close

rawa tripa

HutanKebijakan Lingkungan

HAkA Prediksi Hutan Rawa Tripa Akan Punah

BANDA ACEH – Nagan Raya menjadi kabupaten terparah dan terusak areal tutupan hutannya berdasarkan data citra satelit yang dikeluarkan oleh Yayasan HAkA, periode Januari – Juni 2018 yaitu seluas 627 hektare.

Kawasan Gambut Rawa Tripa yang berada di Kecamatan Darul Makmur, Nagan Raya pun kini sangat memprihatinkan dan terancam hilang. “Rawa Tripa dikhawatirkan akan habis dalam beberapa waktu ke depan,” kata Manager Geographic Information System (GIS) HAkA, Agung Dwinurcahya, Senin (23/7/2018) di Banda Aceh.

Menurut Agung, laju deforestasi di Rawa Tripa yang terjadi tahun ke tahun berada di lokasi yang sama, yaitu di arah timur dan selatan hutan. Pengrusakannya juga terjadi di wilayah hulu, penghancuran hutan itu mengikis kawasan hutan.

“Sebagian besar kerusakan hutan di Nagan Raya memang berada di dalam Kawasan Gambut Rawa Tripa,” kata Agung.

Mirisnya, tutupan hutan di wilayah yang pernah dikenal sebagai tempat populasi Orangutan terpadat dunia ini pun terus menurun. Penyebab utamanya, karena semakin maraknya perambahan hutan untuk dijadikan lahan perkebunan.

Padahal, Kabupaten Nagan Raya termasuk dalam daftar kabupaten yang memiliki hutan sisa terluas di KEL. Selain Nagan Raya, kabupaten lain yang memiliki hutan sisa terluas yaitu Gayo Lues, Aceh Tenggara, Aceh Timur, dan Aceh Selatan.

Menurut Agung, sebagaimana terpantau melalui NASA dan satelit VIIRS dan MODIS. Kerusakan hutan khususnya Rawa Tripa, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya terjadi setiap bulannya sejak Januari-Juni 2018.

“Lama-lama Rawa Tripa tempatnya Orangutan bisa habis kalau tak segera dicegah,” jelasnya.

Sementara itu staf Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), Teuku Muhammad Zulfikar menilai, penting menjaga Rawa Tripa mengingat lahan gambut tersebut memberikan fungsi-fungsi ekologis yang sangat penting bagi manusia dan habitatnya.

Lahan gambut Rwa Tripa merupakan lahan untuk penyimpanan air yang bisa dipergunakan untuk kehidupan manusia. Selain itu juga bisa untuk perlindungan badai dan pencegahan banjir, stabilisasi garis pantai dan pengontrol erosi.

Tak hanya itu, fungsi ekologis lahan gambut Rawa Tripa menjadi pengisian air tanah (pergerakan air tanah dari lahan basah ke daerah atasnya), pengeluaran air tanah (pergerakan dari lahan sebelah atas ke lahan basah di sebelah bawah) hingga pemurnian air, penahan/pengumpul nutrien, penahan/pengumpul sedimen dan penahan/pengumpul bahan-bahan berpolusi.

Lahan gambut Rawa Tripa itu juga sangat berfungsi menstabilkan kondisi iklim lokal, khususnya curah hujan dan temperatur,” tegas Teuku Muhammad Zulfikar.

Sedangkan nilai manfaat lainnya hutan gambut Rawa Tripa yang lebih spesifik di pesisir pantai Barat Aceh adalah menjadi benteng alami penahan tsunami.

Lalu kontribusinya dalam mencegah perubahan iklim melalui penyerapan CO2 dan penyimpanan karbon sesuai dengan “Kyoto protocol” yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan target untuk menghentikan kehilangan keanekaragaman hayati.

“Karena hutan rawa gambut ini adalah salah satu yang sangat berharga di dunia  karena keunikan dan kekayaan flora dan faunanya,” sebutnya.

Rawa Tripa juga melestarikan sebagian besar populasi Orangutan Sumatera yang tersisa 30 persen dari 7000 di dunia yang sekarang berstatus critically endangered. Penyelamatan spesies ini adalah tujuan utama oleh Pemerintah Indonesia, ketika menandatangani the Kinshasa Great Apes Declaration pada bulan September 2005 lalu.

Kata Teuku Muhammad Zulfikar, penting mendorong upaya pengelolaan kawasan gambut Rawa Tripa sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut dan disempurnakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.

“Perlu ada model pengelolaan ekosistem gambut lainnya di Provinsi Aceh yang inklusif dan melibatkan masyarakat serta berbagai multipihak secara aktif dan terbuka untuk mencapai tujuan yang diharapkan,” herapnya.

Dengan adanya pengelolaan ekosistem gambut Rawa Tripa, bisa menstabilkan atau bertambahnya tinggi permukaan air, serta terselamatkannya populasi orangutan dengan pulihnya habitat. Maka perlu terus mendorong percepatan pengembalian fungsi kawasan, yang juga sebagai faktor penting sebagai penyedia jasa lingkungan bagi masyarakat Aceh.

read more
Green StyleKebijakan Lingkungan

Empat LSM Lingkungan Presentasikan Program Hutan & Satwa Aceh

Banda Aceh – Program Tropical Forest Conservation Action for Sumatera (TFCA Sumatera) menyelenggarakan kegiatan pemaparan proyek perlindungan hutan Aceh, Kamis (19/7/2018) bertempat di Kyriad Hotel Banda Aceh. Kegiatan menghadirkan empat LSM lingkungan yang mendapat bantuan pendanaan dari TFCA Sumatera untuk mempresentasikan kegiatan mereka dalam melindungi hutan Aceh. TFCA sendiri adalah sebuah program kerjasama antara pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat dimana dananya diambil dari pengalihan hutang Indonesia (debt Swap) kepada Amerika. Uang yang berasal dari pembayaran hutang ditampung dalam rekening trust fund kemudian disalurkan untuk pembiayaan perlindungan hutan. Program berjalan selama delapan tahun (2009-2020) dengan total dana USD 42,6 juta.

Keempat LSM tersebut adalah Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) yang mempresentasikan program mereka di hutan gambut Rawa Tripa, Yayasan Leuser Internasional (YLI) yang menjelaskan program mereka di Suaka Margasatwa Rawa Singkil, Forum Konservasi Leuser (FKL) yang mempresentasikan kegiatan mereka di Kawasan Ekosistem Leuser dan Conservation Response Unit (CRU) Aceh yang memaparkan program perlindungan gajah di Kawasan Ekosistem Leuser. Setiap lembaga memaparkan apa yang telah mereka laksanakan dalam proyek TFCA, capaian-capaian, tantangan dan rencana program ke depan.

Wakil dari YEL, T. Muhammad Zulfikar dalam pemaparannya menyampaikan pentingnya kawasan gambut Rawa Tripa yang terletak di Nagan Raya dan sebagian Aceh Barat Daya. Hutan ini, yang menjadi habitat Orangutan Sumatera mengalami kerusakan parah akibat dibuka untuk perkebunan kelapa sawit. Karena itu YEL mengadvokasi kawasan gambut ini menjadi kawasan lindung.

“Gambut harus diselamatkan karena sudah banyak yang mengalami perubahan tata guna lahan,”ujarnya. Isu Rawa Tripa sempat menjadi perhatian public pasca gugatan sejumlah LSM terhadap PT Kallista Alam yang dituduh membakar lahan dan membuka kebun illegal. Gugatan ini dimenangkan LSM lingkungan hingga MA, namun sayangnya eksekusi putusan MA tertunda akibat gugatan balik yang dilancarkan oleh PT Kallista Alam. Seluas 1.605 hektar bekas lahan milik perusahaan ini dikembali kepada fungsi semula namun sayangnya akibat pengelolaan yang tidak jelas kini sebagian lahannya jadi ajang perebutan.

Menurut Zulfikar isu gambut sangat penting untuk dibicarakan dan dicarikan solusinya. Apalagi pemerintah Aceh dimasa Gubernur Zaini Abdullah mengeluarkan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dari Qanun Tata Ruang Aceh. Kementerian LHK sudah memberikan rekomendasi agar KEL dimasukan kembali ke dalam Qanun RTRW Aceh.
Sekitar 13.000 hektar gambut di Rawa Tripa diperjuangkan menjadi kawasan lindung gambut. Sementara masih ada 3000-an hektar lahan gambut di Aceh Jaya yang belum tersentuh program advokasi. “Takutnya jika gambut Aceh Jaya tidak diadvokasi, gambut ini akan hilang sedikit-sedikit akibat perubahan lahan,”kata Zulfikar.

Zulfikar juga menegaskan pentingnya dibentuk badan yang khusus mengurusi masalah lahan gambut di Aceh. Jika di tingkat nasional ada Badan Restorasi Gambut, maka di Aceh perlu bentuk lembaga yang sejenis.

Selain program kehutanan, YEL juga memberikan bantuan kepada masyarakat sekitar hutan Rawa Tripa. Bantuan berupa keterampilan membuat pupuk, pemberian bantuan bibit tanaman dan ikan. Ini dilakukan agar kesejahteraan masyarakat sekitar dapat meningkat.

Sementara itu mewakili dari YLI, Nijar Tarigan menampilkan kegiatan yang mereka lakukan di suaka marga satwa Rawa Singkil. Ia menyebutkan Suaka Margasatwa Rawa Singkil seluas 102.500 ha yang berada di dalam KEL merupakan salah satu hutan rawa gambut yang masih tersisa di dunia yang perlu dipertahankan. Kawasan hutan ini rawan mengalami kerusakan dan membutuhkan perlindungan secara berkelanjutan, juga menjadi habitat banyak mamalia, tumbuhan, burung, spesies ikan dan banyak jenis reptil yang langka dan terancam, serta penting untuk memelihara berbagai jasa-jasa lingkungan.

Tampil mewakili CRU Aceh adalah Wahdi Azmi. Lembaga ini mendapat bantuan dana dari program TFCA spesies untuk khusus menangani gajah. Diantara program CRU Aceh yang menonjol adalah memasang Collar GPS pada gajah untuk mengetahui pergerakan gajah dan membangun barrier gajah dengan memadukan antara artificial barrier (barrier buatan manusia) dengan natural barrier (barrier alami) agar gajah liar tidak masuk pemukiman penduduk yang sering menimbulkan konflik.

Wahdi menyebutkan bahwa habitat gajah di Aceh masih mencukupi karena hutan Aceh masih relative luas. Hal ini berbeda dengan hutan di Sumatera lainnya yang luasnya semakin menyusut. Aceh mempunyai kesempatan yang bagus untuk menjaga kehidupan gajah yang tersebar hampir di seluruh daerah Aceh. Hanya saja gajah Aceh tidak mendiami daerah konservasi sendiri atau suaka marga satwa tapi tinggal dalam hutan-hutan yang pengelolaannya dibawah pemerintah Aceh. CRU Aceh akan memperjuangkan berdirinya suaka margasatwa (sanctuary) yang menjadi tempat berlindung hewan-hewan liar. CRU Aceh sendiri terpisah secara struktural dengan CRU-CRU lain yang berada di bawah BKSDA.

Topografi hutan Aceh yang ekstrim, tebing-tebing hutan yang curam menjadi natural barrier yang bagus bagi gajah. Barrier buatan sendiri tidak akan efektif bila tidak dikelola dengan benar. Perpaduan kedua barrier ini menjadikannya sebagai barrier yang efektif dan efisien. Saat ini terdapat 70-80 ekor gajah kawasan hutan Ulu Masen.

FKL lebih banyak mempresentasikan program patroli mereka dimana mereka sangat sering menemukan jerat hewan liar dan perambahan liar di kawasan KEL. Patroli rutin mereka laksanakan untuk mencegah perburuan hewan liar. Tak kurang dari ribuan jerat berbagai ukuran untuk berbagai macam hewan liat telah berhasil mereka sita. Selama berpatroli mereka ditemani oleh petugas dari BKSDA yang memang secara UU memiliki kewenangan khusus beroperasi dalam kawasan lindung.

Dana Hibah TFCA untuk Aceh
Selama lima siklus dan off cycle program TFCA, banyak lembaga lingkungan yang melaksanakan konservasi di Aceh dengan bantuan dana TFCA. Berikut daftar lembaga yang mendapat pendanaan untuk bekerja di propinsi Aceh:
1. Yayasan Leuser International
Nama Proyek: Pengamanan Kawasan Strategis Aceh Selatan – Singkil bagi Konservasi yang Berbasis Masyarakat Secara Berkelanjutan di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Bentang Alam: Taman Nasional Batang Gadis, Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Gunung Leuser,
Durasi Hibah: Maret 2011-Januari 2017
Bantuan dana : Rp. 11.181.842.059

2. Yayasan Ekosistem Lestari
Nama proyek : Penyelamatan Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa-Babahrot Melalui Upaya Penetapan Kawasan Lindung di Luar Kawasan Hutan dan Restorasi dengan Pendekatan Multi Pihak
Bentang Alam: Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Gunung Leuser,
Durasi Hibah: Mei 2012-April 2017
Bantuan dana: Rp. 6.548.795.000

3. Konsorsium Jantho Lestari
Nama proyek : Kegiatan Konservasi Hutan Tropis di Cagar Alam Jantho Kabupaten Aceh Besar, Pidie dan sekitarnya untuk Perbaikan Fungsi Kawasan Konservasi, Keanekaragaman Hayati dan Peningkatan Taraf Hidup Masyarakat Sekitar Hutan
Anggota Konsorsium: 1. Yayasan Pemerhati Alam Dunia Hijau Indonesia (PADHI) 2. WWF-Indonesia
Bentang Alam: Hutan Seulawah – Ulu Masen,
Durasi Hibah: Juni 2014 – Mei 2017
Bantuan dana: Rp. 4.620.828.000

4. Konsorsium Suar Galang Keadilan
Nama proyek: Penguatan Kapasitas Penegak Hukum Dalam Penanganan Kasus Kejahatan Terhadap Satwa Liar yang Dilindungi di Aceh
Bentang Alam: Hutan Seulawah – Ulu Masen,
Durasi Hibah: Oktober 2016 – April 2017
Bantuan dana: Rp. 1.000.000.000

5. Konsorsium HAKA
Nama proyek: Konservasi Badak Sumatera Di Kawasan Ekosistem Leuser Melalui Peningkatan Peran Pemerintah Daerah dan Masyarakat Lokal
Anggota Konsorsium: 1. Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HaKA) 2. Forum Konservasi Leuser (FKL) 3. Forum Masyarakat Leuser Aceh Tenggara (FORMALAT)
Bentang Alam: Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Gunung Leuser,
Durasi Hibah: November 2015-Oktober 2016
Bantuan dana: Rp. 1.000.000.000

(Sumber: tfcasumatera.org)

 

 

read more
Green StyleHutan

Seratus Ribu Masyarakat Teken Petisi Dukung Eksekusi PT Kallista Alam

BANDA ACEH – Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) mendatangi Pengadilan Tinggi Banda Aceh untuk menyerahkan seratus ribu lebih dukungan publik untuk eksekusi putusan MA terhadap PT Kallista Alam (PT KA), perusahaan pembakar lahan rawa gambut Tripa, Nagan Raya, Kamis (12/07/2018).

KMS yang terdiri dari Yayasan HAkA, Rumoh Transparansi, FORA, Change.org Indonesia, Gerakan Rakyat Aceh Menggugat (GeRAM), dan Perhimpunan Pengacara Lingkungan Hidup (P2LH) menyerahkan petisi Change.org/HukumPembakarLahan. Petisi tersebut berisikan dukungan sekaligus desakan kepada PT Banda Aceh untuk membatalkan putusan Pengadilan Negeri Meulaboh Perkara Nomor 16/Pdt_G/2017/PN Mbo.

Pada sidang tanggal 12 April 2018, Majelis Hakim PN Meulaboh yang memeriksa Perkara Nomor 16/Pdt_G/2017/PN Mbo menyatakan bahwa Putusan PN Meulaboh sebelumnya yaitu Perkara Nomor 12/PDT.G/2012/PN MBO yang menghukum PT Kallista Alam (PT KA) dengan denda dan kewajiban memulihkan lahan yang rusak akibat dibakar senilai Rp. 366 milyar tidak mempunyai title eksekutorial atau tidak bisa dieksekusi. Seperti diketahui sebelumnya, PT KA dinyatakan bersalah karena terbukti membakar 1.000 hektar lahan gambut di Tripa, Nagan Raya, Aceh.

Sekretaris Yayasan HAkA, Badrul Irfan mengatakan penyerahan petisi ini merupakan bentuk kepedulian dan kekecewaan publik terhadap putusan PN Meulaboh yang menyatakan bahwa putusan Mahkamah Agung (MA) terhadap kasus pembakar lahan ini tidak bisa dieksekusi. Sebagai wujud partisipasi pubik, HAkA menggalang petisi ini melalui Change.org Indonesia mendesak MA untuk membatalkan putusan 16/Pdt.G/2017/PN.Mbo sekaligus memerintahkan PN Meulaboh melaksanakan eksekusi terhadap PT. KA sesuai dengan putusan perkara no. 1 PK/PDT/2017 jo. Putusan no. 651 K/Pdt/2015 jo putusan no. 50/PDT/2014/PT BNA jo. Putusan no. 12/PDT.G/2012/PN.MBO — untuk membayar biaya pemulihan lingkungan sebesar Rp 366 miliar.

Sebelumnya, Rumoh Transparansi juga sudah melaporkan kasus ini ke KPK dengan nomor pengaduan 96297 pada hari Rabu, 2 Mei 2018. “Kami mencium ada penyelewengan pada kasus ini yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 366 milyar. Hal ini juga kami anggap sebagai salah satu upaya penyalahgunaan wewenang oleh PN Meulaboh. Atas dasar ini, kami mengadukan pihak PN Meulaboh ke KPK sebagai lembaga anti-rusuah di Indonesia,” ujar Koordinator Rumoh Transparansi, Crisna Akbar.

Salah satu penandatangan petisi dengan akun Aslam Saad menulis, “Ketika hukum digadaikan oleh penegak hukum kepada para perusak hutan, rakyat sekitar hutan semakin menderita dan negara tak berdaya.” Akun lain dengan nama Elok Galih Karuniawati menulis, “Selamatkanlah hutan kita dan eksekusi perusahaan yang telah ceroboh membakar hutan. #SaveTripa.”

“PT Kallista Alam telah dibuktikan bersalah berdasarkan undang-undang administrasi, pidana, dan perdata oleh majelis pengadilan dan Mahkamah Agung. Bila suatu pengadilan negeri bisa menentang putusan Mahkamah Agung, ini sangat tidak masuk akal. Tidak mengejutkan kalau sekarang banyak pengamat yang mempertanyakan motif di belakang putusan hakim PN Meulaboh dalam kasus ini, dan kami meminta ada investigasi khusus disini,” ujar juru bicara GeRAM, M. Fahmi.[rel]

 

read more
HutanKebijakan Lingkungan

Berebut Lahan 200 Ha eks PT Kalista Alam di Rawa Tripa

Banda Aceh – Lahan yang dulunya milik PT Kalista Alam, kini menjadi ajang rebutan oleh sejumlah masyarakat. Mereka mengatasnamakan koperasi maupun secara individu. Hal ini menyebabkan tujuan mengembalikan kondisi hutan gambut Rawa Tripa ke keadaan semula menjadi terhambat.

Lahan perkebunan sekitar 200 hektar yang dulunya milik PT Kalista Alam kini dikuasai oleh sejumlah pihak. Awalnya pasca pencabutan Izin Usaha Perkebunan Budidaya (IUPB) lahan dengan totoal luas 1.605 hektare yang diputuskan oleh pengadilan, lahan yang sudah terlanjut ditanami ini menjadi incaran banyak pihak. Organisasi lingkungan yang menggugat pencabutan izin tersebut tahun 2013 berhasil memenangkan gugatannya. Izin yang dikeluarkan oleh Gubernur masa itu Irwandi Yusuf dicabut oleh PTUN. Aktivis lingkungan berharap hutan gambut Rawa Tripa yang sudah mengalami kerusakan bisa dikembalikan seperti semula. Namun apa hendak dikata, kondisi bekas perkebunan ini masih tetap saja rusak.

Staf Dinas Perkebunan Nagan Raya, Akmaizar, SP, kepada Greenjournalist, Rabu (4/7/2018) mengatakan bahwa seluas 200 hektar lahan pasca pencabutan izin dikelola oleh koperasi yang bernama Kopermas Sinpa. Koperasi ini mengadakan perjanjian dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Propinsi Aceh yang saat itu Kepala Dinasnya adalah Husaini Syamaun. Koperasi ini mengatasnamakan masyarakat dhuafa, miskin dan anak yatim, mengelola lahan dengan sistem bagi hasil sesuai persentasi. Koperasi mendapat bagi hasil kemudian Pemkab Nagan Raya dan Pemerintah Provinsi juga mendapatkan keuntungan. Perjanjian kerjasama diteken tahun 2016.

Namun sayangnya setelah perjanjian kerjasama berjalan, ternyata koperasi tidak mampu mengelola lahan ini dengan baik sehingga akhirnya Dishutbun mencabut perjanjian kerja sama ini tahun 2017. Sementara itu, melihat koperasi mengelola kebun sawit di Rawa Tripa, masyarakat pun ikut-ikutan menanam sawit di bekas lahan hutan gambut tersebut. “Alasan mereka, kalau koperasi bisa nanam, kenapa kami tidak,”ujar Akmaizar.

Akmaizar bersama tim baik dari kabupaten Nagan Raya, Propinsi Aceh dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, telah melakukan peninjauan ke lapangan beberapa hari lalu. Kunjungan ini berdasarkan laporan dari PT Kalista Alam bahwa banyak yang menggarap lahan di bekas lahan mereka tersebut sehingga merugikan mereka.

“Yang mengejutkan hari ini baru diketahui bahwa 200 Ha areal yang terlanjur tertanami telah diserahkan pengelolaan nya oleh pemerintah Aceh melalui Dinas Kehutanan kepada salah satu Koperasi di Nagan Raya. Anehnya lagi ada sebagian oknum masyarakat yang menjadikan itu sebagai dasar legalitas untuk menggarap areal lainnnya dalam kawasan areal 1.605 Ha,”kata Akmaizar. Hal ini sangat disayangkan karena menambah kerusakan hutan Rawa Tripa. Pemerintah Aceh secara resmi menetapkan kawasan Rawa Tripa menjadi kawasan lindung gambut seluas 1455 Ha di areal eks PT Kalista Alam di kawasan Suak Bahung Kecamatan Darul Makmur, Kab.Nagan Raya tahun 2015 lalu. Kawasan yang diresmikan ini adalah bagian dari seluas 11.359 Ha kawasan gambut lindung yang sudah dimasukkan dalam Qanun RTRW Aceh.

Dihubungi terpisah, Staf Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), Indrianto mengatakan saat ini sudah ada pihak lain yang mengincar lahan bekas PT Kalista Alam tersebut. Pihak yang mengincar berbentuk koperasi yang mengatasnamakan kelompok masyarakat tertentu.

“Info yang saya dapat, koperasi ini hampir meneken kerjasama dengan Dishutbun Propinsi Aceh. Namun pak Kadis Husaini Syamaun keburu diganti sehingga perjanjian belum diteken hingga saat ini,”kata Indrianto. Pemerintah Aceh sepertinya sangat berniat untuk menyerahkan lahan 200 hektar ini dikelola pihak ketiga. Maklum saja, sawit dalam kebun tersebut sudah menghasilkan duit sehingga menarik minat banyak orang. Indrianto mengatakan pohon sawit  dalam kebun tersebut mencapai tinggi 2 meter dan telah berbuah.

Masyarakat mendirikan pondok di bekas lahan Kalista Alam | Foto: Indrianto

Pihak YEL sendiri sudah berusaha merehabilitasi lahan Rawa Tripa tersebut salah satunya dengan penutupan kanal-kanal (block canals). Hal ini dilakukan agar air yang terdapat dalam tanah gambut tidak mengalir keluar melalui kanal-kanal yang bisa menyebabkan kekeringan serta berujung kepada kebakaran hutan.

“Dalam lahan 200 hektar itu ada juga kanal-kanal yang kami tutup. Tapi di beberapa tempat dirusak kembali oleh oknum,”kata Indrianto. Pemerintah sendiri sejauh ini masih mengumpulkan data-data terkait dengan penguasaan lahan Rawa Tripa.

Rawa Tripa, yang sering dijuluki Ibukota Orangutan, terus menerus mengalami ancaman kerusakan. Masih saja banyak pihak yang memandang Rawa Tripa hanya sebagai tempat menanam sawit semata. Mereka lupa akan fungsi ekologi dari hutan gambut ini.[]

 

read more
HutanKebijakan Lingkungan

Kejari Nagan Raya Eksekusi Kepala Kebun PT SPS II

NAGAN RAYA – Kejaksaan Negeri (Kejari) Nagan Raya mengeksekusi seorang terpidana kasus pembakaran lahan perkebunan sawit PT Surya Panen Subur II (SPS II), dari tiga terpidana yang telah diputuskan bersalah oleh Mahkamah Agung (MA), Senin (25/6/2018) lalu.

Terpidana yang dieksekusi itu sebelumnya menjabat sebagai Kepala Kebun Seunaan PT SPS II, Anas Muda Siregar. Dia terbukti bersalah melalui keputusan MA kasus pembakaran lahan dalam rentang waktu Maret hingga Juli 2012 lalu seluas 1.200 hektar.

Sedangkan dua terpidana lainnya, Eddy Sutjahyo Busin (Presiden Direktur PT SPS), Marjan Nasution (Administrator PT SPS), gagal dieksekusi karena alasan dalam kondisi sakit saat ini. Pihak Kejadi Nagan mengaku akan terus memantau perkembangan kesehatan kedua terpidana yang belum dieksekusi tersebut.

“Terpidana dieksekusi ke Lembaga Permasyarakatan Kelas II B Meulaboh, Aceh Barat,” kata Kepala Kejari Nagan Raya, Sri Kuncoro.

Anas Muda Siregar dihukum penjara selama dua tahun penjara oleh MA. Selain itu, MA juga menghukum pidana denda sebesar Rp 3 miliar dengan subsidair 3 bulan penjara. Putusan hukuman yang sama juga diberikan kepada kedua terpidana yang belum dieksekusi pihak Kejari Nagan Raya.

Ketiga petinggi PT SPS dipidanakan karena telah membuka lahan untuk perkebunan sawit dengan cara membakar seluas 1.200 hektar di lahan gambut. Lalu pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menggugat perusahaan tersebut hingga persidangan bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Meulaboh.

Seperti dikutip dari mongabay.co.id, persidangan yang berlangsung Kamis (28/1/2016) di Meulaboh, Hakim Rahma Novatiana, menjatuhkan denda untuk perusahaan ini sebesar Rp 3 miliar dan hukuman penjara 3 tahun, subsider 1 bulan, kepada Anas Muda Siregar (kepala kebun) dan Marjan Nasution (kepala proyek). Namun, Presiden Direktur PT. SPS II Edi Sutjahyo Busiri yang ikut menjadi pesakitan dinyatakan bebas.

Hukuman ini lebih ringan dibandingkan dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum Rahmat Nur Hidayat yang menuntut hukuman 3,5 tahun penjara kepada terdakwa dan denda Rp 4 miliar ke perusahaan. Persidangan PT. SPS II telah berlangsung sejak 2013.

Hakim menjerat terdakwa dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Menurut majelis hakim, PT. SPS II terbukti bersalah membuka lahan dengan cara membakar secara berlanjut. “Hal yang memberatkan perbuatan terdakwa ini menyebabkan perubahan karakteristik pada lahan gambut. Perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam pelestarian lingkungan di lahan gambut.”

Majelis hakim juga memberi pertimbangan lain yang meringankan PT. SPS II yang dianggap telah memiliki manajemen kesigapan tanggap darurat terhadap kebakaran dan telah melakukan upaya maksimal memadamkan kebakaran lahan sehingga kebakaran tidak meluas dan dapat dilakukan secara cepat tanpa bantuan pemerintah.

Kebakaran terjadi di areal konsesi PT. SPS II di Desa Pulo Kruet, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya. PT. SPS II memiliki konsesi hak guna usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit seluas 12.957 hektar di Tripa dan beroperasi atas izin budidaya Gubernur Aceh tahun 2012 setelah membeli HGU itu dari PT. Agra Para Citra. Hasil pemeriksaan lapangan menunjukkan bahwa areal yang terbakar merupakan lahan yang sudah ditanami sawit dan sebagian merupakan lahan yang sudah dibuka sebelum kebakaran terjadi.

Atas vonis hakim ini, para terpidana menyatakan banding. Menurut pengacara PT. SPS II, Trimulya, ada hal yang kontradiktif dalam putusan majelis hakim. “Dalam pertimbangan majelis hakim disebutkan para terdakwa telah menerapkan metode pembukaan lahan tanpa bakar.”

Kejari Nagan Raya tinggal mengeksekusi dua terpidana lainnya yang dinyatakan masih sakit, sehingga tidak bisa dieksekusi. Atas putusan ini menjadi pelajaran semua pihak bahwa begitu penting penyelamatan dan pelestarian lahan gambut di  kawasan Rawa Tripa dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).

read more
Hutan

Rawa Tripa, Riwayatmu dari Dulu hingga Kini

Di masa kolonial, pejuang Aceh menjadikan Tripa sebagai tempat persembunyian. Hutan yang rapat menghentikan serdadu Belanda. Itu sepenggal kisah lokal tentang Tripa yang agung dan misterius. Dari masa ke masa, keagungan Tripa sirna. Rawa ini hanya menjadi tempat merajalelanya keserakahan perkebunan sawit. Lini masa berikut menunjukkan benturan kepentingan di Tripa sudah terjadi sejak era 1990-an.

1920-an
Pembukaan kebun sawit NV Socfin (sekarang PT Sofindo) di Nagan Raya.
1934
Pemimpin adat Aceh mendeklarasikan penyelamatan hutan Leuser, yang mencakup Tripa. Deklarasi Tapaktuan ini ditandatangani gubernur Hindia Belanda.
1940-an
Hampir seluruh Tripa ditutupi hutan perawan.
1980-an
PT Cemerlang Abadi membuka kebun sawit di Alue Mirah. Areal konsesi itu terbengkalai hingga 1990-an.
1983
Tata Guna Hutan Kesepakatan 1983: sebagian besar masih berstatus hutan negara bebas atau hutan produksi.
1990-an
– Hutan Tripa masih relatif utuh. Pembangunan jalan Meulaboh-Tapaktuan yang dibangun pada 1980 pun tak membuka kawasan rawa.
– Ada lima perusahaan: Gelora Sawita Makmur, Kalista Alam, Patriot Guna Sakti Abadi, Cemerlang Abadi dan Agra Para Citra. Hal ini bertentangan dengan SK Presiden No. 32/1990: hutan gambut sedalam lebih dari 3 m harus dilindungi dan tak boleh dikonversi jadi lahan budidaya.

– Padu-serasi kawasan hutan pada 1995 dan SK Gubernur Aceh No. 19/1999: wilayah Tripa ‘bukan kawasan hutan’, tapi masih ada ‘kawasan lindung di luar hutan’. Artinya, pada masa ini masih ada kesempatan untuk menyelamatkan areal Tripa.
1998
Tripa masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), dengan tata kelola konservasi khusus Pemimpin adat Aceh mendeklarasikan sesuai Keppres No. 33 Tahun 1998.
1999
Konflik bersenjata mengerem pembukaan lahan. Proses suksesi alami berlangsung.
2000
Menteri Kehutanan menerbitkan SK No. 170/2000 yang menyatakan seluruh kawasan Tripa merupakan areal penggunaan lain (APL).
2001
Terbit SK Menhut No. 190/2001 yang menetapkan batas-batas Kawasan ekosistem Leuser di wilayah Aceh.
2001 – 2005
Selama konflik Aceh, kebun sawit tak aktif dan terjadi regenerasi alami. Setelah tsunami dan masa damai, pembukaan lahan dimulai lagi oleh Astra Agro Lestari dan Kalista Alam.

2006
UUPA No. 11/2006 menyatakan mandat pemerintahan Aceh untuk mengatur Kawasan Ekosistem Leuser (KEL): perlindungan, rehabilitasi dan pemanfaatan secara lestari. UUPA menjadi dasar dibentuknya Badan Pengelola KEL, lembaga provinsi untuk melaksanakan mandat itu.
2007
– Gubernur Aceh Irwandi Yusuf menerbitkan instruksi moratorium penebangan hutan di seluruh Aceh.
– Hasil kajian: tersisa 31.410 ha atau 51% dari ekosistem Tripa. Sekitar 17.820 ha berada dalam konsesi perkebunan, dan sisanya 12.573 ha untuk penggunaan lain oleh masyarakat. Hingga akhir 2009, sekitar 8.000 ha telah dibuka kembali.
– Peneliti menguji kedalaman gambut di atas 3 m di sebagian besar lokasi, termasuk areal konsesi HGU. Di lokasi tertentu melebihi 5 m.
2008
Peneliti menyebut hutan Tripa tersisa 15.595 ha (24%) yang berada di kebun sawit. Sekitar 1.000 ha dibuka dengan pembakaran.
2009
– Kajian lain menyebut perubahan lahan selama 19 tahun (1990-2009) sangat cepat. Hutan Tripa pada 1990 seluas 67.000 ha atau 65% dari total area, namun sampai 2009 hanya tersisa 19.000 ha atau tinggal 18%. Selama itu pula, luas kebun sawit perusahaan dan rakyat meningkat drastis: dari 941 ha menjadi 38.568 ha.
2010
– Warga 21 gampong Kemukiman Tripa dan Seumayam melayangkan petisi kepada Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dan bupati Nagan Raya.
2011
– TKPRT merilis petisi kepada pemerintah Aceh dan DPR Aceh untuk menyelamatkan Tripa.
– Sebagai bagian kesepakatan REDD+ Indonesia-Norwegia, pemerintah merilis moratorium penerbitan izin baru di hutan primer dan lahan gambut (PIPIB). Tripa masuk dalam daerah terlarang bagi penerbitan izin baru.
– Izin lokasi Kalista berakhir pada 5 Februari 2011, tapi gubernur Aceh memberikan izin budidaya pada Agustus 2011. Hali ini membuat aktivis lingkungan menggugat gubernur Aceh.
– Walhi Aceh menggugat izin gubernur itu ke PTUN Aceh.
– Tiba-tiba areal Kalista dikeluarkan dari peta moratorium saat revisi PIPIB.
2012
– Petisi Rawa Tripa menuntut Presiden Yudhoyono menegakkan hukum. Dalam semalam, petisi meraih 10.000 lebih tanda tangan. PTUN Aceh menolak gugatan Walhi, lalu  banding ke PTTUN Medan. PTTUN Medan mengabulkan banding Walhi:  gubernur mesti mencabut izin Kalista. Sesuai keputusan PTTUN, gubernur Aceh mencabut izin Kalista. Tak terima, Kalista mengajukan kasasi dan menggugat gubernur. Keadaan kian buruk: tanpa izin, Kalista terus membuka dan membakar lahan.
2013
Kalista menang, PTUN Aceh memerintahkan gubernur mencabut surat pencabutan izin perkebunan. Mahkamah Agung menolak kasasi Kalista dalam gugatan pencabutan izin oleh gubernur. Dengan demikian, pencabutan izin
Kalista oleh gubernur sah dan berkekuatan hukum tetap.  Bekas lahan Kalista ditetapkan sebagai kawasan lindung gambut melalui Qanun RTRW Aceh. Sayangnya, qanun ini menghilangkan nomenklatur KEL di Aceh. Warga Aceh menggugat qanun di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

2014
– Kalista dinyatakan bersalah di pengadilan Meulaboh karena membakar lahan. Denda Rp 336 miliar. Ini kasus perdata pembakaran lahan pertama yang diajukan KLHK. Kalista banding.
– Pengadilan Tinggi Aceh menolak banding Kalista. Perusahaan ini mengajukan kasasi ke MA.
2016
Mahkamah Agung menolak kasasi Kalista. Putusan ini menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Aceh. Vonis pertama dan terbesar sepanjang sejarah kasus pembakaran lahan dan hutan.

2017
PT Kallista Alam menggugat balik pemerintah yaitu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Pemerintah Indonesia, Cq, Kementerian Agraria/Tata Ruang/Kepala BPN, Cq, Badan Pertanahan Nasional Kantor Wilayah Provinsi Aceh, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Aceh, serta Ketua Koperasi Bina Usaha Kita.

Dalam gugatannya, PT. Kallista Alam menyebutkan, koordinat gugatan perdata yang dicantumkan KLHK dan juga dalam putusan hukum pengadilan tidak sesuai dengan kenyataan lapangan, atau error in objekto. Selain itu, perusahaan ini juga menggugat adanya pihak ketiga atau Koperasi Bina Usaha Kita di lahan 1.605 hektare yang telah dicabut izinnya oleh Gubernur Aceh.

2018
PN Meulaboh membatalkan putusan dari MA terhadap eksekusi denda PT Kallista Alam yang telah berkekuatan hukum tetap. Hal ini menimbulkan kontroversial dan sejumlah organisasi masyarakat mengecamnya. Gerakan Rakyat Aceh Menggugat (GeRAM) melakukan demonstrasi untuk memprotes Pengadilan Negeri (PN) Meulaboh di depan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Majelis Hakim PN Meulaboh menyatakan bahwa putusan yang menghukum PT Kallista Alam (PT KA) sebesar Rp. 366 milyar sebagai title non-eksekutorial atau tidak bisa dieksekusi. Seperti diketahui sebelumnya, PT KA dinyatakan bersalah karena terbukti membakar 1.000 hektar lahan gambut di Tripa, Nagan Raya, Aceh.[]

Sumber: Agus Prijono, 2016, Rawa Tarung, Pertaruhan Di Rawa Gambut Tripa, Yayasan KEHATI, Jakarta dan data diolah.

 

 

read more
Kebijakan Lingkungan

Diduga Melanggar Kode Etik, YEL Minta MA Periksa Ketua PN Meulaboh

Banda Aceh – Kecaman terhadap putusan PN Meulaboh terus bergulir dimana sejumlah pihak menganggap putusan PN Meulaboh kontroversil. Salah satu pihak menyurati Mahkamah Agung (MA) agar memeriksa Ketua Majelis Hakim yang menyidangkan perkara adalah Yayasan Ekosistem Lestari atau YEL.

YEL menyurati MA agar melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran etik hakim terhadap tiga orang hakim anggota majelis perkara Nomor. 16/Pdt-G/2017/PN Mbo yaitu Said Hasan, Ketua PN Meulaboh/Ketua majelis Perkara, Muhammad Tahir, Wakil Ketua PN Meulaboh, dan T. Latiful, Hakim Pratama dan Utama PN Meulaboh.

Selain itu YEL juga memohon kepada Ketua MA untuk memerintahkan Ketua PN Meulaboh melaksanakan eksekusi terhadap putusan Nomor 12/Pdt.G/2012/PN Mbo tanggal 8 Januari 2014 Jo Putusan Pengadilan Tinggi Banda Aceh Nomor. 50/Pdt/2014/PT Bna tanggal 15 Agustus 2014 Jo Putusan Mahkamah Agung Nomor. 651 K/Pdt/2015 tanggal 28 Agustus 2015 Jo Putusan Mahkamah Agung Nomor. 1 PK/Pdt/2017 tanggal 18 April 2017 demi untuk tegaknya hukum Indonesia.

Dalam surat tersebut, YEL beragumen bahwa sejak putusan Kasasi PT Kalista Alam (PTKA) ditolak MA, PTKA harus melaksanakan putusan secara suka rela, akan tetapi PTKA tidak melaksanakannya. Karena PTKA tidak kunjung melaksanakan Putusan secara suka rela, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia mengirimkan surat Nomor S-103/PSLH/Gkm.1/11/2016 tentang permohonan pelaksanaan Eksekusi terhadap Putusan Kasasi Mahkamah Agung, tertanggal 3 November 2016, kepada Ketua Pengadilan Negeri Meulaboh.

Kemudian April 2017 Mahkamah Agung mengeluarkan putusan Peninjauan Kembali Nomor 1 PK/Pdt/2017, yang dalam amar putusannya menolak permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh PT. Kalista Alam. Anehnya pasca keluarnya putusan kasasi MA Nomor. 1 PK/Pdt/2017, PT. Kalista Alam melalui Kuasa Hukumnya mengajukan permohonan perlindungan hukum kepada Ketua Pengadilan Negeri Meulaboh.

Ketua Pengadilan Negeri Meulaboh mengeluarkan surat penetapan tertanggal 20 Juli 2017 yang pada pokoknya mengabulkan permohonan perlindungan hukum PTKA. Padahal putusan Mahkamah Agung Nomor. 1 PK/Pdt/2017 tanggal 18 April 2017 adalah putusan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) yang kesemuanya memenangkan gugatan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia terhadap PT. Kalista Alam.

Surat yang ditandatangani oleh Koordinator YEL Program Aceh, Ir. Teuku Muhammad Zulfikar, M.P, ini menyatakan putusan yang bersifat penghukuman (condemnatoir) yang harus dilaksanakan, terlebih Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai pihak yang dimenangkan dalam perkara telah mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan. “Maka tidak ada alasan untuk menunda eksekusi karenaa upaya hukum yang dapat ditempuh tidak ada lagi,”sebut Zulfikar.

Tidak dilaksanakannya eksekusi terhadap putusan Putusan Mahkamah Agung Nomor. 651 K/Pdt/2015 tanggal 28 Agustus 2015 Jo Putusan Mahkamah Agung Nomor. 1 PK/Pdt/2017 tanggal 18 April 2017 dan keluarnya Putusan Pengadilan Negeri Meulaboh Nomor. 16/Pdt-G/2017/PN Mbo memperlihat bahwa tidak adanya azas kepastian hukum.[rel]

 

 

read more
HutanKebijakan Lingkungan

PN Meulaboh “Lawan” MA, Batalkan Hukuman PT Kallista Alam Milyaran Rupiah

Jakarta – PT Kallista Alam, pelaku pembakaran lahan gambut Tripa yang dikenal sebagai ‘Ibukota Orangutan Dunia’, dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Agung, kini diberikan pengampunan oleh Pengadilan Negeri Meulaboh yang kini diprotes oleh pengamat lokal dan internasional.

Gerakan Rakyat Aceh Menggugat, GeRAM, melakukan demonstrasi untuk memprotes Pengadilan Negeri (PN) Meulaboh di depan Mahkamah Agung Republik Indonesia pada hari Kamis (3/05/2018) di Jakarta. Pada sidang tanggal 13 April 2018, Majelis Hakim PN Meulaboh menyatakan bahwa putusan yang menghukum PT Kallista Alam
(PT KA) sebesar Rp. 366 milyar sebagai title non-eksekutorial atau tidak bisa dieksekusi. Seperti diketahui sebelumnya, PT KA dinyatakan bersalah karena terbukti membakar 1.000 hektar lahan gambut di Tripa, Nagan Raya, Aceh.

Para pendemo meminta agar hakim Said Hasan, yang memimpin sidang gugatan antara PT KA melawan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), diperiksa dan diskors karena secara kontroversial memberikan perlindungan hukum dan memutuskan tidak akan mengeksekusi denda yang harus dibayar oleh PT KA.

“Ada dugaan pelanggaran disini, dimana putusan Mahkamah Agung tidak dieksekusi selama bertahun-tahun oleh PN Meulaboh. Kami meminta badan pengawas Mahkamah Agung untuk turun dan memeriksa kasus ini,” kata Harli Muin, koordinator aksi.

Keputusan hakim ini mendapat sorotan dari berbagai elemen masyarakat. Tidak hanya demo oleh GeRAM, sehari sebelumnya, Crisna Akbar dari Rumoh Transparansi mengadukan dugaan indikasi penyimpangan dalam eksekusi Putusan MA terhadap PT KA ke kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan nomor pengaduan 96297
pada hari Rabu (2/05/2018). “Kami mencium ada penyelewengan pada kasus ini sehingga menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 366 milyar,” ujar Crisna.

Pada 13 April lalu, Majelis Hakim yang dipimpin Said Hasan, Muhammad Tahir, anggota; T.Latiful, anggota, dalam Register Perkara Perkara No. 16/Pdt.G/Pn.Mbo menyatakan menerima Gugatan PT KA. Hakim beralasan bahwa bukti koordinat yang salah yang diberikan KLHK pada kasus sebelumnya menjadi alasan bagi hakim eksekusi putusan terhadap PT KA. Pada perkara ini, PT KA mengajukan gugatan terhadap KLHK, Ketua Koperasi Bina Usaha, Kantor BPN Provinsi Aceh, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Aceh. Belum jelas apakah KLHK akan melakukan banding.

Penyelamatan Orangutan di Rawa Tripa | Foto: YEL

Hal ini berlawanan dengan putusan sebelumnya, dimana PN Meulaboh di Aceh Barat memerintahkan PT KA untuk membayar denda sebesar Rp. 366 milyar yang terdiri dari Rp. 114,3 milyar sebagai kompensasi ke kas negara dan Rp. 251,7 milyar untuk merestorasi 1.000 hektar lahan gambut yang terbakar dan hancur. PT KA mengajukan banding pada tanggal 28 Agustus 2015 ke Mahkamah Agung, namun MA menolak banding dan memerintahkan perusahaan tersebut untuk tetap membayarkan denda.

“PT Kallista Alam telah dibuktikan bersalah berdasarkan undang-undang administrasi, pidana, dan perdata oleh majelis pengadilan dan Mahkamah Agung. Bila suatu pengadilan negeri bisa menentang putusan Mahkamah Agung, ini sangat tidak masuk  akal. Tidak mengejutkan kalau sekarang banyak pengamat yang mempertanyakan
motif di belakang putusan hakim PN Meulaboh dalam kasus ini, dan kami meminta ada investigasi khusus disini,” ujar Farwiza Farhan, Ketua Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), yang juga menjadi saksi fakta dalam sidang melawan PT KA pada kasus sebelumnya.

“Keputusan Pengadilan Negeri Meulaboh bertentangan dengan keputusan Mahkamah Agung yang menetapkan bahwa PT KA bersalah. Tentu saja ini menimbulkan preseden buruk untuk reputasi sistem hukum di Indonesia,” kata Dr Ian Singleton dari Sumatran Orangutan Conservation Programme. “Penetapan oleh MA tersebut membawa angin segar bagi hukum lingkungan di Indonesia, dan menjadi bukti bahwa negara ini komit untuk melawan perubahan iklim. Namun, jika semua itu bisa dengan mudah diubah oleh satu putusan kontroversial hakim PN, maka ini bisa menjadi kemunduran besar bagi hukum negeri ini,” Ian menyimpulkan.

Juru bicara GeRAM, Fahmi Muhammad, mengatakan, “Seharusnya PN Meulaboh melaksanakan eksekusi terhadap Putusan MA. PN Meulaboh tidak memiliki dasar hukum untuk menunda pelaksanaan eksekusi putusan. Kami kaget mengetahui bahwa Ketua PN Meulaboh mengeluarkan Penetapan Perlindungan Hukum terhadap PT KA
dengan No. 1/Pen/Pdt/eks/2017/Pn.Mbo. Kami melihat ini merupakan hal yang aneh.”

“Seharusnya, tidak ada gugatan baru yang dapat membenarkan pengadilan untuk menunda eksekusi keputusan”, kata Fahmi. “Dan juga koordinat yang melenceng akibat salah seharusnya tidak menjadi dasar justifikasi kerugian akibat kebakaran lahan yang disebabkan oleh PT KA.”

Pada sidang pengadilan ke – 13 dalam perkara ini, pada tanggal 30 Maret 2018, saksi ahli KLHK, mantan Hakim Pengawas di Mahkamah Agung, Abdul Wahid Oscar, menyatakan, “Menurut pasal 66 ayat (2) UU No. 14/1985, Peninjauan Kembali (PK) tidak dapat menunda atau menangguhkan pelaksanaan putusan Mahkamah Agung.
Kasus lingkungan bukan berorientasi pada lahan atau apakah izin ada atau tidak, tetapi fokus pada kerugian yang ditimbulkan.”

Lahan Gambut Rawa Tripa merupakan salah satu lahan gambut dari tiga lahan gambut terluas di Aceh, dengan kedalaman mencapai 12 meter dan memainkan peran penting bagi penyerapan karbon di Aceh. Jutaan ton karbon lepas ke atmosfer setiap tahunnya dengan cara pembakaran hutan gambut. Seperti diketahui dari sejumlah Penelitian, Lahan gambut di Aceh diperkirakan menyerap karbon sebanyak 1200 ton per hektar. Selain fungsi menyerap karbon, lahan gambut juga dapat mencegah banjir, membantu sektor perikanan dan menyediakan keragaman habitat bagi keragaman spesies.

T.M. Zulfikar dari Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), menambahkan, “Kami mengamati perkembangan di gambut Tripa semenjak kasus ini terangkat pada tahun 2012. Dari tahun 2013 hingga 2017, deforestasi hutan primer di Tripa mencapai 4.069 hektar, yang mana 60 hektar berada di dalam HGU PT Kalista Alam. Pada periode yang sama, jika dianalisis melalui VIRSS, layanan satelite pendeteksi titik api, ada 2.564 titik api di Tripa, yang mana 193 titik berada di dalam HGU PT KA. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun sedang menjalani kasus hukum, PT KA tidak menghormati sistem hukum di Indonesia.”

Lain halnya dengan kasus pidana, hakim PN Meulaboh, dengan perkara No 131/Pid.B/2013/PN MBO dan 133/Pid.B/2013/PN MBO, telah menghukum Manager Pengembangan PT.KA, Khamidin Yoesoef, 3 tahun penjara yang sudah dijalani oleh terpidana. [rel]

 

 

 

read more
1 2 3 4 5 8
Page 3 of 8