close

RTRWA

Ragam

Ini Sebab Hutan Leuser Tak Masuk Dalam Tata Ruang Aceh

Persoalan Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh (RTRWA) sampai hari ini masih saja menimbulkan polemik walaupun RTRWA tersebut telah ditetapkan sebagai Qanun No. 19 tahun 2013. Salah satu polemik yang paling mengemuka adalah hilangnya nama “Leuser” dalam qanun tersebut. Pada   pertemuan antara aktivis lingkungan Aceh yang tergabung dalam Tim Koalisi Peduli Rawa Tripa (TKPRT) dengan Gubernur Aceh, Dr. Zaini Abdullah, Rabu pagi (20/8/2014) kontroversi ini dijawab oleh pemerintah Aceh.

Pertemuan antara TKPRT dan Gubernur Aceh ini membicarakan tentang masa depan hutan gambut Rawa Tripa, Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh dan isu penambangan liar (ilegal mining). Sebanyak 15 aktivis dari TKPRT memenuhi ruang pertemuan namun dikarenakan waktu yang singkat hanya beberapa orang saja mendapat kesempatan berbicara.

Sejumlah Kepala Dinas memberikan respon atas berbagai kritik yang disampaikan oleh pihak LSM lingkungan (baca: Gubernur Aceh Sebut Perlu Aksi Nyata Lindungi Rawa Tripa). Menurut hasil penelitian yang dilakukan Tim dari Universitas Syiah Kuala, sekitar 11.395 hektar hutan gambut Rawa Tripa masih bisa diselamatkan.

Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Aceh, Husaini Syamaun mengatakan bahwa apa yang disampaikan oleh aktivis lingkungan pada prinsipnya sudah sejalan dengan Pemerintah Aceh. Hanya saja menurutnya, perlu waktu untuk merealisasikannya.

“Kita komit menjadikan Rawa Tripa sebagai kawasan hutan gambut,” tegasnya. Walaupun sebenarnya Rawa Tripa terletak diluar kawasan hutan, sambungnya lagi.

Husaini mengusulkan memberikan Hutan Kemasyarakatan (HKm) pada hutan Rawa Tripa yang hendak direstorasi tersebut. Ia meminta LSM dapat membantu dan Pemerintah bersedia memfasilitasi terealisasinya HKm.

Bila pengelolaan hutan diberikan kepada masyarakat, maka nantinya hutan ini dengan sendirinya akan menjadi hutan adat, kata Husaini. Masyarakat dapat mengelola HKm selama 35 tahun sehingga generasi berikutnya akan mengetahui hutan tersebut telah dikelola oleh nenek moyangnya.

“Apa masyarakat bersedia mengelola hutan kemasyarakatan atau hutan desa,” ujarnya. Pemerintah menyambut baik siapa saja yang hendak membantu skema hutan ini. Sebab sejak dulu belum ada rumus pengelolaan hutan oleh masyarakat di Aceh.

Pernyataan ini sempat diklarifikasi oleh Juru Bicara Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA), Efendi Isma, yang mengutip keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa hutan Adat bukanlah milik negara. “Jika HKm atau hutan desa itu berarti masih milik negara, tidak ada pengakuan hutan adat,” tegasnya.

Kepala Bappeda Aceh, Prof. Abubakar Karim, dalam pertemuan itu menyatakan bahwa  penyusunan tata ruang Aceh sudah sangat panjang prosesnya, dimulai sejak tahun 2000 dimana sudah dilakukan kegiatan padu serasi. Tim tata ruang menerima masukan dari berbagai pihak.

Abubakar mengingatkan jangan sampai Qanun RTRWA ini dibatalkan hanya karena ada beberapa masukan untuk perbaikan.

“Aceh sudah terlalu lama tidak punya tata ruang, lebih baik kita berjalan dalam remang-remang daripada berjalan dalam kegelapan. Disana-sini masih ada kelemahan tetapi masih ada peluang untuk melakukan review di masa mendatang,” katanya.

Prof. Abubakar juga menceritakan sedikit kilas balik ditetapkan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) pada tahun 1993. Sebelum KEL ditetapkan, di daerah tersebut ada berdiri sekolah, fasilitas pemerintah yang dibangun melalui program Inpres dan kebun penduduk sehingga ketika KEL ditetapkan sebagai kawasan lindung maka fasilitas-fasilitas tersebut harus dikeluarkan. Dalam Qanun RTRWA sekarang, fasilitas-fasilitas tersebut di keluarkan dari KEL sehingga wilayah lindung menjadi berkurang.

Abubakar menambahkan bahwa tata ruang bukanlah semata-mata narasi (qanun) saja melainkan juga spasial (peta wilayah) yang jelas pengelolaannya. “Tata ruang masih dilanjutkan dengan tata ruang kawasan, kemudian dilanjutkan lagi dengan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Masih banyak aturan-aturan turunan yang perlu didorong terus,” jelasnya.

Asisten I Pemerintahan Aceh, Iskandar A Gani, yang mendapat kesempatan terakhir berbicara mengemukakan alasan mengapa KEL tidak dimasukan kedalam Qanun RTRWA.

“KEL akan diatur dalam aturan tersendiri oleh Pemerintahan Aceh, ini sesuai dengan UU Pemerintahan Aceh. Tapi kita masih menunggu turunnya RPP kewenangan,” katanya. Jika RPP kewenangan ini tidak dikeluarkan maka konflik regulasi akan terjadi terus di Aceh.

Aktivis lingkungan, T. Muhammad Zulfikar kepada Gubernur Aceh, dr. Zaini Abdullah, mengatakan sangat berharap pemerintah segera mengeluarkan rekomendasi atau surat izin agar pihak pihak LSM dan daerah siap melaksanakan restorasi kawasan Rawa Tripa.[]

read more
Kebijakan Lingkungan

Gubernur Aceh Sebut Perlu Aksi Nyata Lindungi Rawa Tripa

Pertemuan antara aktivis lingkungan Aceh yang tergabung dalam Tim Koalisi Peduli Rawa Tripa (TKPRT) dengan Gubernur Aceh, Dr. Zaini Abdullah, berlangsung Rabu pagi (20/8/2014) di Pendapa Gubernur, Banda Aceh. Gubernur Aceh yang didampingi oleh kepala dinas dan sejumlah stafnya menyatakan komitmennya untuk menjaga hutan Rawa Tripa dan meminta jajaran terkait di bawahnya segera merealisasikan rencana menjadikan Rawa Tripa sebagai hutan konservasi.

Pertemuan antara TKPRT dan Gubernur Aceh ini membicarakan tentang masa depan hutan gambut Rawa Tripa, Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh dan isu penambangan liar (ilegal mining). Sebanyak 15 aktivis dari TKPRT memenuhi ruang pertemuan namun dikarenakan waktu yang singkat hanya beberapa orang saja mendapat kesempatan berbicara.

Dalam kesempatan pertama, anggota TKPRT, T. Muhammad Zulfikar menjelaskan tentang kondisi hutan gambut Rawa Tripa terkini secara umum. Mantan Direktur Walhi Aceh periode 2009-2013 menceritakan kondisi Rawa Tripa sejak dikeluarkannya izin perkebunan untuk perusahaan dimasa Gubernur Aceh Irwandi Yusuf (2007-2012) hingga kasus bergulir ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN) di Banda Aceh. Kasus ini sendiri telah dimenangkan oleh aktivis lingkungan dimana MA telah mengeluarkan putusan hukum tetap mencabut izin perkebunan yang diberikan kepada PT Kallista Alam.

Pasca pengembalian hutan Rawa Tripa seluas 1.605 hektar maka menurut TKPRT hutan tersebut perlu direstorasi kembali hingga kembali seperti sediakala. Hutan gambut yang sebagian besar memiliki kedalaman lebih dari tiga meter tersebut banyak dikonversi menjadi sawit sehingga merusak ekosistem dan menghilangkan habitat satwa liar.

“Perlu ada peta yang jelas tentang hutan gambut, (sehingga tahu) berapa hutan Tripa yang perlu diselamatkan dengan cepat. Kami pihak LSM bersedia membantu melakukan restorasi di Tripa yang telah rusak,” kata T. Muhammad Zulfikar.

Selanjutnya Efendi Isma dari Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA) lebih menyoroti tentang Qanun RTRW Aceh yang menurut kajian pihaknya masih mengandung banyak kekeliruan. Ia mengatakan penyusunan RTRW Aceh tidak aspiratif dan tidak melibatkan masyarakat luas. Qanun RTRW Aceh tidak memasukan Kawasan Ekosistem Leuser dan tidak memasukan permintaan masyarakat tentang pengakuan hutan adat.

“Kami beberapa waktu lalu menjumpai Kemendagri di Jakarta, mereka mengatakan bisa saja membatalkan dikarenakan substansinya banyak bertentangan. Menurut kami bila rumusnya saja sudah salah maka hasilnya bisa babak belur,” kata Efendi Isma.

Menanggapi pernyataan oleh dua aktivis lingkungan tersebut, Dr. Zaini Abdullah memberikan respon dengan mengatakan bahwa masalah kehutanan merupakan problem yang luar biasa yang dihadapinya sejak menjabat Gubernur Aceh. “Ada pihak-pihak yang tidak senang sehingga membawa kasus ini ke PTUN. Namun Alhamdulillah kita menang,”ujarnya.

Zaini berharap masyarakat sipil yang diwakili oleh LSM lingkungan dapat memberikan kritik yang membangun, bukan kritik yang meminta semuanya dibongkar.

“Tentang Rawa Tripa sendiri sudah bagus, kami akan buat telaahan staf. Aksinya yang perlu sekarang. Banyak (lahan) yang diserobot sekarang, sayang sekali. Padahal kita hanya bekerja untuk rakyat,”ucapnya.

Zaini Abdullah berharap pertemuan antara aktivis lingkungan dan Pemerintah Aceh bukan hanya berlangsung hari ini saja tapi juga perlu bertemu lagi lain hari. “Jika perlu duduk lagi, silahkan beritahu kami,” kata Gubernur Aceh yang terpilih dari Partai Aceh tersebut.[]

read more
Kebijakan Lingkungan

Koalisi Peduli Hutan: Mendagri Dapat Batalkan RTRW Aceh

Konflik regulasi tata ruang Aceh dapat memperburuk hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh, komunikasi yang tidak konstruktif dan cenderung mempertahankan status quo sewaktu-waktu dapat menjadi bumerang bagi kedua pihak dan yang pasti akan mengganggu stabilitas pembangunan daerah.

Juru Bicara Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA) Efendi Isma, Jumat (27/6/2014) mengatakan KPHA meneruskan advokasi masyarakat sipil Aceh terkait dengan proses penyusunan dan substansi tata ruang yang dianggap masih bermasalah, menjadi gambaran yang buruk dalam penyusunan sebuah regulasi yang vital setingkat RTRW sebagai blue print pembangunan kawasan dan daerah.

KPHA melakukan pertemuan dengan Ditjen Bangda Kemendagri RI di Kalibata Jakarta tanggal 26 Juni 2014 membicarakan hal-hal yang berkenaan dengan kronologi proses evaluasi dan klarifikasi sebuah peraturan daerah dengan menggunakan dasar aturan Permendagri No. 28 tahun 2009, Permendagri No. 15 tahun 2008, PP 15 tahun 2010, Permendagri No. 1 tahun 2014.  Merujuk kepada aturan yang ada tersebut maka Qanun No. 19 tahun 2013 tentang Tata Ruang Wilayah Aceh dapat dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri RI, ungkap Efendi Isma.

Substansi tata ruang wilayah Aceh masih melanggar beberapa aturan di atasnya, seperti UU 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, PP 26 tahun 2008 tentang tata ruang wilayah nasional, UU No. 11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh.  Selain aturan dan regulasi tersebut qanun tata ruang juga tidak mengakomodir masukan dari masyarakat terkait hutan adat Aceh sebagai wilayah kelola mukim sesuai dengan keputusan MK 35 tahun 2012.

Sementara itu proses klarifikasi dapat terus dilakukan dengan pilihan-pilihan antara lain; pertama Pemerintah Aceh memiliki justifikasi yang untuk tidak mengikuti hasil koreksi/evaluasi Mendagri melalui SK No. 650-441 tahun 2014, dan yang kedua Mendagri membatalkan Qanun tersebut.  Pernyataan ini disampaikan dalam diskusi bersama Kasubdit Penataan Ruang Wilayah di Jakarta.

Pilihan membatalkan Qanun tersebut dapat terjadi dalam forum klarifikasi yang akan digelar oleh Kemendagri dalam bulan Juli 2014 mendatang. KPHA akan melihat keseriusan pemerintah dalam menyelesaikan setiap permasalahan regulasi daerah, harapan untuk menjalankan system pemerintahan yang baik berdasarkan aturan menjadi catatan khusus bagi CSO untuk mengukur kinerja pemerintah. [rel]

read more
Hutan

Aktivis Lingkungan Demo RTRW Aceh di Jakarta

Koalisasi Peduli Hutan Aceh (KPHA) menggelar demonstrasi di Bunderan Hotel Indonesia (HI), Jakarta, Kamis (16/1/2014). Mereka memprotes Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh yang akan menghilangkan warisan dunia Kawasan Ekosistem Leuser.

Koordinator KPHA, Efendi Isma, menyebutkan RTRW tersebut menciptakan  “kiamat ekologi dunia” dan karena itu harus ditentang. KPHA mendesak dilakukan revisi RTRW Aceh yang sudah diparipurnakan DPR Aceh tersebut.

“RTRW Aceh itu menghilangkan warisan dunia, merendahkan masyarakat adat Aceh yang telah menjaga dan merawat kawasan ekosistem Leuser,” tukas Efendi.

Effendi menjelaskan menjaga kawasan ekosistem Leuser merupakan amanah UU No 11 Tahaun 2006. Oleh karena itu RTRW Aceh tidak boleh merusak kawasan ekosistem tersebut.

“Setiap keputusan yang keliru tentang kawasan eksistem Leuser adalah memainkan kematian terhadap separuh rakyat Aceh dan merendahkan kebanggaan masyarakat dunia terhadap world heritage. “Kita diambang kehancuran, karena itu harus ditolak dan tentang RTRW tersebut,” katanya.

Aksi yang diikuti puluhan demonstran tersebut mebentangkang sejumlah poster yang berisi kecaman. Melalui ‘pengeras suara tangan’, para demonstran meneriakkan protesnya terhadap kehancuran kawasan ekosistem Leuser.[]

Sumber: serambinews.com

read more
Kebijakan Lingkungan

Terkait KEL, Anggota DPR Aceh Kelabui Masyarakat

Seorang anggota DPR Aceh dihadapan demontrans Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA) mengatakan bahwa yang dihapus dalam Qanun Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh (RTRWA) hanya lembaga Badan Pelaksana Kawasan Ekosistem Leuser (BP KEL), bukan KEL-nya. Namun faktanya, KPHA tidak menemukan lagi sebutan KEL lagi dalam qanun tersebut.

Senin kemarin (30/12/2013) ratusan demonstran dari KPHA dan masyarakat berbagai wilayah melakukan unjuk rasa menolak penghapusan KEL dan tidak dicantumkannya hak ulayat dalam qanun RTRWA. Pengunjuk rasa berorasi bergantian mengecam DPRA yang dinilai tidak pro rakyat. Selain itu pengunjuk rasa menyebutkan penghapusan KEL dalam qanun menyebabkan potensi bencana meningkat di Aceh.

Anggota DPR Aceh dari Partai Aceh, Adnan Beuransyah, menjumpai demonstran di halaman gedung dewan terhormat. Dalam jawabannya terhadap pemrotes, ia mengatakan bahwa dalam qanun RTRW Aceh, yang dihapus bukan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) tapi Badan Pengawas Kawasan Ekosistem Leuser (BP-KEL).

BP-KEL dihilangkan karena nantinya akan dikelola langsung oleh Pemerintah Aceh melalui Unit Pengelola Teknis Dinas (UPTD) yang nantinya berada di bawah Dinas Kehutanan.

Tapi yang sebenarnya berlawanan dengan apa yang dikatakan Adnan Beuransyah dihadapan pengunjuk rasa. Juru bicara KPHA, Effendi Isma, S.Hut, kepada Greenjo, Selasa (31/12/2013) mengatakan pihaknya telah mempelajari qanun RTRWA tersebut dan ternyata istilah KEL memang sudah dihapus di dalamnya.

” Adnan Beuransyah adalah pembohong, nomenklatur KEL tidak ditemukan lagi dalam substansi RTRW Aceh dan bila dipaksakan terus berlaku, kita akan somasi dan judicial review bila tidak dikoreksi,” ujar Effendi Isma. DPR Aceh telah telah melakukan pelangaran regulasi, tambahnya.

Menurutnya, implikasi tidak tercantumnya KEL dalm Qanun menyebabkan tidak akan ada lagi pengelolaan KEL dan tidak ada lagi program-program pemberdayaan KEL secara terintegrasi. ” Izin konsesi sudah boleh dengan mulus beroperasi di sana dengan mudah,” sesalnya.

Sementara itu hal senada disampaikan oleh aktivis lingkungan yang juga merupakan akademisi dari Universitas Serambi Mekkah, T. Muhammad Zulfikar.

Ia mengatakan pemahaman anggota DPR Aceh terhadap KEL masih sangat minim. ” Dia (anggota dewan-red) tidak bisa membedakan antara KEL sebagai sebuah kawasan kelola hutan dengan BPKEL sebagai lembaga pengelola. Sayangnya lagi masih ada anggota DPRA yang tidak paham regulasi, terutama sejumlah regulasi yang seharusnya menjadi acuan dalam penyusunan qanun RTRWA, sepertu UU PA, UU tentang Penataan Ruang dan PP RTRW Nasional.Menyedihkan sekali,” kecamnya.

 

read more
Hutan

Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh Tidak Pro Masyarakat

Masyarakat peduli lingkungan yang tergabung dalam Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA) Senin (30/12/2013) siang menggelar aksi penolakan qanun Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh (RTRW) Aceh  di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Demonstran menganggap qanun RTRW Aceh tidak berpihak pada masyarakat karena tidak mencantumkan kawasan ulayat dan menghilangkan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).

Sebelum menggelar aksi damai, KPHA mengadakan pers conference dimana dalam pers conference tersebut juru bicara KPHA Effendi Isma, S.Hut mengungkapkan kekhawatiran mengenai penghilangan KEL dalam RTRW Aceh. KPHA khawatir  adanya perluasan izin Hak Guna Usaha (HGU), izin tambang dan konversi lahan di kawasan Leuser. Dalam RTRW Aceh, Ulu Masen dan Leuser digeneralisir menjadi hutan Aceh.

Padahal kedua kawasan tersebut memiliki keistimewaan masing-masing. Nama Leuser dan Ulu Masen telah ada sejak zaman nenek moyang dulu dan itu merupakan warisan yang tidak bisa diubah. Bahkan Leuser telah dijadikan sebagai ekosistem warisan dunia oleh UNESCO dan termasuk dalam Kawasan Strategis Nasional.

Masyarakat dari Tamiang Peduli, Kamal Faisal,  mengatakan, Tamiang dalam kondisi sangat mengkhawatirkan, karena banyak perluasan lahan illegal yang merusak hutan Leuser. Akibatnya, jika hujan dalam waktu 2 jam saja, bisa menyebabkan banjir. Ia juga mengharapkan RTRW Aceh segera direvisi demi kelestarian ekosistem Leuser.

Jaringan Masyarakat Gambut Rawa Tripa juga menyatakan penolakan tegas terhadap RTRW Aceh.

Setelah mengadakan pers conference massa berjalan menuju ke gedung kantor DPRA. Mereka membawa beberapa spanduk yang menuliskan penolakan terhadap RTRW Aceh. Setelah beberapa jam menyuarakan aspirasi, akhirnya perwakilan DPRA, Adnan Beuransyah, keluar bertemu massa. Effendi Isma membacakan pernyataan penolakan RTRW Aceh, dihadapan perwakilan tersebut yaitu:

1.    Menolak keseluruhan qanun RTRW Aceh
2.    Meminta Kemendagri untuk melakukan koreksi qanun RTRW Aceh
3.    Qanun RTRW Aceh telah mengabaikan masyarakat adat Aceh (mukim) berarti juga mengabaikan bangsa Aceh.
4.    Meminta pemerintah Indonesia untuk membentuk tim independen pemantau penyusunan tata ruang wilayah Provinsi Aceh

5.    Menghimbau masyarakat untuk memilih wakil-wakilnya yang pro terhadap masyarakat Aceh dan lingkungan.

6.    KPHA akan terus melakukan advokasi sampai dengan terakomodirnya tuntutan-tuntutan masyarakat sipil Aceh untuk tata ruang yang berkeadilan.

Adnan Beuransyah dari Partai Aceh yang menemui massa mengatakan bahwa dalam qanun RTRW Aceh, yang dihapus bukan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) tapi Badan Pengawas Kawasan Ekosistem Leuser (BP-KEL).

BP-KEL dihilangkan karena nantinya akan dikelola langsung oleh Pemerintah Aceh melalui Unit Pengelola Teknis Dinas (UPTD) yang nantinya berada di bawah Dinas Kehutanan.”

Selain itu, ia juga menyebutkan bahwa dalam RTRW Aceh tidak menghilangkan hutan ulayat yang dikelola mukim. Mukim tetap ada, tapi nantinya akan berada langsung dibawah lembaga Wali Nanggroe. Untuk membuktikan hal tersebut, Adnan Beuransyah mempersilahkan perwakilan massa yang hadir untuk mengambil berkas Qanun RTRW Aceh di Biro Hukum DPRA. Berkas diambil untuk dipelajari lebih lanjut, kemudian massa bubar.[]

read more
Hutan

KPHA: Penghapusan KEL dalam qanun RTRW Adalah Konspirasi

Seratusan massa yang tergabung dalam Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA) menggelar aksi di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Senin, (30/12/2013). Pada aksi tersebut KPHA secara tegas menolak Qanun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang telah disahkan 27 Desember 2013. Demonstran meminta Menteri Dalam Negeri (Mendagri) membatalkan qanun tersebut.

Peserta aksi yang berlangsung di depan gerbang DPRA membentang beberapa spanduk dan poster yang mengecam pengesahan qanun RTRW yang menghilangkan keberadaan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dan juga tidak memasukan Rawa Tripa sebagai hutan lindung.

“KEL dihilangkan dalam RTRW Aceh, ini presiden buruk terjadi di Aceh, karena KEL merupakan salah satu warisan nenek moyang kita yang telah diakui oleh dunia internasional,” tegas Juru Bicara (Jubir) KPHA, Efendi Isma, Senin (30/12/2013) di Banda Aceh.

Efendi Isma mencium ada konspirasi dibalik penghilangan KEL tersebut. Ada upaya agar lebih memudahkan pemberian izin untuk eksploitasi tambang di kawasan KEL tersebut.

“Selama ini KEL itu menjadi penghambat merusak ekosistem Leuser tersebut, dengan hilangnya KEL tentu akan lebih memudahkan pengeluaran izin,” tegasnya.

Massa aksi yang datang dari perwakilan masyarakat dari 13 Kabupaten yang masuk dalam KEL secara tegas menolak qanun RTRW Aceh tersebut. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh masyarakat dari Aceh Tamiang, Kamal Faisal. Ia menyebutkan bila benar-benar dijalankan qanun RTRW Aceh itu, maka malapetaka akan semakin besar bencana melanda Aceh Tamiang.

“Bila RTRW Aceh itu benar-benar disahkan, maka akan menghanncurkan Tamiang, sekarang saja 2 jam hujan, Tamiang banjir, kami sudah tak sanggup tahan banjir kiriman daru gunung terus gara-gara hutan sudah gundul,” ungkap Kamal Faisal.

Pasalnya, kata Faisal, bila RTRW Aceh itu dijalankan, maka lebih 2500 hektar hutan lindung akan dijadikan perkebunan di Tamiang dan akan semakin menambah terjadi bencana banjir.

Sementara itu, warga yang datang dari Nagan Raya sangat menyayangkan RTRW Aceh itu tidak memasukkan lahan gambut Rawa Tripa dalam hutan lindung. Ini tentu membuat warga kecewa, karena Rawa Tripa itu merupakan warisan yang seharusnya dijaga dan dilestarikan, termasuk harus dimasukkan dalam qanun tersebut.

“Kalau ini terjadi tentu Rawa Tripa akan dikuasai oleh perusahaan sawit, tentu ini akan sangat berbahaya terhadap keselanatan lahan gambut Rawa Tripa,” tegas Indrianto.

Selain itu, massa aksi juga meminta kepada seluruh rakyat Aceh agar dalam menentukan pilihan pada pemilu 2014 mendatang agar tidak memilih wakilnya yang tidak peduli lingkungan. “Jangan pilih wakil rakyat nanti orang yang tidak peduli lingkungan,” tandas Indrianto.[]

read more