close

PN Meulaboh

Kebijakan LingkunganRagam

Advokasi Rawa Tripa, Pengacara Ajak “Sahabat Pengadilan” ke Pengadilan

Amicus curiae (secara harfiah, “teman pengadilan”; plural, amici curiae) adalah seorang, yang bukan merupakan pihak dalam suatu kasus dan mungkin atau mungkin tidak diminta oleh suatu pihak dan yang membantu pengadilan dengan menawarkan informasi, keahlian, atau wawasan yang memiliki kaitan dengan isu-isu dalam kasus tersebut; dan biasanya disajikan dalam bentuk singkat. Pengadilan bebas memutuskan apakah mereka akan mempertimbangkan suatu amicus brief atau tidak. Dalam hal-hal tertentu sejumlah pengacara memakai Sahabat Pengadilan dalam menangani kasus-kasus yang menarik perhatian publik.

Seperti yang dilakukan oleh pengacara lingkungan dalam kasus perusakan hutan gambut Rawa Tripa dengan terdakwa PT Kalista Alam. Kasus yang sudah ada keputusan tetap dan mengikat (inkrah), bergulir sejak  tahun 2012 KLHK dan telah KLHK memenangkan gugatan lingkungan hidup di PN Meulaboh atas kebakaran lahan yang berada diwilayah izin PT. Kalista Alam seluas 1000 Ha. Putusan ini telah memperoleh kekuatan hukum mengikat sejak putusan Kasasi No. 651K/Pdt/2015 tanggal 28 Oktober 2015 serta dikuatkan dalam putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor: 1PK/Pdt/2017 tanggal 18 April 2017 dimana dalam putusan tersebut mewajibkan PT. Kalista Alam untuk membayar kerugian lingkungan hidup sebesar Rp. 114.303.419.000 dan biaya pemulihan sebesar Rp. 251.765.250.000 sehingga total keseluruhan adalah Rp. 366.068.669.000.

Salah satu pengacara lingkungan tersebut, Nurul Ikhsan, SH, Rabu (3/10/2018) kepada greenjournalist mengatakan bahwa mereka telah menyerahkan Amicus curiae (Sahabat Pengadilan/SP) kepada Pengadilan Tinggi Banda Aceh pada Rabu tersebut. SP tersebut berisikan pendapat, pokok-pokok pikiran beberapa tokoh masyarakat terkait dengan kasus perusakan Rawa Tripa. Pendapat para tokoh masyarakat ini menjadi tambahan wawasan kepada pengadilan dalam sebuah kasus.

“Secara formil sahabat pengadilan tidak mempengaruhi kasus. Paling tidak membuka wacana hakim,”ujar Ikhsan. SP sudah dipraktekkan di beberapa kasus di Indonesia seperti  Amicus Curiae yang diajukan kelompok aktifis kemerdekaan pers kepada Mahkamah Agung terkait dengan peninjauan kembali kasus “Majalah Time versus Soeharto”, Amicus Curiae dalam kasus “Upi Asmaradana” di Pengadilan Negeri Makasar, dan Amicus Curiae dalam kasus “Prita Mulyasari” di Pengadilan Negeri Tangerang –dimana Amicus Curiae diajukan sebagai informasi pelengkap bagi Majelis Hakim yang memeriksa perkara Prita Mulyasari. Selain itu ada pula Amicus Curiae yang diajukan untuk mendukung Peninjauan Kembali kasus Erwin Amada-dan terakhir Amicus Curiae untuk Kebijakan Bailout Century pada Pengadilan Tipikor.

“Melihat praktik yang sudah berjalan itu, besar harapan kami permohonan kami ini diterima oleh Majelis Hakim Banding memeriksa perkara ini,”ujar Ikhsan.

Tokoh-tokoh yang memberikan pendapatnya adalah tokoh independen, memberikan pendapatnya bisa apa saja tanpa dipengaruhi oleh orang lain. Kalaupun pendapat tersebut mengarah atau cenderung kepada sesuatu hal, maka sah-sah saja.

“Untuk Aceh, baru pertama kali kita gunakan Sahabat Pengadilan ini,”kata Ikhsan.

Sejumlah tokoh yang memberikan pendapatnya kepada Pengadilan Tinggi Banda Aceh yaitu Prof. Dr. Emil Salim, Prof. Dr. Mahidin ST MT, Prof. Dr. Syahrizal Abbas MA, Suraiya Kamaruzzaman ST, LL.M.MT, Prof.Drs. Yusny Saby MA.PhD,  Prof. Dr.Ir.Ahmad Humam Hamid MA, Dr. Mawardi Ismail SH.M.Hum, Farwiza Farhan, Nasir Nurdin dan Ir. T.M. Zulfikar, MP.

Tokoh-tokoh masyarakat ini dalam pendapatnya melihat ada pnnsip paling fundamental yang dilanggar oleh PN Meulaboh dalam memeriksa gugatan oleh PT Kalista Alam (PTKA) tersebut, yaitu prinsip “nemo iudex in causa sua” atau “nemo iudex in sua causa“. “Tidak seorangpun boleh mengadili suatu kasus dimana ia mempunyai kepentingan atas kasus tersebut (no person can judge a case in which they have an interest).

Ketua Majelis Hakim yang memeriksa kasus gugatan PTKA ini adalah Ketua PN Meulaboh yang sebelumnya telah mengeluarkan Penetapan atas permohonan perlindungan hukum oleh PTKA. Maka sangat sulit menghindari adanya conflict of interest disini; Majelis dengan demikian menjadi tidak imparsiality lagi. Selain itu, Putusan PN Meulaboh tersebut jelas sudah mengadili putusan sebelumnya yang lebih tinggi, yaitu Mahkamah Agung. Termasuk mengadili sendiri Putusan PN Meulaboh sebelumnya, karena pokok materi sengketanya sama.

“Kami jadi bertanya-tanya, kok bisa pengadilan tingkat pertama membatalkan seluruh amar yang sudah diputuskan oleh pengadilan tingkat akhir? Begitu juga, kami juga bertanya-tanya, dapatkah suatu perkara yang sudah diputuskan diadili kembali oleh pengadilan negeri yang sama? Tidakkah ini menimbulkan situasi ketidakpastian hukum? Adalah tugas pengadilan tingkat banding meluruskan ini kembali, mengembalikan hukum kembali pada relnya yang benar,”jelas Sahabat Pengadilan dalam dokumennya.

 

 

read more
Green StyleHutan

Seratus Ribu Masyarakat Teken Petisi Dukung Eksekusi PT Kallista Alam

BANDA ACEH – Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) mendatangi Pengadilan Tinggi Banda Aceh untuk menyerahkan seratus ribu lebih dukungan publik untuk eksekusi putusan MA terhadap PT Kallista Alam (PT KA), perusahaan pembakar lahan rawa gambut Tripa, Nagan Raya, Kamis (12/07/2018).

KMS yang terdiri dari Yayasan HAkA, Rumoh Transparansi, FORA, Change.org Indonesia, Gerakan Rakyat Aceh Menggugat (GeRAM), dan Perhimpunan Pengacara Lingkungan Hidup (P2LH) menyerahkan petisi Change.org/HukumPembakarLahan. Petisi tersebut berisikan dukungan sekaligus desakan kepada PT Banda Aceh untuk membatalkan putusan Pengadilan Negeri Meulaboh Perkara Nomor 16/Pdt_G/2017/PN Mbo.

Pada sidang tanggal 12 April 2018, Majelis Hakim PN Meulaboh yang memeriksa Perkara Nomor 16/Pdt_G/2017/PN Mbo menyatakan bahwa Putusan PN Meulaboh sebelumnya yaitu Perkara Nomor 12/PDT.G/2012/PN MBO yang menghukum PT Kallista Alam (PT KA) dengan denda dan kewajiban memulihkan lahan yang rusak akibat dibakar senilai Rp. 366 milyar tidak mempunyai title eksekutorial atau tidak bisa dieksekusi. Seperti diketahui sebelumnya, PT KA dinyatakan bersalah karena terbukti membakar 1.000 hektar lahan gambut di Tripa, Nagan Raya, Aceh.

Sekretaris Yayasan HAkA, Badrul Irfan mengatakan penyerahan petisi ini merupakan bentuk kepedulian dan kekecewaan publik terhadap putusan PN Meulaboh yang menyatakan bahwa putusan Mahkamah Agung (MA) terhadap kasus pembakar lahan ini tidak bisa dieksekusi. Sebagai wujud partisipasi pubik, HAkA menggalang petisi ini melalui Change.org Indonesia mendesak MA untuk membatalkan putusan 16/Pdt.G/2017/PN.Mbo sekaligus memerintahkan PN Meulaboh melaksanakan eksekusi terhadap PT. KA sesuai dengan putusan perkara no. 1 PK/PDT/2017 jo. Putusan no. 651 K/Pdt/2015 jo putusan no. 50/PDT/2014/PT BNA jo. Putusan no. 12/PDT.G/2012/PN.MBO — untuk membayar biaya pemulihan lingkungan sebesar Rp 366 miliar.

Sebelumnya, Rumoh Transparansi juga sudah melaporkan kasus ini ke KPK dengan nomor pengaduan 96297 pada hari Rabu, 2 Mei 2018. “Kami mencium ada penyelewengan pada kasus ini yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 366 milyar. Hal ini juga kami anggap sebagai salah satu upaya penyalahgunaan wewenang oleh PN Meulaboh. Atas dasar ini, kami mengadukan pihak PN Meulaboh ke KPK sebagai lembaga anti-rusuah di Indonesia,” ujar Koordinator Rumoh Transparansi, Crisna Akbar.

Salah satu penandatangan petisi dengan akun Aslam Saad menulis, “Ketika hukum digadaikan oleh penegak hukum kepada para perusak hutan, rakyat sekitar hutan semakin menderita dan negara tak berdaya.” Akun lain dengan nama Elok Galih Karuniawati menulis, “Selamatkanlah hutan kita dan eksekusi perusahaan yang telah ceroboh membakar hutan. #SaveTripa.”

“PT Kallista Alam telah dibuktikan bersalah berdasarkan undang-undang administrasi, pidana, dan perdata oleh majelis pengadilan dan Mahkamah Agung. Bila suatu pengadilan negeri bisa menentang putusan Mahkamah Agung, ini sangat tidak masuk akal. Tidak mengejutkan kalau sekarang banyak pengamat yang mempertanyakan motif di belakang putusan hakim PN Meulaboh dalam kasus ini, dan kami meminta ada investigasi khusus disini,” ujar juru bicara GeRAM, M. Fahmi.[rel]

 

read more
Kebijakan Lingkungan

Diduga Melanggar Kode Etik, YEL Minta MA Periksa Ketua PN Meulaboh

Banda Aceh – Kecaman terhadap putusan PN Meulaboh terus bergulir dimana sejumlah pihak menganggap putusan PN Meulaboh kontroversil. Salah satu pihak menyurati Mahkamah Agung (MA) agar memeriksa Ketua Majelis Hakim yang menyidangkan perkara adalah Yayasan Ekosistem Lestari atau YEL.

YEL menyurati MA agar melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran etik hakim terhadap tiga orang hakim anggota majelis perkara Nomor. 16/Pdt-G/2017/PN Mbo yaitu Said Hasan, Ketua PN Meulaboh/Ketua majelis Perkara, Muhammad Tahir, Wakil Ketua PN Meulaboh, dan T. Latiful, Hakim Pratama dan Utama PN Meulaboh.

Selain itu YEL juga memohon kepada Ketua MA untuk memerintahkan Ketua PN Meulaboh melaksanakan eksekusi terhadap putusan Nomor 12/Pdt.G/2012/PN Mbo tanggal 8 Januari 2014 Jo Putusan Pengadilan Tinggi Banda Aceh Nomor. 50/Pdt/2014/PT Bna tanggal 15 Agustus 2014 Jo Putusan Mahkamah Agung Nomor. 651 K/Pdt/2015 tanggal 28 Agustus 2015 Jo Putusan Mahkamah Agung Nomor. 1 PK/Pdt/2017 tanggal 18 April 2017 demi untuk tegaknya hukum Indonesia.

Dalam surat tersebut, YEL beragumen bahwa sejak putusan Kasasi PT Kalista Alam (PTKA) ditolak MA, PTKA harus melaksanakan putusan secara suka rela, akan tetapi PTKA tidak melaksanakannya. Karena PTKA tidak kunjung melaksanakan Putusan secara suka rela, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia mengirimkan surat Nomor S-103/PSLH/Gkm.1/11/2016 tentang permohonan pelaksanaan Eksekusi terhadap Putusan Kasasi Mahkamah Agung, tertanggal 3 November 2016, kepada Ketua Pengadilan Negeri Meulaboh.

Kemudian April 2017 Mahkamah Agung mengeluarkan putusan Peninjauan Kembali Nomor 1 PK/Pdt/2017, yang dalam amar putusannya menolak permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh PT. Kalista Alam. Anehnya pasca keluarnya putusan kasasi MA Nomor. 1 PK/Pdt/2017, PT. Kalista Alam melalui Kuasa Hukumnya mengajukan permohonan perlindungan hukum kepada Ketua Pengadilan Negeri Meulaboh.

Ketua Pengadilan Negeri Meulaboh mengeluarkan surat penetapan tertanggal 20 Juli 2017 yang pada pokoknya mengabulkan permohonan perlindungan hukum PTKA. Padahal putusan Mahkamah Agung Nomor. 1 PK/Pdt/2017 tanggal 18 April 2017 adalah putusan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) yang kesemuanya memenangkan gugatan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia terhadap PT. Kalista Alam.

Surat yang ditandatangani oleh Koordinator YEL Program Aceh, Ir. Teuku Muhammad Zulfikar, M.P, ini menyatakan putusan yang bersifat penghukuman (condemnatoir) yang harus dilaksanakan, terlebih Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai pihak yang dimenangkan dalam perkara telah mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan. “Maka tidak ada alasan untuk menunda eksekusi karenaa upaya hukum yang dapat ditempuh tidak ada lagi,”sebut Zulfikar.

Tidak dilaksanakannya eksekusi terhadap putusan Putusan Mahkamah Agung Nomor. 651 K/Pdt/2015 tanggal 28 Agustus 2015 Jo Putusan Mahkamah Agung Nomor. 1 PK/Pdt/2017 tanggal 18 April 2017 dan keluarnya Putusan Pengadilan Negeri Meulaboh Nomor. 16/Pdt-G/2017/PN Mbo memperlihat bahwa tidak adanya azas kepastian hukum.[rel]

 

 

read more
Kebijakan Lingkungan

PN Meulaboh Tolak Eksepsi PT Kallista Alam

Majelis Hakim PN Meulaboh menolak keseluruhan eksepsi (keberatan)pengacara PT Kallista Alam (KA) yang disampaikan pada minggu lalu. Hakim beralasan eksepsi tersebut tidak dapat diterima karena tidak mempunyai dasar hukum dan sebagiannya telah masuk ke dalam materi pokok gugatan. Dua terdakwa dari perusahaan tersebut yaitu SR (57 tahun) yang merupakan Dirut KA dan manajer perkebunan, KY (45 th).

Gugatan pidana terhadap KA sendiri dipecah menjadi tiga kasus yaitu nomor perkara 131/pid.B/2013/PN MBO, kemudian nomor 132/pid.B/2013/PN MBO dan nomor perkara 133/pid.B/2013/PN MBO. Kasus pertama dan kedua (dengan terdakwa SR dan KY) dengan tuduhan pembakaran ilegal lahan di hutan gambut Rawa Tripa dan kasus ketiga adalah pembukaan perkebunan tanpa izin dengan terdakwa SR.

Sidang dimulai sekitar pukul 10.20 WIB, Selasa (10/12/2013) dengan agenda mendengarkan jawaban putusan sela. Ketua Majelis Hakim, Arman Surya Putra SH, membacakan putusan sela tersebut dibantu oleh hakim anggota, Dedy SH dan Rahma Novatiana, SH. Hakim membacakan poin-poin penting putusan sela saja.

Poin-poin tersebut antara lain bahwa pengacara keberatan atas gugatan yang mereka anggap telah terjadi double jeopardy atau gugatan ganda atas terdakwa dan kasus yang sama. Sebagai informasi, saat ini gugatan perdata terhadap KA atas tuduhan pembakaran lahan juga sedang berjalan dan tinggal menunggu keputusan akhir.

Pengacara terdakwa juga keberatan atas berkas terdakwa yang dipisah-pisah. Menurut mereka ini melanggar asas persidangan yang sederhana dan melanggar asas praduga tidak bersalah.

Terakhir pengacara dalam eksepsinya menyatakan gugatan yang disusun oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), Rahmat Nurhidayat SH dari Kejari Nagan Raya, tidak cermat dan teliti karena tidak memuat lokasi dan waktu terjadinya peristiwa dengan jelas. Pengacara berharap agar majelis hakim menolak kasus ini atau paling tidak kasus tidak bisa diterima (NO).

Hakim dalam putusan selanya menetapkan keberatan pengacara tidak dapat diterima atau ditolak seluruhnya. Eksepsi pengacara tidak sesuai aturan perundangan dan telah masuk ke dalam materi pokok perkara. ” Eksepsi ditolak dan sidang dilanjutkan,” kata Arman Surya Putra SH.

Hakim tidak hanya mempertimbangkan normal justice tetapi juga menemukan keadilan sejati sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan bagi masyarakat.  Hakim memakai landasan hukum UU no.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup untuk memeriksa perkara-perkara ini.

Arman mengatakan tidak terjadi double jeopardy karena tidak ada keputusan tetap (incrach) atas kasus ini atau dengan kata lain tidak ada tuntutan yang berulang atas terdakwa yang sama untuk kasus yang sama.

Mengenai pemisahan berkas terdakwa, hal ini lazim dilakukan dan merupakan kewenangan JPU. Terdakwa yang menjadi saksi bagi terdakwa lain (saksi mahkota) akan diuji kebenarannya dalam pemeriksaan pengadilan dalam sidang-sidang lanjutan.

Hakim memutuskan surat dakwaan JPU telah sah menurut hukum dan pemeriksaan akan dilanjutkan.Pengacara kedua terdakwa, Elfian SH dan Rebecca SH, menyatakan pikir-pikir atas putusan sela tersebut.

Sidang ditunda hingga tanggal 16 Desember 2013 dengan agenda pemeriksaan saksi-saksi. JPU berencana menghadirkan empat orang saksi namun belum bisa memberikan nama secara pasti siapa saja saksi tersebut.

Kasus pidana atas dugaan perusakan lingkungan hidup oleh PT. Kalista Alam atas nama badan perseroan yang diwakili oleh Direkturnya berinisial SR bernomor 131/Pid.B/2013/PN-MBO dan tindak pidana kasus yang sama juga ditujukan kepada Manager Perkebunannya berinisial KY bernomor 33/Pid.B/ 2013/PN-MBO.

Perkara dimulai atas penyelidikan PPNS Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) yang diteruskan kepada Jaksa Peneliti di Kejaksaan Agung di Jakarta.

Kemudian satu perkara pidana lagi terkait pembukaan perkebunan tanpa izin dengan terdakwa berinisial SR sebagai pribadi bernomor 132/Pid.B/2013/PN-MBO. Perkara pidana terkait perizinan ini berawal dari Surat Pemberitahuan Polda Aceh pada 22 Juni 2012 yang diteruskan kepada Jaksa Peneliti Kejaksaan Tinggi di Aceh.[]

read more