian untuk daur ulang polutan organik yang persisten seperti OctaBDE dan DecaBDE. Daur ulang yang kotor ini, sering terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, menyebarkan racun di fasilitas tempat daur ulang, di rumah konsumen dan dalam tubuh kita,” ujarnya lebih lanjut.

Pada tahun 2009, PentaBDE dan OctaBDE telah masuk daftar kimia yang disepakati untuk dieliminasi secara global dalam Konvensi Stockholm namun perjanjian masih memungkinkan daur-ulang material yang mengandung bahan kimia beracun tersebut hingga tahun 2030.

“Selama kita mengizinkan pengecualian bahan yang didaur-ulang, kita tidak akan dapat mengontrol aliran flame retardants yang berbahaya ini,” kata Joe DiGangi, Penasihat Senior IPEN di bidang Sains dan Teknis.[]

read more
Green Style

Meluruskan Mitos Plastik Biodegradable

Tahun-tahun belakangan ini muncul produk kantong plastik yang diklaim dapat terurai dengan sendirinya di alam (biodegradable). Produk ini semakin meluas pemakaiannya oleh konsumen di berbagai negara. Biasanya di kantong plastik ini sendiri tertulis kalimat biodegradable, walaupun masih banyak yang tidak memahami maksud dari kalimat itu. Namun pertanyaannya adalah apakah plastik itu benar-benar terurai secara alami? 

Konsumen perlu memahami apa itu Plastic  Biodegradable (PB) agar benar-benar dapat membuat keputusan berkelanjutan. Iklan pemasaran produk PB telah “mengacaukan”, membuat banyak konsumen percaya bahwa produk plastik yang mereka beli lebih ramah lingkungan daripada yang sebenarnya. Sebenarnya tidak demikian adanya. Sejumlah kekeliruan pemahaman telah menghinggapi masyarakat. 

Istilah “Biodegradable”
Biodegradable bukan didefinisikan oleh dari mana bahan bersumber tetapi dengan komposisi bahan itu sendiri. Saat ini, pasar didominasi oleh plastik yang berasal dari petroleum tahan lama, biasanya diidentifikasi oleh nomor identifikasi resin 1 sampai 7. Secara umum (masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahan materi sendiri), plastik ini disintesis karena fleksibilitas dan kekuatan mereka dan daya tahan terhadap pelapukan alami, suatu keharusan dalam banyak produk dan kemasan produk. Hal ini berlaku untuk banyak polimer berbasis bio saat ini.

Sifat yang diinginkan tersebut menghasilkan plastik sangat halus dengan panjang rantai polimer kompleks yang sangat tahan terhadap degradasi alam (seperti oleh mikroorganisme). Sebagian besar plastik di pasar saat ini tidak biodegradable, bahkan bahan yang bersumber dari biomassa terbarukan sendiri.

Tapi bagaimana dengan plastik yang diberi label oleh produsen sebagai biodegradable? Klaim biodegradabilitas biasanya tidak diikuti dengan petunjuk eksplisit tentang bagaimana membuat plastik ini terurai, atau bagaimana biodegradable plastik sebenarnya.

Misalnya, poliasamlaktat (PLA) adalah salah satu yang paling umum disebut bioplastik yang “biodegradable” yang digunakan saat ini. PLA terbuat dari jagung, jadi orang menganggap itu hanya seperti batang jagung yang dibiarkan di lingkungan. Jelas ini tidak terjadi. Hanya jika PLA terkena suhu dan kelembaban kondisi yang tepat (seperti dalam komposter industri) massa PLA akan berkurang seiring waktu berjalan. Tapi jangan berharap PLA akan terurai di halaman belakang anda seperti kompos.

Bioplastik sering digabungkan dengan biodegradasi hanya karena fakta bahwa mereka bersumber dari biomassa terbarukan. Bahkan, sebagian besar plastik “hijau” di pasar tidak mudah terurai. Sebagian besar memerlukan pengolahan di fasilitas pengomposan industri di mana suhu, kelembaban dan paparan sinar UV dapat diatur secara ketat. Bahkan dalam fasilitas tersebut, beberapa plastik biodegradable dapat memakan waktu hingga satu tahun untuk diproses sepenuhnya. Lihat bagaimana label “biodegradable” ternyata agak menyesatkan?

Bahkan jika biodegradabilitas dari plastik itu sendiri tidak masalah, kita daur ulang, infrastruktur masih kurang siap untuk benar-benar mengelola plastik lebih biodegradable. Pada tahun 2012, sekitar 3.100 program pengomposan di AS menghasilkan 21 juta ton sampah organik, sementara hampir 50 juta ton sisanya tersisa dipembuangan.  Tanpa keseriusn untuk memperkuat kemampuan pemrosesan polimer biodegradable, kita akan hanya akan menghasilkan lebih banyak limbah untuk pembuangan sampah dan insinerator.

Masa Depan Biodegradable Plastik
Plastik biodegradable masih hanya masuk akal dalam sangat terbatas, situasi jangka pendek. Alasannya sederhana: Mengapa menghabiskan energi dan sumber daya memproduksi polimer plastik biodegradable sangat halus, hanya untuk benar-benar mengorbankan nanti melalui pengomposan atau biodegradasi alami? Sebagai strategi jangka pendek untuk mengurangi sampah di pasar, itu cukup masuk akal; sebagai strategi jangka panjang untuk mengimbangi ketergantungan berkelanjutan pada plastik yang berasal dari petroleum, tidak masuk akal.

Konsumen harus memahami bahwa plastik biodegradable bukan alternatif berkelanjutan yang ramah lingkungan sebagaimana yang sering diiklankan. Bioplastik tahan lama yang dapat didaur ulang jauh lebih realistis bagi jangka panjang, bukannya membiarkan bioplastik ini berada dalam tumpukan kompos. Bioplastik ini paling hanya hancur menjadi  bentuk serpihan-serpihan kecil yang kemudian mengalir kemana-kemana dibawa air. Hal ini sangat berbahaya karena bisa masuk ke dalam rantai makanan manusia.

Sumber: www.sustainablebrands.com

read more
Flora Fauna

90 Persen Unggas Laut Jadi Pemakan Plastik

Jumlah unggas laut yang mengonsumsi plastik meningkat tajam sejak tahun 1980. Saat ini, 90 persen  unggas laut diketahui telah menelan sampah plastik saat mencari makan. Demikian dilaporkan oleh para peneliti dalam Proceedings of the National Academy of Sciences sebagaimana dilansir oleh Discovery News, kemarin (31/08/2015). Kondisi tersebut meningkat jauh dari angka 10 persen yang dilaporkan pada tahun 1980. Laporan tersebut juga menyebutkan bahwa sedikitnya ada 940 potongan plastik di setiap kilometer persegi lautan di seluruh dunia.

“Hal ini patut menjadi perhatian bagi semua orang di muka bumi, terutama terkait dengan kebiasaan sehari-hari tiap orang,”Boris Worm dari Dalhousie University memberikan tambahan resmi kepada Discovery News, guna menyertai laporan tersebut.

Penelitian dimaksud dilakukan oleh Chris Wilcox dari lembaga CSIRO Oceans and Atmosphere Flagship and Imperial College, London disertai koleganya Erik van Sebille dan Britta Denise Hardesty. Mereka melakukan pengamatan terhadap 186 spesies unggas laut dengan mengumpulkan informasi tentang polutan plastik yang ada di habitat para unggas laut, cara mencari makan, ukuran tubuh dan lain-lain. Semua informasi tersebut dituangkan ke dalam model statistika untuk memperkirakan paparan sampah plastik terhadap kehidupan unggas di habitatnya. Model tersebut menyertakan data aktual konsumsi plastik oleh unggas laut dari tahun 1962 hingga 2012. “Pemodelan menunjukkan jika sampel aktual dilakukan saat ini, hampir pasti tercapai angka 90 persen dari seluruh populasi unggas laut memakan sampah plastik,”tulis Wilcox dalam laporannya, “Angka tersebut akan mencapai 99 persen pada tahun 2050, jika kita tak mengubah kebiasaan”.

Laporan tersebut juga menampilkan fakta bahwa lautan di sekitar Australia dan Selandia Baru, terutama di Laut Tasman, menjadi daerah yang paling berbahaya bagi unggas laut mengingat jumlah sampah plastik yang luar biasa ditambah dengan keberadaan unggas laut yang sangat banyak.

Boris Worm menambahkan bahwa unggas-unggas tersebut salah memperkirakan saat melihat sampah plastik mengambang di air laut. Mereka mengenali sampah tersebut sebagai makanan atau partikel yang dapat mereka makan. Sampah-sampah tersebut diperkirakan terbawa oleh arus sungai menuju laut.

Unggas yang tertelan plastik dapat keracunan, mengalami penyumbatan usus atau masalah kesehatan lainnya. Selain unggas, sampah plastik juga diketahui dapat menjerat leher kura-kura, mengikat moncong paus, atau menambat hewan lain. Banyak hewan yang berakhir dengan kematian akibat ‘terkena’ sampah plastik.

Worm menambahkan, “Masalah terbesar adalah saat penggunaan plastik ramah-lingkungan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi namun pengumpulan dan pengolahannya tidak berkembang secepat itu. Sehingga sampah dibuang begitu saja alih-alih disimpan dengan benar.”

Sumber: news.discovery.com

read more
Sains

Ilmuwan Jerman Membuat Nilon dari Sampah Kayu

Metode produksi nilon tanpa minyak bumi sudah lama dicari, dan tidak seperti produksi plastik sintesis lainnya, solusinya diharapkan tak memakai tanaman pangan. Periset Jerman menawarkan bakteri tanah.

Galur kuman bernama Pseudomonas putida atau lebih spesifiknya P. putida KT2440 dapat menguraikan lignin atau zat kayu untuk memproduksi asam adipat, yang menjadi komponen dasar nilon berkualitas tinggi.

“Produksi bioteknis menjadi alternatif bagi produksi nilon dari minyak bumi yang menyerap energi dan menghasilkan gas rumah kaca,” ujar Christoph Wittmann, seorang profesor sistem bioteknologi berusia 47 tahun dari Universitas Saarland.

Sejak April 2014, riset oleh Wittmann dan para koleganya bertujuan mengoptimalkan proses mensintesis sehingga nantinya dapat digunakan oleh industri. Mereka telah mengamankan paten untuk temuan ini.

Bioplastik menjawab
Sumber daya alam yang terus menipis dan ledakan populasi global mendorong naiknya kebutuhan atas plastik dari bahan mentah terbarukan. Pakar bioteknologi di seluruh dunia sibuk mengembangkan teknik baru untuk menggantikan produksi plastik dari minyak bumi.

Jumlah plastik organik atau bioplastik, yang sebagian atau sepenuhnya terbuat dari bahan terbarukan, saat ini baru sepersekian dari total plastik yang diproduksi secara global. Menurut European Bioplastics, sebuah asosiasi di Berlin yang menaungi sekitar 70 perusahaan, jumlahnya masih di bawah 1 persen. Sebuah studi oleh Nova Institute, yang fokus pada bioteknologi, menemukan jumlahnya sekitar 1,5 persen atau 3,5 juta ton pada tahun 2011.

Berapapun jumlah pastinya, para pakar sepakat bahwa porsi plastik organik akan meningkat. Nova Institute memperkirakan jumlah bioplastik akan berlipat ganda pada tahun 2020, dan European Bioplastics memperkirakan mulai tahun 2017 produksi plastik organik akan mencapai 7 juta ton per tahun.

Harus tahan lama
Studi Nova Institute menunjukkan bagaimana bahan kimia baru dapat dengan cepat mengubah pasar. Sejak Coca Cola Company menggunakan botol yang sebagian terbuat dari plastik berbahan organik, yang disebut PET, produksi tahunan botol jenis ini akan naik dari 600.000 ton menjadi 5 juta ton pada tahun 2020.

Raksasa kimia BASF juga tengah menggelar riset penggunaan lignin, yang terkonsentrasi pada dinding sel kayu, dan berada di peringkat kedua setelah selulosa sebagai bahan organik dengan jumlah terbanyak di muka bumi.

“Sebagai molekul makro yang sangat kompleks, lignin bisa dimanfaatkan sebagai material organik,” jelas Carsten Sieden, direktur riset biokatalis BASF.

Ini akan menjadi alternatif yang bagus karena seringkali lignin pada batang pohon hanya menjadi sampah, contohnya di pabrik produsen kertas.

Nilon asli adalah produk yang lebih tahan lama ketimbang jenis plastik lain yang telah diproduksi secara bioteknis, seperti contohnya kantong plastik untuk belanja. Tidak hanya digunakan untuk stoking perempuan, nilon juga dipakai untuk produk yang dimaksudkan untuk bertahan berdekade lamanya seperti onderdil mobil, steker dan tali.
Nilon awalnya diciptakan sebagai alternatif sintetis bagi sutra

Uji coba produk
Wittmann memandang berkurangnya kebutuhan energi membuat metode produksi nilon gagasannya lebih unggul daripada proses petrokimia yang konvensional. Dan keunggulan lainnya adalah asam adipat bisa diproduksi dari lignin, yang biasanya dianggap sampah, dan bukan tanaman pangan seperti jagung atau bit gula.

“Ini penting mengingat debat ‘pangan atau bahan bakar,” catatnya, merujuk pada kontroversi seputar pengalihan lahan pertanian untuk biofuel atau produksi bioplastik.

Namun sejumlah kendala masih harus diatasi sebelum metode ini dapat dipakai industri.

“Harus dibuktikan dulu bahwa produk bioteknis kualitasnya sama bagus dengan produk petrokimia,” ungkapnya.

Inilah target Wittman dan timnya dalam tiga tahun mendatang, dalam sebuah proyek yang mendapat kucuran dana senilai 1,4 juta Euro dari Kementerian Riset dan Pendidikan Jerman.[]

Sumber: dw.de

read more
Green Style

Seniman Aceh Kampanyekan Diet Kantong Plastik

Sebanyak 50 pelukis dari Komunitas Jaroe, Sanggar Senirupa 55, Lab Desain Arsitek Unsyiah, Warna-Warni Peduli Unsyiah, dan komunitas pendukung Earth Hour Aceh melakukan aksi parade melukis tas kain untuk mengkampanyekan gerakan Aceh Diet Kantong Plastik. Aksi ini dilaksanakan di lapangan Blang Padang, Minggu (23/3/2014).

Para pelukis menuangkan pesan-pesan penyelamatan lingkungan di atas kertas yang mereka lukis. Beberapa pelukis terkenal Aceh diantaranya Dedy Kalee, Reins Asmara dan Alil Otodidat turun menyumbangkan karya mereka dalam parade melukis ini.

Para peserta melukis pesan-pesan penyelamatan bumi dari kerusakan, mengajak peduli satwa, dan mendorong orang peduli pada kelestarian lingkungan hidup. Aksi ini menarik perhatian pengunjung lapangan Blangpadang yang sedang berolahraga.

Menurut Koordinator kota Earth Hour Aceh, Andhya Rusian Orcheva, aksi melukis tas ini salah rangkaian kampanye yang di laksanakan seretak di 30 kota di seluruh Indonesia menuju malam puncak Earth Hour tanggal 29 Maret 2014 yang ditandai dengan aksi sukarela mematikan lampu dan peralatan listrik yang tidak terpakai selama satu jam yakni pukul 21.00 – 22.00 WIB.

“Namun kampanye Earth Hour bukan saja dalam aksi penghematan energi listrik semata, tapi juga mengajak orang mulai peduli mengurangi sampah dengan diet kantong plastik,” kata Andhya.

Dengan melukis tas kain, Earth Hour ingin mengajak orang mulai membawa tas belanja sendiri dan mulai mengurangi penggunaan kantong plastik. Selain itu tas-tas yang dilukis akan dilelang di malam puncak Earth Hour yang hasilnya akan disumbangkan bagi pelestarian satwa di Aceh.

Pelukis Aceh Dedi Kalee menyebut aksi melukis tas ini merupakan salah satu kampanye lingkungan kreatif yang pernah ada. “Saya senang sekali aksi ini berdampak bagus dalam meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap kelestarian lingkungan.” []

Sumber: TGJ

read more
Tajuk Lingkungan

Cukupkah Tolak Caleg Pohon?

Belakangan banyak beredar opini bahwa jangan memilih caleg yang memasang poster di pohon dikarenakan caleg ini merusak pohon dengan memaku poster di pohon-pohon tersebut. Caleg ini dianggap tidak pro lingkungan, bahkan dicap merusak lingkungan. Apakah benar, caleg-caleg yang posternya dipaku pada batang pohon tidak peduli lingkungan? Rasanya terlalu sederhana dengan hanya menilai seseorang itu cinta lingkungan hanya sebatas memaku pohon. Simplikasi ini agak menyesatkan, sehingga banyak kita lihat orang-orang mengklaim dirinya cinta lingkungan gara-gara menanam pohon. Apakah cukup cinta lingkungan dengan tidak memaku pohon?

Anjuran untuk memilih caleg yang cinta lingkungan memang sangat tepat ditengah minimnya dukungan politik bagi pelestarian lingkungan dari wakil rakyat. Tetapi tidak hanya sebatas itu ekspresi cinta lingkungan. Harus diselidiki lebih dalam bagaimana visi dan misi caleg terkait kepeduliannya terhadap lingkungan secara lebih luas, bukan hanya semata menanam pohon. Ada banyak tema-tema lain seperti pengelolalaan sumber daya alam, pengelolaan sampah, taman kota, kepedulian terhadap pejalan kaki, mencari bahan bakar alternatif, hemat energi dan banyak lainnya. Mereduksi isu lingkungan sebatas batang pohon sangatlah naif.

Pemilu sendiri ternyata belum ramah lingkungan jika kita lihat perhelatan ini dari perspektif penggunaaan material pemilu. Kita sebut saja mulai dari spanduk, poster, banner dan media peraga lain yang menggunakan bahan baku dari plastik. Spanduk modern saat ini nyaris semuanya menggunakan karet sintetis yang tidak dapat diurai oleh alam. Berapa banyak limbah plastik yang dihasilkan dari ribuan meter yang terbuang percuma mencemari tanah-tanah kita? Belum lagi ribuan liter tinta yang dipakai menulis spanduk.

Selain spanduk juga ada pencetakan kertas suara yang mungkin membutuhkan jutaan kilogram kertas yang berarti ribuan perlu dipotong untuk dibuat pulp, bahan baku kertas. Belum ada aktivitas-aktivitas kampanye yang dilakuan dengan menghadirkan ribuan massa yang ujung-ujungnya menghasilkan jutaan kilogram sampah. Selain itu, konvoy-konvoy kendaraan bermotor memperparah jejak karbon. Benar-benar pemilu yang tidak ramah lingkungan.

Di beberapa negara maju, ada dilakukan pemilihan pemimpin secara elektronik, yaitu dengan hanya menekan tombol pada perangkat tertentu. Metode ini jauh lebih ramah lingkungan dibanding metode konvensional seperti sekarang ini. Ada banyak perubahan yang harus dilakukan jika ingin benar-benar disebut Pemilu ramah lingkungan.

Pohon bukan segalanya, hanya salah satu sisi. Tetapi jangan hanya berhenti disitu saja, ada banyak aspek harus dibenahi, komprehensif lah.[]

read more
1 2 3
Page 1 of 3