close

satwa liar

Hutan

Noktah Hitam di KEL Aceh

Mega proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dibangun dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dikhawatirkan akan merusak ekosistem dan ancaman bencana ekologi. Mega proyek ini juga mengganggu kelestarian hewan dilindungi seperti badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), harimau (Panthera tigris sumatrae), gajah (Elephas maximus sumatraensis) dan orangutan (Pongo abelii).

KEL merupakan kawasan hutan tropis yang sangat berperan menyimpan cadangan air dan juga pengendalian iklim mikro. Perlindungan hutan tersebut berguna untuk keberlangsungan hidup manusia dan melindungi spesies-spesies yang harus memiliki skala prioritas untuk dikonservasi.

Spesies badak dan harimau yang paling terancam punah saat ini. Konon lagi bila PLTA Tampur di Gayo Lues dan PLTA Kluet di Aceh Selatan dibangun. Tentunya rumah satwa dilindungi ini semakin susut dan ancaman konflik satwa dan kepunahan semakin di depan mata.

KEL  juga sangat berjasa untuk keberlangsungan kehidupan manusia, karena tidak hanya menyimpan karbon dunia juga bisa mencegah dampak perubahan iklim. Ekosistem Leuser berdampak langsung dengan udara yang dihirup oleh manusia dan hewan saat ini, sehingga bisa menjaga keseimbangan iklim.

Mirisnya, Pemerintah Indonesa masih saja berencana untuk membangunan mega proyek tersebut, yang kemudian banyak ditentang oleh lembaga lingkungan di Aceh. Padahal, keberadaan Ekosistem Leuser juga tidak hanya mengancam keberadaan satwa dilindungi, juga mengancam kehidupan ribuan penduduk di Sumatera.

Memang tak dapat dipungkuri, Aceh yang berada paling ujung sumatera ini memiliki banyak potensi Sumber Daya Alam (SDA) dan energi yang dapat diandalkan. Namun dibalik banyaknya SDA, pemerintah juga harus memperhatikan banyak aspek saat mengekploitasi.

Aspek keseimbangan antara ekonomi, lingkungan dan tatanan sosial harus menjadi perhatian serius dari masyarakat. Sehingga penggunaan SDA yang dimiliki, terutama dalam KEL harus diperhatikan dampak besar dalam jangka panjang.

Pembangunan dua mega proyek tersebut, merupakan noktah hitam yang masuk dalam KEL. Noda hitam inilah yang kemudian akan mengancam berbagai persoalan kemudian hari, tak hanya merusak lingkungan juga konflik sosial bisa saja terjadi nantinya.

Kenapa pentingnya perlindungan KEL dari kerusakan? Sedekar diketahui, KEL merupakan hutan yang paling lebat saat ini di Asia Tenggara. KEL memiliki tiga lahan gambut yang kaya karbon, begitu penting bagi lingkungan global saat ini.

Lokasi proyek PLTA Tampur-1 yang dibangun oleh PT Kamirzu berada di kawasan sungai Tampur, Gampong Lesten, Kecamatan Pining, Kabupaten Gayo Lues. Gampong tersebut luas sekitar 200 hektar berjarak 18 Km dari ibukota Kabupaten Gayo Lues. Berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan oleh Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, hingga April 2017 PT Kamirzu baru tahap pengeboran dan pengambilan sampel sebanyak 6 titik.

Lembah Gampong Lesten sebagian besar berlokasi yang kaya hasil hutan, seperti madu, walet dan hingga saat ini masih dimanfaatkan oleh masyarakat. Kekayaan hutan di kawasan itu telah menjadi ekonomi alternatif bagi masyarakat setempat.

Sungai Lesten dan Sungai Pining memiliki arus  yang deras dan kedua sisi merupakan hutan lindung berkarakteristik tebing serta tingkat kecuraman tinggi dan ada beberapa titik air terjun. Kondisinya pun rawan terhadap bencana, karena kawasan tersebut juga rawan terhadap terjadi gempa.

PLTA Tampur-1 merupakan proyek pembangkit energi terbarukan dan masuk dalam daftar percepatan pembangunan di Indonesia. Ini seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 40 Tahun 2004, tentang perubahan keempat Peraturan Menteri ESDM Nomor 15 Tahun 2010 tentang proyek-proyek percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik menggunakan energi terbarukan.

Perusahaan pengembangan ini berasal dari Hongkong yaitu PT Kamirzu yang merupakan salah satu Perusahaan Modal Asing (PMA) bidang kelistrikan, rencannnya pembangunan PLTA Tampur-1 ini berkapasitas 443 MW.

Mega proyak PLTA Tampur-1 menggunakan lahan seluas 4.090 hektar yang berada untuk rencana genangan. Meskipun tidak semua lahan pembangunan mega proyek ini masuk dalam hutan lindung. Proyek ini dalam tiga kabupaten yaitu Gayo Lues, Aceh Timur dan Aceh Tamiang

“Yang harus diketahui, tidak semua lahan itu masuk dalam hutan lindung,” kata Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nur.

Berdasarkan data dari Walhi Aceh, pembangunan mega proyek tersebut dengan nilai investasi Rp 4,158 triliun tersebut mencaplok Hutan Lindung (HL) seluas 1.226,83 hektar, Hutan Produksi (HP) seluas 2.565,44 hektar Area Pengguna Lain (APL) seluas 297,73 hektar. Sedangkan untuk pembangunan bendungan/DAM dan power house seluas 10 hektar dan mirisnya itu juga masuk dalam kawasan Hutan Lindung.

Penggunaan lahan dalam HL tak hanya lokasi pembangunan mega proyek tersebut. Setelah pembangunan selesai, ada sejumlah hutan lainnya ikut dicaplok. Seperti pembangunan Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) sepanjang 45 kilometer.

Lagi-lagi pembangunan SUTET masih tetap menggerus HL sepanjang 9,34 kilometer, HP 21,4 kilometer, APL sepanjang 14,26 kilometer. Selain itu, mega proyek ini juga memerlukan pembangunan atau peningkatan jalan akses sepanjang 68,14 kilometer yang masuk dalam beberapa fungsi kawasan hutan.

Seperti pembangunan jalan akses Simpang Melidi-Babo sejauh 27,14 kilometer, di antarannya 1,08 kilometer masuk dalam HL, 11,03 masuk APL. Sedangkan jalan Babo-Pulau Tiga sepanjang 11,08 Km dan Jalan Pulau Tiga-Simpang Semadam sepanjang 15,97 Km  seluruh masuk dalam APL.

“Karena tidak ada 100 persen di hutan lindung sehingga tidak memproses dokumen AMDAL di nasional. Kalau hutan lindung semua di Kementerian,” jelasnya.

Adapun izin yang sudah dimiliki oleh PT Kamirzu pembangunan mega proyek PLTA Tampur-1, sudah mengantongi sembilan rekomendasi dan izin dari pemerintah provinsi dan nasional. Seperti Izin Prinsip dari Gubernur Aceh Nomor 671.21/BP2T/2523/2015 tanggal 20 November 2015 tentang izin prinsip. Izin prinsip BKPM Pusat, surat kepala BPKH Wilayah XVII Aceh Nomor S.229/III/BPKH.XVIII-2/2016 tanggal 18 April 2016. Surat Kepala BPKH Wilayah XVII Aceh Nomor S.229/III/BPKH.XVIII-2/2016 tanggal 18 April 2016 hasil telaah titik koordinat.

Lalu berita acara rapat kesesuaian dengan  Rencana Tatat Ruang dan Wilayah Aceh pada 10 Oktober 2016, surat keterangan kesesuain dari Badan Koordinasi Perencanaan Ruang Daerah (BKPRD) Provinsi Aceh Nomor 050/25/Bappeda/I/2016, Perpanjangan izin prinsip Gubernur Aceh melalui surat Nomor 671.21/BP2T/2039/2016 tanggal 27 Oktober 2016.

Kemudian keputusan Kepala Bapedal Nomor 660.46/092/XI/AMDAL/2016 tentang persetujuan kerangka acuan (KA), untuk selanjutnya wajib dilengkapi dokumen Studi Analisis Menganai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL). PT Kamirzu juga telah merampungkan dokumen studi AMDAL PLTA Tampur-1 tanggal 28 Desember 2016, Komisi Penilaian Amdal (KPA) Aceh membahas proyek ini dengan melibatkan masyarakat dan lembaga pemerhati lingkungan.

“Pada rapat pembahasan itu Walhi Aceh selaku anggota KPA menolak AMDAL PLTA tersebut, karena ada masuk dalam hutan lindung bisa berdampak besar terhadap kerusakan lingkungan,” ujarnya.

Ini tulisan bagian satu dan akan dilanjutkan dengan judul Noktah Hitam di KEL Aceh “Dampak Lingkungan Hidup”

read more
Kebijakan Lingkungan

BKSDA & Polda Aceh Teken MoU Pidana Lingkungan

Balai Konservasi Sumber Daya Alam Aceh (BKSDA) dan Polda Aceh, hari ini menandatangani nota kesepahaman bersama atau Memorandum of Understanding (MoU) di Hotel Grand Aceh Banda Aceh. Pihak BKSDA langsung dihadiri oleh kepalanya yaitu Genman Hasibuan, S.Hut, MM, sementara dari Polda Aceh diwakili oleh Direktur Reserse Kriminal Khusus, Kombes Drs. Joko Irwanto, M.Si. Isi Mou ini menyangkut Standar Operating Procedure (SOP) Penanganan Awal Terpadu Tindak Pidana terhadap Tumbuhan dan Satwa Liar yang dilindungi di Propinsi Aceh.

Ketika memberikan sambutan, Kombes Drs. Joko Irwanto, M.Si menyatakan bahwa begitu banyak spesies satwa dan tumbuhan liar yang dilindungi terdapat di Aceh. “Ada 300 fauna, belum lagi flora yang harus dilindungi, yang polisi sendiri tidak hafal semuanya,”katanya. Menurutnya, flora dan fauna tersebut merupakan amanah dari Allah SWT untuk dilestarikan dan dijaga dengan baik. “Jangan kayak harimau Jawa yang sudah punah, apa kita mau Harimau Sumatera bernasib serupa,”tambahnya.

Pada beberapa waktu lalu Polda Aceh juga telah meluncurkan SMS Centre pengaduan untuk tindak pidana perusakan lingkungan. Bagi masyarakat yang mengetahui terjadinya tindak pidana lingkungan dapat melaporkan ke nomor 0811 677 1010. Pelapor akan dirahasiakan identitasnya dan tidak diminta menjadi saksi kasus.

Kekayaan Aceh

Aceh  merupakan  satu‐satunya  provinsi  yang  masih  secara  lengkap  menyimpan  kekayaan  spesies  satwa seperti  Gajah   Sumatera   (Elephas   Maximus),   Orangutan   Sumatra   (Pongo   Abelii),   Harimau   Sumatera (Panthera tigris sumatraenus)  dan Badak Sumatra (Dicerorhinus  Sumatrensis).  Keberadaan  berbagai satwa liar yang dilindungi ini sangat penting dan esensial bagi terciptanya keanekaragaman  hayati (biodiversitas) untuk menjaga keseimbangan ekosistem, menuju kelestariannya.

Secara  umum,  Undang‐undang  Nomor  5 Tahun  1990 tentang  Konservasi  Sumber  Daya Alam Hayati  dan Ekosistemnya  (KSDAHE)  telah memandatkan  untuk melestarikan  sumber daya alam ini untuk mendukung  kesejahteraan   dan  meningkatkan   mutu  kehidupan  manusia,   melalui  perlindungan   system  penyangga  kehidupan,  pengawetan  keragaman  jenis flora dan fauna beserta ekosistemnya  dan pemanfaatan  secara lestari. Terciptanya penegakkan hukum terpadu yang konsisten adalah semata untuk melaksanakan amanat peraturan dan perundang‐undangan  ini.

Dalam kerangka upaya terciptanya penegakan hukum secara terpadu, pihak Kapolri, Kejaksaan Agung dan Menteri Negara Lingkungan  Hidup pada tahun 2011 telah menandatangani  Kesepakatan  Bersama Nomor: 11/MENLH/07/2011, Nomor  B/20/VII/2011, Nomor: KEP‐156/A/JA/07/2011 tentang Penegakan Hukum Lingkungan  Hidup Terpadu yang bertujuan  untuk meningkatkan  keterpaduan  dan optimalisasi  penegakan hukum  lingkungan  hidup antara Kementerian  Lingkungan  Hidup.  Strategi  yang disepakati  oleh Kepolisian Negara  Republik   Indonesia   dan  Kejaksaan   Republik  Indonesia  adalah   kerjasama   melalui   koordinasi, harmonisasi    pemaknaan hukum/ persamaan    persepsi   dalam  menghadapi  kasus   lingkungan    hidup, peningkatan kapasitas dan kompetensi, pertukaran data dan informasi serta pembentukan  Tim Penegakan Hukum Lingkungan Hidup Terpadu.

Di Aceh, dengan dukungan pihak LSM, telah terbentuk forum Gakkumdu yang terdiri dari pihak Polda Aceh, berbagai dinas di lingkungan Pemerintah  Daerah Aceh, Kejaksaan Tinggi dan Pengadilan Tinggi Aceh telah beberapa  kali  melakukan  pertemuan  rutin  di  Banda  Aceh.  Wadah  bersama  ini  berjalan  sebagai  sarana diskusi untuk pengkinian  dan tukar‐menukar  informasi serta pengetahuan  antar pihak, khususnya dengan pihak Kejaksaan maupun dengan dinas‐dinas terkait lainnya yang memiliki anggota dengan fungsi  sebagai PPNS. Di tahun 2015 ini, melalui skema pendanaan TFCA‐Sumatera,  LSGK melanjutkan dukungan terhadap proses penegakkan hukum terpadu yang efektif dan efisien ini, demi mendukung terciptanya keterpaduan kerjasama para pihak yang bertanggung jawab pada proses penegakan hukum di wilayah Aceh.

SOP ini  sebagai  pedoman  bagi hubungan  tata cara kerja (HTCK) yang lebih baik antar instansi  penegak  hukum  terkait  di Aceh,  khususnya  pihak  PPNS  BKSDA  Aceh  dan  Penyidik  Polri.  Panduan  tertulis  untuk  penanganan  awal Tindak Pidana terhadap Tumbuhan dan Satwa Liar (TPTSL) yang dilindungi di Provinsi Aceh diharapkan akan dapat menjadi  pedoman  bagi para penyidik  tersebut.  Penyusunan  Nota Kesepahaman  Bersama  dan SOP TPTSL dilaksanakan oleh Tim Pokja dilakukan sejak bulan Oktober tahun 2015. Tim Pokja penyusunan terdiri dari penyidik dari Ditreskrimsus Polda Aceh, Direktorat Bidang Hukum Polda Aceh, Direktorat Binmas Polda Aceh, PPNS dan tenaga ahli BKSDA Aceh, FFI Banda Aceh, LSGK, LBH Banda Aceh dan ACCI.

Pada  tanggal  18  Januari  2016,  Tim  Pokja  dimaksud  telah  menyelesaikan   draft  Naskah  Kesepahaman Bersama dan SOP TPTSL yang menghasilkan  draft final yang akan ditandatangani.  Berdasarkan  pertemuan tersebut,  BKSDA  Aceh  dan  Ditreskrimsus  Polda  Aceh  menyepakati  pelaksanaan  Penandatanganan   dan sekaligus  Sosialisasi   Nota  Kesepahaman   Bersama  dan  SOP  TPTSL  di  Provinsi  Aceh  tersebut  ke  para stakeholder pemerintahan Provinsi Aceh, penggiat lingkungan hidup dan kalangan media.[rel]

read more
Green Style

Polda Aceh Sosialisasikan Nomor Hotline Kejahatan Lingkungan

Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Aceh dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh pada hari Kamis (19/11/2015) di Aula Polres Aceh Jaya melakukan tatap muka dan diskusi dengan para penegak hukum di wilayah kabupaten Aceh Jaya. Pesertanya antara lain Kanitreskrim, KBO, Kanit Tipiter, Kapolsek, Jaksa dan Hakim, PPNS di lingkungan Pemda Kab.Aceh Jaya, tokoh masyarakat serta media massa.

Kasubdit IV Tipidter Ditreskrimsus Polda Aceh, AKBP Mirwazi, SH.,MH., dalam kesempatan tersebut mensosialisasikan kembali tentang nomor hotline SMS untuk Pengaduan Kejahatan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam (SDA) di nomor 08116771010.

Fasilitas SMS hotline ini sebelumnya telah diluncurkan pada tanggal 27 Januari 2015 di Banda Aceh. Sosialisasi di Aceh Jaya dilakukan mengingat prevelansi kasus kejahatan SDA yang tinggi pada beberapa wilayah di Aceh.

Polda Aceh menghimbau kembali kepada masyarakat luas untuk melaporkan kejahatan lingkungan dan SDA melalui SMS dengan format seperti berikut : nama polsek, nama gampong, isi pesan. Misalnya : Polsek Kluet Selatan, Gampong Kandang, ada oknum memelihara satwa liar yang dilindungi.

Adapun pelaporan kejahatan meliputi : 1. kejahatan kehutanan, 2. pertambangan, 3. migas, 4. lingkungan hidup, 5. perikanan/ilegal fishing, 6. perkebunan dan 7. Konservasi SDA.

Dit Reskrimsus juga mengatakan fasilitas SMS ini lahir dari semangat dan upaya peningkatan pelayanan Polda Aceh kepada masyarakat, khususnya dalam mengurangi angka kejahatan lingkungan dan SDA, serta menciptakan pelayanan masyarakat yang cepat, murah dan efektif.

Pada hari yang sama, pihak Ditreskrimsus Polda Aceh dan BKSDA Aceh juga membagikan spanduk, poster dan stiker kepada seluruh jajaran penegak hukum di kewilayahan dan tokoh-tokoh masyarakat. Hal ini akan memudahkan masyarakat luas untuk melihat dan mengingat nomor pengaduan kejahatan TSL.

Pihak BKSDA Aceh yang selama ini telah bekerja-sama dengan Polda Aceh dalam penanganan kejahatan SDA juga turut memberikan penjelasan terkait tugas pokok dan fungsi BKSDA dalam penanganan kasus-kasus pidana Tumbuhan dan Satwa Liar yang Dilindungi di wilayah Aceh. Sebuah SOP antara Penyidik Polda Aceh dan PPNS BKSDA Aceh juga sedang disusun untuk memberikan panduan yang jelas terkait penanganan kasus TSL secara terpadu yang lebih efisien dan efektif. Acara ditutup dengan diskusi tanya jawab antar peserta dengan pihak Ditreskrimsus Polda Aceh dan BKSDA Aceh terkait perkembangan berbagai kasus terkini di bidang SDA.[rel]

read more