close

satwa

Flora Fauna

YEL-SOCP & BKSDA Aceh Lepasliarkan Beruang di Aceh Besar

ACEH BESAR – Yayasan Eksositem Lestari Sumatran Orangutan Conservation Program  (YEL-SOCP) bekerjasama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh telah melepasliarkan seekor beruang madu (helarctos malayanus) ke habitatnya, Senin (14/5/2018).

Kepala BKSDA Aceh, Sapto Aji Prabowo mengatakan, beruang madu ini yang dievakuasi tanggal 24 November 2016 lalu di Gampong Karak, Kecamatan Woyla Timur, Kabupaten Aceh Barat, karena kaki kiri depannya terjerat dan terluka parah.

“Sehingga harus dioperasi dan tinggal menyisakan jempolnya saja,” jelasnya.

Setelah mendapatkan perawatan selama 1,5 tahun untuk proses penyembuhan oleh Tim Pusat Kajian Satwa Liar (PKSL) Universitas Syiah Kuala. Beruang malang ini kemudian dinilai oleh tim dokter hewan sudah siap untuk dilepasliarkan kembali ke habitatnya.

Untuk kepentingan penelitian dan guna mengetahui pergerakan beruang tersebut, BKSDA Aceh didukung FKH Unsyiah memasang GPS Collar di leher beruang. GPS Collar yang didatangkan langsung dari Swedia tersebut, akan mengirimkan sinyal ke satelit dan akan dipancarkan kembali ke receiver yang ada di BKSDA dan FKH Unsyiah.

“Dengan data dari GPS Collar tersebut, nantinya dapat diketahui dan dianalisa pola pergerakan, preferensi habitat serta jika ada hal-hal yang tidak diinginkan,” jelasnya.

GPS Collar ini, sebutnya, juga bisa untuk mencegah potensi konflik dengan warga atau terjadi stagnasi pergerakan beruang yang bisa jadi sedang sakit atau bahkan mati, dapat diketahui dengan cepat.

Katanya, menurut keterangan produsen collar, baterai pada collar seharga lebih dari 3.000 dollar itu akan dapat bertahan sekurangnya 2 tahun. “Semoga beruang madu yang dilepasliarkan tersebut dapat kembali hidup nyaman di rumahnya,” tutupnya.[acl]

read more
Flora FaunaHutan

Mencegah Konflik Gajah-Manusia dengan Barrier Alam dan Artifisial

Hutan Leuser sebagai habitat Gajah Sumatera semakin terancam keberadaannya akibat perubahan fungsi lahan baik oleh perusahaan maupun masyarakat. Data terakhir menunjukan telah terjadi 248 kasus konflik antara hewan besar ini dengan manusia selama 10 tahun terakhir, yang kadang berujung pada kematian manusia ataupun gajah sendiri. Hewan langka ini terpaksa masuk ke lahan yang dikelola manusia untuk mencari makan ataupun lahan yang masuk dalam koridor home range gajah. Konflik ini harus dicegah agar tidak terus menimbulkan korban, salah satunya dengan memanfaatkan fungsi benteng (barrier) alam maupun buatan manusia (artificial).

Apa perbedaan antara barrier alam dan artifisial? Direktur Program Aceh Climate Change Initiative (ACCI), Wahdi Azmi kepada greenjournalist menjelaskan tentang kedua jenis barrier tersebut. Ia menjelaskan strategi barrier untuk gajah, adalah upaya menjaga agar gajah tetap berada di dalam habitatnya dan tidak masuk ke kawasan budidaya masyarakat dan menimbulkan konflik.

“Pembuatan barrier buatan, menurut saya harus mengikuti potensi barrier alami (natural barrier) yang sudah ada. barrier alami bisa berupa gugusan tebing perbukitan, jurang, atau rawa dalam. Biasanya barrier alami ini ada gap yang menjadi celah bagi gajah untuk keluar dari habitatnya dan masuk ke kawasan budidaya. Memang tidak semua daerah konflik gajah diuntungkan dengan keberadaan formasi barrier alami yang tersedia, karena wilayahnya datar, sehingga pemasangan barrier buatan harus menjadi sangat panjang dan mahal dan belum tentu bisa effektif, karena semakin panjang barrier maka semakin sulit untuk merawatnya agar tetap efektif. Kadang kadang longsor atau hujan deras pada tanah yang labil bisa membuât parit gajah tidak lagi effektif,”Wahdi memberikan penjelasan.

Wahdi menunjukan contoh gambar yang memuat kondisi topografi yang menjadi barrier alam bagi gajah. Kondisi topografi di sekitar Pinto Rime Gayo yang dilihat dari arah Aceh Tengah, di daerah Bener Meriah, dimana gajah menggunakan lembah di kanan kiri Krueng Peusangan sebagai koridor utama. Sementara di sebelah kanan terlihat pola-pola lahan pertanian dan perkebunan.

Gambar topografi wilayah yang menjadi barrier alam bagi gajah | Sumber: ACCI

“Garis merah yang saya gambar menunjukkan deretan tebing disepanjang Krueng Peusangan. Gajah terkadang naik ke atas dan masuk ke kawasan budi daya yang berada di sebelah kanan Krueng Peusangan. Gajah bisa naik ke atas melalui jalur celah celah landai. Celah celah tersebutlah yang sesungguhnya perlu identifikasi dan menjadi barrier,”ujarnya.

Barrier artifisial buatan manusia dapat berupa pagar ataupun parit dalam yang memanjang sehingga tidak bisa dilewati gajah. Barrier artifisial ini mempunya kelemahan yaitu biaya pembuatan dan perawatannya mahal sehingga perlu dikombinasikan dengan barrier alam. Namun ada yang perlu diingat, bahwa gajah adalah hewan yang cerdas. Mereka akan mempelajari situasi kondisi yang ada untuk mencari jalan keluar dari barrier tersebut oleh karenanya pemantauan gajah penting dilakukan.[]

read more
EnergiKebijakan Lingkungan

GeRAM Minta Menteri LHK Tidak Izinkan Hutan untuk PLTA

Banda Aceh – Gabungan Masyarakat dan Aktivis Lingkungan Hidup Aceh yang berhimpun di dalam Gerakan Rakyat Aceh Menggugat (GeRAM), telah menyampaikan surat permohonan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (LHK-RI).

Surat yang disampaikan kepada Menteri LHK tersebut berisikan penolakan mereka terhadap rencana Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Tampur I yang diyakini akan mempercepat laju kerusakan hutan di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). “Oleh karena itu kami mengirimkan surat kepada Menteri LHK RI pada pertengahan Desember lalu yang isinya berupa Permohonan Agar Mohon Tidak Diterbitkan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan dalam RencanaPembagunan PLTA Tampur I”, kata  Juru Bicara GeRAM untuk Advokasi Penyelamatan Hutan dan Lingkungan Akibat Pembangunan PLTA Tampur I, T. M. Zulfikar.

Selain GeRAM, berbagai elemen masyarakat dan gabungan NGO/LSM Aceh yang ikutserta menandatangani surat tersebut diantaranya Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA), Forum Orangutan Aceh (FORA), Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), Rumoh Transparansi Aceh, Rawa Tripa Institute (RTI), Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Orangutan Information Centre (OIC), Gerakan Rakyat Anti Korupsi (GERAK) Aceh, Yayasan Peduli Nanggroe Atjeh (PeNA), dan Jaringan Komunitas Masyarakat Aceh (JKMA).
Gabungan masyarakat dan LSM tersebut selama ini dikenal sangat aktif dalam mendukung upaya-upaya advokasi penyelamatan hutan dan lingkungan khususnya di Aceh, termasuk Kawasan Ekosistem Leuser.

Surat yang disampaikan kepada Menteri LHK RI antara menyebutkan antara lain Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Tampur  berada di lokasi yang merupakan habitat kunci beberapa jenis satwa yang dilindungi,  seperti harimau, gajah, orangutan. Dikhawatirkan bila pembangunanPLTA Tampur 1 jadi terlaksana maka konflik antara manusia dan hewan akan meningkat. Selain itu juga disebutkan bahwa sebagian dari wilayah PLTA Tampur terdapat kampung adat yaitu kampung Lesten, Kecamatan Pining, Kabupaten Gayo Lues, yang didiami oleh 67 KK yang akan terpaksa harus direlokasi, selain bahwa didalam areal luasan rencana proyek juga merupakan kawasan lindung adat masyarakat Gayo – Pining, yang telah mereka taati dan pelihara secara turun menurun, sehingga keberadaan proyek tersebut dikuatirkan akan memincu konflik sosial di masyarakat, baik konflik vertikal maupun horizontal.[rel]

read more
Flora FaunaHutan

Dua Kali Lolos, Penjerat Harimau Sumatera Diringkus

dua-kali-lolos-penjerat-harimau-sumatera-diringkus
penjerat harimau sumatera diringkus. ©2017 merdeka.com/yan muhardiansyah

Populasi harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) di alam liar dipastikan terus berkurang dan terancam. Seekor lagi satwa dilindungi itu dijerat dan dibunuh kemudian dijual pemburunya.

Penjualan jasad harimau sumatera itu dibongkar Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC) Brigade Macan Tutul Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Sumatera dan Polisi Hutan Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BB TNGL). Mereka meringkus seorang pemburu saat menjual bangkai harimau yang berhasil dijeratnya.

“Pelaku berinisial I alias M (59), warga Desa Sei Serdang, Batang Serangan, Langkat, Sumut. Dia sehari-hari bekerja sebagai pemanen buah kelapa sawit pada salah satu perusahaan perkebunan,” kata Kepala Balai Gakkum KLHK Sumatera Halasan Tulus, Senin (28/8).

IM mengaku memasang jerat di pinggir areal TNGL. Dia mengetahui di sekitar lokasi itu ada harimau yang sering melintas karena sering menemukan jejaknya.

Setelah 7 hari memasang jerat, serkor harimau terperangkap kemudian mati. IM menghubungi seseorang berinisial S untuk menjualnya.

Ketika transaksi berlangsung, IM langsung ditangkap di Desa Sei Serdang, Minggy (27/8). “Kita menyita barang bukti satu ekor harimau berjenis kelamin betina dalam keadaan mati,” jelas Halasan.

Harimau betina yang terjerat diperkirakan berusia 13 tahun. Panjangnya 195 cm dan tinggi 85 cm.

Bangkai harimau beserta pelaku kemudian dibawa ke markas SPORC Brigade Macan Tutul Balai Gakkum KLHK Sumatera di Mariendal. IM mengaku bukan baru kali ini menjerat harimau. Sebelumnya laki-laki ini sudah dua kali berhasil menjerat satwa langka itu kemudian menjualnya. Dia baru tertangkap saat aksi ketiga.

IM dijerat dengan Pasal 40 ayat (2) jo Pasal 21 ayat (2) huruf b UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya jo PP Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Dia terancam pidana penjara maksimal 5 tahun dan denda paling banyak Rp100 juta.

Saat ini, IM telah dibawa ke kantor BBTNGL di Jalan Selamat, Medan. Dia masih menjalani pemeriksaan untuk mendalami dugaan adanya pelaku lain yang terlibat dalam perburuan dan jual beli satwa dilindungi itu.

Perburuan terhadap harimau sumatera terus mengancam keberadaan satwa itu di alam liar. Padahal populasinya saat ini dalam status kritis. Diperkirakan hanya tersisa 300-an ekor yang hidup di habitat aslinya di Sumatera. [merdeka/acl]

read more
Flora Fauna

Pongky Akhirnya Bebas Setelah 10 Tahun Dalam Jeruji Besi

Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Orangutan Information centre (YOSL-OIC) dan Sumatran Orangutan Society berhasil memberikan kesempatan kedua untuk kebebasan satu orangutan Sumatera bernama Pongky setelah lebih dari dua tahun melakukan kampanye untuk kebebasan Pongky.

Pongky, adalah orangutan Sumatera jantan berusia sekitar 14 tahun, sebelumnya dipelihara selama satu dekade di kandang kawat kecil oleh seorang oknum polisi berpangkat tinggi di provinsi Aceh. Kemudian Pongky ditemukan oleh tim dari YOSL-OIC pada bulan Juli 2013. Tim YOSL-OIC segera melaporkan kasus ini ke pihak BKSDA Aceh. Pongky kemudian disita dari oknum polisi tersebut dan dibawa ke Kebun Binatang Medan, Sumatera Utara.

Orangutan Sumatera  saat ini ‘sangat terancam punah’, dengan hanya sekitar 6.600 individu yang tersisa di alam liar, karena hilangnya habitat alami mereka untuk perkebunan dan pembangunan jalan, konflik manusia-satwa liar dan perburuan. Orangutan Sumatera sepenuhnya dilindungi oleh undang-undang nomor 5 tahun 1990 yang melarang memelihara, membunuh, melukai, mengangkut dan memperdagangkan spesies sini. Hal ini juga sejalan dengan kebijakan pemerintah Indonesia, yang ditetapkan dalam Strategi Nasional dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan 2007-2017, bahwa semua orangutan sitaan dari perdagangan hewan dan peliharaan harus dimasukkan dalam program rehabilitasi untuk dikembalikan ke hutan.

Helen Buckland, Direktur SOS, mengatakan ketika Pongky disita tapi kemudian dipindahkan ke Kebun Binatang Medan, ia hanya bertukar dari satu kehidupan di balik jeruji besi ke jeruji besi lainnya. Dia seharusnya tidak pernah dikirim ke kebun binatang – ia harusnya segera diberi kesempatan kedua untuk hidup di alam liar.

Berbagai organisasi konservasi dan individu yang peduli langsung melobi kebun binatang untuk menyerahkan Pongky ke pusat karantina orangutan spesialis Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP) yang berlokasi di luar Medan dengan tujuan akhir mengembalikan Pongky kembali ke alam liar. Kampanye untuk mendapatkan Pongky dari kebun binatang menarik perhatian dan dukungan seluruh dunia. Sehingga Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kementerian Kehutanan meminta kebun binatang untuk memindahkan Pongky ke karantina SOCP.

Panut Hadisiswoyo, Direktur YOSL-OIC, menjelaskan, “Kami tidak menyerah! Kami terus melobi pemerintah dan kebun binatang untuk melepaskan Pongky. ”

Upaya ini akhirnya terbayar dan hari ini, Pongky akhirnya direlokasi dari Kebun Binatang Medan ke pusat karantina SOCP.

Panut Hadisiswoyo menegaskan, “Setelah lebih dari 2 tahun kerja keras dan kampanye, Pongky akhirnya telah diberikan kesempatan untuk bebas hari ini. Ini adalah hasil yang fantastis, tidak hanya untuk dia tapi juga untuk orangutan lainnya yang masih membutuhkan penyelamatan dari perdagangan satwa dan peliharaan ilegal. ”

Panut Hadisiswoyo mengatakan masih ada perjalanan panjang ke depan untuk Pongky sebelum dia bisa dilepaskan tapi mereka optimis bahwa Pongky memiliki peluang bagus untuk menjadi orangutan liar lagi, di hutan di mana ia berada. “Kami berterima kasih kepada pemerintah atas bantuan dan dukungan dalam memastikan kesejahteraan jangka panjang Pongky dan memberikan dia kesempatan ini, “kata Panut.

Drh Yenny Saraswati, dokter hewan senior di SOCP menyatakan, “Kami sangat senang akhirnya Pongky dari diberi kesempatan untuk menjadi orangutan liar bebas lagi. Hal pertama yang harus kita lakukan adalah memberinya sedikit waktu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Kami kemudian akan melakukan pemerikasaan kesehatan lengkap, memastikan apakah Pongky bebas dari penyakit seperti TBC dan hepatitis. Setelah kita memiliki hasil tes nya, kita kemudian akan dapat memutuskan apakah Pongky memang dapat kembali ke kehidupan di alam liar, atau apakah kita harus mencari solusi jangka panjang alternatif untuk perawatannya. Kesehatan dan kesejahteraan semua orangutan di Sumatera selalu kami nomorsatukan, dan apa pun hasilnya, pasti Pongky sekarang dalam kondisi yang jauh lebih baik dan sangat lebih baik daripada sebagai hewan peliharaan ilegal dan berada di Kebun Binatang Medan. Pongky memiliki  kesempatan untuk bebas sekali lagi jika semua berjalan dengan baik. ”

Sementara Kepala BKSDA Aceh Genman S Hasibuan, menyambut baik kerjasama Kebun Binatang Medan yang telah menyerahterimakan kembali kepada BKSDA Aceh orangutan Pongky untuk direhabilitasi di SOCP dan kemudian dilepasliarkan kehabitat alaminya. [rel]

read more
Flora Fauna

Penjual Orangutan Sumatera Divonis 2 Tahun & Denda 50 Juta

Pengadilan Negeri Langsa menjatuhkan hukuman pidana penjara 2 tahun dan denda senilai Rp 50 juta subsidair 3 bulan penjara terhadap Ramadhani, terdakwa perdagangan orangutan Sumatera dan satwa dilindungi lainnya. Keputusan ini sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum Zulham Pardamean Pane, SH yang meminta tersangka dituntut hukuman pidana penjara 3 tahun dan denda 50 juta rupiah subsider 6 bulan penjara. Keputusan vonis tersebut dibacakan pada tanggal 19 November 2015 oleh Hakim Ketua Ismail Hidayat, SH dengan hakim anggota Sulaiman M,SH,MH dan Fadhli, SH.

Terdakwa terbukti bersalah telah melakukan perdagangan orang utan secara online dan menerima putusan, begitu juga Jaksa Penuntut Umum. Menurut Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1990 mengenai Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, terdakwa dapat dipenjara maksimal 5 tahun dan denda 100 juta rupiah.

Ramadhani ditangkap tangan oleh  Balai Konservasi Sumber Daya Alam ( BKSDA) Aceh bersama Subdit Tipidter Polda Aceh di Jalan PDAM Tirta Pondok Kemuning, Desa Pondok Kemuning, Kecamatan Langsa Lama, Kota Langsa, Aceh Timur pada tanggal 1 Agustus 2015. Dalam operasi tersebut, tim BKSDA menyita 3 (tiga) orangutan, 2 (dua) elang bondol, 1 (satu) burung kuau raja dan 1 (satu) awetan macan dahan.

Sehubungan dengan kasus tersebut, Kepala BKSDA Aceh Genman Hasibuan, mengatakan dengan hukuman 2 tahun dan denda 50 juta ini mudah-mudahan dapat memberikan efek jera kepada para pelaku kejahatan lingkungan hidup, termasuk perdagangan ilegal tumbuhan dan satwa yang dilindungi.

Sementara Direktur Orangutan Information Centre (OIC) Panut Hadisiswoyo menyampaikan vonis hukuman untuk pedagang orangutan ini merupakan vonis yang pertama di Aceh. Belum pernah ada kasus pedagang orangutan di Aceh yang dihukum penjara oleh pengadilan. ” Hal ini menjadi catatan yang sangat penting bagi upaya penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan lingkungan hidup di Aceh,”ujarnya.

OIC sangat mengapresiasi kinerja BKSDA Aceh dan Subdit Tipidter POLDA Aceh dalam hal penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan satwa dilindungi. OIC memantau kasus ini sejak awal dan menurut OIC hukuman terhadap Ramadhani sebenarnya cukup ringan sekali karena pelaku terbukti menjual tiga bayi orangutan dan satwa-satwa dilindungi lainnya.

Pada bulan Juli 2015 yang lalu, seorang pedagang satwa yang menjual satu orangutan di Medan dijatuhi hukuman 2 tahun dan denda 10 juta rupiah oleh pengadilan negeri Medan. Ini membuktikan bahwa kasus-kasus terkait dengan satwa dilindungi tidak dianggap serius oleh pengadilan. Padahal satwa-satwa dilindungi tersebut adalah asset negara yang nilainya tidak terukur dan negara rugi besar dengan adanya praktek pengambilan dan perdagangan satwa secara illegal karena satwa-satwa ini penting untuk manjaga kelangsungan dan keseimbangan ekosistem alam yang memberi manfaat banyak bagi masyarakat luas.[rel]

read more
Flora Fauna

Pedagang Kalong Kesulitan Dapat Pasokan

Pegiat konservasi yang berbasis di Sumatera, yakni Jaringan Pemantau Perdagangan Satwa, SCORPION, secara terus-menerus mengingatkan terjadinya peningkatan perburuan kalong secara tidak lestari.

Misalnya saja di Jalan Jamin Ginting di wilayah Desa Kampung Tengah, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, sekitar 30 menit dengan mengendarai mobil dari Medan ke Berastagi, merupakan tempat yang biasanya mudah untuk menemukan kalong. Namun, pada bulan lalu, sangat sedikit kalong dijual di sini. “Sekarang sudah semakin sulit menangkap kalong. Oleh karena itu, sangat sedikit yang bisa kita jual dalam 1 bulan terakhir ini,” kata Andreas Ginting, seorang penjual kalong di Kampung Tengah.

Kalong di dalam kandang untuk dijual | Foto: SCORPION
Kalong di dalam kandang untuk dijual | Foto: SCORPION

Andreas menjelaskan kepada Investigator ​SCORPION, biasanya ia menangkap kelelawar buah di provinsi Aceh dan provinsi Riau, keduanya merupakan dua provinsi tetangga Sumatera Utara. “Saat ini, polisi ketat mengontrol perbatasan Sumatera Utara dan provinsi Aceh, jadi saya berhenti menangkap kalong di Aceh,” katanya.

“Dari Riau, tidak ada masalah untuk mengangkut kalong ke Sumatera Utara, tapi masalahnya adalah, kita tidak bisa menangkap kalong lagi di sana. Saya baru-baru ini pergi ke Pekanbaru di Riau untuk menangkap kalong tapi tak bisa menangkap satupun. Oleh karena itu, saya menangkap kalong hanya sekitar desa ini (di wilayah kecamatan Sibolangit). Biasanya, saya bisa menangkap 2 atau 3 ekor  per minggu, ”  jelas Andreas.

Kalong yang kian langka | Foto: SCORPION
Kalong yang kian langka | Foto: SCORPION

Beberapa penjual kalong telah menghentikan aktivitasnya karena mereka tidak bisa menemukan kalong untuk ditangkap sehubungan populasinya yang anjok karena perburuan yang terlalu banyak.

Marison Guciano dari SCORPION mengatakan, “Penangkapan dan pembunuhan kalong harus berhenti sekarang, sebelum kita kehilangan semua kalong di Sumatera. Mereka adalah bagian penting dari lingkungan kita dan kita semua membutuhkan mereka karena mereka membantu menyebarkan biji-bijian dari berbagai pohon buah ke berbagai penjuru lahan. ”

Menurut seorang pedagang kalong, Andreas, tahun lalu mereka menjual kalong dengan harga sekitar Rp 50.000 per kalong. Tapi sekarang harganya sudah naik mencapai Rp300.000 per ekor.

Kalong yang dikategorikan oleh World Conservation Union, IUCN, dengan status “Near Threatened” (“Hampir Terancam”). Ini perlu penilaian ulang oleh para ahli kalong apakah status tersebut masih sesuai. Mamalia unik ini mungkin telah menjadi spesies yang terancam punah yang juga perlu masuk dalam daftar spesies yang dilindungi di Indonesia. Spesies ini berada di bawah ancaman serius di Sumatera Utara karena informasi yang salah yang mengatakan daging kalong bisa menyembuhkan penyakit asma.

Beberapa waktu lalu, SCORPION melaporkan penjualan kalong di Jalan Sudirman dan Jalan Bintang (FL. Tobing) Medan, tetapi pada saat melakukan kunjungan ulang pada hari Senin (3 Agustus 2015), SCORPION tidak melihat adanya penjualan kalong lagi di sana.

Marison Guciano menambahkan, “Kami menghimbau kepada pemerintah agar kiranya dapat mengupayakan perlindungan spesies ini sebelum terlambat dan sebelum semuanya punah untuk selamanya. Perdagangan kalong perlu dilarang meskipun hanya untuk sementara. “[rel]

read more
Flora Fauna

BKSDA Aceh Tangkap Pedagang Hewan Liar

Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh berhasil menangkap tangan seorang pedagang satwa liar di Jalan PDAM Tirta Pondok Kemuning, Desa Pondok Kemuning, Kecamatan Langsa Lama, Kota Langsa, Aceh Timur. Dalam operasi tersebut, tim menyita 3 (tiga) orangutan, 2 (dua) elang bondol, 1 (satu) burung kuau raja dan 1 (satu) awetan macan dahan. Kesemua satwa tersebut merupakan satwa dilindungi. Tersangka langsung ditahan di markas Polda Aceh.

Genman Hasibuan, Kepala BKSDA Aceh menyatakan  penangkapan ini merupakan yang terbesar pertama di Aceh dimana pedagang berhasil ditangkap bersama dengan tiga bayi orangutan sekaligus. Menurutnya sukses operasi ini berkat dukungan tim yang solid dari Polda Aceh, Orangutan Information Centre (OIC) dari Medan dan Centre for Orangutan Protection (COP) dari Jakarta. ” Tugas berat selanjutnya adalah memastikan tersangka mendapatkan hukuman seberat – beratnya sesuai dengan Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1990 mengenai Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.”

Sementara itu, Manager Anti Kejahatan Satwa Liar dari Centre for Orangutan Protection (COP), Daniek Hendarto, mengatakan bahwa  induk dari 3 bayi orangutan yang disita sudah dibunuh oleh pemburunya. Tanpa penegakan hukum yang keras, korban orangutan akan terus berjatuhan. Ia menambahkan hukuman yang ringan hanya akan membuat para penjahat kembali ke bisnisnya karena keuntungannya sangat besar. Dari tangan pemburu, seorang pedagang mendapatkan harga antara 500 ribu hingga 1 juta rupiah dan kemudian dijualnya di pasaran seharga 5 sampai 10 juta rupiah. Di pasaran internasional, harga bayi orangutan ditaksir 400 jutaan rupiah.

Direktur Orangutan Information Centre (OIC) Panut Hadisiswoyo,  menyebutkan hampir sebagian besar satwa liar yang diperdagangan adalah tangkapan dari alam, termasuk dari Ekosistem Leuser. Perburuan dan perdagangan seringkali menimbulkan penderitaan dan kematian yang tidak perlu pada satwa liar dan mengacaukan ekosistem. ” Sudah saatnya Indonesia serius memerangi kejahatan ini. OIC akan mengerahkan segenap potensinya agar si tersangka bisa mendapatkan hukuman maksimal, yakni penjara 5 tahun dan denda 100 juta rupiah.”[rel]

read more
1 2 3 10
Page 1 of 10