close

PT SPS

Kebijakan Lingkungan

YEL: Segera Eksekusi Putusan MA Denda 300 M terhadap PT SPS II

Banda Aceh – Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) sangat mendukung keputusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan Peninjauan Kembali (PK) gugatan perdata Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terhadap PT. Surya Subur Panen (PT.SPS) II. Perusahaan sawit ini digugat karena pembakaran hutan gambut Rawa Tripa di Kecamatan Suka Makmue, Kabupaten Nagan Raya pada tahun 2012 lalu.

Kasus ini bergulir sangat panjang, dimulai dari PN Meulaboh hingga PK di MA. Di tingkat PN, gugatan perdata ini ditolak PN Meulaboh. Kemudian KLHK mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi, namun banding KLHK kembali ditolak majelis hakim. Kembali KLHK ajukan kasasi ke MA namun kembali ditolak. Isi gugatan KLHK adalah meminta PT SPS II membayar ganti rugi materiil tunai kepada KLHK melalui rekening kas negara sebesar, Rp136.864.142.800,-. Jumlah ini adalah kerugian yang timbul akibat pembakaran hutan oleh PT SPS II.

Koordinator YEL Aceh, T. Muhammad Zulfikar meminta agar MA segera mengeksekusi keputusan hukum tersebut karena telah berkekuatan hukum tetap. “Sudah inkrah, pengadilan harus membuktikan supremasi hukum di negara ini dengan mengeksekusi PT SPS II,” ujarnya. PT SPS II wajib segera membayar ganti rugi kepada negara dan pemulihan rawa gambut yang terbakar, sambung T. Muhammad Zulfikar.

T. Muhammad Zulfikar juga memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada majelis hakim MA yang telah cermat dan adil dalam memberikan putusan kasus lingkungan ini. Menurutnya, kemenangan ini bisa memberikan efek jera kepada perusahaan-perusahaan lain yang terindikasi suka membakar hutan untuk perkebunannya.

Dalam keputusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor: 690 PK/Pdt/2018 disebutkan, Majelis Hakim yang diketuai Takdir Rahmadi dengan hakim anggota, Yakup Ginting dan Panji Widagdo, mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali KLHK.

“Membatalkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2905 K/Pdt/2015, tanggal 29 Februari 2016,” ujar Takdir Rahmadi dalam musyarawarah hakim yang dilakukan pada 17 Oktober 2018. Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan PT. SPS II telah melanggar hukum.

“Memerintahkan tergugat (PT. SPS II) untuk tidak menanam di lahan gambut yang telah terbakar seluas 1.200 hektar di wilayah izin usaha untuk perkebunan kelapa sawit. Juga, menghukum PT. SPS II untuk melakukan tindakan pemulihan lingkungan terhadap lahan yang terbakar itu sebesar Rp302.154.300.000,- sehingga lahan dapat difungsikan kembali sesuai perundang-undangan,” terang Takdir Rahmadi.[]

read more
Perubahan Iklim

Perusahaan Sawit Siapkan Tim Pemburu Api

Direktur PT. Surya Panen Subur (SPS) 2, Teuku Arsul Hadiansyah mengatakan, operasional perusahaannya di lahan gambut, khususnya di Nagan Raya, berpatokan pada tiga langkah utama dalam mengelola perusahaan, yaitu manajemen pengaturan air, pemupukan, dan pengendalian kebakaran.

Melalui tiga langkah ini, PT. SPS beroperasi tanpa melakukan hal-hal yang menyalahi aturan hukum tentang perkebunan. Artinya, upaya pencegahan jangan sampai terjadinya kebakaran menjadi prioritas perusahan di areal gambut sejak beroperasi pada tahun 2008.

Menurut Asrul, sebelumnya lahan ini merupakan milik perkebunan kelapa sawit PT. Wolya Raya Abadi dan PT. Astra Agro Lestari yang dialihkan kepada PT SPS pada 2008. Luas areal perkebunan di lahan gambut yang kini menjadi milik PT. SPS yaitu sekitar 12.000 hektare yang sebagian juga dijadikan sebagai lahan konservasi.

Petugas Pemburu Api
Untuk mengawasi kebakaran lahan gambut di kabupaten Nagan Raya, PT SPS 2 menugaskan petugas pemburu api. Perusahaan ini membentuk regu pemantau titik api yang masing-masing regu berjumlah tujuh orang.

Upaya ini untuk mengantisipasi kebakaran lahan gambut khususnya di area perkebunan sawit. Di areal perkebunan SPS ada tujuh tower pemantau titik api.

“Khusus untuk memantau titik api, perusahan memiliki tujuh tower pemantau yang dilengkapi petugasnya pemantau dan setiap saat akan bertugas secara bergiliran,” kata Suardi, manajemen SPS.

Selain itu pihak perkebunan  juga telah menyediakan satu unit mobil pemadam kebakaran mini jika sewaktu-waktu ada kebakaran akan cepat ditangani oleh petugas untuk memadamkan api di areal perkebunan, terutama saat musim panas atau kemarau.

“Perusahan juga telah membangun parit-parit yang berisi air mengelilingi areal perkebunan. Hal ini diperlukan demi menjaga agar kondisi tanah tetap basah sehingga dapat mencegah munculnya titik api khususnya pada musim kemarau,” tambah Suardi.

Dia turut membantah apabila perusahaannya dituduh melakukan pembakaran beberapa waktu lalu.

“Artinya, titik api itu bukan di lahan kami, tapi muncul di areal okupasi atau lahan HGU PT. SPS. Namun belum dikelola dan pemanfaatannya oleh masyarakat,” katanya.

Sejauh ini perusahaan tetap akan menjalankan komitmen untuk tidak membakar lahan. Karena setiap sudut areal perkebunan kelapa sawit PT. SPS di kawasan lahan gambut ini telah dilengkapi rambu-rambu berupa larangan menghidupkan api. []

Sumber: theglobejournal.com

read more
Kebijakan Lingkungan

KLH Tolak Tawaran Lahan 5000 hektar dari PT SPS

Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) bakal menolak proposal mediasi PT Surya Panen Subur (SPS) yang mengusulkan 5 ribu hektare lahan Hak Guna Usaha (HGU)-nya di wilayah Aceh untuk areal konservasi. Pihak KLH lebih memilih ganti rugi sesuai gugatan ketimbang menyetujui usulan konservasi sebagian lahan HGU.

Sinyal penolakan itu disampaikan Asisten Deputi Penyelesaian Sengketa Lingkungan KLH, Sisilia, usai mengikuti sidang mediasi gugatan KLH kepada PT SPS di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis, (13/2/2014). “Soalnya, proposal SPS tidak menjawab gugatan,” tandasnya.

Kuasa hukum PT SPS, Rivai Kusumanegara, menilai penolakan proposal konservasi 5 ribu hektar oleh pihak KLH dan lebih membahas ganti rugi uang dan pemulihan lahan terbakar kiranya tidak bijak dan sulit diterima akal, karena yang patut membayar ganti rugi tersebut adalah siapa yang melakukan pembakaran.

Pasalnya, pembakaran itu bukan dilakukan oleh PT SPS. Sebaliknya, SPS merupakan korban yang telah dirugikan akibat kebakaran itu. “PT SPS sudah sejak 2 tahun lalu sudah melakukan pemulihan tanaman dan perawatan yang diperlukan,” ungkapnya.

Menurut Rivai, upaya tersebut telah dilakukan pihak PT SPS karena lokasi terbakar adalah lahan usahanya. “Bisa dilihat di lapangan, di mana tanaman sawit dan pakis-pakisan (cover crop) di areal yang terbakar, kini tumbuh subur,” katanya.

Sejak awal, SPS sudah menyerahkan sejumlah bukti tertulis, saksi, maupun ahli dari akademisi dan balai penelitian
pemerintah yang menerangkan, SPS tidak pernah membakar lahan dan tidak terjadi kerusakan tanah berdasarkan hasil uji laboratorium.

“Jadi kami yakin pada saatnya kebenaran akan terungkap sepanjang proses hukum dijalankan secara obyektif tanpa ada tekanan atau intervensi pihak manapun,” tegas.

Rivai menilai, persoalan ini lebih bermuatan politis dibanding penegakan hukum, dengan mencermati upaya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) asing yang ingin mengkonservasi Rawa Tripa sejak 2011 lalu.

Sebagai jalan tengah dan komitmen untuk berpartisipasi dalam menjaga kelestarian hidup, maka PT SPS menawarkan kerjasama konservasi lebih dari 5 ribu hektar dari 12 ribu total HGU-nya. Namun tawaran tersebut ditolak KLH.

Dengan gugatan KLH bernilai Rp 302 milyar lebih, tuntutan pidana korporasi dan pribadi, serta upaya UKP4 pada tahun 2012 agar izin PT SPS dicabut, maka Rivai menilai pemerintah lebih mengutamakan isu yang digulirkan LSM asing daripada memberi keadilan bagi perseroan. Padahal, pengusaha sawit telah memberi pendapatan bagi negara, membuka ribuan kesempatan kerja, dan menggerakan roda perekonomian setempat, serta kemanfaatan bagi masyarakat Aceh.

“Kiranya ini akan menjadi catatan sejarah kelam bagi penegakan hukum dan iklim investasi di Indonesia,” pungkas Rivai.

Kuasa hukum KLH, Bobby Rahmat, mengatakan bahwa proses mediasi hampir rampung dilakukan dan hanya menyisakan 4 hari lagi untuk menjawab proposal mediasi yang diajukan PT SPS atas gugatan sebesar Rp 302 milyar lebih itu.

“Kalau nilai gugatan SPS sudah ada, tapi kan sejauh ini respon mereka dalam mediasi tidak menjawab gugatan,” ucapnya.

Sisilia menegaskan, saat ini sikap KLH di posisi menolak. Namun demikian, dirinya berjanji akan menyampaikan perkembangan hasil sidang mediasi hari ini kepada pimpinannya di KLH untuk diambil putusan menolak atau menerima proposal konservasi 5 ribu hektare lahan HGU yang diajukan PT SPS itu.

“Batas waktu 40 harinya sampai Senin-ya, Senin besok. Kalau Senin besok kami menyatakan deadlock antara penggugat dengan tergugat dan dinyatakan oleh hakimnya deadlock, maka kita ke pokok perkara. Tentunya kita maju,” tandas Sisilia.

Kasus gugatan KLH sebesar Rp Rp 302 milyar lebih kepada PT SPS bernomor 700/Pdt.G/2013/PN.Jkt.Sel ini kembali bergulir dan sudah memasuki babak mediasi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dipimpin Mediator Yuningtyas Upiek, setelah Pengadilan Negeri Jakarta Timur menolak gugatan ini, karena bukan termasuk wilayah hukumnya. []

Sumber: gatra

read more