close

ramah lingkungan

Green Style

Sumbangsih USM Membuat Inovasi Bel Sekolah Otomatis

Dua sekolah ini, SMA Negeri 1  Krueng Barona Jaya yang terletak ± 10 Km dari pusat kota dan SMP Negeri 1 Kuta Baro terletak ± 20 Km dari pusat kota. Melihat perkembangan zaman dan canggihnya teknologi zaman sekarang ini sudah sepatutnya kedua sekolah ini memiliki teknologi sesuai dengan perkembangan zaman.

Sejumlah dosen Program Studi Teknik Informatika Fakultas Teknik Universitas Serambi Mekkah (USM) Banda Aceh pun tertarik mengaplikasikan perkembangan teknologi terkini dengan membuat Bel Sekolah yang bekerja secara otomatis.

Salah seorang dosen tersebut, Yeni Yanti,ST,.MT mengatakan dengan adanya Bel Sekolah Otomatis ini sangat membantu pihak sekolah, tepat waktu dalam penjadwalan sistem pembelajaran yang sudah disinkronisasikan dengan bel tersebut. Pada jadwal yang telah di buat secara otomatis bel tersebut akan berbunyi. Disisi lain Yeni juga menyampaikan teknologi ini membantu mengurangi aktifitas fisik seorang guru piket dalam membunyikan bel setiap waktu sebagaimana yang telah dilakukan selama ini.

Kepala Sekolah SMA 1 Negeri  Krueng Barona Jaya, Bahrullah, S.Ag  dan  Kepala Sekolah SMP Negeri 1 Kuta Baro Nurjannah sangat berterima kasih dengan adanya teknologi bel otomatis ini. Dimana dengan sistem ini tidak diperlukan guru piket setiap hari sehingga mengurangi tugas guru selain mengajar di kelas.

Harapan pihak kepala sekolah semoga bel otomatis ini dapat digunakan atau diterapkan  bukan hanya di SMA Negeri 1 Krueng Barona Jaya dan SMP Negeri 1 Kuta Baro ini tetapi bisa dipergunakan dan diterapkan pada sekolah lain yang terdapat khususnya di kawasan Aceh Besar dan Aceh secara umumnya. []

read more
Tajuk Lingkungan

Membangun Teknologi Ramah Lingkungan

Pemanfaatan teknologi ramah lingkungan sangat banyak macamnya. Mulai dari penggunaan sepeda motor listrik, pembangkit listrik energi air, energi angin, energi matahari dan sebagainya. Teknologi-teknologi ini dalam skala percobaan telah berhasil diterapkan oleh banyak lembaga penelitian terutama kampus-kampus ternama. Bahkan belakangan juga sedang trend perlombaan mobil listrik yang mengikutsertakan mahasiswa-mahasiswa. Sebuah kebanggaan besar bila berhasil menjadi juara dalam lomba-lomba bergengsi ini. Namun bagaimana pemanfaatannya dalam masyarakat?

Sepertinya pemanfaatan teknologi ramah lingkungan belum maksimal, tidak banyak berkembang sebagaimana diharapkan. Sejumlah kendala masih belum dapat diatasi, mulai dari biaya peralatan yang mahal, ketersediaan suku cadang dan persepsi masyarakat yang belum tepat tentang teknologi ramah lingkungan itu sendiri. Alih-alih teknologi bermanfaat luas, malah teknologi ini hanya menjadi pajangan semata di kampus-kampus atau hanya menjadi bahan seminar untuk segilintir elit.

Dulu saya pernah menulis tentang pembangkit listrik tenaga air (PLTMH) yang terletak di Samarkilang, Kabupaten Bener Meriah Propinsi Aceh disini. Salah satu komponennya rusak dan harganya mencapai 40 juta, sebuah jumlah yang tak mudah dikumpulkan oleh masyarakat desa yang sederhana. Walhasil PLTMH ini mangkrak tidak berfungsi selama beberapa tahun hingga kini. Masyarakat tak mampu menangani dan pemerintah baik pemkab dan pemprov tak peduli. PLTMH yang seharusnya bisa menjadi solusi atas ketiadaan listrik maka kini menjadi problem juga.

Contoh lain adalah mobil listrik yang sampai hari ini tak pernah mencapai tahap komersialisasi alias beredar di pasaran luas. Dari sejumlah sumber, mobil listrik ini tak seindah yang dibayangkan untuk bisa diluncurkan bagi masyarakat luas. Harga suku cadangnya masih mahal, baterai yang menjadi sumber tenaga (power bank) sangat terbatas kemampuan penyimpanannya. Anda tentu tak mau mendorongnya bukan jika mobil habis bateri ditengah perjalanan? Dibutuhkan banyak colokan listrik (yang berfungsi semacam SPBU-nya) untuk mengisi ulang baterai. Membangun stasion pengisian listrik mungkin perkara mudah, tapi menyediakan listrik ribuan MW untuk mengisi jutaan kendaraan listrik ini perkara yang sangat sulit bagi Indonesia.

Belum lagi kita membicarakan pembiayaan dalam membangun teknologi ramah lingkungan tersebut. Biaya yang dibutuhkan relatif besar, mulai dari puluhan juta hingga ratusan juta, bukan hal gampang bagi masyarakat desa. Pengusaha pun jarang melirik usaha ini mungkin karena keuntungannya minim atau entahlah. Teknologi ramah lingkungan bukan hanya pekerjaan saat membangun saja yang penting, jauh lebih penting lagi adalah perawatan, menjaga sumbere-sumber energi tetap tersedia dan pemanfaatan energi juga tidak boros atau sebagaimana mestinya. Jadi teknologi ramah lingkungan yang dipersepsikan mudah oleh banyak kalangan sebenarnya juga tidak tepat. Ada banyak tantangan ke depannya.

Tapi hal ini bukan berarti mustahil mengembangkan teknologi lingkungan hingga bisa dinikmati masyarakat banyak. Tantangan dapat diselesaikan dengan belajar, kerja keras dan bekerja sama antar berbagai pihak. Menurut sejumlah ahli pun, teknologi ramah lingkungan pada akhirnya akan mendatangkan keuntungan yang berkelanjutan juga nantinya. Bagaimana menurut anda?[]

read more
Green Style

Serangga Bisa Jadi Pangan Ramah Lingkungan

Konferensi ‘Serangga sebagai Pangan Dunia’ telah digelar 14-17 Mei lalu. Lebih dari 450 peneliti dan delegasi dari lembaga internasional mengikuti acara yang digelar di Ede, Belanda, ini.

Menurut Arnold van Huis, profesor di Wageningen University, Belanda, ada 2.000 jenis serangga yang bisa dikonsumsi. “Serangga adalah peluang dan pasar besar,” ujarnya, seperti ditulis AFP (14/05/2014).

Mei tahun lalu, Badan Pangan dan Pertanian (FAO) PBB mengatakan bahwa serangga bukan hanya penting sebagai sumber vitamin dan asam amino, tapi juga berdampak baik bagi lingkungan.

Belalang, semut, cacing, ulat, dan jenis serangga lain bisa jadi langkah yang aman dan murah untuk memberi makan jutaan orang di dunia di tengah kerusakan lingkungan dan meledaknya populasi.

FAO memperkirakan, dunia perlu meningkatkan produksi pangan hingga 70% pada 2050 untuk memenuhi kebutuhan populasi global sebanyak 9 miliar jiwa.

Produksi pakan hewan kini bersaing dengan makanan manusia dan produksi bahan bakar dalam memperebutkan sumber daya alam seperti lahan dan air. Namun, 70% lahan agrikultur di dunia sudah diperuntukkan secara langsung maupun tak langsung untuk produksi daging.

Serangga sudah mulai digunakan sebagai pakan ternak. Satu ton tepung lalat black soldier hanya menghabiskan biaya $1.000 (Rp 11,5 juta) dibanding pakan ikan seharga $13.000 (Rp 149,5 juta). Di beberapa restoran, seranggapun mulai dijadikan konsumsi manusia.

Namun, kata van Huis, ini baru permulaan. Ketertarikan masyarakat kini berkembang sangat cepat. “Bicara soal pakan ternak, serangga akan segera menjadi populer. Namun untuk konsumsi manusia, butuh 5-10 tahun,” ujarnya.

Paul Vantomme yang menangani program konsumsi serangga di FAO menilai perlunya diversifikasi pangan. Pasalnya, 90% produksi kedelai bergantung pada Argentina, Brazil, dan Amerika Serikat. Sementara itu, setiap tahun 12 juta ton ikan dikeruk dari lautan sebelum diolah menjadi pakan ternak. Langkah ini tentu tak berkelanjutan bagi lingkungan.

Di lain pihak, serangga hanya menyumbang jejak yang sangat sedikit dalam emisi karbon dan penggunaan air jika dibandingkan sumber makanan konvensional. Risiko serangga menularkan penyakit ke manusia juga lebih rendah dibanding beberapa jenis hewan ternak.

Serangga memiliki efisiensi konversi pangan yang tinggi karena berdarah dingin. “Rata-rata serangga bisa mengonversi dua kg pakan menjadi satu kg massa serangga, sedangkan hewan ternak memerlukan delapan kg pakan untuk menghasilkan satu kg pertambahan berat badan hewan,” jelas FAO.[]

Sumber: detik.com

read more
Ragam

Membangun Agama Ramah Lingkungan

Republik ini memang negeri multibencana. Setelah bencana yang satu berlalu, datang bencana baru. Saat kemarau tiba, kekeringan dan kebakaran hutan melanda, kini di musim hujan, datang banjir bandang dan tanah longsor di mana-mana. Ketika Jakarta dan Menado dilanda banjir, tidak sedikit yang menganggapnya sebagai ‘takdir’ Tuhan.

Kenapa Tuhan selalu ‘dikambinghitamkan’ setiap terjadi malapetaka. Hampir tidak pernah kita menuduh diri kita sendiri sebagai subjek yang bertanggung jawab terhadap malapetaka dan bencana tadi. Karena adanya keyakinan bahwa setiap malapetaka sebagai ‘siksa’ atau ‘cobaan’ dari Tuhan, maka setiap kali terjadi peristiwa yang menyayat kalbu itu, yang dilakukan umat beragama adalah berdoa, mohon ampun, istighotsah, menggelar zikir nasional sambil berderai air mata dan begitu seterusnya.

Saya tidak bermaksud meremehkan aktivitas ritual batin semacam ini, akan tetapi ‘terapi spiritual’ jenis ini, hemat saya, di samping merendahkan (bahkan ‘mengolok-olok’) martabat Tuhan karena menganggap-Nya sebagai zat yang ‘Maha Buas’, juga dengan cara demikian berarti kita seolah hendak ‘cuci tangan’, melepaskan tanggung jawab dari musibah kemanusiaan itu.

Padahal, jika kita menggunakan perspektif Schumacher dalam A Guide for The Perplexed, masalah krisis lingkungan ini sangat terkait dengan krisis kemanusiaan, dengan moralitas sosial serta krisis orientasi kita terhadap Tuhan. Mengikuti kerangka berpikir Schumacher ini, maka seharusnya manusia yang dipersalahkan dan bukannya Tuhan. Kitalah yang melakukan berbagai tindakan destruktif terhadap alam semesta, sehingga alam pun ‘marah’ dan ‘mengutuk’ kita dengan banjir, tanah longsor, dan sebagainya.

Perusakan lingkungan, penebangan liar, illegal loging, eksploitasi properti alam secara besar-besaran dan segala tindakan merusak alam lain merupakan ‘sumber’ malapetaka dan bencana tadi. Bukankah Alquran sendiri juga telah mengingatkan bahwa, “Kerusakan di darat dan laut adalah akibat ulah manusia yang tidak bertanggung jawab” ?

Jika Alquran sendiri menganggap manusia sebagai mastermind dari kerusakan lingkungan, lalu kenapa kita justru menyalahkan Tuhan? Bukankah, kita umat manusia – jika mengikuti alur cerita kitab suci Agama Semit – pada dasarnya ‘terlempar’ ke dunia yang gersang dan tandus ini juga akibat kecerobohan Adam yang tidak mengindahkan ajaran fundamental Tuhan, yakni kearifan ekologis? Sebab, Adam dan Hawa telah memakan dan merusak pohon kekekalan (buah kuldi).

Wawasan Teologi
Beberapa masalah di atas yang menimpa hampir semua agama adalah sangat terkait dengan wawasan teologis umat beragama itu sendiri. Dalam perspektif Islam, wawasan teologis yang dibangun selama ini hanyalah hal-ihwal yang berkaitan dengan dunia akhirat, kurang memberi respons proporsional mengenai masalah keduniaan.

Wawasan teologi umat Islam memandang masalah ibadah hanyalah yang berhubungan dengan ruang privat (bukan ruang publik). Bahwa pahala dan dosa dipandang hanya berkaitan dengan moralitas individual (bukan moralitas sosial). Bahwa ibadah yang fardlu ‘ain hanyalah yang berkenaan dengan ritual-individual (bukan sosial-komunal), dan seterusnya.

Pemahaman demikian hampir-hampir sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari dunia kaum muslim: agama sudah menjadi bagian dari kebudayaan umat Islam. Inilah kira-kira yang dimaksud Emile Durkheim ketika ia berteori bahwa agama dan masyarakat merupakan dua entitas yang tidak bisa dipisahkan.

Pemikiran demikian tentu saja sangat sulit untuk ditembus dan dilawan. Padahal jika kita teliti dengan cermat, pemahaman keislaman seperti tadi merupakan produk dari pemahaman atau wawasan keislaman yang dibentuk masa imperium Islam (monarki Islam) klasik-skolastik, bukan berangkat dari semangat dan wawasan keislaman yang diusung Nabi Muhammad SAW, dan juga tidak dibangun dari cita-cita etik Alquran.

Kita tahu watak, semangat, dan mentalitas sebuah monarki adalah stabilitas. Logika stabilitas selalu menempati urutan pertama dari sebuah rezim politik, bukan keadilan, persamaan, kemaslahatan, kecerdasan, dan seterusnya.

Sementara spirit profetik dan cita-cita etik Alquran adalah terciptanya sebuah sistem atau tatanan kehidupan yang demokratis dalam segala hal, termasuk demokratis terhadap alam. Ini sejalan dengan cita-cita Islam yakni rahmatan lil alamin (rahmat bagi sekalian alam). Kata alam di sini jelas bukan hanya mahluk hidup seperti manusia dan binatang, tetapi juga alam semesta.

Sayang, pemahaman dan watak demokratis Islam yang ramah lingkungan ini tidak merembes menjadi living tradition-meminjam istilah Seyyed Hosein Nasr-dalam masyarakat Islam pasca kenabian. Bahkan, tragisnya para ulama fikih tidak menjadikan masalah ekologi sebagai bagian dari maqashid al-syari’ah, yakni tujuan disyariatkannya Islam. Imam Syathibi, misalnya, dalam kitabnya yang sangat populer, Al-Muwafaqat, merumuskan maqashid al-syari’ah menjadi lima hal: menjaga atau memelihara agama (hifdz al-din), menjaga jiwa (hifdz al-nafs), memelihara akal (hifdz al-aql), memelihara harta (hifdz al-mal) dan memelihara keturunan (hifdz al-nasl).

Ada yang menambahkan memelihara martabat (hifdz al-’irdh). Pendapat ini yang terus-menerus dijadikan sebagai pegangan dalam berijtihad untuk memecahkan masalah sosial-kemanusiaan. Sementara masalah lingkungan luput dari perhatian ulama fikih dan umat Islam tentunya. Mungkin hanya Yusuf Qardlawi yang menjadikan pemeliharaan lingkungan (hifdz al-‘alam) sebagai bagian dari maqashid al-syari’ah. Itupun sangat tidak populer bahkan dianggap kontraproduktif.

Di sinilah perlunya melakukan restorasi nalar pemikiran keislaman. Ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama, menjelaskan hikmah perennial Islam tentang tatanan dan struktur alam, signifikansi religius, dan kaitan eratnya dengan setiap fase kehidupan manusia. Kedua, menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran ekologis yang berspektif teologis atau membangun teologi yang berbasis kesadaran dan kearifan ekologis. Dalam konteks ini, maka para ulama fikih harus berani melakukan terobosan penting mengenai pemahaman keislaman yang digali langsung dari teks-teks otoritatif utama Islam: Alquran dan Alsunnah.

Walhasil, bahwa bencana alam bukanlah sebuah takdir Tuhan akan tetapi berkaitan erat dengan masalah moral manusia. Karena itu, jika Republik ini ingin bebas banjir maka seluruh komunitas agama memiliki tanggung jawab untuk berteriak tentang pentingnya pemeliharaan lingkungan dan bahaya pengrusakan alam bagi kehidupan ekosistem kita, bukan malah cuci tangan dan menganggapnya sebagai takdir Tuhan belaka. Saatnya membangun agama yang ramah lingkungan. Semoga.

Sumber: padangekspress.com

read more
Green Style

Coca-cola Lakukan Aksi Peduli Lingkungan di Lima Kota

Memperingati Hari Bumi yang dilakukan setiap 22 April, Coca-Cola Amatil Indonesia (CCAI) menggelar program Company Social Responsibility (CSR), serta mengkampanyekan pentingnya pelestarian bumi bagi kelangsungan hidup saat ini dan generasi yang akan datang.

”Kami percaya bahwa sukses dapat diraih melalui cara kami mengintegrasikan pertimbangan sosial dan lingkungan ke dalam aktivitas-aktivitas inti bisnis kami. Sebagai perusahaan global yang mempunyai akar lokal, kami selalu berkomitmen untuk membuat perubahaan yang positif di tengah-tengah komunitas di mana pun kami berada, sekaligus bekerjasama dengan partner-partner bisnis lokal dan mendorong karyawan kami untuk terlibat secara aktif dalam perubahan positif ini,” ujar  Head of Corporate Communications CCAI, Putri Silalahi.

Didasari komitmen ini, CCAI melakukan serangkaian aksi peduli lingkungan di berbagai area operasi di seluruh Indonesia seperti Bali, Semarang, Bandung, Medan, dan Lampung. Aksi ini bertujuan untuk terus meningkatkan kesadaran lingkungan di kalangan karyawan, dan terutama, masyarakat yang tinggal di sekitar unit operasi CCAI.

Di Bali, peringatan Hari Bumi dilakukan pada tanggal 19 April 2014 dengan cara menggelar aksi bersih-bersih pantai. CCAI bekerjasama dengan Garuda Indonesia dan Quiksilver serta Perwakilan Hotel di area Pantai Kuta: Hard Rock Hotel, Harris Hotel, Mercure Kuta, Grand Inna, Kuta Paradiso juga Komunitas Peduli Pantai Bali Bersih, berhasil mengumpulkan lebih dari 600 peserta untuk turut serta dalam kegiatan bersih-bersih pantai Kuta, Legian, Seminyak, Jimbaran, dan Kedonganan, serta berhasil mengumpulkan lebih dari 3 ribu kilogram sampah.

Kemudian di Semarang, CCAI Bawen, Jawa Tengah, bekerja sama dengan Himpunan Mahasiswa Teknik Lingkungan Universitas Diponegoro menggelar kegiatan bertema “Earth in our Hand,” pada 20 April. Kegiatan tersebut diisi dengan seminar dan talk show mengenai konservasi energi, serta parade dengan orasi dan teatrikal mengenai kondisi bumi saat ini dan harapan untuk bumi di masa yang akan datang.

Di Bandung, rangkaian kegiatan Hari Bumi dilakukan oleh CCAI Bandung Plant bersama warga sekitar pabrik dengan melakukan kerja bakti memperbaiki tanggul jebol. CCAI memberikan bantuan berupa 120 karung bekas. Perwakilan karyawan CCAI dan warga RW 01 Desa Cihanjuang juga mengadakan kerja bakti untuk membersihkan area sekitar lingkungan tempat tinggal warga dan bantaran sungai yang berada di belakang Pabrik CCAI.

Sementara di Medan, CCAI Medan Plant bersama Pemkot Medan menggelar kegiatan “Clean up Day” yang melibatkan sekitar 300 orang. Acara yang dipusatkan di Martubung, Kecamatan Medan Labuhan digelar 25 April lalu ini dirancang bersama untuk menggugah dan menginspirasi semangat untuk tetap menjaga kebersihan untuk kelestarian lingkungan di setiap wilayah hunian warga kota di Medan.

Sedangkan di Lampung, CCAI akan memperingati Hari Bumi pada 1 Mei 2014 bertempat di Desa Sukanegara Kecamatan Tanjung Bintang. Dalam kesempatan itu akan dilakukan penghijauan dengan menanam tanaman buah di sekitar rumah warga. Selain itu, CCAI juga akan menempatkan beberapa tong sampah di area zona 1 untuk mengedukasi publik akan pentingnya menjaga kebersihan mulai dari lingkungan terdekat.

Sumber: neraca.co.id

read more
Energi

Wamen ESDM Bahas Energi Ramah Lingkungan di AS

Pemerintah terlibat dalam upaya meningkatkan kerja sama usaha serta investasi bidang energi dan sumber daya mineral. Caranya melalui tukar menukar informasi kebijakan dan diskusi permasalahan energi di kedua negara.

Wakil Menteri ESDM, Susilo Siswoutomo mengemukakan, perkembangan ekonomi dunia yang pesat selama beberapa dekade terakhir, telah menyebabkan meningkatnya konsumsi energi. Hal ini, terutama terjadi di sektor industri dan di perkotaan.

“Sementara di beberapa negara, pasokan energi stagnan karena berbagai faktor seperti menurunnya cadangan, kurangnya investasi dan keterbatasan teknologi. Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami masalah tersebut,” katanya yang menghadiri The 5th Indonesia-US Energy Policy Dialogue yang berlangsung tanggal 1-2 Mei 2014 di Washington DC, Amerika Serikat, seperti mengutip situs Kementerian ESDM, Jumat (2/5/2014).

Di masa lalu, menurut Susilo, Indonesia merupakan salah satu pengekspor minyak utama di dunia. Namun setelah puncak produksi tahun 1996, produksi minyak terus mengalami penurunan hingga saat ini. Untuk mengatasi hal tersebut dengan perbagai langkah.

Pemerintah Indonesia akan terus meningkatkan produksi minyak dan sekaligus mengurangi ketergantungan pada minyak. Caranya melalui diversifikasi energi dengan memanfaatkan sumber-sumber energi yang berlimpah seperti panas bumi dan geothermal. []

Sumber: inilah.com

read more
Sains

Permintaan Mobil Ramah Lingkungan Meningkat Pesat

Meskipun masih dihadapkan pada beberapa masalah teknologi, namun permintaan akan mobil ramah lingkungan dilaporkan semakin meningkat.

Dalam gelaran New York Auto Show 2014, ada banyak produsen mobil meluncurkan kendaraan listrik atau hybrid (gabungan antara mesin bensin dengan motor listrik) untuk memenuhi permintaan global yang terus meningkat bagi mobil ramah lingkungan ini.

Kendaraan berbahan bakar sel hidrogen dari Toyota sebagai contohnya. Teknologi mobil ini mengubah hidrogen menjadi listrik, jalannya mulus, akselerasinya tinggi, dan tidak menghasilkan gas karbon monoksida.

“Kami berpendapat hidrogen merupakan bahan bakar masa depan kendaraan listrik karena jauh lebih praktis,” ujar Wade Hoyt, perwakilan Toyota AS seperti dilansir VOA News.

“Cara kerjanya adalah hidrogen bergabung dengan oksigen di udara. Senyawa itu membentuk H2O, yaitu uap air yang keluar dari knalpot, sehingga emisinya nol. Dan listrik dihasilkan dari kombinasi itu,” tambah Hoyt.

Banyak produsen kini memproduksi kendaraan hybrid dan listrik. Ford meluncurkan Ford Focus bertenaga listrik dan Chevrolet mengunggulkan produk Volt mereka yang ramah lingkungan.

Selain ramah lingkungan, kendaraan itu juga dapat menawarkan kinerja yang bagus. Mobil listrik merek Tesla memiliki akselerasi tinggi dan dapat mencapai kecepatan 100 km/jam dalam waktu 3,7 detik. Adapun kecepatan maksimalnya bisa mencapai lebih dari 200 km/jam.

Mesin bertenaga listrik memiliki akselerasi tinggi karena torsi nya lebih besar dibandingkan mesin bensin. Itulah sebabnya mobil-mobil mewah, seperti BMW, melakukan uji-coba dengan teknologi baru ini.

Namun peralihan dari bensin merupakan proses evolusi, kata James Bell dari General Motors.

“Menurut saya kesalahan yang banyak dilakukan dalam industri dan media adalah pendapat bahwa ketika Nissan Leaf atau Chevrolet Volt dirilis, orang-orang akan serentak beralih. Tetapi kenyataannya tidak seperti itu. Ini merupakan evolusi yang lambat dan kita tidak akan mundur dari sana. Mobil listrik akan memenuhi persyaratan emisi di masa depan,” papar Bell.

Kendaraan berbahan bakar alternatif jumlahnya hanya satu juta di antara 60 juta mobil yang diproduksi di seluruh dunia setiap tahunnya. Namun di tahun 2013, jumlah mobil hybrid dan listrik mengalami pelipat gandaan.

Produsen mobil belum meraup keuntungan dari mobil listrik karena besarnya biaya teknologi baterai. Baterai mobil Tesla, biayanya sekitar US$50 ribu, kira-kira setengah dari total harga jual mobil ini.

Tapi produsen menanggung biaya tersdebut karena yakin mobil listrik merupakan bagian penting dari masa depan industri otomotif.

Tantangannya adalah memproduksi mobil dengan baterai murah yang tahan lama, dimana pengemudi dapat menempuh perjalanan jauh setelah diisi ulang.

Pada saat itulah, produsen mobil berharap jutaan pemilik kendaraan akan memutuskan untuk beralih dari bensin ke bahan bakar alternatif.

Sumber: inilah.com

read more
Green Style

Desainer Ini Ciptakan Dapur Ramah Lingkungan

Menurut desainer muda Radek Rozkiewicz, dapur Australia terlalu besar dan boros. Akibatnya, energi dan bahan makanan sering terbuang sia-sia. Ia pun merancang dapur ramah lingkungan yang bisa dipindahkan dengan mudah dan tidak menggunakan listrik maupun air dari pipa atau keran langsung. Harganya kurang dari 1.000 dollar atau Rp 10,7 juta.

Rozkiewicz juga meminta agar warga Australia mempertimbangkan hidup tanpa kulkas. Karena menurutnya kulkas adalah salah satu alat yang memicu pemborosan makanan.

“Rancangan ini mandiri, jadi tak ada sistem pembuangan sampah atau daur ulang, dan tak ada air, gas atau listrik…luas seluruhnya 1,4 meter…” jelasnya.

Rozkiewicz mendapat gagasan membuat dapur macam ini karena menurutnya dapur di keluarganya sendiri terlalu boros. Ia meminta agar warga Australia mencoba hidup tanpa air yang mengalir lewat pipa dan lebih bergantung pada cara alami untuk menentukan kapan bahan makanan harus diolah.

“Makanan yang paling cepat kadaluwarsa, yaitu buah dan sayuran, terletak di bagian paling bawah kulkas. Tak bisa terlihat langsung hanya dengan membuka pintu kulkas. Lagipula, kapasitas [dapur kami] jauh melebihi tingkat kecepatan konsumsi. Makanan di sini cukup untuk delapan orang, padahal keluarga kami cuma tiga orang,” katanya.

Berkat dapur rancangannya ini, Rozkiewicz memenangkan penghargaan  Young Green Innovator of the Year, atau Perintis Ramah Lingkungan Muda, pada Festival Sustainable Living Festival.

“Alasan kenapa kita punya dapur-dapur besar, adalah kenyamanan. Mesin pencuci piring membuat hidup lebih mudah, microwave memudahkan menghangatkan makanan, padahal banyak gizi yang terbuang dalam proses itu,” katanya.

Dalam rancangan Rozkiewicz, tak ada yang tersembunyi. Semua bahan makanan terlihat. Makanan yang perlu disimpan di tempat gelap, seperti kentang, disimpan dalam tas-tas yang digantung. Kompor yang digunakan adalah kompor kecil yang biasa digunakan untuk berkemah.

Untuk mencuci piring, Ia menggunakan wadah dari stainless steel, dan untuk mendinginkan, digunakan wadah tembikar kecil yang memiliki lubang-lubang kecil.

Rancangannya dikhususkan untuk mereka yang tak makan daging. Bagi mereka yang mengkonsumsi daging, disarankan membeli daging pada hari yang sama daging itu akan dimakan.

“Tembikar yang tidak dilapisi akan mendingin saat menyerap air. Jadi, saat anda mencuci piring dan mengeringkannya di atas rak yang terletak di atas wadah tembikar ini. Airnya akan menetes, jatuh ke wadah tembikar, dan wadah itu akan menyerap kelembaban ini dan mendingin,” jelas Rozkiewicz.

Air yang akan digunakan untuk memasak dan mencuci harus dibawa dari tempat lain ke dapur rancangannya, karena tak ada keran di dapur ini. Dapur tersebut dilengkapi sistem kompos yang bisa mendaur ulang sampah.

Saat ini Rozkiewicz tengah merancang dapur ramah lingkungan yang bisa dilengkapi listrik dan air yang mengalir.

sumber: radioaustralia.net.au

read more
1 2 3
Page 1 of 3